Share

Bab 4 Harapan

Author: D Lista
last update Last Updated: 2023-05-12 17:25:39

Setelah selesai meredam isak tangis, aku mengikuti langkah bu guru. Sejatinya aku malu, wajahku pasti sudah kuyu. Aku meminta izin membasuh muka terlebih dulu sebelum ke ruang yang bertuliskan ruang kepala sekolah.

"Pak, ini kakaknya Amir," ujar bu guru mengenalkanku pada sosok tegas yang duduk di kursi kerjanya. Laki-laki paruh baya itu menelisikku dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Kamu kakaknya Amir?"

"Iya, Pak. Saya Haningtyas, bisa dipanggil Ning." Aku mengulurkan tangan memperkenalkan diri. Kepala sekolah hanya tersenyum singkat.

"Sepertinya kamu masih sekolah?"

"Saya kelas tiga SMA, Pak. Sudah selesai ujian, tinggal menunggu kelulusan."

"Mohon disampaikan pada orang tua Amir kalau syarat mengikuti ujian kelulusan harus lunas seluruh biaya sekolah," ucap kepala sekolah tegas.

Aku tertunduk malu. Kenyataan keluargaku memang belum punya cukup uang untuk persiapan kelulusan. Tahun ini aku dan Amir lulus berbarengan sehingga kebutuhan uang membengkak. Namun, bapak masih berjanji akan mengusahakan uang pembayaran sekolah. Meskipun sebenarnya aku tidak yakin janjinya terpenuhi. Melihat jualan keripik yang menurun karena sepi pembeli, mau tidak mau aku harus memutar otak dengan bekerja di rumah Haji Ali.

"Baik, Pak. Sepulang kerja, akan saya sampaikan pesan Bapak pada orang tua saya."

Mendengar kata kerja, kepala sekolah terhenyak.

"Kamu bukannya masih sekolah, kenapa sudah kerja?"

"Saya kerja bersih-bersih di rumah tetangga, Pak. Bapak saya keliling dari desa ke desa untuk jualan keripik singkong. Tentu saja uang yang dihasilkan beliau tidak cukup memenuhi kebutuhan keluarga. Jadi, saya mengumpulkan uang supaya bisa mengambil ijazah dan juga untuk biaya Amir."

Kulihat kepala sekolah memandang miris ke arahku seraya menggangguk.

"Jadi, saya mohon Amir diizinkan mengikuti ujian dulu, Pak. Besok saya akan mengusahakan uang untuk melunasi pembayarannya." Aku mengucap janji, meski dalam hati ragu. Uang yang jumlahnya tidak sedikit bisa aku dapat dari mana dalam 24 jam. Aku mengernyitkan dahi sambil melafazkan doa.

Ya Rabb, Engkau Maha Kaya. Semoga ada rejeki untuk Amir esok hari. Kutarik oksigen banyak lalu kuhembuskan pelan agar rongga dada yang sesak menjadi lega.

"Menurut aturan, tentu tindakan ini sudah menyalahi. Saya khawatir hal ini menimbulkan kesenjangan bagi siswa lain."

Pendapat kepala sekolah benar adanya. Dengan mengabulkan pintaku, otomatis ada perlakuan khusus bagi Amir. Padahal semua siswa berhak mendapat perlakuan sama.

Aku menghilangkan urat malu dengan memohon kembali.

"Saya mohon, Pak. Saya tidak mau adik saya tidak lulus." Sudah kupastikan mataku berkaca-kaca karena tak kuasa menahan perih di dada. Hanya karena ibuku miskin, dan segala tingkah lakunya, Amir ikut menjadi korban. Andai saja uangku tidak diminta ibu. Andai uang itu tidak ibu berikan pada Mbak Titin, aku gegas berlari pulang mengambil dan langsung membayarkannya.

Ah, aku terlalu banyak berandai-andai. Tanpa usaha, hasilpun tidak akan hadir di depan mata. Tanpa aksi, seolah keinginan hanya menjadi sebuah fatamorgana.

"Maaf, Mbak. Kami tidak bisa mengabulkan permintaan, Mbak." Lemas sudah tubuhku seolah tidak tertopang oleh tulang. Aku meraup wajah dengan kedua telapak tangan.

Maafkan Mbak Ning, Mir. Tunggulah, Mbak akan mencari pinjaman.

"Baik, saya permisi dulu, Pak, Bu." Aku melangkah gontai hendak meninggalkan ruang berukuran 4x4 itu. Kulirik sekilas kepala sekolah dan bu guru saling pandang menatapku sendu.

