"Dia siapa, Ma?" Entah kenapa aku gugup sendiri saat tanya itu mencuat. Aku belum berani melihat jelas wajahnya. Sampai Bu Tya memperkenalkanku padanya. "Ning, kenalkan ini anak sulung saya, Zen Maulana. Zen, ini Ning yang mau bantu mama bersih-bersih rumah. Dia juga mau kerja di kantin kampus." Aku yang baru saja menginjakkan kaki di anak tangga terakhir terlonjak kaget. Nama itu, tidak asing bagiku. Apa hanya sebuah kebetulan nama lengkapnya sama. Aku memberanikan diri melihat wajah anak sulung Bu Tya. Seketika kotak yang kupegang jatuh membuat isinya berhamburan. Rasa-rasanya kepalaku bagai dihantam palu. Aku tidak menyangka akan bertemu laki-laki masa lalu di rumah besar ini. Nasib yang menurutku baik bertemu Bu Tya ternyata disertai kejutan besar bertemu orang yang membuatku tidak tenang di tiga tahun terakhir hidupku. "Zen? Dia benar-benar Zen yang sama, Zen Maulana." Tanganku mendadak tremor. Bulir keringat sebesar biji jagung bermunculan. Bahkan tenggorokan terasa tercekat. Aku dilanda ketakutan seperti seorang penjahat yang menanti eksekusi hukuman. Pandangan mulai mengabur dan gelap. Lutut lemas seolah tak bertulang, aku terhuyung. Sebelum kesadaranku hilang, sayup-sayup telingaku menangkap suara. Nama panggilan yang biasa Zen sebut untukku. "Han!" Simak ceritanya, yuk.
View MoreExtra Part 2"Cari siapa, ya, Mbak?" tanya Zen yang berdiri diambang pintu. Wanita berambit panjang dikuncir itu membalikkan badan. "Zen." "Hah, Vina? Kamu, benar Vina?" Zen segera menjawab salam dari Vina. Wanita bernama Vina itu kini hamil besar seperti Ning istrinya. Wajahnya memang masih sama cantik seperti dulu. Namun, tidak ada pancaran keceriaan dari sorot matanya. Yang ada, Zen melihat Vina berwajah sendu. "Boleh aku duduk?" ucapnya membuat Zen terkesiap. "Iya, Silakan duduk. Aku minta bibi buatkan minum dulu." "Nggak usah, Zen. Aku buru-buru, pesawatku dua jam lagi." "Hmm, memangnya kamu mau kemana?" "Yah, siapa tamunya?" Ning berjalan tertatih dari dalam rumah. Begitu netranya memandang siapa yang duduk di seberang sang suami, Ning merasa degup jantungnya bertalu. "Mbak Vina?!" "Bun, duduk dulu. Iya ada Vina. Katanya terburu mau ke bandara." "Mbak Vina sendiri? Suaminya?" Vina yang ditanya tentang suami justru matanya berkaca-kaca. Terlihat ia menarik napas panjan
Extra Part 1Dua setengah tahun kemudian. Pagi yang cerah, Ning terlihat berjalan tertatih di teras rumahnya. Sebulan terakhir, ia menekuni hobi barunya yaitu merawat bunga. Sembari menemani si kecil Andina yang berusia dua tahun, ia menantikan kelahiran anak keduanya. Sepertinya Zen terlalu bersemangat supaya rumahnya ramai dengan anak kecil, hingga saat Andina berusia 16 bulan, Ning diberi amanah hamil anak kedua. "Sayang, jangan terlalu banyak berdiri. Kalau merasa kecapekan duduklah!" pinta Zen seraya melingkarkan sepasang lengannya di perut Ning yang sudah membuncit. HPLnya tinggal lusa Zen susah siaga di rumah dan memilih tidak ke kampus. "Ayah kenapa nggak ke kampus saja? HPL bunda masih lusa," bujuk Ning. Tangannya masih memegang selang untuk menyirami bunga-bunga yang baru dibeli kemarin. Sementara satu tangan lagi berusaha melepas belitan lengan kiri Zen. Namun, lelaki yang semakin matang diusianya itu tidak mau melepaskan pelukannya. "Yah, ada bibi sama Andina nanti," k
