"Kau mau ke mana malam-malam begini, Eve?"Satu pertanyaan itu menghentikan ayunan langkah kakinya. Saat Evelyn menoleh, Karenina tampak duduk nyaman di sofa ruang keluarga. Mengabaikan acara televisi yang ditonton, Kakak iparnya itu tak berhenti menatapnya dengan raut penuh tanya."Aksa memintaku menemaninya menghadiri pesta ulang tahun temannya, Kak. Aku sedang menunggu dia menjemputku." Tentu Evelyn menjawab dengan sejujurnya. Wanita itu sudah tampil begitu manis dengan gaun model kamisol yang memiliki panjang di bawah lutut, dipadukan dengan cardigan berwarna merah hati. Rambut panjang itu dibiarkan tergerai dengan tatanan ikal pada bagian bawahnya, dan riasan natural andalannya melengkapi betapa sempurnanya dirinya malam ini."Astaga, berani sekali dia membuat adikku yang cantik ini menunggu lama!" Karenina segera bangkit berdiri lalu melangkah panjang menghampiri Evelyn dengan sedikit hentakan kaki. Tentu reaksinya itu ditujukan pada kalimat terakhir si adik ipar."Tidak apa-apa
"Aku menyukai gedung pertama yang kita datangi, bagaimana menurutmu? Mulai dari bentuk, bahkan hingga akses jalan, semuanya benar-benar sesuai keinginanku." Suara merdu itu sukses membuat Damian berulang kali menebar senyum kendati tak mampu melihat langsung wajah jelita wanita tercintanya, Kiara Laurencia. "Aku akan menyukainya jika kau menyukainya, Sayang." Pria itu menaikkan kedua kaki ke atas meja, menyilangkannya di sana. Sedangkan punggungnya ia dorong pada sandaran kursi kerja empuknya, menyamankan diri."Kau benar-benar manis, Dam. Sejujurnya aku masih ingin bersamamu, tapi kau malah harus ke kantor padahal ini hari minggu!"Ah, bila tebakan Damian benar, pasti saat ini Kiara sedang cemberut. Perempuan itu pasti merasa kesal saat dirinya terpaksa harus berangkat ke kantor secara mendadak dan meninggalkan tunangannya itu di depan gedung studio pemotretan. Sesuai janji, ia dan Kiara telah menyurvei beberapa lokasi yang rencananya akan mereka sewa untuk pesta pernikahan di akhi
"Ini sudah hari ke dua, bagaimana rasanya akan kembali bekerja?" Aksa membuka tanya di tengah perjalanan menuju ke Food'o Clock, restoran milik Arjuna yang merupakan tempat Evelyn mengambil kerja sampingan. Meski sedang mengemudi, namun sesekali pria itu kedapatan melirik ke arah wanita di sisinya. "Yah, cukup mendebarkan. Namun, aku begitu menikmatinya. Dahulu ketika di Surabaya, aku pun beberapa kali membantu Papa dan Mama di balik meja kasir." Jawaban itu teralun lancar pun disertai senyuman."Wah, kau cukup berpengalaman ternyata?" wajah si pria dibuat antusias, kekehan kecil meluncur sembari ia memutar kemudi berbentuk bundar."Tidak juga.""Karena kau sekarang sudah bekerja di Food'o Clock, aku jadi bingung harus mengajakmu ke mana untuk menepati janjiku menikmati es krim bersama?"Dan atas ucapan Aksa, Evelyn tertawa ringan. "Astaga! Kau masih saja memikirkan janji itu?""Janji adalah hutang, Eve. Sebelum hal itu terlaksana, aku tidak akan bisa begitu saja melupakannya." Namun,
