Setelah bergelut dengan kemacetan lalu lintas, pada akhirnya mobil hitam metalik yang Damian kemudikan sudah berhenti di sisi gerbang rumah Arjuna. Pria itu kembali membaca peta elektronik di ponselnya, kembali memastikan bahwa dirinya sudah benar-benar sampai di titik tempat tujuan sesuai denah lokasi yang Evelyn kirimkan tadi malam.
"Sepertinya benar ini alamat rumahnya." Damian bergumam pada diri sendiri saat menatap hunian megah itu. Ia membuka pintu mobilnya kemudian menapakkan kaki pada paving di sekitar gerbang. Setelahnya, ia mendudukkan diri di kap mobilnya. Cuaca yang cukup terik siang itu tak sedikit pun membuatnya takut jika kulitnya akan terbakar.[Aku sudah sampai di depan gerbang.]Setelah yakin bahwa rumah besar bergaya Romawi itu benar tempat wanita yang ingin ia temui tinggal, Damian segera mengetikkan pesan untuknya. Ia memang sudah menantikan pertemuan ini sejak semalam. Tidak bertemu setelah bertahun lamanya membuat ia menanggung rindu yang begitu menggunung terhadap si wanita.Dan nyatanya, penantian Damian kali ini tidak membutuhkan waktu lama. Sebab setelah pesan yang ia kirimkan terbaca, sosok Evelyn tampak keluar dari pintu besar rumah si kakak sepupu. Penampilan wanita itu terlihat fresh dengan sleeveless dress warna krem yang dipadukan dengan blazer warna hitam.Langkah wanita itu kentara dipercepat untuk segera sampai ke arahnya. Dibantu oleh seorang satpam penjaga, Evelyn membuka gerbang besi tinggi itu agar bisa segera bertemu dengannya. Hal tersebut tentu membuat Damian refleks melengkungkan senyum bahagia, apalagi saat wanita itu sudah berdiri di depannya."Akhirnya kau keluar juga. Sudah siap?""Uhum."Setelah anggukan singkat diterima, Damian beranjak turun untuk membukakan pintu penumpang untuk Evelyn. "Okay, kalau begitu silakan masuk.""Kau akan membawaku ke mana?" Evelyn bertanya setelah Damian duduk di belakang kemudi, tepat di sisinya."Ke mana pun kau mau. Kau ingin ke mana? Kita makan siang bersama sekalian, supaya kita bisa berbincang dengan nyaman dan kenyang." Pria itu segera menyalakan mesin mobilnya untuk segera membawa wanita itu membelah jalanan kota menuju tempat tujuan."Terserah kau saja.""Baiklah. Kita ke coffee shop yang baru dibuka saja, ya? Letaknya tak begitu jauh dari alun-alun kota.""Ya."Sedikit kernyitan muncul di kening Damian ketika merasa ada hal yang berubah dari diri Evelyn, namun ia tetap mempertahankan senyumnya. "Kuperhatikan, sekarang kau menjadi lebih irit berbicara? Sedikit berbeda dari dirimu ketika SMA.""Itu hanya perasaanmu saja, aku masihlah Evelyn yang dulu. Justru kau lah yang banyak berubah, Dam.""Benarkah? Menurutmu, apa saja yang berubah dariku? Secara sikap ... atau fisik?" sembari mengemudi, Damian sesekali melirik wanita yang duduk di sebelahnya."Fisik. Tentang sikap, kau tidak berubah sama sekali.""Begitu, ya? Haha. Kalau begitu, apakah aku terlihat semakin tampan ketika dewasa?" pria itu bertanya main-main untuk mencairkan suasana yang terasa sedikit canggung baginya.Dan ia berhasil, sebab pada akhirnya ia mampu melihat Evelyn tersenyum bahkan tertawa untuk pertama kalinya di pertemuan mereka kali ini."Kau selalu saja narsis."