Bab 7 Terjebak
Zen berlalu tanpa kata setelah aku mengembalikan buku miliknya ke almari. Sikapnya benar-benar tak acuh padaku. Bahkan senyum sedikit saja tidak terlihat di wajahnya. Benar-benar dingin, wajahnya kayak kulkas 2 pintu.Ya Rabb kuatkan aku. Kenapa begitu cepat Engkau pertemukan aku dengan orang itu. "Bu Tya, mana yang bisa dibantu?" tanyaku saat menghampiri pemilik rumah besar ini di dapur."Oh ini, Mbak. Sayurannya dipotong kecil-kecil ya. Kita bikin sup ayam lauknya udang crispy dan tempe goreng. Menu itu kesukaan anak-anak sejak kecil hingga dewasa masih lahap."Wah senangnya jadi anak-anak, ibu pandai memasak," pujiku pada Bu Tya."Makasih ya Mbak Ning. Simbok yang biasa membantu anaknya lagi demam jadi nggak bisa kemari.""Saya malah senang bisa membantu, Bu.""Ngomong-ngomong, kenapa kamu nhgak melanjutkan kuliah saja? Kenapa mau kerja di kantin kampus?"Sejenak aku terlempar di masa lalu yang menyedihkan bagiku."Mbak, rapot dan ijazahku bisa diambil, nggak?" lirih Amir seolah ingin merengek padaku. Dia tidak berani merengek di depan bapak ibu, apalagi Mbak Titin."Amir mau mendaftar ke SMP, Mbak," ucapnya lagi.Dadaku seolah ditekan kuat hingga terasa sesak. Mendengar rintihan Amir aku tidak tega. Pikiran berk3camuk, uang dari mana untuk mengambil rapot dan ijazah Amir. Rapot dan ijazahku saja masih tertahan di sekolah. Setelah keluargaku kena tipu habis-habisan karena Mbak Titin gagal menjadi model. Hidup kami carut marut. Hanya emosi yang selalu menghiasi hari-hari. Sebab itu, aku memilih diam dan menyelesaikan sendiri masalah yang hadir."Tenanglah, Mir. Mbak akan usahakan ambil ijazah dan rapotmu."Sejak itu, Amir bisa mendaftar ke SMP dengan bebas SPP karena prestasinya. Aku sangat bersyukur anak itu tetap rajin belajar walau hidup susah. Sayangnya, rapot dan ijazahku masih di sekolah sampai saat ini. Tekadku dengan bekerja merantau di Yogya, aku bisa mengumpulkan uang untuk mengambilnya. Siapa yang tahu nanti ada kesempatan aku bisa mendaftar kuliah. Hanya Allah yang Maha Mengetahui. Semoga kuasanya mampu mengubah hidupku."Mbak Ning.""Eh iya, Bu. Maaf." Aku tersenyum sendiri mengingat masa sulit itu. Berharap di kota ini kehidupanku akan berubah. Aku berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengeluh dengan keadaan. Pun menangis oleh pahitnya kenyataan. Bertemu Zen, aku harus bisa membayar kesalahanku padanya. Semoga masih ada pintu maaf untukku.Malam tiba, keluarga Bu Tya berkumpul. Namun tidak ada suaminya. Kata Bu Tya suaminya masih harus bertuhas di luar kota menilai kampus baru. Oh ternyata bapak Zen yang katanya pembantu adalah orang penting di kampus. Benar-benar Zen telah membohongiku. Kesal rasanya dibohongi."Siapa dia, Ma?" tanya laki-laki yang terlihat lebih muda dari Zen. Sepertinya dia adik Zen."Oh, Syam. Ini Ning yang sementara bantu bersih-bersih di rumah. Dia mau kerja di kantin kampus katanya. Besok bisa kamu anter sekalian berangkat ke kampus?"Aku mendongak seraya menatap wajah Syam yang lebih ceria dibanding muka kulkas kakaknya. Keduanya samasama tampan menuruni wajah Bu Tya yang cantik. Atau mungkin ayah