Gaun berwarna dusty pink nan anggun bak Princess Aurora yang awalnya Kiara kenakan untuk pemotretan kini telah tanggal, berganti dengan gaun yang lebih simpel. Perempuan itu berlari kecil menuju ke arah Damian yang sedang duduk pada salah satu kursi yang posisinya tak jauh dari lokasi dengan senyum merekah di bibir."Lama menungguku?" tanyanya setelah mendaratkan sebuah kecupan singkat di bibir Si calon suami."Yah, tidak terlalu. Pekerjaanku sedang tidak terlalu padat, jadi aku berpikir untuk menjemputmu lebih cepat." Dengan senyum yang selalu tampan menawan, Damian menjawab pertanyaan si perempuan. "Apa kau lelah? Aku membawakanmu ini." Kemudian ia memberikan sebotol minuman isotonik padanya. "Kau benar-benar membuatku senang. Terima kasih, Sayang. Kau sangat perhatian. Kebetulan, aku memang sedang kehausan." Lengkungan bibir Kiara semakin melebar ketika menerima minuman dingin itu. Apalagi saat menyadari bahwa Damian telah membukakan tutup botol untuknya. Ia meneguk isinya pelan-p
[Hei, kau sudah sampai rumah?]Itu adalah pesan yang dikirim dari nomor Damian, beberapa menit yang lalu. Evelyn yang hendak melepas baju mengurungkan niatnya. Sedikit berdebar karena pesan itu datang dengan tiba-tiba. [Kenapa?]Wanita itu membalasnya singkat. Ia mengempaskan pantatnya pada pinggiran ranjang, lalu menyalakan Air Conditioner demi membuang gerah di badan.Dan tak lama setelah itu, teleponnya bergetar. Daripada berbalas pesan, ternyata Damian lebih senang bertelepon. Ketika alat komunikasi itu tertempel di salah satu daun telinga, suara berat pria di ujung telepon sana segera menyapa indera pendengarannya. "Aku tadi melihatmu di jalan dan terus saja memikirkanmu karena khawatir. Tadinya aku ingin memberimu tumpangan, tapi aku tidak bisa."Mendengar kalimat si pria, Evelyn terdiam selama beberapa saat untuk mencerna maksudnya. Ah, rupanya Damian melihat dirinya di jalan tadi. Ia memang baru saja pulang dari kampus tempat dirinya menimba ilmu. Setitik getaran hangat men
Suara dering dari ponsel di atas meja sukses mengganggu fokus Damian dari layar monitor laptop miliknya. Ia melirik sejenak ke layar ponsel, kernyit di dahi tercipta setelah membaca sebaris nama seseorang yang menghubungi.Tangan kiri itu meraih sebuah earphone wireless yang terletak tak jauh darinya kemudian ia sumbatkan ke salah satu telinga sebelum memulai percakapan dengan seseorang di seberang sana. "Ya?" "Kau ada di kantor sekarang?" suara berat pria yang menghubunginya bertanya. Dialah Aksa Wijaya. "Iya. Kenapa kau bertanya?" Damian menjawab tanya itu dengan tanya lainnya. Mencoba efisien terhadap pekerjaan, tatapan mata biru itu kembali menelaah sesuatu di dalam layar laptop. Jari-jemarinya tentu kembali aktif menari di atas papan ketik."Syukurlah ... kau sedang tidak sibuk, bukan? Aku akan ke sana dalam beberapa menit. Tunggu aku, ya?" setelah berucap begitu, Aksa mengakhiri panggilannya begitu saja, sesuatu yang berhasil membuat Damian terkekeh di tempatnya."Sialan! Seen