***Suasana skandinavia terasa sangat kuat di dalam Wanderlust Coffee Shop. Apalagi dengan kehadiran patung-patung kepala rusa yang identik dengan wilayah bersalju seperti pada negara-negara Eropa Utara.Coffee Shop yang mereka kunjungi cukup ramai di jam makan siang seperti ini. Mereka memilih duduk pada meja yang berada persis di sisi tembok putih. Beberapa menu kue yang tadi mereka pesan pun telah habis tak bersisa di atas meja, menyisakan 2 porsi kentang goreng beserta 2 gelas minuman kopi untuk melepas dahaga."Sudah merasa kenyang?" Damian adalah orang pertama yang mengajukan pertanyaan."Sudah. Terima kasih atas traktirannya." Dan Evelyn menjawabnya setelah selesai mengelap mulut menggunakan tisu."Anytime, Eve. Makanan di sini memang terkenal dengan kelezatannya, makanya meskipun baru buka selama beberapa hari, pengunjung sudah begitu membludak begini." Sedikit intermezzo, Damian menceritakan singkat tentang tempat makan yang mereka kunjungi. "Anyway, bagaimana perasaanmu setelah kembali bertemu denganku? Apa kau merasa senang?""Sedikit terkejut. Jujur saja aku tidak menyangka bahwa kita akan kembali bertemu setelah sekian lama."Jawaban dari Evelyn sukses membuat senyum Damian sirna, berubah senyum hampa. Secara otomatis ia kembali mengingat masa di mana takdir harus memisahkan mereka."Kau membuatku kembali merasa bersalah, Eve. Maafkan aku karena pergi meninggalkan Indonesia tanpa mengabarimu terlebih dahulu. Aku tahu kau pasti mencariku, bukan?""Sudahlah, semua itu sudah berlalu." Evelyn terdengar enggan membahasnya. Wanita itu memilih untuk kembali meminum Mocha Latte miliknya."Aku hanya ingin memberikan alasanku, agar tidak ada salah paham di antara kita. Bukankah kita bersahabat?"Sejenak tubuh wanita itu tampak membeku. Sedetik kemudian senyum miris menghiasi raut wajah jelitanya. Entah kenapa mendengar kata 'sahabat' yang lolos dari bibir Damian membuat hatinya sedikit terluka, meski benar seperti itulah kenyataannya. Kedekatan di antara mereka hanya sebatas persahabatan bagi pria itu kendati kontak fisik di antara keduanya melebihi pasangan suami-istri."Aku pergi secara tiba-tiba tentu memiliki alasan yang kuat, Eve. Nenekku dari pihak ayah yang tinggal di Jerman mengalami koma, makanya kami sekeluarga malam itu juga terbang ke sana. Aku tidak sempat menghubungimu atau siapa pun saat itu, kami semua panik." Damian menjelaskan alasan kepergiannya tanpa diminta.Sedangkan Evelyn hanya berperan sebagai pendengar. Dalam diam ia menahan perih di dada, sebab ingatannya kembali mengulang masa itu tanpa permisi. Damian hanya tidak tahu betapa hancurnya dunia Evelyn di malam pria itu meninggalkannya."Dan nahasnya, ketika kami telah sampai di Jerman, ponselku hilang ketika baru saja menapakkan kaki di Bandara. Kau tahu, hanya ponsel itulah satu-satunya barang paling berharga bagiku, di mana nomor-nomor telepon penting orang-orang terdekatku tersimpan, termasuk nomor teleponmu. Maka dari itu aku tidak bisa menghubungimu."Wanita itu mengangkat wajahnya demi menatap mata Damian, seakan mencari kebohongan di sana. Dan nyatanya yang ia temukan adalah kejujuran.Jadi, sebenarnya pria itu tidak pernah berniat benar-benar meninggalkannya, bukan?Andai ponsel milik Damian tidak hilang dan dia membaca seluruh pesan darinya, apakah pria itu akan bertanggungjawab atas hasil perbuatan dosa yang mereka lakukan?"Maafkan aku. Andai aku bisa, aku ingin sekali kembali ke masa lalu dan memperbaiki segalanya, sehingga kita tidak perlu berpisah begitu lama," lanjut Damian dengan penyesalan. Ia menutup kalimat panjangnya dengan embusan napas rendah.Lagi-lagi Evelyn kedapatan tersenyum