"Tunggu, Mbak!" Sebuah seruan perempuan yang tak lain bu guru menghentikan langkahku.

"Pak, izinkan saya yang membayar uang sekolah Amir terlebih dulu. Supaya anak itu bisa ikut ujian. Nanti biar orang tuanya mengganti uangnya ke saya," ungkap bu guru.

Mataku terbelalak. Apakah benar ini bukan mimpi, batinku. Secercah pelangi seolah hadir menghiasi.

"Tapi, Bu." Aku merasa tidak enak hati. Tidak ada angin ataupun hujan, bu guru yang tidak ada pertalian darah dengan keluargaku tiba-tiba membantu.

"Sstt, sudahlah yang penting Amir bisa ikut ujian kelulusan. Mbak tidak perlu khawatir dan tergesa mencari uang penggantinya. Mbak tinggal membayar ke saya kalau sudah ada uangnya. Kalau belum ada kapan-kapan tidak masalah."

"Ibu, terima kasih banyak telah membantu Amir." Aku mengucap sembari memeluk bu guru. Pelukan hangatnya begitu menenangkan.

"Mir, lain kali jangan menyembunyikan pesan penting lagi, ya!" ujarku memperingatkan Amir yang tertunduk. Aku yakin ia merasa bersalah. Aku tidak memarahinya. Aku tidak mau Amir terbiasa berbohong yang berujung keburukan dengan sikapnya di masa depan.

"Iya, Mbak. Maafkan Amir!"

"Ya sudah, kamu masuk kelas lagi. Kerjakan ujian dengan benar. Jangan kecewakan bapak ibu, ya!"

Amir mengangguk lalu mencium punggung tanganku. Tidak lupa ia berterima kasih pada bu guru yang mengizinkannya mengikuti ujian. Anak itu tidak seharusnya merasakan kegetiran ini. Namun, aku yakin pengalaman hidup ini kelak akan berharga untuknya. 

Amir, kamu anak laki-laki yang kuat. Kelak kamu harus bisa menjadi pelindung keluarga. Mbak yakin, kamu anak tegar dan juga pintar. Sudut bibirku terangkat saat mengintip dari jendela ruang kelas. Amir tengah menyiapkan pensil dan alas lalu bersiap mengerjakan kertas ujian. Punggung tanganku mengusap cairan yang membasahi pipi. 

Selesai dengan urusan Amir, aku mengayuh sepeda menuju rumah Pak Haji. Sekitar lima belas menit akhirnya sepedaku berhenti di halaman depan rumahnya. Kulihat Pak Haji sedang memberi komando pada tukang kebun yang biasa membersihkan halaman luar.

"Assalamu'alaikum, Pak Haji!" seruku sambil menunduk sopan. Aku membetulkan rok selututku yang tertiup angin.

"Ning, tumben terlambat datang. Apa ada masalah?"

Ya, biasanya aku memang datang lebih pagi. Karena ada urusan di sekolah Amir jadilah aku telat sampai di rumah Pak Haji.

"Maaf, Pak Haji. Saya harus mengantar sekolah Amir terlebih dulu. Ada yang harus dipersiapkan karena Amir hari ini mengikuti ujian kelulusan."

Pak Haji mendengarkan penjelasanku sembari menunjuk memberi perintah tukang kebun.

"Oh, Amir lulus tahun ini juga ya?"

"Benar, Pak Haji," jawabku sambil mengiringi langkahnya menuju teras. Rumah Pak Haji tergolong besar di kampung kami. Bahkan terbesar setelah rumah Pak Lurah. Laki-laki usia kisaran setengah abad itu mendaratkan tubuhnya ke kursi malas di teras. Sontak saja aku segera duduk di kursi biasa di seberangnya.

"Lalu, Amir mau melanjutkan sekolah ke mana?" tanyanya penasaran.

"Insya Allah ke sekolah yang tidak memerlukan banyak biaya, Pak," jawabku malu. Tidak mungkin keluarga dengan kondisi ekonomi pas pasan seperti kami memilih sekolah favorit. Itu hanya dalam mimpi pikirku.

"Kenapa nggak masuk ke sekolah yang bagus di SMP 1?" lanjutnya.

"Sepertinya kami nggak mampu ke sana, Pak Haji. Biayanya banyak," lirihku sambil menunduk melihat kedua tanganku sendiri yang saling merem4s.

"Ya, yang penting pilih sekolah yang lingkungannya baik untuk adikmu. Amir laki-laki, Ning. Jangan sampai terjerumus ke lingkungan yang buruk."

"Nggih, Pak Haji." (Ya, Pak Haji)

Pak Haji berusia hampir sepadan dengan bapak. Beliau memiliki satu putra yang bekerja di kota Yogya, namanya Mas Eko. Kata Pak Haji, Mas Eko bekerja sebagai sopir di salah satu kampus ternama di Yogya. Mas Eko dulu teman bermain Mbak Titin. Begitu lulus, dia mengikuti kursus menyetir dan diterima kerja di Yogya. 

Ah, mengingat hal itu hatiku nyeri kembali. Mas Eko saja sudah bisa menghasilkan uang. Apa kabarnya Mbak Titin yang justru kerjaannya menghabiskan uang. Menyedihkan.

"Lalu kamu sendiri setelah lulus mau kemana?" celetuk Pak Haji membuatku tergagap.

"Hmm, itu Pak. Saya....," aku menoleh ke kiri kanan. Otakku mendadak buntu mencari jawaban yang tepat.

Inginku menjawab aku ingin kuliah Pak. Namun, kata sudut hatiku menertawakan. Mimpi ketinggian kamu Ning. Awas jatuh nanti sakit.

"Saya mau menekuni pekerjaan ini biar dapat uang, Pak."

"Kamu mau jadi tukang bersih-bersih gini aja?" ucap Pak Haji terkekeh seraya meremehkanku.

Glek,

Aku hanya menelan ludah dan menahan malu. Cita-citaku ingin menempuh pendidikan setinggi mungkin. Aku ingin tetangga tidak memandang sebelah mata keluargaku. Aku ingin mengangkat derajat bapak ibu. Tapi aku bingung harus mulai dari mana.

"Jadi perempuan mbok yang berpikiran luas dan terbuka, Ning. Kalau cuma bersih-bersih di rumah ini, sayang sekali otak encermu."

Aku hanya menyengir kuda merespon Pak Haji.

"Saya harus kerja apa, Pak Haji? Bersih-bersih di rumah ini dan menyiapkan dagangan keripik singkong sudah cukup menyenangkan bagi saya," jawabku sambil mengulum senyum.

"Ya sudah kalau kamu berpikir begitu. Besok mau ada penyuluhan dari mahasiswa. Siapa tahu usaha keripik singkongmu bisa membawa hidup keluargamu lebih baik."

"Benarkah, Pak Haji?"

"Iya. Saya baru dikabari Pak Lurah. Besok lusa, pagi-pagi kamu ikut ke balai desa saja. Bersih-bersihnya libur, biar Mang Udin yang kerjakan."

"Baik Pak Haji." Reflek wajahku tak berhenti mengulas senyum. Bahkan aku di dapur mencuci piring sudah membayangkan tentang acara esok lusa.

"Ya Illahi, akankah hari esok datang pertolongan-Mu untuk keluargaku yang miskin ini. Semoga saja, amin."

Related chapters

  • Mengejar Cinta Sang Dosen Populer   Bab 5 Bertemu Masa Lalu

    Tiga tahun berlalu.....Aku hidup dalam tekanan batin hebat. Sakit kepala sebelah semakin sering menyerangku. Apalagi ditambah bapak yang murka saat mendengarku berbuat mes*m dengan Zen. Hari-hari kulalui tanpa senyum dari beliau. Sungguh menyakitkan dianggap asing oleh laki-laki yang biasanya menatapku penuh kasih sayang."Ampuni Ning, Pak. Ning benar-benar tidak melakukannya." Aku bersimpuh di kaki bapak yang duduk di kursi roda. Sakit gejala struk bapak semakin parah saat mendengar berita buruk yang menimpaku."Pergi dari rumah ini, Ning. Bapak tidak mau melihatmu di sini. Kamu bikin malu bapak dan ibu."Meski ucapan bapak lirih tetapi tetap saja bagaikan sembilu yang menyayat hati. Aku tidak habis pikir dengan tindakan ibu yang menjadikanku korban."Baik, Pak. Ning akan merantau ke Yogya. Ning mau cari uang untuk bapak berobat. Bapak harus sembuh.""Tidak perlu. Bapak tidak butuh uang darimu. Anak tidak tahu diri. Sudah dibesarkan dengan kasih sayang malah melempari bapak ibumu de