"Kau mau ke mana malam-malam begini, Eve?"Satu pertanyaan itu menghentikan ayunan langkah kakinya. Saat Evelyn menoleh, Karenina tampak duduk nyaman di sofa ruang keluarga. Mengabaikan acara televisi yang ditonton, Kakak iparnya itu tak berhenti menatapnya dengan raut penuh tanya."Aksa memintaku menemaninya menghadiri pesta ulang tahun temannya, Kak. Aku sedang menunggu dia menjemputku." Tentu Evelyn menjawab dengan sejujurnya. Wanita itu sudah tampil begitu manis dengan gaun model kamisol yang memiliki panjang di bawah lutut, dipadukan dengan cardigan berwarna merah hati. Rambut panjang itu dibiarkan tergerai dengan tatanan ikal pada bagian bawahnya, dan riasan natural andalannya melengkapi betapa sempurnanya dirinya malam ini."Astaga, berani sekali dia membuat adikku yang cantik ini menunggu lama!" Karenina segera bangkit berdiri lalu melangkah panjang menghampiri Evelyn dengan sedikit hentakan kaki. Tentu reaksinya itu ditujukan pada kalimat terakhir si adik ipar."Tidak apa-apa
"Aku menyukai gedung pertama yang kita datangi, bagaimana menurutmu? Mulai dari bentuk, bahkan hingga akses jalan, semuanya benar-benar sesuai keinginanku." Suara merdu itu sukses membuat Damian berulang kali menebar senyum kendati tak mampu melihat langsung wajah jelita wanita tercintanya, Kiara Laurencia. "Aku akan menyukainya jika kau menyukainya, Sayang." Pria itu menaikkan kedua kaki ke atas meja, menyilangkannya di sana. Sedangkan punggungnya ia dorong pada sandaran kursi kerja empuknya, menyamankan diri."Kau benar-benar manis, Dam. Sejujurnya aku masih ingin bersamamu, tapi kau malah harus ke kantor padahal ini hari minggu!"Ah, bila tebakan Damian benar, pasti saat ini Kiara sedang cemberut. Perempuan itu pasti merasa kesal saat dirinya terpaksa harus berangkat ke kantor secara mendadak dan meninggalkan tunangannya itu di depan gedung studio pemotretan. Sesuai janji, ia dan Kiara telah menyurvei beberapa lokasi yang rencananya akan mereka sewa untuk pesta pernikahan di akhi
"Ini sudah hari ke dua, bagaimana rasanya akan kembali bekerja?" Aksa membuka tanya di tengah perjalanan menuju ke Food'o Clock, restoran milik Arjuna yang merupakan tempat Evelyn mengambil kerja sampingan. Meski sedang mengemudi, namun sesekali pria itu kedapatan melirik ke arah wanita di sisinya. "Yah, cukup mendebarkan. Namun, aku begitu menikmatinya. Dahulu ketika di Surabaya, aku pun beberapa kali membantu Papa dan Mama di balik meja kasir." Jawaban itu teralun lancar pun disertai senyuman."Wah, kau cukup berpengalaman ternyata?" wajah si pria dibuat antusias, kekehan kecil meluncur sembari ia memutar kemudi berbentuk bundar."Tidak juga.""Karena kau sekarang sudah bekerja di Food'o Clock, aku jadi bingung harus mengajakmu ke mana untuk menepati janjiku menikmati es krim bersama?"Dan atas ucapan Aksa, Evelyn tertawa ringan. "Astaga! Kau masih saja memikirkan janji itu?""Janji adalah hutang, Eve. Sebelum hal itu terlaksana, aku tidak akan bisa begitu saja melupakannya." Namun,
Irama musik jazz yang tersaji seakan menambah kenikmatan sajian lezat di atas meja. Restoran masih begitu ramai meski jarum jam terus berputar mengantarkan malam yang semakin larut.Di salah satu meja, Kiara tampak menikmati steak daging sapi pesanannya dengan tenang. Meski begitu, atensi perempuan itu sesekali melirik ke arah Sang tunangan yang duduk berhadapan dengannya. Walaupun makanan yang mereka pesan telah tersaji rapi di hadapan, namun entah kenapa Damian seakan enggan untuk menyantapnya. Pria itu hanya menyesap wine sambil sesekali menatap sang penyanyi di atas panggung kecil di depan sana."Kau tidak makan?" Kiara pada akhirnya memberikan tanya setelah terlebih dahulu membasahi kerongkongannya dengan jus jeruk. Yang ditanya terlihat seakan tersentak. Tetapi, perlahan pria itu tersenyum manis. "Tentu saja aku akan makan, Sayang.""Lalu, kenapa dari tadi hanya diam?" sambil memotong steak di atas piring, wanita itu bertanya lagi.Dan embus napas beratlah yang kemudian terden