Bab 51 Cinta dalam doa (Ending)"Zen, bangun! Zen! Sudah siang masak masih ngorok, malu sama mertuamu." Suara Bu Tya terasa merdu di telinga Zen. "Hah, Papa, Mama." Zen tergagap dari bangunnya. Ia menoleh ternyata benar selain papa mamanya, juga ada mertuanya. "Eh Bapak, Ibu. Maaf Zen ketiduran." "Di mana, Ning, Nak?" tanya Bu Romlah dengan mengulum senyum melihat wajah bantal menantunya. Pak Rahmat dan Pak Maul hanya saling pandang dan melempar senyum. "Pasti Zen kayak kamu, Ul," celetuk Pak Rahmat. "Nggak lah, aku rajinlah, Mat." Beberapa menit kemudian, Ning dan Zen sudah duduk di ruang keluarga bersama orang tua dan mertuanya. "Alhamdulillah Ning hamil lima minggu, Pak, Bu," ucap Ning dengan senyum tersungging. "Iya, Ma, Pa. Mama benar, prediksinya jitu," ujar Zen dengan senyum mengembang. "Semalam Zen muter kota Yogya mencari tahu petis. Astaghfirullah, ibu hamil ternyata mintanya aneh-aneh," curhat Zen. Para orang tua pun tertawa mendengarnya. "Itulah Zen, papa sama Pak
Bab 50 Ngidam"Pa, kita mau jadi eyang." Suara berisik dari seberang membuat kening Zen berkerut. "Ishh, Papa dan Mama malah heboh ngomongin apa, sih? Halo, Ma. Halo...., Astaghfirullah. Harus tambah Sabar, Zen momong istri dan orang tua," guman Zen menghibur diri. Setelah melempar ponsel ke nakas, beberapa detik kemudian terdengar panggilan kembali. Zen berdecak kesal karena mamanya malah ngobrol dengan sang papa. "Ya, Ma." "Istrimu mual-mual kan, Zen?" "Ya, Ma. Dari tadi Zen kan dah cerita panjang lebar. Bahkan, Hani menanak nasi saja langsung mual saat mencium bau uapnya di dapur," lapor Zen. "Belikan tespek, sekarang." "Apaan, Ma?" "Ckk, nih anak sudah jadi dosen masak nggak tahu tespek," dengkus Bu Tya dari seberang. "Iya, untuk apa?" "Istrimu hamil, Zen." "Hah, serius, Ma? Lalu Zen beli tespeknya di mana?" "Astaghfirullah, Pa! Ajarin anakmu ini! Masak tanya beli tespek di mana?" teriak Bu Tya. "Di toko besi," sahut papanya masih bisa terdengar oleh Zen
Bab 49 Hamil "Han, gimana ceritanya kamu nggak jadi sama Pak Hilmi?" "Mau tahu apa mau tahu banget?" "Ckk, serius aku ingin tahu." "Jadi, saat itu...." Saat makan malam yang dijanjikan, Hilmi datang membawa Nastia. Ning memberanikan diri mengutarakan isi hatinya. "Pak Hilmi, maaf sebelumnya. Saya tidak bisa menerima lamaran Bapak." "Kenapa, Han? Apa kurangnya saya, sampai kamu menolak?" "Bapak tidak kurang suatu apapun. Bapak sangat baik sama saya dan keluarga. Hanya saja, saya memikirkan kebahagiaan Nastia, Pak. Nastia bukan membutuhkan sosok ibu baru. Dia justru membutuhkan sosok ibu kandungnya." "Apa maksudmu, Han? Jangan bilang kalau kamu menolak saya karena mamanya Nastia." "Ya. Benar, Pak. Maafkan saya kalau salah menilai." "Apa kamu diteror mantan istri saya?" "Bukan mantan, Pak. Mama Nastia masih istri Pak Hilmi, kan?" Hilmi terkejut mendapati Ning tahu yang sebenarnya. "Iya, maksud saya sebentar lagi ibunya Nastia akan berpisah dengan saya.". "Saya mohon Pak Hil
Bab 48 Menikah "Astaghfirullah, kenapa liputan beritanya seperti ini?" "Ada apa, Mbak Ning?" Amir mendekati kakaknya untuk membantu menjawab. "Maaf, acara lamaran ini adalah lamaran kakak kami Mbak Titin dan Mas Eko, bukan Mbak Ning. Kalian salah besar." "Oh begitu? Lalu lamaran bos keripik singkong ini kapan dilakukan? Apa calonnya masih sama dengan seorang dosen yang berstatus duda?" "Maaf, itu biar kakak saya yang menjawab," balas Amir. Ning mengedarkan pandangan, netranya menangkap ada Zen dengan pakaian kemeja navy rapi dipadu celana katun warna hitam. Rambutnya sudah dipotong cepak dan jambangnya sudah dipangkas habis. Ning benar-benar melihat sosok Zen yang dikenalnya sejak enam tahun lalu. "Hmm, itu tanya saja pada laki-laki yang sedang berjalan mengenakan kemeja rapi." Dua wartawan bergegas menghampiri Zen yang tergagap karena dihadang oleh keduanya. "Maaf, Mas. Boleh tahu namanya siapa?" "Ya, saya Zen Maulana tamu di sini. Ada apa ya?" "Ah, Mas nya jangan berbohong