    Last Updated : 2023-05-14
  • Mengejar Cinta Sang Dosen Populer   Bab 6 Canggung

    "Oh, maaf, Bu. Anak ibu dosen berarti," ungkapku sambil menelungkupkan kedua tangan."Iya dosen muda, tapi sudah sangat sibuk sekali. Sampai-sampai saya suruh menikah belum mau. Padahal sudah disiapkan perjodohan dengan anak sahabat saya. Ya sudah biar mereka saling mengenal dulu. Hanya saja saya kurang setuju kalau kesana kemari berdua, nggak enak dilihatnya kalau belum halal."Aku terkekeh pelan mendengar perjodohan di abad sekarang."Iya, Bu. Mungkin nanti kalau sudah menemukan jodohnya anak ibu cepat- cepat menikah.""Semoga, ya. Eh, ini kamar anak saya yang pertama, yang ini yang kedua." Trus paling ujung kamar putri saya, sekarang dia lagi studi di luar negeri.""Wah kampus yang bagus pastinya, Bu.""Alhamdulillah. Yang penting anak-anak saya mau melanjutkan pendidikan sampai jenjang tinggi. Seperti Mbak Ning juga, semoga ada kesempatan." Aku mengulum senyum sambil mengamini doanya. Melihat-lihat kamar yang berseberangan, aku menghafalkan satu persatu. Ada inisial ZM dan SM di p

    Last Updated : 2023-06-06
  • Mengejar Cinta Sang Dosen Populer   Bab 7 Terjebak

    Bab 7 TerjebakZen berlalu tanpa kata setelah aku mengembalikan buku miliknya ke almari. Sikapnya benar-benar tak acuh padaku. Bahkan senyum sedikit saja tidak terlihat di wajahnya. Benar-benar dingin, wajahnya kayak kulkas 2 pintu.Ya Rabb kuatkan aku. Kenapa begitu cepat Engkau pertemukan aku dengan orang itu. "Bu Tya, mana yang bisa dibantu?" tanyaku saat menghampiri pemilik rumah besar ini di dapur."Oh ini, Mbak. Sayurannya dipotong kecil-kecil ya. Kita bikin sup ayam lauknya udang crispy dan tempe goreng. Menu itu kesukaan anak-anak sejak kecil hingga dewasa masih lahap."Wah senangnya jadi anak-anak, ibu pandai memasak," pujiku pada Bu Tya."Makasih ya Mbak Ning. Simbok yang biasa membantu anaknya lagi demam jadi nggak bisa kemari.""Saya malah senang bisa membantu, Bu.""Ngomong-ngomong, kenapa kamu nhgak melanjutkan kuliah saja? Kenapa mau kerja di kantin kampus?"Sejenak aku terlempar di masa lalu yang menyedihkan bagiku."Mbak, rapot dan ijazahku bisa diambil, nggak?" lirih

    Last Updated : 2023-06-16
  • Mengejar Cinta Sang Dosen Populer   Bab 8 Motor atau Mobil

    Bab 8 Motor atau Mobil"Katakan?! Siapa yang menyuruhmu kemari?!""Zen. Aku....""Jangan sebut nama itu!""Ma... maaf, Mas Alan. Sa... saya. Ough! Sakit."Entah kenapa sakit kepala sebelahku tiba-tiba menyerang kembali. Akhir-akhir ini aku sering merasakannya. Apa mungkin efek kelelahan dan banyak pikiran, entahlah.Aku berharap Zen tidak menduga kalau aku berbohong."Kamu terlalu pintar untuk menipuku lagi. Tidak usah berpura-pura sakit di depanku. Aku tidak akan kena tipu untuk kedua kalinya."Nyes,Ucapan Zen seperti sembilu yang menyayat hati. Aku berusaha menahan luka yang tak kasat mata. Biarlah sakit hatiku mengalahkan peningnya kepala yang teramat sangat. Berusaha menegakkan kepala agar air mata yidak tumpah, aku memberanikan diri menatapnya. Meskipun tatapan Zen masih sedingin es, aku tidak peduli. Aku tidak ingin menangis di depannya.Beberapa kali aku meringis menahan sakit kepala. "Saya tidak sengaja sampai di rumah ini. Bu Tya yang menolong saya waktu kena copet di termi

    Last Updated : 2023-06-16
  • Mengejar Cinta Sang Dosen Populer   Bab 9 Siapa yang Penipu