Irama musik jazz yang tersaji seakan menambah kenikmatan sajian lezat di atas meja. Restoran masih begitu ramai meski jarum jam terus berputar mengantarkan malam yang semakin larut.Di salah satu meja, Kiara tampak menikmati steak daging sapi pesanannya dengan tenang. Meski begitu, atensi perempuan itu sesekali melirik ke arah Sang tunangan yang duduk berhadapan dengannya. Walaupun makanan yang mereka pesan telah tersaji rapi di hadapan, namun entah kenapa Damian seakan enggan untuk menyantapnya. Pria itu hanya menyesap wine sambil sesekali menatap sang penyanyi di atas panggung kecil di depan sana."Kau tidak makan?" Kiara pada akhirnya memberikan tanya setelah terlebih dahulu membasahi kerongkongannya dengan jus jeruk. Yang ditanya terlihat seakan tersentak. Tetapi, perlahan pria itu tersenyum manis. "Tentu saja aku akan makan, Sayang.""Lalu, kenapa dari tadi hanya diam?" sambil memotong steak di atas piring, wanita itu bertanya lagi.Dan embus napas beratlah yang kemudian terden
"Selamat sore, Eve ...."Wanita yang baru saja melayani pelanggan itu segera menoleh saat namanya disebut. Ketika dirinya mengetahui siapa pemilik suara berat itu, bibir tipis berlipstik merah muda itu mengurva senyum tipis dari tempatnya, di belakang meja kasir."Kau datang terlalu cepat, Aksa," ujar Evelyn seraya menepi guna mendekati posisi pria itu berdiri."Pekerjaan di kantor telah selesai lebih awal, makanya aku langsung saja ke sini. Aku tidak ingin membuatmu menunggu." Aksa turut membagi senyum dengan kedua tangan terselip di saku celana."Ya sudah. Lebih baik kau duduk dulu, aku akan berkemas, jam kerjaku sudah hampir selesai." "Tentu."Setelah mendapatkan persetujuan, wanita itu beranjak dari meja kasir menuju ke bagian dalam restoran. Sedangkan Aksa memilih untuk duduk dengan nyaman pada meja kosong tak jauh dari pintu keluar.Menit demi menit berlalu, pria itu memilih untuk memainkan ponselnya demi membunuh waktu. Namun, suara lembut yang membelai telinga telah sukses me
Langkahnya yang lebar terayun memasuki gedung tempat dirinya bekerja lebih dalam lagi. Tujuannya adalah lift yang berada di ujung sana, untuk mengantarkan dirinya menuju ruangan miliknya. Seperti biasanya, wajah tegas itu selalu sukses mencuri pandang beberapa orang di dekatnya.Tepat setelah sampai di lantai 3, pintu lift itu terbuka. Damian kembali mengambil langkah cukup santai menuju salah satu pintu. Ya, ia memutuskan untuk kembali bekerja hari ini, setelah berhari-hari absen tanpa keterangan."Tuan, akhirnya Anda datang ke kantor."Baru saja Damian memasuki ruangannya, ia disambut oleh seorang Office Boy yang sering kali melayani dirinya. Pria yang tampaknya lebih muda darinya itu terlihat sedang mengepel di dekat meja kerja."Apa yang terjadi selama aku tidak ada? Apakah ada masalah yang serius?" Damian bertanya tanpa basa basi, ia segera meneliti beberapa map di atas mejanya, berkas-berkas penting yang harus dirinya pelajari. Lalu, ia memilih untuk mengempaskan pantatnya di kur
"Terima kasih telah mengunjungi restoran kami." Evelyn berucap begitu setelah sepasang pengunjung restoran selesai melakukan pembayaran. Senyum sopan ia sematkan mengiringi langkah pasangan itu menuju ke pintu keluar.Tepat setelah pengunjung tadi berlalu, pintu yang sempat menutup itu kembali terbuka, ada sosok Damian yang muncul dari baliknya seraya menyapa dirinya dengan senyum cerah."Hai, Eve. Akhirnya kita bertemu lagi."Tentu kehadiran pria itu sukses membuat Evelyn begitu terkejut. Bahkan kedua mata indah itu sempat membeliak, pun jantungnya berderak-derak. Namun, wanita itu segera menguasai perasaannya, ia segera mengubah ekspresinya menjadi biasa saja."Damian? Tumben sekali kau berkunjung kemari. Ah, silakan memilih tempat duduk." Kedatangan seseorang ke restoran tentu untuk makan, bukan? Maka dari itu Evelyn segera menunjuk meja kosong di depan sana pada pria yang kini berdiri di hadapannya. Sebagai karyawan yang baik, ia tak lupa memberikan senyum sopan pada si calon pela