pedih. Ia tidak tahu harus merespons kalimat Damian seperti apa. Karena bagaimanapun, semuanya sudah terlanjur terjadi. Meminta pertanggungjawaban pria itu sekarang pun akan menjadi percuma sebab kehidupan mereka sudah berubah dan pria itu pun sudah memiliki seseorang di sampingnya. Lagipula, kedua orang tua Evelyn sudah terlanjur menaruh rasa benci pada si pria."Aku kembali ke Indonesia hampir setahun lalu. Dan saat itu aku segera mencarimu ke alamat rumahmu yang dulu, tapi para tetanggamu berkata bahwa kalian sudah pindah sejak lama. Sebenarnya kau pindah ke mana, Eve? Apa ada hal yang terjadi padamu atau keluargamu saat itu? Jujur saja hal itu membuatku khawatir." Damian kembali bersuara karena Evelyn hanya diam saja sedari tadi. Namun, kali ini pria itu tampak menunggu jawaban darinya, terlihat dari tatapan kedua mata biru itu yang tidak beralih sedikit pun menatapi mimik muka si wanita."Tidak ada apa pun yang terjadi, kami pindah karena Papa ingin mengembangkan bisnis kulinernya di kota lain, itu saja." Pada akhirnya Evelyn memberikan alasan yang logis, alasan yang biasa ia berikan setiap kali ada teman atau saudara yang menanyakan perihal kepindahan mereka bertahun lalu. "Lagi pula nasi sudah menjadi bubur, kita tidak bisa mengulang ataupun memperbaiki masa lalu, Dam. Yang lalu biarlah berlalu. Buktinya kau sekarang masih baik-baik saja meskipun kita berpisah, bukan? Kau bahkan sudah memiliki tunangan sekarang."Damian mengangguk sebagai pembenaran, lalu menyesap kopi Americano di cangkirnya sebelum kembali berkata. "Yah, Kiara satu-satunya wanita selain dirimu yang mampu membuatku nyaman. Dia begitu setia menemani dan menghiburku ketika di Jerman. Papa dan Mama semakin mendesakku untuk memenuhi segala ekspektasi mereka. Bahkan aku sempat merasa kehilangan diriku sendiri andai tidak bertemu dengan Kiara."Entah berapa kali Evelyn merasa tidak nyaman pada hatinya. Kali ini dadanya terasa diremas tangan tak kasat mata. Damian bertingkah seolah mereka sama sekali tak pernah memiliki hubungan dekat, hubungan yang lebih dari sekedar sahabat. Padahal mereka pernah saling berbagi hasrat, sama-sama mereguk nikmat. Sakit sekali rasanya saat pria yang kau cintai justru menceritakan wanita lain padamu."Ah, aku jadi banyak bercerita begini." Damian terkekeh kecil saat menyadari jika dirinya lah yang lebih banyak berbicara ketimbang wanita yang duduk berhadapan dengannya. "Lalu bagaimana denganmu? Apakah kau baik-baik saja setelah kepergianku? Kemarin kau berkata bahwa kau putus dengan Devano, kenapa? Apa dia kembali menyakitimu?""Aku hidup dengan baik, bahkan sangat baik. Jadi, bisakah kita berhenti bernostalgia? Aku harus segera pulang. Ada hal penting yang harus segera kuurus untuk kembali menata masa depan." Tidak sepenuhnya berbohong. Selain karena Evelyn sudah tidak sanggup lagi saling bersitatap begini, ia pun memang harus segera mengurus segala persiapan untuk kembali melanjutkan perkuliahannya."... oke. Aku akan mengantarmu kalau begitu. Tetapi lain kali kita harus bertemu lagi jika ada waktu luang." Dan Damian pun tidak bisa menahan wanita itu lebih lama lagi untuk tetap tinggal, dirinya mencoba mengerti.Yah, meskipun ada sesuatu yang sedikit mengganjal di hati dan pikirannya setelah mendengar setiap kalimat yang terangkai dari mulut Evelyn. Ia merasa curiga, ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan wanita itu darinya.