"Selamat sore, Eve ...."Wanita yang baru saja melayani pelanggan itu segera menoleh saat namanya disebut. Ketika dirinya mengetahui siapa pemilik suara berat itu, bibir tipis berlipstik merah muda itu mengurva senyum tipis dari tempatnya, di belakang meja kasir."Kau datang terlalu cepat, Aksa," ujar Evelyn seraya menepi guna mendekati posisi pria itu berdiri."Pekerjaan di kantor telah selesai lebih awal, makanya aku langsung saja ke sini. Aku tidak ingin membuatmu menunggu." Aksa turut membagi senyum dengan kedua tangan terselip di saku celana."Ya sudah. Lebih baik kau duduk dulu, aku akan berkemas, jam kerjaku sudah hampir selesai." "Tentu."Setelah mendapatkan persetujuan, wanita itu beranjak dari meja kasir menuju ke bagian dalam restoran. Sedangkan Aksa memilih untuk duduk dengan nyaman pada meja kosong tak jauh dari pintu keluar.Menit demi menit berlalu, pria itu memilih untuk memainkan ponselnya demi membunuh waktu. Namun, suara lembut yang membelai telinga telah sukses me
Damian Alexander adalah seseorang yang lebih dahulu keluar dari pintu restoran tempat dirinya dan sang ayah mengisi perut siang ini. Setelah mereka angkat kaki dari rumah Burhan Adhitama, Bennedict Alexander memang berinisiatif mengajak putranya untuk mampir makan siang terlebih dahulu. Sebagai ayah, tentu Bennedict merasa khawatir melihat tubuh sang putra semakin kurus setiap harinya.Dan di sinilah mereka, di area parkir restoran yang cukup luas di tengah terik sang surya. Si pria muda berdarah Jerman itu masuk ke dalam mobil hitam yang ia sewa selama tinggal di Surabaya dengan tanpa kata. Melihat putranya telah berada di balik kemudi, Bennedict segera memberikan perintah pada seseorang yang sedari tadi mengikuti di belakang punggungnya."Tunggu di mobil, saya akan segera kembali."Perintah diterima, pria tinggi berjas abu-abu itu mengangguk patuh. "Baik, Tuan."Selanjutnya Bennedict bergegas menuju mobil putranya. Ia membuka pintu penumpang bagian depan, ikut masuk ke dalam mobil k
Kacamata hitam itu ia lepas kasar lalu diselipkan pada saku jas. Selanjutnya hela napas rendah terembus ketika ia mencoba bersikap tenang. Ya, ia harus tetap mampu mengontrol emosinya kendati ia cukup merasa kesal ketika melihat tingkah si putra semata wayang di depan sana.Pria matang itu adalah Bennedict Alexander. Ia datang dan mengikuti Damian sesuai janjinya; ia akan membantu putranya untuk meraih kebahagiaan. Dan kebahagian cetak biru dirinya itu adalah bersatu dengan Evelyn beserta Luna, maka sebagai seorang ayah tentu ia akan mengusahakannya dengan cara apa pun agar mampu mewujudkan impian sang putra.Sejujurnya Bennedict memiliki alasan yang kuat selain karena kasih sayangnya sebagai seorang ayah sehingga repot-repot datang ke Surabaya. Ia merasa bersalah. Ia sadar bahwa setelah kematian Darren Alexander, ia memperlakukan Damian dengan semaunya. Kasarnya, ia ingin menebus kesalahannya pada si putra bungsunya itu.Langkah panjang itu memutus jarak dengan tenang, lalu berdiri d