"Jangan berlari-larian, Sayang!" teguran itu teralun lembut dari mulut Evelyn saat melihat Luna berlarian dari meja satu ke meja lainnya. Meskipun tidak memiliki teman bermain, namun bocah itu tak kehilangan keceriaannya. Ia asyik bermain dengan sebuah boneka kucing kesayangannya.Saat jam masuk kantor begini restoran memang cukup sepi, sehingga Evelyn bisa cukup bersantai sembari mengawasi gadis kecilnya yang seakan tak bisa diam. Ah, Luna memang bocah kecil yang super aktif."Baik, Kak!" Luna menyahut dari meja yang ada di sebelah kanan seraya memamerkan senyuman lebar. Akibatnya, giginya yang mulai gigis di bagian depan terlihat dengan begitu jelas. Meski begitu, si bocah aktif itu justru tampak semakin menggemaskan."Kemarilah, biar kakak pangku." Evelyn tak kehilangan senyumannya sama sekali hari ini. Ia menepuk pahanya sendiri, memberikan isyarat agar Luna mendekat kemudian duduk di sana. Tentu saja Luna segera menuruti perintah. Masih dengan menggendong boneka kucing oranye di
Selembar tisu yang pada awalnya putih bersih kini dihiasi bercak merah terang. Darah yang mengalir dari luka di jari Evelyn adalah sesuatu yang mewarnainya. Ternyata ia menggores jarinya terlalu dalam.Seraya mencoba menghentikan perdarahan dengan membalut lukanya menggunakan tisu, wanita itu datang menemui ayahnya di ruang keluarga. Pria baya itu sudah menunggu dirinya sedari tadi seraya melihat acara di televisi. "Duduklah, Papa ingin berbicara." Burhan Adhitama segera membuka kalimat ketika Evelyn sudah mendekat. Ia menepuk permukaan sofa lembut di sisinya."Di mana Luna?" Wanita beranak satu itu mendudukkan diri di sisi ayahnya, sesuai perintah."Sudah masuk ke kamar dengan Mama, Papa hanya ingin berbicara empat mata denganmu." Kernyit tercipta di dahi Burhan ketika pada akhirnya ia melihat jari Evelyn terbungkus tisu bercorak merah. "Apa yang terjadi dengan tanganmu?""Aku tak sengaja melukainya saat mengiris apel."Mata tua Burhan kini menyorot dalam pada kedua mata putrinya, s
Mentari telah hampir tenggelam seluruhnya ketika Bennedict Alexander sampai di parkiran hotel tempat Damian menginap. Putranya telah mengirimkan alamat hotel itu hampir satu jam yang lalu, maka setelah urusannya selesai, pria baya nan tampan itu segera meluncur ke sana."Tinggalkan saja mobilnya di sini, kalian boleh kembali ke Jakarta." Bennedict berucap demikian setelah turun dari mobil yang ia naiki."Siap, Tuan! Ini kunci mobilnya." Satu orang yang menjadi pemimpin kaki-tangannya, pun seseorang yang tadi mengemudikan mobilnya menyerahkan kunci. Dua orang lainnya berdiri siaga di belakang pria itu. Sedangkan Bennedict menerima kunci mobilnya begitu saja, lalu memasukkannya ke dalam saku celana sebelum berbicara. "Kerjakan tugas kalian dengan baik selama saya tidak ada di tempat," perintahnya. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh orang-orangnya kemudian kembali bersuara. "Yang harus kalian ketahui, meskipun saya tidak berada di sana, saya masih akan tetap memantau kinerja kalian. Ja
Damian Alexander adalah seseorang yang lebih dahulu keluar dari pintu restoran tempat dirinya dan sang ayah mengisi perut siang ini. Setelah mereka angkat kaki dari rumah Burhan Adhitama, Bennedict Alexander memang berinisiatif mengajak putranya untuk mampir makan siang terlebih dahulu. Sebagai ayah, tentu Bennedict merasa khawatir melihat tubuh sang putra semakin kurus setiap harinya.Dan di sinilah mereka, di area parkir restoran yang cukup luas di tengah terik sang surya. Si pria muda berdarah Jerman itu masuk ke dalam mobil hitam yang ia sewa selama tinggal di Surabaya dengan tanpa kata. Melihat putranya telah berada di balik kemudi, Bennedict segera memberikan perintah pada seseorang yang sedari tadi mengikuti di belakang punggungnya."Tunggu di mobil, saya akan segera kembali."Perintah diterima, pria tinggi berjas abu-abu itu mengangguk patuh. "Baik, Tuan."Selanjutnya Bennedict bergegas menuju mobil putranya. Ia membuka pintu penumpang bagian depan, ikut masuk ke dalam mobil k
Kacamata hitam itu ia lepas kasar lalu diselipkan pada saku jas. Selanjutnya hela napas rendah terembus ketika ia mencoba bersikap tenang. Ya, ia harus tetap mampu mengontrol emosinya kendati ia cukup merasa kesal ketika melihat tingkah si putra semata wayang di depan sana.Pria matang itu adalah Bennedict Alexander. Ia datang dan mengikuti Damian sesuai janjinya; ia akan membantu putranya untuk meraih kebahagiaan. Dan kebahagian cetak biru dirinya itu adalah bersatu dengan Evelyn beserta Luna, maka sebagai seorang ayah tentu ia akan mengusahakannya dengan cara apa pun agar mampu mewujudkan impian sang putra.Sejujurnya Bennedict memiliki alasan yang kuat selain karena kasih sayangnya sebagai seorang ayah sehingga repot-repot datang ke Surabaya. Ia merasa bersalah. Ia sadar bahwa setelah kematian Darren Alexander, ia memperlakukan Damian dengan semaunya. Kasarnya, ia ingin menebus kesalahannya pada si putra bungsunya itu.Langkah panjang itu memutus jarak dengan tenang, lalu berdiri d
"Kau harus selalu mengingat apa kata Psikolog padamu." Obrolan itu mengalir di sela perjalanan menuju ke tempat parkir. Satu sesi konseling telah terlewati, dan kini mereka hendak kembali ke rumah."Iya." Pria berwajah oriental itu mengangguk, menyelaraskan langkah kaki dengan sang ibu, melewati jalan paving berpayungkan teduhnya pohon Tabebuya di sekitarnya."Jangan hanya diingat, kau harus melakukannya juga, Aksa." Lian Wijaya menyempatkan dirinya menatap sisi wajah tampan nan tirus itu, lengkap dengan ekspresi serius.Namun, putranya itu justru terkekeh kemudian berhenti melangkah demi memberikan atensi penuh pada wajah ibunya. "Baiklah, Mama. Aku akan melakukannya. Jangan khawatir begitu.""Kau satu-satunya putra Mama, Aksa. Mama hanya khawatir.""Aku tahu." Anggukan kepala Aksa berikan sebelum menyimpan kedua tangan di saku celana, bibir tipisnya mengukir senyum simpul. "Maaf karena aku sudah membuat Mama khawatir begini. Aku akan segera sembuh, seperti apa yang Psikolog katakan
"Kau sangat menyedihkan, Aksa!" kalimat itu lolos dari mulutnya ketika melihat pantulan dirinya sendiri di dalam cermin.Tatapan mata sehitam jelaga itu tak lagi berkharisma. Bagian bawah matanya yang menghitam menjadi bukti bahwa akhir-akhir ini pria itu tak pernah mendapati tidur yang nyenyak. Aksa Wijaya tampak kurus setelah gagal menikah. Dan kondisinya semakin memprihatinkan setelah menerima telepon dari Evelyn beberapa hari lalu.Suara ketukan di pintu kamarnya membuat atensi Aksa teralihkan. Sosok ibunyalah yang muncul dari balik daun pintu, menatap khawatir padanya."Mama," lirihnya.Lian Wijaya, ibunda Aksa mengalihkan tatapan mata pada nakas di sisi ranjang anaknya. Semangkuk sup jamur dan segelas air putih di atas nampan yang ia letakkan di sana pagi tadi tampak sedikit pun tak tersentuh. Sorot mata tua nan sipit itu seketika berubah sendu ketika mulai memutus jarak pada pria yang masih setia berdiri di depan cermin almarinya. "Kenapa sarapanmu masih utuh, Aksa?""Aku sedan