***Tbc...Taman di halaman rumah berhiaskan berbagai macam bunga warna-warni menyambut pandangan Evelyn kala dirinya memutuskan keluar dari pintu rumah yang ia tinggali. Ada 2 buah kursi panjang berbahan besi yang dicat putih berada di tengah-tengah, saling berhadapan, bersekatkan sebuah meja berbentuk kubus yang dicat serupa.Sosok Karenina terlihat di antara tanaman indah itu, sedang membawa sebuah gembor untuk menyiram bunga-bunga di sudut kanan. Cahaya oranye senja yang menimpa, membuat sosok Sang kakak ipar tampak bercahaya. "Bisakah aku membantumu, Kak?" wanita itu berinisiatif menawarkan bantuan saat jarak sudah terpangkas. Karenina menoleh ke asal suara, dan ia tersenyum saat tatapannya menemukan sosok Evelyn. Ia tentu menyambut niat baik adik sepupunya."Tentu, Eve. Kau bisa menyiram bunga-bunga di bagian sana, ya? Di bagian sini biar aku saja." Ia menunjuk ke sisi kiri, pada sekumpulan tanaman bunga Lily dengan warna yang berbeda-beda."Siap." Gembor yang berada di sisi kran segera
"Papa ... Papa ...."Suara itu terdengar berdengung di telinga Damian. Suara seorang anak kecil perempuan yang cukup familier di telinga pria itu, suara yang jelas-jelas memanggil dirinya dengan sebutan 'Papa', meskipun ia tidak pernah dengan jelas mampu melihat sosoknya. Hanya samar-samar, di sudut kegelapan.Mata biru itu masih erat memejam, peluh pun telah membanjiri pelipisnya, membuat bantal yang ia gunakan menjadi basah. Bunga mimpi itu kembali hadir menyapa setelah sekian lama, entah mengapa. Kepala pria itu bergerak-gerak gelisah dalam tidurnya, lengkap dengan napas yang tidak beraturan. Akibatnya, seorang wanita yang berbagi tempat tidur dengannya menjadi terusik dari mimpi indahnya.Wanita itu ... Kiara Laurencia. Ia terbangun ketika merasa tempat di sisinya berguncang-guncang. Saat kedua mata indahnya membuka kemudian menemukan Sang tunangan dalam kondisi seperti itu, secara spontan ia terduduk demi meneliti lebih jelas raut tampan itu dengan kening mengernyit. "Sayang ...
"Sampai jumpa besok, Eve.""Sampai jumpa." Evelyn membalas lambaian tangan kedua teman barunya ketika menemui belokan, mereka menuju ke parkiran sedangkan dirinya tetap berjalan lurus menuju halaman depan untuk mencegat bus. Ia kedapatan membenarkan tali tas di bahu, lalu menatap lurus ke depan untuk meneruskan ayunan langkah kaki.Berusaha terlihat baik-baik saja saat perasaan tak menentu merupakan hal yang sukar untuk dilakukan. Senyum itu memang terulas di wajah jelita Evelyn, namun senyuman yang tak pernah sampai ke mata. Meski suasana hati wanita itu cukup kacau, namun ia masih mampu menahannya agar proses belajarnya tetap berjalan lancar. Entah bagaimana ucapan Damian tadi malam sukses membuatnya merasa sakit hati seharian ini. Perih sekali rasanya saat Damian berkata bahwa pria itu menginap di apartemen milik tunangannya. Tidur di ranjang yang sama, hal mustahil jika mereka tidak melakukan sesuatu, bukan? Pria itu pun pernah melakukan hal serupa saat bersama dengan dirinya be
Pertemuan terakhir baru saja usai, pun konsep iklan yang diajukan telah disetujui oleh semua pihak. Aksa Wijaya adalah seseorang yang menjadi perwakilan dari pihak klien, ia merupakan tangan kanan dari Arjuna Adhitama. Pria itu saat ini sedang melakukan monitoring ke beberapa cabang restoran miliknya sehingga tidak mampu datang menghadiri meeting penting kali ini.Arjuna merupakan seorang pengusaha yang cukup sukses di bidang kuliner. Ia memiliki banyak cabang restoran di seluruh Indonesia, Food'o Clock namanya. Restoran dengan tata ruang unik nan estetik tersebut memang sedang sangat digemari oleh semua orang, terkhusus anak muda, sebab menu yang mereka sajikan sangat bervariasi dengan menggabungkan konsep tradisional dan modern menjadi satu kesatuan. Selain makanan, restoran itu pun begitu terkenal dengan sajian es krimnya yang beraneka ragam.Meja persegi panjang dengan kursi-kursi empuk yang mengelilinginya itu hampir kosong seluruhnya, hanya meninggalkan dua sosok yang masih beta
"Aku pulang ...."Kedua wanita yang duduk di meja makan yang sama menoleh secara bersamaan, sejenak berhenti menyuap makanan kala suara maskulin yang sudah begitu akrab di telinga terdengar. Ada Arjuna dengan jas yang sudah tersampir di lengan kiri yang memasuki tatapan mata. "Selamat datang, Sayang." Sebagai seorang istri, Karenina menyambut kedatangan suaminya dengan ceria. Sedangkan Evelyn memilih untuk melanjutkan kembali acara makan malamnya."Wah, sepertinya enak." Meski gurat lelah tampak menghiasi wajah pria matang itu, namun tak menghapus senyum manisnya saat bertemu tatap dengan sang istri. Arjuna memberikan kecupan sayang di dahi setelah menatap beberapa sajian makanan menggugah selera di atas meja. Ada ayam teriyaki, capcai, dan berbagai olahan ikan laut yang terhidang."Tentu saja, aku memasak semua ini bersama Eve. Ternyata adik iparku ini begitu pandai memasak, ya?" Karenina berucap antusias saat sang suami sudah duduk pada kursi di sisinya, menyampirkan jas hitamnya p
Gaun berwarna dusty pink nan anggun bak Princess Aurora yang awalnya Kiara kenakan untuk pemotretan kini telah tanggal, berganti dengan gaun yang lebih simpel. Perempuan itu berlari kecil menuju ke arah Damian yang sedang duduk pada salah satu kursi yang posisinya tak jauh dari lokasi dengan senyum merekah di bibir."Lama menungguku?" tanyanya setelah mendaratkan sebuah kecupan singkat di bibir Si calon suami."Yah, tidak terlalu. Pekerjaanku sedang tidak terlalu padat, jadi aku berpikir untuk menjemputmu lebih cepat." Dengan senyum yang selalu tampan menawan, Damian menjawab pertanyaan si perempuan. "Apa kau lelah? Aku membawakanmu ini." Kemudian ia memberikan sebotol minuman isotonik padanya. "Kau benar-benar membuatku senang. Terima kasih, Sayang. Kau sangat perhatian. Kebetulan, aku memang sedang kehausan." Lengkungan bibir Kiara semakin melebar ketika menerima minuman dingin itu. Apalagi saat menyadari bahwa Damian telah membukakan tutup botol untuknya. Ia meneguk isinya pelan-p
[Hei, kau sudah sampai rumah?]Itu adalah pesan yang dikirim dari nomor Damian, beberapa menit yang lalu. Evelyn yang hendak melepas baju mengurungkan niatnya. Sedikit berdebar karena pesan itu datang dengan tiba-tiba. [Kenapa?]Wanita itu membalasnya singkat. Ia mengempaskan pantatnya pada pinggiran ranjang, lalu menyalakan Air Conditioner demi membuang gerah di badan.Dan tak lama setelah itu, teleponnya bergetar. Daripada berbalas pesan, ternyata Damian lebih senang bertelepon. Ketika alat komunikasi itu tertempel di salah satu daun telinga, suara berat pria di ujung telepon sana segera menyapa indera pendengarannya. "Aku tadi melihatmu di jalan dan terus saja memikirkanmu karena khawatir. Tadinya aku ingin memberimu tumpangan, tapi aku tidak bisa."Mendengar kalimat si pria, Evelyn terdiam selama beberapa saat untuk mencerna maksudnya. Ah, rupanya Damian melihat dirinya di jalan tadi. Ia memang baru saja pulang dari kampus tempat dirinya menimba ilmu. Setitik getaran hangat men