    Bab 9 Siapa yang Penipu (Pov Author)"Dia nggak protes, kok," sanggah Syam pada kakaknya."Mana berani dia protes!" seru Zen."Kita tanya Ning saja. Ning kamu mau naik motor atau mobil?"Dilema merajai hati, Ning merasa takut melirik wajah dua-duanya."Sudahlah, ayo masuk mobil! Saya nggak terima penolakan."Melihat Zen tak acuh masuk mobil duluan, Ning tidak enak hati. Ia tidak mau membuat laki-laki berambut cepak dengan tinggi sekitar 170cm itu murka."Maaf, Syam. Saya ikut mobil Mas Alan ya."Syam berdecak kesal, sia-sia dia mau bersaing dengan kakaknya. Niat hati sampai kampus pamer dengan teman-temannya kalau ada cewek yang bisa dia boncengin. Ujung-ujungnya detngah jalan ditebas niatnya oleh Zen."Mas Zen menyebalkan."Syam menyantolkan helm yang dipakai Ning ke motor. Gegas ia menghidupkan mesinnya lagi dan melajukan motor sportnya menuju kampus. Sempat menyalip mobil kakaknya dengan membunyikan gas kencang. Rasa kesalnya hilang, Syam mendahului mobil itu.Sepanjang perjalanan h

    Last Updated : 2023-06-16
  • Mengejar Cinta Sang Dosen Populer   Bab 10 Bercanda

    Bab 10 Bercanda"Iya, kamu kira aku baik secara cuma-cuma. Kamu juga harus balas dengan kebaikan dong.""Maksudnya?""Misalnya jadi pacarku gitu.""Apa?!"Syam tiba-tiba terbahak membuat wajah kaku Ning memudar."Bercanda, Ning. Serius amat, sih.""Ishh, nyebelin kamu Syam."Keduanya berjalan menuju kantin FEB, Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Motor Syam sudah dipindahkannya ke parkiran khusus mahasiswa. Kampus yang menjadi impian Ning untuk belajar materi itu merupakan kampus dengan mayoritas mahasiswa menaiki mobil. Entah impiannya akan terwujud atau tidak. Setidaknya Ning sudah pernah mengambah kampus impiannya."Mahasiswa yang kuliah di sini kaya-kaya ya, Syam?" celetuk Ning. Ia masih mengamati mobil yang berjajar di depan gedung. Tahu arah pembicaraan Ning, Syam mengukir senyuman lebar."Ya, nggak semuanya, Ning. Orang biasa pun bisa kuliah di sini. Mobil yang kamu lihat itu mobilnya dosen kali. Tuh, banyak mahasiswa yang ngontel. Bahkan mahasiswa yang jalan kaki pun ada.Ning menangg

    Last Updated : 2023-06-17
  • Mengejar Cinta Sang Dosen Populer   Bab 11 Kerja Keras

    Bab 11 Kerja KerasZen mencoba tidak menanggapi ucapan Andre. Ia fokus dengan makanan dan minuman yang baru saja datang."Rupanya gadis itu bukan mahasiswa. Nggak mungkin juga kamu tertarik padanya kan, Al?""Jelas lah, mau ditaruh mana mukaku kalau sampai tertarik penjaga kasir. Kamu becanda, Ndre.""Tapi ya, Al. Sekali melihat wajahnya, pesona alami kecantikannya itu terpancar dari dalam gitu. Coba saja kalau wajahnya dipoles seperti Vina, bakalan nggak kalah cantik.""Jangan membandingkannya dengan Vina. Jelas bagai langit dan bumi."Andre mendecak kesal."Iya-iya, Vina kan calon jodoh kamu. Makanya buruan dihalalin nanti pindah ke lain hati baru tahu rasa.""Jangan ngomong sembarangan, aku dan Vina dari dulu cuma berteman."Zen memang dijodohkan oleh orang tuanya dengan Vina. Orang tua Vina merupakan sahabat orang tua Zen. Namun, Zen hanya menganggap Vina sebagai teman baik. Sebaliknya Vina sudah berusaha mebdekati Zen, tetapi tidak berbalas. Tiga tahun terakhir Zen justru bersika

    Last Updated : 2023-06-17
  • Mengejar Cinta Sang Dosen Populer   Bab 12A Ketus

    Bab 12A Ketus"Buruan masuk!" titahnya tak mau dibantah."Hah.""Zen kenapa masih ada di kampus.""Hmm, saya nunggu bus, Pak Alan," ucap Ning basa-basi."Saya tidak tanya. Buruan masuk, atau saya tinggal di sini biar dimangsa nyamuk," ketusnya. Ning hanya menghentakkan kaki.Ning masuk ke mobil dengan perasaan masih ngedumel. Ia hanya melirik ke samping, wajah Zen tetap fokus ke jalan depan. Tanpa disangka mobil keluar dari kampus lalu setelah melewati jalan besar, Zen menepikan mobilnya."Turun!"Ning terkesiap mendengarnya. Ia hampir saja terlelap saking lelahnya."Maksudnya gimana, Mas?""Itu halte masih rame. Kamu bisa menunggu bus di sana.""Astaga, nih orang sengaja bantu setengah-setengah." Masih dengan ngedumel, Ning terima daja perlakuan Zen padanya. Toh dia bukan siapa-siapa laki-laki itu. Meski dulu Ning pernah menyimpan rasa pada Zen. Kali ini, ia akan mengubur rasa itu setelah mengetahui perlakuan Zen yang membencinya.Dengan langkah gontai, Ning menuju halte yang masih

    Last Updated : 2023-06-18

Latest chapter

  • Mengejar Cinta Sang Dosen Populer   Extra Part 2

    Extra Part 2"Cari siapa, ya, Mbak?" tanya Zen yang berdiri diambang pintu. Wanita berambit panjang dikuncir itu membalikkan badan. "Zen." "Hah, Vina? Kamu, benar Vina?" Zen segera menjawab salam dari Vina. Wanita bernama Vina itu kini hamil besar seperti Ning istrinya. Wajahnya memang masih sama cantik seperti dulu. Namun, tidak ada pancaran keceriaan dari sorot matanya. Yang ada, Zen melihat Vina berwajah sendu. "Boleh aku duduk?" ucapnya membuat Zen terkesiap. "Iya, Silakan duduk. Aku minta bibi buatkan minum dulu." "Nggak usah, Zen. Aku buru-buru, pesawatku dua jam lagi." "Hmm, memangnya kamu mau kemana?" "Yah, siapa tamunya?" Ning berjalan tertatih dari dalam rumah. Begitu netranya memandang siapa yang duduk di seberang sang suami, Ning merasa degup jantungnya bertalu. "Mbak Vina?!" "Bun, duduk dulu. Iya ada Vina. Katanya terburu mau ke bandara." "Mbak Vina sendiri? Suaminya?" Vina yang ditanya tentang suami justru matanya berkaca-kaca. Terlihat ia menarik napas panjan

  • Mengejar Cinta Sang Dosen Populer   Extra Part 1

    Extra Part 1Dua setengah tahun kemudian. Pagi yang cerah, Ning terlihat berjalan tertatih di teras rumahnya. Sebulan terakhir, ia menekuni hobi barunya yaitu merawat bunga. Sembari menemani si kecil Andina yang berusia dua tahun, ia menantikan kelahiran anak keduanya. Sepertinya Zen terlalu bersemangat supaya rumahnya ramai dengan anak kecil, hingga saat Andina berusia 16 bulan, Ning diberi amanah hamil anak kedua. "Sayang, jangan terlalu banyak berdiri. Kalau merasa kecapekan duduklah!" pinta Zen seraya melingkarkan sepasang lengannya di perut Ning yang sudah membuncit. HPLnya tinggal lusa Zen susah siaga di rumah dan memilih tidak ke kampus. "Ayah kenapa nggak ke kampus saja? HPL bunda masih lusa," bujuk Ning. Tangannya masih memegang selang untuk menyirami bunga-bunga yang baru dibeli kemarin. Sementara satu tangan lagi berusaha melepas belitan lengan kiri Zen. Namun, lelaki yang semakin matang diusianya itu tidak mau melepaskan pelukannya. "Yah, ada bibi sama Andina nanti," k

  • Mengejar Cinta Sang Dosen Populer   Bab 51 Ending

    Bab 51 Cinta dalam doa (Ending)"Zen, bangun! Zen! Sudah siang masak masih ngorok, malu sama mertuamu." Suara Bu Tya terasa merdu di telinga Zen. "Hah, Papa, Mama." Zen tergagap dari bangunnya. Ia menoleh ternyata benar selain papa mamanya, juga ada mertuanya. "Eh Bapak, Ibu. Maaf Zen ketiduran." "Di mana, Ning, Nak?" tanya Bu Romlah dengan mengulum senyum melihat wajah bantal menantunya. Pak Rahmat dan Pak Maul hanya saling pandang dan melempar senyum. "Pasti Zen kayak kamu, Ul," celetuk Pak Rahmat. "Nggak lah, aku rajinlah, Mat." Beberapa menit kemudian, Ning dan Zen sudah duduk di ruang keluarga bersama orang tua dan mertuanya. "Alhamdulillah Ning hamil lima minggu, Pak, Bu," ucap Ning dengan senyum tersungging. "Iya, Ma, Pa. Mama benar, prediksinya jitu," ujar Zen dengan senyum mengembang. "Semalam Zen muter kota Yogya mencari tahu petis. Astaghfirullah, ibu hamil ternyata mintanya aneh-aneh," curhat Zen. Para orang tua pun tertawa mendengarnya. "Itulah Zen, papa sama Pak

  • Mengejar Cinta Sang Dosen Populer   Bab 50 Ngidam

    Bab 50 Ngidam"Pa, kita mau jadi eyang." Suara berisik dari seberang membuat kening Zen berkerut. "Ishh, Papa dan Mama malah heboh ngomongin apa, sih? Halo, Ma. Halo...., Astaghfirullah. Harus tambah Sabar, Zen momong istri dan orang tua," guman Zen menghibur diri. Setelah melempar ponsel ke nakas, beberapa detik kemudian terdengar panggilan kembali. Zen berdecak kesal karena mamanya malah ngobrol dengan sang papa. "Ya, Ma." "Istrimu mual-mual kan, Zen?" "Ya, Ma. Dari tadi Zen kan dah cerita panjang lebar. Bahkan, Hani menanak nasi saja langsung mual saat mencium bau uapnya di dapur," lapor Zen. "Belikan tespek, sekarang." "Apaan, Ma?" "Ckk, nih anak sudah jadi dosen masak nggak tahu tespek," dengkus Bu Tya dari seberang. "Iya, untuk apa?" "Istrimu hamil, Zen." "Hah, serius, Ma? Lalu Zen beli tespeknya di mana?" "Astaghfirullah, Pa! Ajarin anakmu ini! Masak tanya beli tespek di mana?" teriak Bu Tya. "Di toko besi," sahut papanya masih bisa terdengar oleh Zen

  • Mengejar Cinta Sang Dosen Populer   Bab 49 Hamil

    Bab 49 Hamil "Han, gimana ceritanya kamu nggak jadi sama Pak Hilmi?" "Mau tahu apa mau tahu banget?" "Ckk, serius aku ingin tahu." "Jadi, saat itu...." Saat makan malam yang dijanjikan, Hilmi datang membawa Nastia. Ning memberanikan diri mengutarakan isi hatinya. "Pak Hilmi, maaf sebelumnya. Saya tidak bisa menerima lamaran Bapak." "Kenapa, Han? Apa kurangnya saya, sampai kamu menolak?" "Bapak tidak kurang suatu apapun. Bapak sangat baik sama saya dan keluarga. Hanya saja, saya memikirkan kebahagiaan Nastia, Pak. Nastia bukan membutuhkan sosok ibu baru. Dia justru membutuhkan sosok ibu kandungnya." "Apa maksudmu, Han? Jangan bilang kalau kamu menolak saya karena mamanya Nastia." "Ya. Benar, Pak. Maafkan saya kalau salah menilai." "Apa kamu diteror mantan istri saya?" "Bukan mantan, Pak. Mama Nastia masih istri Pak Hilmi, kan?" Hilmi terkejut mendapati Ning tahu yang sebenarnya. "Iya, maksud saya sebentar lagi ibunya Nastia akan berpisah dengan saya.". "Saya mohon Pak Hil

  • Mengejar Cinta Sang Dosen Populer   Bab 48 Menikah

    Bab 48 Menikah "Astaghfirullah, kenapa liputan beritanya seperti ini?" "Ada apa, Mbak Ning?" Amir mendekati kakaknya untuk membantu menjawab. "Maaf, acara lamaran ini adalah lamaran kakak kami Mbak Titin dan Mas Eko, bukan Mbak Ning. Kalian salah besar." "Oh begitu? Lalu lamaran bos keripik singkong ini kapan dilakukan? Apa calonnya masih sama dengan seorang dosen yang berstatus duda?" "Maaf, itu biar kakak saya yang menjawab," balas Amir. Ning mengedarkan pandangan, netranya menangkap ada Zen dengan pakaian kemeja navy rapi dipadu celana katun warna hitam. Rambutnya sudah dipotong cepak dan jambangnya sudah dipangkas habis. Ning benar-benar melihat sosok Zen yang dikenalnya sejak enam tahun lalu. "Hmm, itu tanya saja pada laki-laki yang sedang berjalan mengenakan kemeja rapi." Dua wartawan bergegas menghampiri Zen yang tergagap karena dihadang oleh keduanya. "Maaf, Mas. Boleh tahu namanya siapa?" "Ya, saya Zen Maulana tamu di sini. Ada apa ya?" "Ah, Mas nya jangan berbohong

  • Mengejar Cinta Sang Dosen Populer   Bab 47 Fakta

    Bab 47 Fakta"Pak Rahmat, Bu Romlah. Papa saya bersalah, papa saya telah berbuat jahat pada keluarga Bapak. Biarkan saja laki-laki tua ini menanggung dosanya. Saya malu punya papa seperti dia." "Zen!" pekik Ning dari lantai atas. Perempuan itu tergesa menuruni anak tangga sambil membetulkan pasminanya. "Apa-apaan, Zen. Mereka orang tuamu. Kenapa kamu berkata kasar padanya?!" Ning menatap nyalang Zen yang wajahnya merah padam. "Han?! Tidak ingatkah kamu apa yang telah dia lakukan padamu. Dia merendahkanmu. Memisahkan kita demi mempertahankan egonya. Papaku egois, Han." "Tidak, Zen. Papamu benar, keluargaku miskin. Tidak sepantasnya kita bersama. Kamu tidak boleh membencinya, Zen. Bukankah kamu pernah berkata padaku, huh." Ning membalikkan pernyataan Zen yang selalu terpatri di memorinya. "Jangan pernah membenci orang tua kita. Apapun keadaannya, mereka sudah mengajarkan pada kita arti hidup dan perjuangan," tegas Ning sambil menatap tajam Zen. Zen tertunduk malu. Kalimat yang dul

  • Mengejar Cinta Sang Dosen Populer   Bab 46 Minta Maaf

    Bab 46 Minta Maaf"Terima kasih, Zen." Zen hanya bisa menatap punggung perempuan yang sekarang tampak cantik dan pandai berbicara di depan umum itu. Jelas, Ning masih bersemayam di hatinya. Zen menghela napas panjang. "Haruskah aku merelakanmu untuk laki-laki lain, Han?" Zen meraup wajahnya kasar, lalu melangkah masuk rumah dengan tergopoh. "Zen, siapa gadis tadi?" tanya sang papa yang memutar kursi rodanya di dekat jendela menuju ambang pintu. Zen hanya bergeming. Memilih duduk lalu menyandarkan punggungnya di kursi, kepala Zen menengadah ke atas. "Zen," ulang papanya. "Ya, Pa. Maaf, kepala Zen pusing sekali." "Siapa gadis tadi? Apa dia putri si Mamat?" Mamat adalah panggilan masa kecil Pak Rahmat oleh Pak Maul. Sejak SD keduanya adalah sahabat karib. Hingga kelulusan SMP mereka terpisah karena kepindahan Pak Maul ke kota pelajar mengikuti orang tuanya. "Dia bos keripik singkong itu, ya? Nasib Mamat memang beruntung. Kerja kerasnya mendidik anak dan juga memperbaiki kondisi ek

  • Mengejar Cinta Sang Dosen Populer   Bab 45 Tetangga Baru

    Bab 45 Tetangga Baru "Selamat ya, Han, atas pencapaiannya. Semoga ilmu yang kamu dapatkan berkah dan bermanfaat untuk orang banyak. Selamat juga bisnismu berkembang pesat." "Terima kasih, Pak Hilmi. Bapak sudah membimbing saya dengan baik." Hilmi mengulas senyum lalu menyalami Pak Rahmat dan Bu Romlah juga Amir. "Terima kasih Pak Hilmi sudah membimbing putri saya hingga menjadi sukses seperti ini," ucap Pak Rahmat. Berkat terapi rutin, ayah Ning bisa berjalan kembali meskipun tidak normal. Keluarga Ning bersyukur perawatan kondisi stroke untuk ayahnya tidak terlambat sehingga bisa cepat pulih sehat kembali. Ning mengedarkan pandangan, netranya sekilas melihat sosok yang mencuri perhatiannya. Ia lalu tersenyum kecut mengingatnya. "Ada apa, Han?" "Itu, dosen baru yang kemarin menolak jadi penguji, Pak. Sepertinya beliau tadi ada di kerumunan itu." "Kamu masih kesal sama beliau, Han?" "Sedikit." "Sudah lupakan saja. Beliau memang unik. Mungkin ke sini juga nyari target sama sepe

DMCA.com Protection Status