"Kau harus selalu mengingat apa kata Psikolog padamu." Obrolan itu mengalir di sela perjalanan menuju ke tempat parkir. Satu sesi konseling telah terlewati, dan kini mereka hendak kembali ke rumah."Iya." Pria berwajah oriental itu mengangguk, menyelaraskan langkah kaki dengan sang ibu, melewati jalan paving berpayungkan teduhnya pohon Tabebuya di sekitarnya."Jangan hanya diingat, kau harus melakukannya juga, Aksa." Lian Wijaya menyempatkan dirinya menatap sisi wajah tampan nan tirus itu, lengkap dengan ekspresi serius.Namun, putranya itu justru terkekeh kemudian berhenti melangkah demi memberikan atensi penuh pada wajah ibunya. "Baiklah, Mama. Aku akan melakukannya. Jangan khawatir begitu.""Kau satu-satunya putra Mama, Aksa. Mama hanya khawatir.""Aku tahu." Anggukan kepala Aksa berikan sebelum menyimpan kedua tangan di saku celana, bibir tipisnya mengukir senyum simpul. "Maaf karena aku sudah membuat Mama khawatir begini. Aku akan segera sembuh, seperti apa yang Psikolog katakan
"Kau sangat menyedihkan, Aksa!" kalimat itu lolos dari mulutnya ketika melihat pantulan dirinya sendiri di dalam cermin.Tatapan mata sehitam jelaga itu tak lagi berkharisma. Bagian bawah matanya yang menghitam menjadi bukti bahwa akhir-akhir ini pria itu tak pernah mendapati tidur yang nyenyak. Aksa Wijaya tampak kurus setelah gagal menikah. Dan kondisinya semakin memprihatinkan setelah menerima telepon dari Evelyn beberapa hari lalu.Suara ketukan di pintu kamarnya membuat atensi Aksa teralihkan. Sosok ibunyalah yang muncul dari balik daun pintu, menatap khawatir padanya."Mama," lirihnya.Lian Wijaya, ibunda Aksa mengalihkan tatapan mata pada nakas di sisi ranjang anaknya. Semangkuk sup jamur dan segelas air putih di atas nampan yang ia letakkan di sana pagi tadi tampak sedikit pun tak tersentuh. Sorot mata tua nan sipit itu seketika berubah sendu ketika mulai memutus jarak pada pria yang masih setia berdiri di depan cermin almarinya. "Kenapa sarapanmu masih utuh, Aksa?""Aku sedan
Setelah pesawat yang ia naiki mendarat di Bandara pagi ini, Damian segera menuju ke alamat rumah sakit yang ayahnya katakan di telepon. Ya, mau tidak mau pria itu pulang ke Jakarta. Bukan karena rasa takut, ia hanya merasa bersalah pada perempuan yang nyaris akan menjadi istrinya itu.Kedua orang tuanya sudah ada di kursi tunggu yang terletak di depan ruang perawatan Kiara Laurencia ketika langkah kaki panjang si pria menjejak di sana. Ada sosok ibunda si pasien yang duduk di sisi Sasmitha Alexander; ibunya. Dari raut wajah senja itu, Damian mampu melihat kabut duka yang pekat.Apakah ... kondisi Kiara begitu parah?Meski anak-anak mereka tak jadi menikah, namun ibu Kiara masih berhubungan baik dengan keluarga Damian. Pun keluarga pria itu pun memperlakukan mantan calon besannya serupa, mereka sudah bagaikan keluarga. "Damian, akhirnya kau datang." Sasmitha yang akhirnya lebih dulu menyadari kedatangan sang putra segera menyapa.Bennedict yang melihat wajah Damian kembali babak belur
Hal terakhir yang Damian ingat adalah pukulan Hiashi yang begitu kuat, selanjutnya kegelapan yang menyergap penglihatannya. Kini kepalanya terasa berdenyut-denyut, sangat tidak nyaman, menyakitkan. Bukan, bukan karena tinjuan si pria baya yang membuatnya kehilangan kesadaran. Ia tidak selemah itu. Hanya saja, tubuhnya memang sedang tidak dalam stamina yang baik hari ini, dan kebetulan pukulan terakhir dari ayah wanita yang ia cintai itu mengarah tepat di kepala. Ia goyah, dan ia tidak mengingat apa pun lagi setelahnya.Selanjutnya pria itu perlahan membuka mata, detik selanjutnya cahaya perlahan masuk ke retina matanya dan ... ia tersenyum. Meskipun samar, ia dapat mengenali sosok itu, sosok wanita berambut panjang yang duduk di sisi ranjang tempatnya berbaring dalam ruangan yang asing, kamar tamu jika tebakannya benar. Suara isak yang terdengar menguatkan dugaan si pria bahwa wanita itu tengah menangis. Ya, menangisi dirinya. Ada rasa hangat yang perlahan merambat di dada ketika me
Evelyn memang tergolong wanita yang rajin. Meski udara masih terasa dingin menggigit, ia sudah tampak beraktivitas di luar rumah. Ada sapu di tangannya, ia sedang membersihkan daun-daun kering yang berguguran di halaman."Masih pukul 6, apakah Aksa sudah bangun?" Wanita itu berujar pada diri sendiri, sejenak menghentikan gerakannya.Sekian detik berlalu, akhirnya Evelyn memutuskan untuk menelepon. Ia mengambil ponsel di saku celana, mencari kontak pria yang ingin ia hubungi kemudian menempelkannya di salah satu daun telinga.Dan tak lama kemudian terdengar suara dari ujung telepon sana, suara berat yang tak asing di telinga Evelyn."Hm." Hanya satu dehaman. Ya, hanya sebuah dehaman, namun hal itu cukup membuat jantung Evelyn berguncang, berdetak menyakitkan. Rasa bersalah itu kembali datang menyerang."Aksa, bagaiman—""Kukira kau sudah tak lagi mengingatku." Aksa sengaja memotong ucapan Evelyn. Meski dikatakan dengan nada biasa, namun tak mampu menutupi kegetiran di dalamnya.Di saat
Cinta memang mampu membuat orang waras menjadi gila. Damian tak pernah merasa tenang sebelum bisa memiliki Evelyn, pun sang putri. Setidaknya ... ia harus sesegera mungkin menemui mereka, terutama si wanita pemilik hatinya. Ia ingin meminta penjelasan atas ucapan wanita itu tempo hari, perkataan yang sukses membuat hatinya hancur berkeping.Meskipun sang ayah berkata akan membantunya mendapatkan kedua perempuan yang ia cintai di dunia, namun ia bukanlah pria manja yang hanya menunggu bala bantuan tanpa usaha. Ia akan berjuang dengan tenaga dan tangannya sendiri.Malam itu juga Damian putuskan untuk mendatangi Arjuna di kediamannya. Tepat setelah menepikan mobil, ia bergegas turun kemudian menghampiri satpam yang berjaga di dekat gerbang hunian megah itu."Selamat malam, bisakah saya bertemu dengan Tuan Arjuna?" pria bertubuh tegap nan menjulang tinggi itu bertanya di balik pintu gerbang ketika dua satpam mulai datang mendekat atas kehadirannya."Selamat malam, Tuan. Apakah Anda sudah
Suasana hangat itu sudah tidak lagi Evelyn rasakan. Meskipun kini mereka tengah berkumpul di meja makan, namun hanya berteman keheningan. Setiap anggota keluarga sibuk dengan hidangan pun pikirannya masing-masing.Jujur saja Evelyn merasa tak nyaman dengan kondisi yang seperti ini. Arjuna kentara masih menyimpan kebencian padanya. Meskipun duduk di meja yang sama, pria berambut gondrong itu sedikit pun tak melihat ke arahnya, seakan kehadirannya tak pernah ada."Kak Juna tidak ingin mencicipi capcaynya? Aku sendiri yang memasaknya, loh." Evelyn mencoba membuka obrolan pada akhirnya. Ia hanya ingin mencairkan kebekuan di antara mereka.Capcay adalah makanan kesukaan pria itu. Tentu saja ia berharap jika Arjuna akan memberikan respons atas ucapannya, pun sedikit apresiasi atas sajian makanan yang ia buat khusus untuknya.Namun, ekspektasi memang sering kali tak sesuai fakta. Arjuna nyatanya tak sedikit pun mengindahkan ucapan Evelyn. Ia acuh tak acuh dan justru menyendokkan lauk lain ke