Bab 47 Fakta"Pak Rahmat, Bu Romlah. Papa saya bersalah, papa saya telah berbuat jahat pada keluarga Bapak. Biarkan saja laki-laki tua ini menanggung dosanya. Saya malu punya papa seperti dia." "Zen!" pekik Ning dari lantai atas. Perempuan itu tergesa menuruni anak tangga sambil membetulkan pasminanya. "Apa-apaan, Zen. Mereka orang tuamu. Kenapa kamu berkata kasar padanya?!" Ning menatap nyalang Zen yang wajahnya merah padam. "Han?! Tidak ingatkah kamu apa yang telah dia lakukan padamu. Dia merendahkanmu. Memisahkan kita demi mempertahankan egonya. Papaku egois, Han." "Tidak, Zen. Papamu benar, keluargaku miskin. Tidak sepantasnya kita bersama. Kamu tidak boleh membencinya, Zen. Bukankah kamu pernah berkata padaku, huh." Ning membalikkan pernyataan Zen yang selalu terpatri di memorinya. "Jangan pernah membenci orang tua kita. Apapun keadaannya, mereka sudah mengajarkan pada kita arti hidup dan perjuangan," tegas Ning sambil menatap tajam Zen. Zen tertunduk malu. Kalimat yang dul
Bab 46 Minta Maaf"Terima kasih, Zen." Zen hanya bisa menatap punggung perempuan yang sekarang tampak cantik dan pandai berbicara di depan umum itu. Jelas, Ning masih bersemayam di hatinya. Zen menghela napas panjang. "Haruskah aku merelakanmu untuk laki-laki lain, Han?" Zen meraup wajahnya kasar, lalu melangkah masuk rumah dengan tergopoh. "Zen, siapa gadis tadi?" tanya sang papa yang memutar kursi rodanya di dekat jendela menuju ambang pintu. Zen hanya bergeming. Memilih duduk lalu menyandarkan punggungnya di kursi, kepala Zen menengadah ke atas. "Zen," ulang papanya. "Ya, Pa. Maaf, kepala Zen pusing sekali." "Siapa gadis tadi? Apa dia putri si Mamat?" Mamat adalah panggilan masa kecil Pak Rahmat oleh Pak Maul. Sejak SD keduanya adalah sahabat karib. Hingga kelulusan SMP mereka terpisah karena kepindahan Pak Maul ke kota pelajar mengikuti orang tuanya. "Dia bos keripik singkong itu, ya? Nasib Mamat memang beruntung. Kerja kerasnya mendidik anak dan juga memperbaiki kondisi ek
Bab 45 Tetangga Baru "Selamat ya, Han, atas pencapaiannya. Semoga ilmu yang kamu dapatkan berkah dan bermanfaat untuk orang banyak. Selamat juga bisnismu berkembang pesat." "Terima kasih, Pak Hilmi. Bapak sudah membimbing saya dengan baik." Hilmi mengulas senyum lalu menyalami Pak Rahmat dan Bu Romlah juga Amir. "Terima kasih Pak Hilmi sudah membimbing putri saya hingga menjadi sukses seperti ini," ucap Pak Rahmat. Berkat terapi rutin, ayah Ning bisa berjalan kembali meskipun tidak normal. Keluarga Ning bersyukur perawatan kondisi stroke untuk ayahnya tidak terlambat sehingga bisa cepat pulih sehat kembali. Ning mengedarkan pandangan, netranya sekilas melihat sosok yang mencuri perhatiannya. Ia lalu tersenyum kecut mengingatnya. "Ada apa, Han?" "Itu, dosen baru yang kemarin menolak jadi penguji, Pak. Sepertinya beliau tadi ada di kerumunan itu." "Kamu masih kesal sama beliau, Han?" "Sedikit." "Sudah lupakan saja. Beliau memang unik. Mungkin ke sini juga nyari target sama sepe
"Dia siapa, Ma?" Entah kenapa aku gugup sendiri saat tanya itu mencuat. Aku belum berani melihat jelas wajahnya. Sampai Bu Tya memperkenalkanku padanya."Ning, kenalkan ini anak sulung saya, Zen Maulana. Zen, ini Ning yang mau bantu mama bersih-bersih rumah. Dia juga mau kerja di kantin kampus."Aku yang baru saja menginjakkan kaki di anak tangga terakhir terlonjak kaget. Nama itu, tidak asing bagiku. Apa hanya sebuah kebetulan nama lengkapnya sama. Aku memberanikan diri melihat wajah anak sulung Bu Tya.Seketika kotak yang kupegang jatuh membuat isinya berhamburan. Rasa-rasanya kepalaku bagai dihantam palu. Aku tidak menyangka akan bertemu laki-laki masa lalu di rumah besar ini. Nasib yang menurutku baik bertemu Bu Tya ternyata disertai kejutan besar bertemu orang yang membuatku tidak tenang di tiga tahun terakhir hidupku."Zen? Dia benar-benar Zen yang sama, Zen Maulana."Tanganku mendadak tremor. Bulir keringat sebesar biji jagung bermunculan. Bahkan tenggorokan terasa tercekat. A...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments