"Apa tidak sebaiknya kalau kalian menginap lebih lama di sini? Luna terlihat nyenyak sekali. Kasihan kalau harus dibangunkan." Adalah Arjuna, seseorang yang berbicara ketika melihat Burhan dan Arini muncul dengan menggeret sebuah koper dari kamar yang mereka tempati di rumah itu. Penampilan sepasang suami-istri itu sudah tampak rapi meskipun jam di dinding sudah menunjukkan pukul 9 malam.
"Kami masih memiliki pekerjaan di Surabaya yang tidak bisa ditinggal lama, Nak. Lagi pula Luna juga harus tetap bersekolah di sana." Burhan yang menjawabnya. Pria baya itu mendudukkan diri di kursi empuk yang tersisa, disusul Sang istri yang duduk di sisinya.Sebenarnya Burhan merasa tidak tega saat menatap Luna yang tertidur berbantalkan paha Evelyn, raut lelah tampak jelas menghiasi gurat wajah gadis kecilnya. Kemarin malam Luna memang begitu bersemangat mengikuti setiap rangkaian pesta pernikahan Arjuna dan Karenina, bahkan balita itu baru bisa tidur setelah tengah malam.Sedangkan Evelyn hanya diam mengunci mulutnya dengan tangan tak henti membelai lembut rambut halus Luna. Meski tanpa kata, ia terlihat begitu berat saat harus hidup terpisah dari si balita. Sesuai rencana yang dirinya dan orang tuanya susun sejak jauh hari, wanita itu akan tinggal di Jakarta bersama Arjuna dan istrinya untuk melanjutkan pendidikan. Ia berencana akan mengambil kelas karyawan. Selain untuk mencari ilmu, ia pun ingin bekerja di sana.Yah, meskipun sejujurnya ia kini merasa ragu untuk tetap tinggal. Tepatnya setelah ia kembali bertemu dengan Damian malam itu, beruntung orang tuanya dan Luna datang setelah pria itu menjauh dan berbaur dengan tamu lainnya.Jika ia tinggal di kota yang sama dengan Damian, otomatis mereka mungkin akan kembali bertemu. Akibatnya, banyak kekhawatiran yang saat ini bertumpuk dalam kepalanya; terutama jika pria itu tahu tentang eksistensi Luna, kemudian menghancurkan apa yang ia dan kedua orang tuanya sudah korbankan selama ini untuk menutupi asal usul gadis kecilnya."Kami titip Evelyn saja di sini. Jika terjadi sesuatu, segera kabari kami. Tolong awasi dia, jangan sampai dia macam-macam saat kembali tinggal di ibu kota." Arini membuka suara, sekedar menambahkan apa yang diucapkan suaminya. Tentu kalimat terakhirnya hanya sekedar bercanda, namun hal tersebut berhasil membuat sang putri menekuk muka."Eve bukan anak kecil lagi, Ma!"Karenina yang saat ini tampak duduk bersandar manja di dada sang suami hanya tertawa renyah menanggapinya. Sedangkan Arjuna mengangguk-anggukkan kepala."Mama dan Papa hanya khawatir, Nak. Baru kali ini kau akan berpisah jauh dari kami." Suara berat Burhan kembali terdengar, begitu tulus menunjukkan rasa cemasnya sebagai seorang ayah terhadap sang putri tunggal. Sesuatu yang membuat air muka Evelyn berubah pilu, merasa terharu."Kami akan menjaga Evelyn dengan baik. Paman dan Bibi tenang saja. Iya kan, Sayang?" Karenina mendongak, sekedar meminta validasi. Dan setelah anggukan kepala sang suami kembali ia dapati, ia mengalihkan tatapan pada Evelyn. "Kau juga tidak perlu sungkan padaku, Eve. Anggap aku kakakmu juga, ya?""Baik, Kak. Terima kasih." Evelyn tentu menjawabnya dengan senyuman manis terpatri."Ya sudah. Sepertinya kami harus pamit sekarang. Hari sudah larut, kalian tidak perlu mengantar ke Stasiun.""Tapi Luna masih tidur." Ada nada tak rela dari mulut Evelyn ketika mengatakannya."Papa akan menggendongnya pelan-pelan.""Tapi—" tak mampu melanjutkan kata, Evelyn hanya mengembuskan napas resah dari mulutnya saat Sang ayah berhasil memindahkan Luna, menggendongnya di lengan. "Aku akan sangat merindukannya.""Kita bisa melakukan video call nanti. Jaga dirimu, Nak." Sebagai salam perpisahan, Arini sempatkan untuk mengusak rambut putrinya."Hati-hati di jalan. Segera kabari aku kalau sudah sampai."***Setelah kepergian kedua orang tuanya beserta Luna, suasana rumah menjadi lebih sunyi. Merasa malam sudah semakin larut, Evelyn mengayunkan langkah kakinya memasuki kamar yang sudah Arjuna sediakan untuknya untuk segera menjemput mimpi.Namun, saat ia mencoba mengecek ponselnya, ternyata ada satu pesan yang belum terbaca menghiasi layar.[Hai, Eve ... ini aku. Aku mendapatkan nomor teleponmu dari Juna. Bolehkah aku menyimpan kontakmu? - Damian]Wanita itu terkejut bukan main setelah membaca sebaris pesan itu, sampai-sampai ia menyimpan ponselnya di permukaan dada dengan mata sedikit membola. Ia menarik napas dalam-dalam untuk mengontrol laju jantungnya agar berdetak normal kembali.Setelah merasa lebih baik, ia mencoba membalas pesan dari pria itu.[Boleh.]Meskipun ia mengizinkan, tetapi dirinya berjanji untuk tidak terlalu sering berhubungan. Lagipula, jika ia tidak mengizinkan Damian menyimpan kontak teleponnya, bukankah justru akan mencurigakan?Dan yang tidak ia duga, teleponnya berdering di detik selanjutnya. Ternyata Damian langsung menelepon setelah membaca balasan pesan darinya. Meski ragu, Evelyn menekan ikon gagang telepon hijau lalu menempelkan ponselnya di daun telinga."Sudah larut malam kenapa belum tidur, hm?" dan sebuah suara maskulin segera menyambut pendengaran wanita itu."Aku sedang akan tidur." Evelyn menjawabnya singkat."Apakah aku mengganggumu? Bagaimana kabarmu?" lagi. Suara berat nan familiar itu kembali terdengar."Aku baik-baik saja. Bukankah kau sudah bertanya begitu ketika di resepsi pernikahan Kak Juna?"Dan derai tawa renyah hinggap di indera rungu Evelyn. "Haha. Iyakah? Aku hanya sangat merindukanmu, Eve. Lama sekali kita tidak bertemu."Wanita itu memejamkan mata. Entah kenapa mendengar pengakuan rindu dari pria di seberang telepon sana membuat dadanya nyeri sekaligus merasa kesal. Ia kembali teringat wanita cantik yang Damian bawa di pesta pernikahan Arjuna. Untuk apa pria itu merindukan wanita lain padahal ia sudah memiliki tunangan?"Apakah tunanganmu tidak akan marah saat tahu kalau kau meneleponku malam-malam dan bilang begini padaku?""Kiara tidak akan marah. Dia begitu mempercayaiku, begitu pula sebaliknya." Nyatanya Damian menjawab pertanyaan sarkas Evelyn dengan begitu santainya, seakan tanpa dosa."Sudah berapa lama?" hela napas berat terembus dari celah bibir tipis Evelyn setelah bertanya."Maksudmu?""Kau bertunangan dengan Kiara sudah berapa lama?" wanita itu memperjelas pertanyaannya."Hmm ... mungkin baru setengah tahun lalu? Aku memang sedikit pelupa. Yang pasti sudah cukup lama kami bersama, bahkan semenjak aku dan dia masih di Jerman.""Aku turut bahagia mendengarnya." Berbanding lurus dengan ucapannya, dada wanita itu terasa semakin perih. Pria yang ia cintai nyatanya telah berbahagia dengan wanita lain. Sedangkan dirinya? Ah, ia masih saja sibuk menangisi masa lalunya."Kau sendiri bagaimana? Apakah masih bersama ... Devano?"Senyum miris menghiasi wajah jelita wanita itu kala mendengar pertanyaan Damian. Devano, pria itu sudah tidak ada lagi di hidup dan hatinya sejak lama. Bahkan ia sendiri yang memutuskan hubungannya sesaat setelah sadar akan perasaannya terhadap pria yang saat ini sedang berbicara dengannya."Aku dan dia sudah lama berpisah, tepat setelah hari di mana kau menghilang."Ada keheningan setelah sepenggal kalimat yang Evelyn ucapkan. Setelah terdengar desah napas cukup panjang, barulah pria itu kembali bersuara."Maafkan aku. Aku akan menjelaskan semuanya, alasan kenapa aku pergi meninggalkan Indonesia dengan tiba-tiba." Agaknya Damian merasa begitu bersalah ketika mengingat peristiwa itu.Evelyn menekan dadanya cukup kencang dengan mata memejam pedih kala memori kelam itu kembali terekam dalam ingatannya, memori di malam pria itu pergi meninggalkan Indonesia tanpa pesan, memori yang menjadi awal kehancuran hidupnya saat ia mengungkapkan kehamilannya pada kedua orang tua."Jadi, bagaimana kalau kita bertemu besok? Ada banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu." Damian kembali membuka suara, mungkin karena Evelyn yang hanya terdiam tak membalas ucapannya."Tapi aku—"Belum sempat Evelyn meneruskan kata, Damian memotongnya. "Eits, aku tidak menerima penolakan. Bagikan lokasimu, besok saat jam makan siang aku akan menjemputmu."'Kau sama sekali tidak berubah. Masih saja pemaksa,' batin si wanita.Ah, bahkan Evelyn masih mengingat dengan jelas kebiasaan pria itu."Karena sudah semakin malam, sebaiknya kau tidur. Sampai jumpa, Eve."Panggilan telah diakhiri sepihak, tetapi Evelyn masih saja menempelkan ponselnya di telinga. Ia pun tidak mengerti, dirinya sudah tersakiti sebegitu parahnya, namun ia tetap tidak mampu membenci.***Tbc...Setelah bergelut dengan kemacetan lalu lintas, pada akhirnya mobil hitam metalik yang Damian kemudikan sudah berhenti di sisi gerbang rumah Arjuna. Pria itu kembali membaca peta elektronik di ponselnya, kembali memastikan bahwa dirinya sudah benar-benar sampai di titik tempat tujuan sesuai denah lokasi yang Evelyn kirimkan tadi malam."Sepertinya benar ini alamat rumahnya." Damian bergumam pada diri sendiri saat menatap hunian megah itu. Ia membuka pintu mobilnya kemudian menapakkan kaki pada paving di sekitar gerbang. Setelahnya, ia mendudukkan diri di kap mobilnya. Cuaca yang cukup terik siang itu tak sedikit pun membuatnya takut jika kulitnya akan terbakar.[Aku sudah sampai di depan gerbang.]Setelah yakin bahwa rumah besar bergaya Romawi itu benar tempat wanita yang ingin ia temui tinggal, Damian segera mengetikkan pesan untuknya. Ia memang sudah menantikan pertemuan ini sejak semalam. Tidak bertemu setelah bertahun lamanya membuat ia menanggung rindu yang begitu menggunung terha
Taman di halaman rumah berhiaskan berbagai macam bunga warna-warni menyambut pandangan Evelyn kala dirinya memutuskan keluar dari pintu rumah yang ia tinggali. Ada 2 buah kursi panjang berbahan besi yang dicat putih berada di tengah-tengah, saling berhadapan, bersekatkan sebuah meja berbentuk kubus yang dicat serupa.Sosok Karenina terlihat di antara tanaman indah itu, sedang membawa sebuah gembor untuk menyiram bunga-bunga di sudut kanan. Cahaya oranye senja yang menimpa, membuat sosok Sang kakak ipar tampak bercahaya. "Bisakah aku membantumu, Kak?" wanita itu berinisiatif menawarkan bantuan saat jarak sudah terpangkas. Karenina menoleh ke asal suara, dan ia tersenyum saat tatapannya menemukan sosok Evelyn. Ia tentu menyambut niat baik adik sepupunya."Tentu, Eve. Kau bisa menyiram bunga-bunga di bagian sana, ya? Di bagian sini biar aku saja." Ia menunjuk ke sisi kiri, pada sekumpulan tanaman bunga Lily dengan warna yang berbeda-beda."Siap." Gembor yang berada di sisi kran segera
"Papa ... Papa ...."Suara itu terdengar berdengung di telinga Damian. Suara seorang anak kecil perempuan yang cukup familier di telinga pria itu, suara yang jelas-jelas memanggil dirinya dengan sebutan 'Papa', meskipun ia tidak pernah dengan jelas mampu melihat sosoknya. Hanya samar-samar, di sudut kegelapan.Mata biru itu masih erat memejam, peluh pun telah membanjiri pelipisnya, membuat bantal yang ia gunakan menjadi basah. Bunga mimpi itu kembali hadir menyapa setelah sekian lama, entah mengapa. Kepala pria itu bergerak-gerak gelisah dalam tidurnya, lengkap dengan napas yang tidak beraturan. Akibatnya, seorang wanita yang berbagi tempat tidur dengannya menjadi terusik dari mimpi indahnya.Wanita itu ... Kiara Laurencia. Ia terbangun ketika merasa tempat di sisinya berguncang-guncang. Saat kedua mata indahnya membuka kemudian menemukan Sang tunangan dalam kondisi seperti itu, secara spontan ia terduduk demi meneliti lebih jelas raut tampan itu dengan kening mengernyit. "Sayang ...
"Sampai jumpa besok, Eve.""Sampai jumpa." Evelyn membalas lambaian tangan kedua teman barunya ketika menemui belokan, mereka menuju ke parkiran sedangkan dirinya tetap berjalan lurus menuju halaman depan untuk mencegat bus. Ia kedapatan membenarkan tali tas di bahu, lalu menatap lurus ke depan untuk meneruskan ayunan langkah kaki.Berusaha terlihat baik-baik saja saat perasaan tak menentu merupakan hal yang sukar untuk dilakukan. Senyum itu memang terulas di wajah jelita Evelyn, namun senyuman yang tak pernah sampai ke mata. Meski suasana hati wanita itu cukup kacau, namun ia masih mampu menahannya agar proses belajarnya tetap berjalan lancar. Entah bagaimana ucapan Damian tadi malam sukses membuatnya merasa sakit hati seharian ini. Perih sekali rasanya saat Damian berkata bahwa pria itu menginap di apartemen milik tunangannya. Tidur di ranjang yang sama, hal mustahil jika mereka tidak melakukan sesuatu, bukan? Pria itu pun pernah melakukan hal serupa saat bersama dengan dirinya be
Pertemuan terakhir baru saja usai, pun konsep iklan yang diajukan telah disetujui oleh semua pihak. Aksa Wijaya adalah seseorang yang menjadi perwakilan dari pihak klien, ia merupakan tangan kanan dari Arjuna Adhitama. Pria itu saat ini sedang melakukan monitoring ke beberapa cabang restoran miliknya sehingga tidak mampu datang menghadiri meeting penting kali ini.Arjuna merupakan seorang pengusaha yang cukup sukses di bidang kuliner. Ia memiliki banyak cabang restoran di seluruh Indonesia, Food'o Clock namanya. Restoran dengan tata ruang unik nan estetik tersebut memang sedang sangat digemari oleh semua orang, terkhusus anak muda, sebab menu yang mereka sajikan sangat bervariasi dengan menggabungkan konsep tradisional dan modern menjadi satu kesatuan. Selain makanan, restoran itu pun begitu terkenal dengan sajian es krimnya yang beraneka ragam.Meja persegi panjang dengan kursi-kursi empuk yang mengelilinginya itu hampir kosong seluruhnya, hanya meninggalkan dua sosok yang masih beta
"Aku pulang ...."Kedua wanita yang duduk di meja makan yang sama menoleh secara bersamaan, sejenak berhenti menyuap makanan kala suara maskulin yang sudah begitu akrab di telinga terdengar. Ada Arjuna dengan jas yang sudah tersampir di lengan kiri yang memasuki tatapan mata. "Selamat datang, Sayang." Sebagai seorang istri, Karenina menyambut kedatangan suaminya dengan ceria. Sedangkan Evelyn memilih untuk melanjutkan kembali acara makan malamnya."Wah, sepertinya enak." Meski gurat lelah tampak menghiasi wajah pria matang itu, namun tak menghapus senyum manisnya saat bertemu tatap dengan sang istri. Arjuna memberikan kecupan sayang di dahi setelah menatap beberapa sajian makanan menggugah selera di atas meja. Ada ayam teriyaki, capcai, dan berbagai olahan ikan laut yang terhidang."Tentu saja, aku memasak semua ini bersama Eve. Ternyata adik iparku ini begitu pandai memasak, ya?" Karenina berucap antusias saat sang suami sudah duduk pada kursi di sisinya, menyampirkan jas hitamnya p
Gaun berwarna dusty pink nan anggun bak Princess Aurora yang awalnya Kiara kenakan untuk pemotretan kini telah tanggal, berganti dengan gaun yang lebih simpel. Perempuan itu berlari kecil menuju ke arah Damian yang sedang duduk pada salah satu kursi yang posisinya tak jauh dari lokasi dengan senyum merekah di bibir."Lama menungguku?" tanyanya setelah mendaratkan sebuah kecupan singkat di bibir Si calon suami."Yah, tidak terlalu. Pekerjaanku sedang tidak terlalu padat, jadi aku berpikir untuk menjemputmu lebih cepat." Dengan senyum yang selalu tampan menawan, Damian menjawab pertanyaan si perempuan. "Apa kau lelah? Aku membawakanmu ini." Kemudian ia memberikan sebotol minuman isotonik padanya. "Kau benar-benar membuatku senang. Terima kasih, Sayang. Kau sangat perhatian. Kebetulan, aku memang sedang kehausan." Lengkungan bibir Kiara semakin melebar ketika menerima minuman dingin itu. Apalagi saat menyadari bahwa Damian telah membukakan tutup botol untuknya. Ia meneguk isinya pelan-p
[Hei, kau sudah sampai rumah?]Itu adalah pesan yang dikirim dari nomor Damian, beberapa menit yang lalu. Evelyn yang hendak melepas baju mengurungkan niatnya. Sedikit berdebar karena pesan itu datang dengan tiba-tiba. [Kenapa?]Wanita itu membalasnya singkat. Ia mengempaskan pantatnya pada pinggiran ranjang, lalu menyalakan Air Conditioner demi membuang gerah di badan.Dan tak lama setelah itu, teleponnya bergetar. Daripada berbalas pesan, ternyata Damian lebih senang bertelepon. Ketika alat komunikasi itu tertempel di salah satu daun telinga, suara berat pria di ujung telepon sana segera menyapa indera pendengarannya. "Aku tadi melihatmu di jalan dan terus saja memikirkanmu karena khawatir. Tadinya aku ingin memberimu tumpangan, tapi aku tidak bisa."Mendengar kalimat si pria, Evelyn terdiam selama beberapa saat untuk mencerna maksudnya. Ah, rupanya Damian melihat dirinya di jalan tadi. Ia memang baru saja pulang dari kampus tempat dirinya menimba ilmu. Setitik getaran hangat men
Damian Alexander adalah seseorang yang lebih dahulu keluar dari pintu restoran tempat dirinya dan sang ayah mengisi perut siang ini. Setelah mereka angkat kaki dari rumah Burhan Adhitama, Bennedict Alexander memang berinisiatif mengajak putranya untuk mampir makan siang terlebih dahulu. Sebagai ayah, tentu Bennedict merasa khawatir melihat tubuh sang putra semakin kurus setiap harinya.Dan di sinilah mereka, di area parkir restoran yang cukup luas di tengah terik sang surya. Si pria muda berdarah Jerman itu masuk ke dalam mobil hitam yang ia sewa selama tinggal di Surabaya dengan tanpa kata. Melihat putranya telah berada di balik kemudi, Bennedict segera memberikan perintah pada seseorang yang sedari tadi mengikuti di belakang punggungnya."Tunggu di mobil, saya akan segera kembali."Perintah diterima, pria tinggi berjas abu-abu itu mengangguk patuh. "Baik, Tuan."Selanjutnya Bennedict bergegas menuju mobil putranya. Ia membuka pintu penumpang bagian depan, ikut masuk ke dalam mobil k
Kacamata hitam itu ia lepas kasar lalu diselipkan pada saku jas. Selanjutnya hela napas rendah terembus ketika ia mencoba bersikap tenang. Ya, ia harus tetap mampu mengontrol emosinya kendati ia cukup merasa kesal ketika melihat tingkah si putra semata wayang di depan sana.Pria matang itu adalah Bennedict Alexander. Ia datang dan mengikuti Damian sesuai janjinya; ia akan membantu putranya untuk meraih kebahagiaan. Dan kebahagian cetak biru dirinya itu adalah bersatu dengan Evelyn beserta Luna, maka sebagai seorang ayah tentu ia akan mengusahakannya dengan cara apa pun agar mampu mewujudkan impian sang putra.Sejujurnya Bennedict memiliki alasan yang kuat selain karena kasih sayangnya sebagai seorang ayah sehingga repot-repot datang ke Surabaya. Ia merasa bersalah. Ia sadar bahwa setelah kematian Darren Alexander, ia memperlakukan Damian dengan semaunya. Kasarnya, ia ingin menebus kesalahannya pada si putra bungsunya itu.Langkah panjang itu memutus jarak dengan tenang, lalu berdiri d
"Kau harus selalu mengingat apa kata Psikolog padamu." Obrolan itu mengalir di sela perjalanan menuju ke tempat parkir. Satu sesi konseling telah terlewati, dan kini mereka hendak kembali ke rumah."Iya." Pria berwajah oriental itu mengangguk, menyelaraskan langkah kaki dengan sang ibu, melewati jalan paving berpayungkan teduhnya pohon Tabebuya di sekitarnya."Jangan hanya diingat, kau harus melakukannya juga, Aksa." Lian Wijaya menyempatkan dirinya menatap sisi wajah tampan nan tirus itu, lengkap dengan ekspresi serius.Namun, putranya itu justru terkekeh kemudian berhenti melangkah demi memberikan atensi penuh pada wajah ibunya. "Baiklah, Mama. Aku akan melakukannya. Jangan khawatir begitu.""Kau satu-satunya putra Mama, Aksa. Mama hanya khawatir.""Aku tahu." Anggukan kepala Aksa berikan sebelum menyimpan kedua tangan di saku celana, bibir tipisnya mengukir senyum simpul. "Maaf karena aku sudah membuat Mama khawatir begini. Aku akan segera sembuh, seperti apa yang Psikolog katakan
"Kau sangat menyedihkan, Aksa!" kalimat itu lolos dari mulutnya ketika melihat pantulan dirinya sendiri di dalam cermin.Tatapan mata sehitam jelaga itu tak lagi berkharisma. Bagian bawah matanya yang menghitam menjadi bukti bahwa akhir-akhir ini pria itu tak pernah mendapati tidur yang nyenyak. Aksa Wijaya tampak kurus setelah gagal menikah. Dan kondisinya semakin memprihatinkan setelah menerima telepon dari Evelyn beberapa hari lalu.Suara ketukan di pintu kamarnya membuat atensi Aksa teralihkan. Sosok ibunyalah yang muncul dari balik daun pintu, menatap khawatir padanya."Mama," lirihnya.Lian Wijaya, ibunda Aksa mengalihkan tatapan mata pada nakas di sisi ranjang anaknya. Semangkuk sup jamur dan segelas air putih di atas nampan yang ia letakkan di sana pagi tadi tampak sedikit pun tak tersentuh. Sorot mata tua nan sipit itu seketika berubah sendu ketika mulai memutus jarak pada pria yang masih setia berdiri di depan cermin almarinya. "Kenapa sarapanmu masih utuh, Aksa?""Aku sedan
Setelah pesawat yang ia naiki mendarat di Bandara pagi ini, Damian segera menuju ke alamat rumah sakit yang ayahnya katakan di telepon. Ya, mau tidak mau pria itu pulang ke Jakarta. Bukan karena rasa takut, ia hanya merasa bersalah pada perempuan yang nyaris akan menjadi istrinya itu.Kedua orang tuanya sudah ada di kursi tunggu yang terletak di depan ruang perawatan Kiara Laurencia ketika langkah kaki panjang si pria menjejak di sana. Ada sosok ibunda si pasien yang duduk di sisi Sasmitha Alexander; ibunya. Dari raut wajah senja itu, Damian mampu melihat kabut duka yang pekat.Apakah ... kondisi Kiara begitu parah?Meski anak-anak mereka tak jadi menikah, namun ibu Kiara masih berhubungan baik dengan keluarga Damian. Pun keluarga pria itu pun memperlakukan mantan calon besannya serupa, mereka sudah bagaikan keluarga. "Damian, akhirnya kau datang." Sasmitha yang akhirnya lebih dulu menyadari kedatangan sang putra segera menyapa.Bennedict yang melihat wajah Damian kembali babak belur
Hal terakhir yang Damian ingat adalah pukulan Hiashi yang begitu kuat, selanjutnya kegelapan yang menyergap penglihatannya. Kini kepalanya terasa berdenyut-denyut, sangat tidak nyaman, menyakitkan. Bukan, bukan karena tinjuan si pria baya yang membuatnya kehilangan kesadaran. Ia tidak selemah itu. Hanya saja, tubuhnya memang sedang tidak dalam stamina yang baik hari ini, dan kebetulan pukulan terakhir dari ayah wanita yang ia cintai itu mengarah tepat di kepala. Ia goyah, dan ia tidak mengingat apa pun lagi setelahnya.Selanjutnya pria itu perlahan membuka mata, detik selanjutnya cahaya perlahan masuk ke retina matanya dan ... ia tersenyum. Meskipun samar, ia dapat mengenali sosok itu, sosok wanita berambut panjang yang duduk di sisi ranjang tempatnya berbaring dalam ruangan yang asing, kamar tamu jika tebakannya benar. Suara isak yang terdengar menguatkan dugaan si pria bahwa wanita itu tengah menangis. Ya, menangisi dirinya. Ada rasa hangat yang perlahan merambat di dada ketika me
Evelyn memang tergolong wanita yang rajin. Meski udara masih terasa dingin menggigit, ia sudah tampak beraktivitas di luar rumah. Ada sapu di tangannya, ia sedang membersihkan daun-daun kering yang berguguran di halaman."Masih pukul 6, apakah Aksa sudah bangun?" Wanita itu berujar pada diri sendiri, sejenak menghentikan gerakannya.Sekian detik berlalu, akhirnya Evelyn memutuskan untuk menelepon. Ia mengambil ponsel di saku celana, mencari kontak pria yang ingin ia hubungi kemudian menempelkannya di salah satu daun telinga.Dan tak lama kemudian terdengar suara dari ujung telepon sana, suara berat yang tak asing di telinga Evelyn."Hm." Hanya satu dehaman. Ya, hanya sebuah dehaman, namun hal itu cukup membuat jantung Evelyn berguncang, berdetak menyakitkan. Rasa bersalah itu kembali datang menyerang."Aksa, bagaiman—""Kukira kau sudah tak lagi mengingatku." Aksa sengaja memotong ucapan Evelyn. Meski dikatakan dengan nada biasa, namun tak mampu menutupi kegetiran di dalamnya.Di saat
Cinta memang mampu membuat orang waras menjadi gila. Damian tak pernah merasa tenang sebelum bisa memiliki Evelyn, pun sang putri. Setidaknya ... ia harus sesegera mungkin menemui mereka, terutama si wanita pemilik hatinya. Ia ingin meminta penjelasan atas ucapan wanita itu tempo hari, perkataan yang sukses membuat hatinya hancur berkeping.Meskipun sang ayah berkata akan membantunya mendapatkan kedua perempuan yang ia cintai di dunia, namun ia bukanlah pria manja yang hanya menunggu bala bantuan tanpa usaha. Ia akan berjuang dengan tenaga dan tangannya sendiri.Malam itu juga Damian putuskan untuk mendatangi Arjuna di kediamannya. Tepat setelah menepikan mobil, ia bergegas turun kemudian menghampiri satpam yang berjaga di dekat gerbang hunian megah itu."Selamat malam, bisakah saya bertemu dengan Tuan Arjuna?" pria bertubuh tegap nan menjulang tinggi itu bertanya di balik pintu gerbang ketika dua satpam mulai datang mendekat atas kehadirannya."Selamat malam, Tuan. Apakah Anda sudah
Suasana hangat itu sudah tidak lagi Evelyn rasakan. Meskipun kini mereka tengah berkumpul di meja makan, namun hanya berteman keheningan. Setiap anggota keluarga sibuk dengan hidangan pun pikirannya masing-masing.Jujur saja Evelyn merasa tak nyaman dengan kondisi yang seperti ini. Arjuna kentara masih menyimpan kebencian padanya. Meskipun duduk di meja yang sama, pria berambut gondrong itu sedikit pun tak melihat ke arahnya, seakan kehadirannya tak pernah ada."Kak Juna tidak ingin mencicipi capcaynya? Aku sendiri yang memasaknya, loh." Evelyn mencoba membuka obrolan pada akhirnya. Ia hanya ingin mencairkan kebekuan di antara mereka.Capcay adalah makanan kesukaan pria itu. Tentu saja ia berharap jika Arjuna akan memberikan respons atas ucapannya, pun sedikit apresiasi atas sajian makanan yang ia buat khusus untuknya.Namun, ekspektasi memang sering kali tak sesuai fakta. Arjuna nyatanya tak sedikit pun mengindahkan ucapan Evelyn. Ia acuh tak acuh dan justru menyendokkan lauk lain ke