Setelah pesawat yang ia naiki mendarat di Bandara pagi ini, Damian segera menuju ke alamat rumah sakit yang ayahnya katakan di telepon. Ya, mau tidak mau pria itu pulang ke Jakarta. Bukan karena rasa takut, ia hanya merasa bersalah pada perempuan yang nyaris akan menjadi istrinya itu.Kedua orang tuanya sudah ada di kursi tunggu yang terletak di depan ruang perawatan Kiara Laurencia ketika langkah kaki panjang si pria menjejak di sana. Ada sosok ibunda si pasien yang duduk di sisi Sasmitha Alexander; ibunya. Dari raut wajah senja itu, Damian mampu melihat kabut duka yang pekat.Apakah ... kondisi Kiara begitu parah?Meski anak-anak mereka tak jadi menikah, namun ibu Kiara masih berhubungan baik dengan keluarga Damian. Pun keluarga pria itu pun memperlakukan mantan calon besannya serupa, mereka sudah bagaikan keluarga. "Damian, akhirnya kau datang." Sasmitha yang akhirnya lebih dulu menyadari kedatangan sang putra segera menyapa.Bennedict yang melihat wajah Damian kembali babak belur
Hal terakhir yang Damian ingat adalah pukulan Hiashi yang begitu kuat, selanjutnya kegelapan yang menyergap penglihatannya. Kini kepalanya terasa berdenyut-denyut, sangat tidak nyaman, menyakitkan. Bukan, bukan karena tinjuan si pria baya yang membuatnya kehilangan kesadaran. Ia tidak selemah itu. Hanya saja, tubuhnya memang sedang tidak dalam stamina yang baik hari ini, dan kebetulan pukulan terakhir dari ayah wanita yang ia cintai itu mengarah tepat di kepala. Ia goyah, dan ia tidak mengingat apa pun lagi setelahnya.Selanjutnya pria itu perlahan membuka mata, detik selanjutnya cahaya perlahan masuk ke retina matanya dan ... ia tersenyum. Meskipun samar, ia dapat mengenali sosok itu, sosok wanita berambut panjang yang duduk di sisi ranjang tempatnya berbaring dalam ruangan yang asing, kamar tamu jika tebakannya benar. Suara isak yang terdengar menguatkan dugaan si pria bahwa wanita itu tengah menangis. Ya, menangisi dirinya. Ada rasa hangat yang perlahan merambat di dada ketika me
Evelyn memang tergolong wanita yang rajin. Meski udara masih terasa dingin menggigit, ia sudah tampak beraktivitas di luar rumah. Ada sapu di tangannya, ia sedang membersihkan daun-daun kering yang berguguran di halaman."Masih pukul 6, apakah Aksa sudah bangun?" Wanita itu berujar pada diri sendiri, sejenak menghentikan gerakannya.Sekian detik berlalu, akhirnya Evelyn memutuskan untuk menelepon. Ia mengambil ponsel di saku celana, mencari kontak pria yang ingin ia hubungi kemudian menempelkannya di salah satu daun telinga.Dan tak lama kemudian terdengar suara dari ujung telepon sana, suara berat yang tak asing di telinga Evelyn."Hm." Hanya satu dehaman. Ya, hanya sebuah dehaman, namun hal itu cukup membuat jantung Evelyn berguncang, berdetak menyakitkan. Rasa bersalah itu kembali datang menyerang."Aksa, bagaiman—""Kukira kau sudah tak lagi mengingatku." Aksa sengaja memotong ucapan Evelyn. Meski dikatakan dengan nada biasa, namun tak mampu menutupi kegetiran di dalamnya.Di saat