merrka juga tampan. Ishh, kenapa pikiranku malah kesitu."Oh, kenalin namaku Syam Maulana. Panghil saja Syam ganteng." Aku terkejut dengan tingkah Syam yang berbeda jauh dibandingkan dengan Zen.Syam terpingkal saat mengenalkan diri. Aku hanya mengulum senyum sambil melirik ke arah Zen yang membuang muka."Haningtyas Sari, Mas. Panggil saja Ning.""Jangan panggil, Mas. Sepertinya kita seumuran, aku 21tahun.""Saya baru 20, Mas.""Tuh kan. Panggil Syam saja. Oya boleh panggil Hani nggak? Biasa kan panggilan sayang itu Han, Hani." Candaan Syam membuatku menegang teringat panggilan Zen khusus untukku saat itu."Hmm, maaf. Saya tidak terbiasa dipanggil dengan sebutan itu. Panggil Ning saja, Syam.""Kan lebih keren dipanggil Hani daripada Ning." Syam masih berusaha protes."Syam. Orangnya nggak suka dipanggil itu kenapa kamu maksa.""Ishh, sama aja dengan Mas Zen. Dia paling nggak suka orang asing panggil Zen. Coba Ning kamu panggil kakakku dengan sebutan apa?""Hmm, Mas Alan.""Tuh, kan. Suka gitu dianya sejak putus hubungan sama gadis desa.""Syam! Hati-hati kalau bicara. Jangan suka ember!""Sudah-sudah, kalian ini nggak di meja makan atau di mana aja suka ribut. Malu dilihat tamu kan?""Lagian Mama, siapa nyuruh dia tinggal di sini. Zen nggak suka orang asing masuk ke rumah kita."Lagi, aku meneguk ludah susah payah. Kulihat Zen beranjak pergi dari meja makan dengan wajah kesal."Zen!" teriak Bu Tya memperingatkan. Namun Zen hanya menoleh lalu meminta maaf."Zen nggak nafsu makan." Zen pergi naik ke lantai dua kamarnya."Jangan dimasukkan hati, Ning. Kakakku memang suka begitu. Setahun ini lagi kena sakit jiwa.""Syam. Jangan menjelekkan saudara sendiri.""Iya, maaf, Ma.""Ayo kita lanjutkan makannya. Ning selesai makan tolong antarkan makan malam Zen ke kamarnya."Aku terkesiap mendengar perintah Bu Tya. Gimana aku bersikap nantinya kalau Zen seperti tadi gara-gara kehadiranku."Ba...baik, Bu.""Jangan khawatir, Ning. Nanti kalau kakakku menyalak, teriak saja. Kamarku di sebelahnya."Aku hanya menyengir kuda merespon ucapan Syam.Selesai makan, aku membawa nampan ke lantai 2 dengan hati-hati. Walau jantung berdegup kencang, aku tetap harus bekerja profesional.Sampai di depan kamar Zen, aku tidak bisa mengetuk pintu karena kedua tanganku memegang nampan. Kulihat nasi, sup dan udang cryspy sudah disiapkan Bu Tya di nampan. Seperti menu yang barusan kumakan. Jadi ingat Amir makan apa di rumah. Mbak Titin, Bapak dan Ibu. Apa kabar mereka. Ah baru juga sehari kangenku sudah terasa."Mas Alan, boleh masuk."Sekali panggil tidak ada balasan. Aku berdecak kesal saat panggilan sampai tiga kali tidak juga di respon. Akhirnya kugedor pakai kaki."Sini aku gedorin," ujar Syam dari arah kamarnya."Mas, buka pintunya." Sekali Syam menyeru ternyata pintu tiba-tiba dibuka dari dalam. Batinku mendecis, nih orang sengaja memang nggak mau buka kalau aku yang minta."Ada apa?" tanyanya dengan suara ketus."Tuh, Ning. Bawa masuk aja trus keluar. Awas macannya kadang jinak kadang menyalak."Kukirik sekilas Zen melototkan mata pada Syam. Adik kakak saling melempar aura sengit. Syam lalu bergegas ke kamarnya kembali."Awas Mas, jangan menakuti anak gadis orang," larang Syam. Aku hanya mengeratkan gigi lalu masuk ke kamar Zen. Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki ke kamar ini. Sebab Bu Tya sendiri melarangku mengambah area privasi putra sulungnya kecuali sang empunya yang meminta.Bunyik pintu tertutup menyentak kesadaranku. Aku menoleh, ternyata Zen mengekoriku. "Ini, saya disuruh Bu Tya mengantarkan makan malam."Hening, seolah aku hanya berbicara dengan diri sendiri. Merasa diacuhkan, gegas aku meletakkan nampan lalu permisi keluar. Namun, saat tangan memutar handle pintu, jantungku berdetak kencang.Astaga, pintunya kenapa nggak bisa dibuka. Aku ketakutan, tetapi tak mau menunjukan pada laki-laki yang aku punggungi. Berusaha memutar handel dan membukanya, tetap saja gagal.Apa yang dilakukan Zen padaku. Apa dia mau menakutiku. Ah, aku tudak boleh takut. Aku bisa berteriak seperti kata Syam tadi. Suara langkah kaki semakin mendekat hingga terdengar lekat di telinga. Aku urung membalik badan karena kulihat sepasang kaki sudah berada tepat di belakangku."Zen, tolong buka pintunya! Jangan gini. Kamu membuatku takut," mohonku.Tanpa diduga kedua tangan Zen sudah mengurungku. Degup jantung kian berpacu, aku memberanikan diri membalik badan. Dengan kedua tangan siaga di depan dada, mana tahu Zen berbuat lebih jauh, aku bisa mendorongnya."Apa tujuanmu kemari? Mau menipuku? Mau menghancurkan nama baikku lagi, hah?!" Pertanyaan beruntun yang keluar dari mulut Zen tidak mampu ku jawab. Nyaliku sudah menciut ditatap tajam manik matanya yang setajam elang."Katakan?! Siapa yang menyuruhmu kemari?!""Zen. Aku....""Jangan sebut nama itu!""Ma... maaf, Mas Alan. Sa... saya. Ough! Sakit."enjoy reading. mampir baca juga kisah best seller DLista,yuk. ISTRI YANG KABUR DI MALAM PERTAMA MENIKAHI ADIK IPAR SENDIRI
Bab 8 Motor atau Mobil"Katakan?! Siapa yang menyuruhmu kemari?!""Zen. Aku....""Jangan sebut nama itu!""Ma... maaf, Mas Alan. Sa... saya. Ough! Sakit."Entah kenapa sakit kepala sebelahku tiba-tiba menyerang kembali. Akhir-akhir ini aku sering merasakannya. Apa mungkin efek kelelahan dan banyak pikiran, entahlah.Aku berharap Zen tidak menduga kalau aku berbohong."Kamu terlalu pintar untuk menipuku lagi. Tidak usah berpura-pura sakit di depanku. Aku tidak akan kena tipu untuk kedua kalinya."Nyes,Ucapan Zen seperti sembilu yang menyayat hati. Aku berusaha menahan luka yang tak kasat mata. Biarlah sakit hatiku mengalahkan peningnya kepala yang teramat sangat. Berusaha menegakkan kepala agar air mata yidak tumpah, aku memberanikan diri menatapnya. Meskipun tatapan Zen masih sedingin es, aku tidak peduli. Aku tidak ingin menangis di depannya.Beberapa kali aku meringis menahan sakit kepala. "Saya tidak sengaja sampai di rumah ini. Bu Tya yang menolong saya waktu kena copet di termi
Bab 9 Siapa yang Penipu (Pov Author)"Dia nggak protes, kok," sanggah Syam pada kakaknya."Mana berani dia protes!" seru Zen."Kita tanya Ning saja. Ning kamu mau naik motor atau mobil?"Dilema merajai hati, Ning merasa takut melirik wajah dua-duanya."Sudahlah, ayo masuk mobil! Saya nggak terima penolakan."Melihat Zen tak acuh masuk mobil duluan, Ning tidak enak hati. Ia tidak mau membuat laki-laki berambut cepak dengan tinggi sekitar 170cm itu murka."Maaf, Syam. Saya ikut mobil Mas Alan ya."Syam berdecak kesal, sia-sia dia mau bersaing dengan kakaknya. Niat hati sampai kampus pamer dengan teman-temannya kalau ada cewek yang bisa dia boncengin. Ujung-ujungnya detngah jalan ditebas niatnya oleh Zen."Mas Zen menyebalkan."Syam menyantolkan helm yang dipakai Ning ke motor. Gegas ia menghidupkan mesinnya lagi dan melajukan motor sportnya menuju kampus. Sempat menyalip mobil kakaknya dengan membunyikan gas kencang. Rasa kesalnya hilang, Syam mendahului mobil itu.Sepanjang perjalanan h
Bab 10 Bercanda"Iya, kamu kira aku baik secara cuma-cuma. Kamu juga harus balas dengan kebaikan dong.""Maksudnya?""Misalnya jadi pacarku gitu.""Apa?!"Syam tiba-tiba terbahak membuat wajah kaku Ning memudar."Bercanda, Ning. Serius amat, sih.""Ishh, nyebelin kamu Syam."Keduanya berjalan menuju kantin FEB, Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Motor Syam sudah dipindahkannya ke parkiran khusus mahasiswa. Kampus yang menjadi impian Ning untuk belajar materi itu merupakan kampus dengan mayoritas mahasiswa menaiki mobil. Entah impiannya akan terwujud atau tidak. Setidaknya Ning sudah pernah mengambah kampus impiannya."Mahasiswa yang kuliah di sini kaya-kaya ya, Syam?" celetuk Ning. Ia masih mengamati mobil yang berjajar di depan gedung. Tahu arah pembicaraan Ning, Syam mengukir senyuman lebar."Ya, nggak semuanya, Ning. Orang biasa pun bisa kuliah di sini. Mobil yang kamu lihat itu mobilnya dosen kali. Tuh, banyak mahasiswa yang ngontel. Bahkan mahasiswa yang jalan kaki pun ada.Ning menangg
Bab 11 Kerja KerasZen mencoba tidak menanggapi ucapan Andre. Ia fokus dengan makanan dan minuman yang baru saja datang."Rupanya gadis itu bukan mahasiswa. Nggak mungkin juga kamu tertarik padanya kan, Al?""Jelas lah, mau ditaruh mana mukaku kalau sampai tertarik penjaga kasir. Kamu becanda, Ndre.""Tapi ya, Al. Sekali melihat wajahnya, pesona alami kecantikannya itu terpancar dari dalam gitu. Coba saja kalau wajahnya dipoles seperti Vina, bakalan nggak kalah cantik.""Jangan membandingkannya dengan Vina. Jelas bagai langit dan bumi."Andre mendecak kesal."Iya-iya, Vina kan calon jodoh kamu. Makanya buruan dihalalin nanti pindah ke lain hati baru tahu rasa.""Jangan ngomong sembarangan, aku dan Vina dari dulu cuma berteman."Zen memang dijodohkan oleh orang tuanya dengan Vina. Orang tua Vina merupakan sahabat orang tua Zen. Namun, Zen hanya menganggap Vina sebagai teman baik. Sebaliknya Vina sudah berusaha mebdekati Zen, tetapi tidak berbalas. Tiga tahun terakhir Zen justru bersika
Bab 12A Ketus"Buruan masuk!" titahnya tak mau dibantah."Hah.""Zen kenapa masih ada di kampus.""Hmm, saya nunggu bus, Pak Alan," ucap Ning basa-basi."Saya tidak tanya. Buruan masuk, atau saya tinggal di sini biar dimangsa nyamuk," ketusnya. Ning hanya menghentakkan kaki.Ning masuk ke mobil dengan perasaan masih ngedumel. Ia hanya melirik ke samping, wajah Zen tetap fokus ke jalan depan. Tanpa disangka mobil keluar dari kampus lalu setelah melewati jalan besar, Zen menepikan mobilnya."Turun!"Ning terkesiap mendengarnya. Ia hampir saja terlelap saking lelahnya."Maksudnya gimana, Mas?""Itu halte masih rame. Kamu bisa menunggu bus di sana.""Astaga, nih orang sengaja bantu setengah-setengah." Masih dengan ngedumel, Ning terima daja perlakuan Zen padanya. Toh dia bukan siapa-siapa laki-laki itu. Meski dulu Ning pernah menyimpan rasa pada Zen. Kali ini, ia akan mengubur rasa itu setelah mengetahui perlakuan Zen yang membencinya.Dengan langkah gontai, Ning menuju halte yang masih
Bab 12B"Syukurlah, Ning ada yang nemenin makan. Kasian kalau makan sendirian.""Iya dong, Ma. Aku kan anak ganteng mama yang paling baik.""Ckkk, ganteng-ganteng tapi masih sendiri, Syam.""Nggak sendiri, Ma. Udah ada Ning, nih.""Syam, apaan sih.""Kalian ini cocok kalau bercanda. Jangan dimasukkan hati ya Mbak Ning.""Iya, Bu.""Oya, Ma. Mbok Nem kemana? Mas Zen minta dibawain minuman dua untuknya sama Mbak Vina di atas.""Wah Mbok Nem lagi mau mijit mama, Syam. Mbak Ning aja yang bawa ke atas ya setelah selesai makan!""Siap, Bu." Ning merasa gusar setelah menjawab dengan mantap."Nggak usah khawatir, Mas Zen nggak mungkin menerkammu, Ning," canda SyamMembuat Ning mendengkus."Nggak lucu, Syam." Syam justru tergelak. Melihat wajah kesal Ning sudah menjadi hobinya. Senyumnya pun mengembang. Ia tidak tahu kalau di dalam hati Ning sudah ketar-ketir. "Habis dari kamar Mas Zen, nanti kita bahas yang kamu omongin kemarin.""Apa?""Ning, masih muda kok sudah pikun. Katanya mau usaha ker
Bab 13 Rencana Pindah Kos"Ma... maaf kalau tidak ada yang dibutuhkan, saya permisi.""Pergilah. Kamu cuma mengganggu kesenangan kami berdua," ujar Vina.Gegas Ning melangkah keluar melewati pintu. Karena sambil melamun, dia menabrak Syam yang sedari tadi berdiri di depan kamar Zen."Maaf, Ning. Apa ada yang sakit?"Ning tidak mampu menjawab. Matanya sudah berkaca-kaca. Bukan akibat dari bok*ngnya yang terantuk lantai, melainkan hatinya yang tersayat. Ia tidak menyangka Vina dan Zen sudah sejauh itu berciuman di depannya."Beneran kamu nggak apa-apa?" tanya Syam lagi.Ning menggelengkan kepalanya lalu berdiri."Ada apa, Syam?" Zen mendengar berisik di luar kamar pun mendatangi tempat Ning dan Syam."Ning tadi melamun nabrak aku, Mas. Tapi dianya nggak papa kok. Ayo Ning kita lanjutkan rencana kita?" Ning mengangguki ajakan Syam. Sebab mereka sudah janjian mau membahas tentang pemasaran keripik singkongnya di kampus."Mau kemana kalian?""Kencan, Mas. Emang Mas Zen dan Mbak Vina aja ya
Bab 14A Pulang "Ning, jadi pindahan ke kos?" tanya Syam saat berkunjung makan siang di kantin. Suasana kantin yang ramai membuat Ning menghentikan obrolan singkat dnegan Syam. "Tunggu, Syam! Bentar lagi saya off." "Oke. Pesan makan dua porsi seklaian buat kamu ya. Aku tunggu di meja sebelah pinggir itu," tunjuk Syam pada meja kosong yang masih tersisa. Ning tidak mau mendebat. Ia harus bekerja profesional karena jam sibuk kantin jadi banyak pelanggan yang mengantri. "Ning, kamu dekat sama adiknya Pak Alan ya?" "Eh, Mbak Rika. Biasa aja, Mbak. Syam cuma mau bantuin usah keripik saya." "Oh, syukurlah. Jangan lupa stok di sini harus dapat jatah lho. Aku juga pengin mencicipi, Ning." "Siap, Mbak." Ning senang atasannya memberi dukungan padanya untuk menitipkan keripik singkong di kantin. Setelah off, Ning makan siang bersama Syam. Mereka membahas rencana memasarkan keripik. Selain dititipkan di kantin kampus, Syam mengusulkan pada Ning supaya membuat akun online shopping di salah
Extra Part 2"Cari siapa, ya, Mbak?" tanya Zen yang berdiri diambang pintu. Wanita berambit panjang dikuncir itu membalikkan badan. "Zen." "Hah, Vina? Kamu, benar Vina?" Zen segera menjawab salam dari Vina. Wanita bernama Vina itu kini hamil besar seperti Ning istrinya. Wajahnya memang masih sama cantik seperti dulu. Namun, tidak ada pancaran keceriaan dari sorot matanya. Yang ada, Zen melihat Vina berwajah sendu. "Boleh aku duduk?" ucapnya membuat Zen terkesiap. "Iya, Silakan duduk. Aku minta bibi buatkan minum dulu." "Nggak usah, Zen. Aku buru-buru, pesawatku dua jam lagi." "Hmm, memangnya kamu mau kemana?" "Yah, siapa tamunya?" Ning berjalan tertatih dari dalam rumah. Begitu netranya memandang siapa yang duduk di seberang sang suami, Ning merasa degup jantungnya bertalu. "Mbak Vina?!" "Bun, duduk dulu. Iya ada Vina. Katanya terburu mau ke bandara." "Mbak Vina sendiri? Suaminya?" Vina yang ditanya tentang suami justru matanya berkaca-kaca. Terlihat ia menarik napas panjan
Extra Part 1Dua setengah tahun kemudian. Pagi yang cerah, Ning terlihat berjalan tertatih di teras rumahnya. Sebulan terakhir, ia menekuni hobi barunya yaitu merawat bunga. Sembari menemani si kecil Andina yang berusia dua tahun, ia menantikan kelahiran anak keduanya. Sepertinya Zen terlalu bersemangat supaya rumahnya ramai dengan anak kecil, hingga saat Andina berusia 16 bulan, Ning diberi amanah hamil anak kedua. "Sayang, jangan terlalu banyak berdiri. Kalau merasa kecapekan duduklah!" pinta Zen seraya melingkarkan sepasang lengannya di perut Ning yang sudah membuncit. HPLnya tinggal lusa Zen susah siaga di rumah dan memilih tidak ke kampus. "Ayah kenapa nggak ke kampus saja? HPL bunda masih lusa," bujuk Ning. Tangannya masih memegang selang untuk menyirami bunga-bunga yang baru dibeli kemarin. Sementara satu tangan lagi berusaha melepas belitan lengan kiri Zen. Namun, lelaki yang semakin matang diusianya itu tidak mau melepaskan pelukannya. "Yah, ada bibi sama Andina nanti," k
Bab 51 Cinta dalam doa (Ending)"Zen, bangun! Zen! Sudah siang masak masih ngorok, malu sama mertuamu." Suara Bu Tya terasa merdu di telinga Zen. "Hah, Papa, Mama." Zen tergagap dari bangunnya. Ia menoleh ternyata benar selain papa mamanya, juga ada mertuanya. "Eh Bapak, Ibu. Maaf Zen ketiduran." "Di mana, Ning, Nak?" tanya Bu Romlah dengan mengulum senyum melihat wajah bantal menantunya. Pak Rahmat dan Pak Maul hanya saling pandang dan melempar senyum. "Pasti Zen kayak kamu, Ul," celetuk Pak Rahmat. "Nggak lah, aku rajinlah, Mat." Beberapa menit kemudian, Ning dan Zen sudah duduk di ruang keluarga bersama orang tua dan mertuanya. "Alhamdulillah Ning hamil lima minggu, Pak, Bu," ucap Ning dengan senyum tersungging. "Iya, Ma, Pa. Mama benar, prediksinya jitu," ujar Zen dengan senyum mengembang. "Semalam Zen muter kota Yogya mencari tahu petis. Astaghfirullah, ibu hamil ternyata mintanya aneh-aneh," curhat Zen. Para orang tua pun tertawa mendengarnya. "Itulah Zen, papa sama Pak
Bab 50 Ngidam"Pa, kita mau jadi eyang." Suara berisik dari seberang membuat kening Zen berkerut. "Ishh, Papa dan Mama malah heboh ngomongin apa, sih? Halo, Ma. Halo...., Astaghfirullah. Harus tambah Sabar, Zen momong istri dan orang tua," guman Zen menghibur diri. Setelah melempar ponsel ke nakas, beberapa detik kemudian terdengar panggilan kembali. Zen berdecak kesal karena mamanya malah ngobrol dengan sang papa. "Ya, Ma." "Istrimu mual-mual kan, Zen?" "Ya, Ma. Dari tadi Zen kan dah cerita panjang lebar. Bahkan, Hani menanak nasi saja langsung mual saat mencium bau uapnya di dapur," lapor Zen. "Belikan tespek, sekarang." "Apaan, Ma?" "Ckk, nih anak sudah jadi dosen masak nggak tahu tespek," dengkus Bu Tya dari seberang. "Iya, untuk apa?" "Istrimu hamil, Zen." "Hah, serius, Ma? Lalu Zen beli tespeknya di mana?" "Astaghfirullah, Pa! Ajarin anakmu ini! Masak tanya beli tespek di mana?" teriak Bu Tya. "Di toko besi," sahut papanya masih bisa terdengar oleh Zen
Bab 49 Hamil "Han, gimana ceritanya kamu nggak jadi sama Pak Hilmi?" "Mau tahu apa mau tahu banget?" "Ckk, serius aku ingin tahu." "Jadi, saat itu...." Saat makan malam yang dijanjikan, Hilmi datang membawa Nastia. Ning memberanikan diri mengutarakan isi hatinya. "Pak Hilmi, maaf sebelumnya. Saya tidak bisa menerima lamaran Bapak." "Kenapa, Han? Apa kurangnya saya, sampai kamu menolak?" "Bapak tidak kurang suatu apapun. Bapak sangat baik sama saya dan keluarga. Hanya saja, saya memikirkan kebahagiaan Nastia, Pak. Nastia bukan membutuhkan sosok ibu baru. Dia justru membutuhkan sosok ibu kandungnya." "Apa maksudmu, Han? Jangan bilang kalau kamu menolak saya karena mamanya Nastia." "Ya. Benar, Pak. Maafkan saya kalau salah menilai." "Apa kamu diteror mantan istri saya?" "Bukan mantan, Pak. Mama Nastia masih istri Pak Hilmi, kan?" Hilmi terkejut mendapati Ning tahu yang sebenarnya. "Iya, maksud saya sebentar lagi ibunya Nastia akan berpisah dengan saya.". "Saya mohon Pak Hil
Bab 48 Menikah "Astaghfirullah, kenapa liputan beritanya seperti ini?" "Ada apa, Mbak Ning?" Amir mendekati kakaknya untuk membantu menjawab. "Maaf, acara lamaran ini adalah lamaran kakak kami Mbak Titin dan Mas Eko, bukan Mbak Ning. Kalian salah besar." "Oh begitu? Lalu lamaran bos keripik singkong ini kapan dilakukan? Apa calonnya masih sama dengan seorang dosen yang berstatus duda?" "Maaf, itu biar kakak saya yang menjawab," balas Amir. Ning mengedarkan pandangan, netranya menangkap ada Zen dengan pakaian kemeja navy rapi dipadu celana katun warna hitam. Rambutnya sudah dipotong cepak dan jambangnya sudah dipangkas habis. Ning benar-benar melihat sosok Zen yang dikenalnya sejak enam tahun lalu. "Hmm, itu tanya saja pada laki-laki yang sedang berjalan mengenakan kemeja rapi." Dua wartawan bergegas menghampiri Zen yang tergagap karena dihadang oleh keduanya. "Maaf, Mas. Boleh tahu namanya siapa?" "Ya, saya Zen Maulana tamu di sini. Ada apa ya?" "Ah, Mas nya jangan berbohong
Bab 47 Fakta"Pak Rahmat, Bu Romlah. Papa saya bersalah, papa saya telah berbuat jahat pada keluarga Bapak. Biarkan saja laki-laki tua ini menanggung dosanya. Saya malu punya papa seperti dia." "Zen!" pekik Ning dari lantai atas. Perempuan itu tergesa menuruni anak tangga sambil membetulkan pasminanya. "Apa-apaan, Zen. Mereka orang tuamu. Kenapa kamu berkata kasar padanya?!" Ning menatap nyalang Zen yang wajahnya merah padam. "Han?! Tidak ingatkah kamu apa yang telah dia lakukan padamu. Dia merendahkanmu. Memisahkan kita demi mempertahankan egonya. Papaku egois, Han." "Tidak, Zen. Papamu benar, keluargaku miskin. Tidak sepantasnya kita bersama. Kamu tidak boleh membencinya, Zen. Bukankah kamu pernah berkata padaku, huh." Ning membalikkan pernyataan Zen yang selalu terpatri di memorinya. "Jangan pernah membenci orang tua kita. Apapun keadaannya, mereka sudah mengajarkan pada kita arti hidup dan perjuangan," tegas Ning sambil menatap tajam Zen. Zen tertunduk malu. Kalimat yang dul
Bab 46 Minta Maaf"Terima kasih, Zen." Zen hanya bisa menatap punggung perempuan yang sekarang tampak cantik dan pandai berbicara di depan umum itu. Jelas, Ning masih bersemayam di hatinya. Zen menghela napas panjang. "Haruskah aku merelakanmu untuk laki-laki lain, Han?" Zen meraup wajahnya kasar, lalu melangkah masuk rumah dengan tergopoh. "Zen, siapa gadis tadi?" tanya sang papa yang memutar kursi rodanya di dekat jendela menuju ambang pintu. Zen hanya bergeming. Memilih duduk lalu menyandarkan punggungnya di kursi, kepala Zen menengadah ke atas. "Zen," ulang papanya. "Ya, Pa. Maaf, kepala Zen pusing sekali." "Siapa gadis tadi? Apa dia putri si Mamat?" Mamat adalah panggilan masa kecil Pak Rahmat oleh Pak Maul. Sejak SD keduanya adalah sahabat karib. Hingga kelulusan SMP mereka terpisah karena kepindahan Pak Maul ke kota pelajar mengikuti orang tuanya. "Dia bos keripik singkong itu, ya? Nasib Mamat memang beruntung. Kerja kerasnya mendidik anak dan juga memperbaiki kondisi ek
Bab 45 Tetangga Baru "Selamat ya, Han, atas pencapaiannya. Semoga ilmu yang kamu dapatkan berkah dan bermanfaat untuk orang banyak. Selamat juga bisnismu berkembang pesat." "Terima kasih, Pak Hilmi. Bapak sudah membimbing saya dengan baik." Hilmi mengulas senyum lalu menyalami Pak Rahmat dan Bu Romlah juga Amir. "Terima kasih Pak Hilmi sudah membimbing putri saya hingga menjadi sukses seperti ini," ucap Pak Rahmat. Berkat terapi rutin, ayah Ning bisa berjalan kembali meskipun tidak normal. Keluarga Ning bersyukur perawatan kondisi stroke untuk ayahnya tidak terlambat sehingga bisa cepat pulih sehat kembali. Ning mengedarkan pandangan, netranya sekilas melihat sosok yang mencuri perhatiannya. Ia lalu tersenyum kecut mengingatnya. "Ada apa, Han?" "Itu, dosen baru yang kemarin menolak jadi penguji, Pak. Sepertinya beliau tadi ada di kerumunan itu." "Kamu masih kesal sama beliau, Han?" "Sedikit." "Sudah lupakan saja. Beliau memang unik. Mungkin ke sini juga nyari target sama sepe