Suara dering dari ponsel di atas meja sukses mengganggu fokus Damian dari layar monitor laptop miliknya. Ia melirik sejenak ke layar ponsel, kernyit di dahi tercipta setelah membaca sebaris nama seseorang yang menghubungi.Tangan kiri itu meraih sebuah earphone wireless yang terletak tak jauh darinya kemudian ia sumbatkan ke salah satu telinga sebelum memulai percakapan dengan seseorang di seberang sana. "Ya?" "Kau ada di kantor sekarang?" suara berat pria yang menghubunginya bertanya. Dialah Aksa Wijaya. "Iya. Kenapa kau bertanya?" Damian menjawab tanya itu dengan tanya lainnya. Mencoba efisien terhadap pekerjaan, tatapan mata biru itu kembali menelaah sesuatu di dalam layar laptop. Jari-jemarinya tentu kembali aktif menari di atas papan ketik."Syukurlah ... kau sedang tidak sibuk, bukan? Aku akan ke sana dalam beberapa menit. Tunggu aku, ya?" setelah berucap begitu, Aksa mengakhiri panggilannya begitu saja, sesuatu yang berhasil membuat Damian terkekeh di tempatnya."Sialan! Seen
Gerbang sekolah Taman Kanak-kanak menyambut pandangan mata birunya. Damian memang berinisiatif menjemput Luna, maka ia datang lebih cepat dari waktu biasanya Burhan menjemput sang putri.Hari-hari paling menyebalkan telah berlalu dan Damian kini telah kembali pulih seperti sedia kala. Ia sembuh dengan cepat, beruntung hasil pemeriksaan terakhir menunjukkan bahwa dirinya telah benar-benar sehat. Seiring stres yang berkurang, dirinya pun semakin tersenyum lepas.Damian menepikan mobilnya di seberang jalan. Masih ada beberapa menit lagi sebelum bel pulang sekolah putrinya berbunyi dan ia memilih untuk menelepon Evelyn. Ah, mengingat seraut wajah itu membuat senyum si pria semakin cerah saja. Ia segera meraih ponsel di saku celana, segera mencari kontak nomor si wanita tercinta untuk melakukan panggilan. "Halo?" dan dari ujung telepon sana, suara merdu yang sangat Damian hafal menyapa telinganya."Aku sedang berada di depan sekolahan Luna. Jika aku menjemputnya, kau tidak keberatan, buka
Angin malam yang berembus tak mengurangi keyakinan pria dewasa itu. Meski dingin menggigit, tak membuat nyalinya menciut. Ah, bahkan andai angin topan yang bertiup pun akan dirinya terjang sekarang. Semua ia lakukan demi putra satu-satunya. Bennedict Alexander baru saja menuruni mobilnya, kini berdiri tepat di depan gerbang kediaman keluarga dari wanita yang putranya cinta. Ia sudah memikirkan matang-matang tentang keputusannya ini, ia akan bertindak. Ia hanya berharap bahwa keberuntungan akan menyertainya malam ini.Tangan kanannya terangkat demi memencet bel. Dan tak berselang lama, sang Tuan rumah keluar dari pintu utama. Pria baya itu memandang ke arahnya lengkap dengan kening berkerut, pun raut muka terkejut. Bennedict segera mempersiapkan diri jika seandainya Burhan Adhitama kembali naik pitam atas kedatangannya."Untuk apa Anda datang malam-malam begini?" Burhan menggeser gerbang saat bertanya dengan nada ketus.Bennedict menatap tepat di mata sebelum mengutarakan tujuan kedat
Selembar tisu yang pada awalnya putih bersih kini dihiasi bercak merah terang. Darah yang mengalir dari luka di jari Evelyn adalah sesuatu yang mewarnainya. Ternyata ia menggores jarinya terlalu dalam.Seraya mencoba menghentikan perdarahan dengan membalut lukanya menggunakan tisu, wanita itu datang menemui ayahnya di ruang keluarga. Pria baya itu sudah menunggu dirinya sedari tadi seraya melihat acara di televisi. "Duduklah, Papa ingin berbicara." Burhan Adhitama segera membuka kalimat ketika Evelyn sudah mendekat. Ia menepuk permukaan sofa lembut di sisinya."Di mana Luna?" Wanita beranak satu itu mendudukkan diri di sisi ayahnya, sesuai perintah."Sudah masuk ke kamar dengan Mama, Papa hanya ingin berbicara empat mata denganmu." Kernyit tercipta di dahi Burhan ketika pada akhirnya ia melihat jari Evelyn terbungkus tisu bercorak merah. "Apa yang terjadi dengan tanganmu?""Aku tak sengaja melukainya saat mengiris apel."Mata tua Burhan kini menyorot dalam pada kedua mata putrinya, s
Mentari telah hampir tenggelam seluruhnya ketika Bennedict Alexander sampai di parkiran hotel tempat Damian menginap. Putranya telah mengirimkan alamat hotel itu hampir satu jam yang lalu, maka setelah urusannya selesai, pria baya nan tampan itu segera meluncur ke sana."Tinggalkan saja mobilnya di sini, kalian boleh kembali ke Jakarta." Bennedict berucap demikian setelah turun dari mobil yang ia naiki."Siap, Tuan! Ini kunci mobilnya." Satu orang yang menjadi pemimpin kaki-tangannya, pun seseorang yang tadi mengemudikan mobilnya menyerahkan kunci. Dua orang lainnya berdiri siaga di belakang pria itu. Sedangkan Bennedict menerima kunci mobilnya begitu saja, lalu memasukkannya ke dalam saku celana sebelum berbicara. "Kerjakan tugas kalian dengan baik selama saya tidak ada di tempat," perintahnya. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh orang-orangnya kemudian kembali bersuara. "Yang harus kalian ketahui, meskipun saya tidak berada di sana, saya masih akan tetap memantau kinerja kalian. Ja
Damian Alexander adalah seseorang yang lebih dahulu keluar dari pintu restoran tempat dirinya dan sang ayah mengisi perut siang ini. Setelah mereka angkat kaki dari rumah Burhan Adhitama, Bennedict Alexander memang berinisiatif mengajak putranya untuk mampir makan siang terlebih dahulu. Sebagai ayah, tentu Bennedict merasa khawatir melihat tubuh sang putra semakin kurus setiap harinya.Dan di sinilah mereka, di area parkir restoran yang cukup luas di tengah terik sang surya. Si pria muda berdarah Jerman itu masuk ke dalam mobil hitam yang ia sewa selama tinggal di Surabaya dengan tanpa kata. Melihat putranya telah berada di balik kemudi, Bennedict segera memberikan perintah pada seseorang yang sedari tadi mengikuti di belakang punggungnya."Tunggu di mobil, saya akan segera kembali."Perintah diterima, pria tinggi berjas abu-abu itu mengangguk patuh. "Baik, Tuan."Selanjutnya Bennedict bergegas menuju mobil putranya. Ia membuka pintu penumpang bagian depan, ikut masuk ke dalam mobil k
Kacamata hitam itu ia lepas kasar lalu diselipkan pada saku jas. Selanjutnya hela napas rendah terembus ketika ia mencoba bersikap tenang. Ya, ia harus tetap mampu mengontrol emosinya kendati ia cukup merasa kesal ketika melihat tingkah si putra semata wayang di depan sana.Pria matang itu adalah Bennedict Alexander. Ia datang dan mengikuti Damian sesuai janjinya; ia akan membantu putranya untuk meraih kebahagiaan. Dan kebahagian cetak biru dirinya itu adalah bersatu dengan Evelyn beserta Luna, maka sebagai seorang ayah tentu ia akan mengusahakannya dengan cara apa pun agar mampu mewujudkan impian sang putra.Sejujurnya Bennedict memiliki alasan yang kuat selain karena kasih sayangnya sebagai seorang ayah sehingga repot-repot datang ke Surabaya. Ia merasa bersalah. Ia sadar bahwa setelah kematian Darren Alexander, ia memperlakukan Damian dengan semaunya. Kasarnya, ia ingin menebus kesalahannya pada si putra bungsunya itu.Langkah panjang itu memutus jarak dengan tenang, lalu berdiri d
"Kau harus selalu mengingat apa kata Psikolog padamu." Obrolan itu mengalir di sela perjalanan menuju ke tempat parkir. Satu sesi konseling telah terlewati, dan kini mereka hendak kembali ke rumah."Iya." Pria berwajah oriental itu mengangguk, menyelaraskan langkah kaki dengan sang ibu, melewati jalan paving berpayungkan teduhnya pohon Tabebuya di sekitarnya."Jangan hanya diingat, kau harus melakukannya juga, Aksa." Lian Wijaya menyempatkan dirinya menatap sisi wajah tampan nan tirus itu, lengkap dengan ekspresi serius.Namun, putranya itu justru terkekeh kemudian berhenti melangkah demi memberikan atensi penuh pada wajah ibunya. "Baiklah, Mama. Aku akan melakukannya. Jangan khawatir begitu.""Kau satu-satunya putra Mama, Aksa. Mama hanya khawatir.""Aku tahu." Anggukan kepala Aksa berikan sebelum menyimpan kedua tangan di saku celana, bibir tipisnya mengukir senyum simpul. "Maaf karena aku sudah membuat Mama khawatir begini. Aku akan segera sembuh, seperti apa yang Psikolog katakan
"Kau sangat menyedihkan, Aksa!" kalimat itu lolos dari mulutnya ketika melihat pantulan dirinya sendiri di dalam cermin.Tatapan mata sehitam jelaga itu tak lagi berkharisma. Bagian bawah matanya yang menghitam menjadi bukti bahwa akhir-akhir ini pria itu tak pernah mendapati tidur yang nyenyak. Aksa Wijaya tampak kurus setelah gagal menikah. Dan kondisinya semakin memprihatinkan setelah menerima telepon dari Evelyn beberapa hari lalu.Suara ketukan di pintu kamarnya membuat atensi Aksa teralihkan. Sosok ibunyalah yang muncul dari balik daun pintu, menatap khawatir padanya."Mama," lirihnya.Lian Wijaya, ibunda Aksa mengalihkan tatapan mata pada nakas di sisi ranjang anaknya. Semangkuk sup jamur dan segelas air putih di atas nampan yang ia letakkan di sana pagi tadi tampak sedikit pun tak tersentuh. Sorot mata tua nan sipit itu seketika berubah sendu ketika mulai memutus jarak pada pria yang masih setia berdiri di depan cermin almarinya. "Kenapa sarapanmu masih utuh, Aksa?""Aku sedan
Setelah pesawat yang ia naiki mendarat di Bandara pagi ini, Damian segera menuju ke alamat rumah sakit yang ayahnya katakan di telepon. Ya, mau tidak mau pria itu pulang ke Jakarta. Bukan karena rasa takut, ia hanya merasa bersalah pada perempuan yang nyaris akan menjadi istrinya itu.Kedua orang tuanya sudah ada di kursi tunggu yang terletak di depan ruang perawatan Kiara Laurencia ketika langkah kaki panjang si pria menjejak di sana. Ada sosok ibunda si pasien yang duduk di sisi Sasmitha Alexander; ibunya. Dari raut wajah senja itu, Damian mampu melihat kabut duka yang pekat.Apakah ... kondisi Kiara begitu parah?Meski anak-anak mereka tak jadi menikah, namun ibu Kiara masih berhubungan baik dengan keluarga Damian. Pun keluarga pria itu pun memperlakukan mantan calon besannya serupa, mereka sudah bagaikan keluarga. "Damian, akhirnya kau datang." Sasmitha yang akhirnya lebih dulu menyadari kedatangan sang putra segera menyapa.Bennedict yang melihat wajah Damian kembali babak belur