Menghadiri pesta pernikahan nan meriah adalah hal yang cukup merepotkan untuk Damian. Ia merupakan tipe pria penyuka ketenangan. Bila boleh jujur, ia lebih suka menghabiskan waktu dengan mendengarkan musik klasik di kamarnya daripada harus berkumpul dengan banyak orang seperti ini. Beruntung seseorang yang ia ajak bersedia untuk menemaninya malam ini.
"Itu dia pengantinnya. Kita langsung ke sana?" pria tinggi berperawakan asing itu menunjuk kedua mempelai pengantin lewat tatapan kedua mata birunya. Dan wanita yang mengamit lengannya merekahkan senyum manis pertanda setuju."Boleh."Namun, di tengah langkah beriringan mereka, Damian kedapatan mengerutkan keningnya. Ia baru sadar bahwa ada sosok yang tampak familier di dekat kedua pengantin."Bukankah itu Aksa?" lirihnya, lebih pada diri sendiri.Ah, rupanya ia tak menyadari kehadiran satu sosok lain. Sosok bertubuh mungil yang tampak terhalang sosok Si pengantin pria, Evelyn. Wanita itu memang sengaja mengatur posisinya agar tak sampai disadari pria yang baru saja datang itu."Aksa?" dan nyatanya lirihan itu direspon oleh wanita di sisinya."Dia temanku, pria tinggi yang berdiri di dekat pengantin." Damian menjelaskan singkat seiring langkahnya yang semakin panjang agar lebih cepat sampai ke sana. Tanpa dikira senyum pria itu semakin melebar saat menyentuh punggung tegap pria itu. "Aksa? Ah, ternyata benar. Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini."Evelyn membatu saat melihat Damian ternyata sudah berdiri di sekitarnya, hanya beberapa meter saja darinya. Sedangkan sepasang mempelai pengantin dan Aksa tampak antusias menyambut pria itu."Wah, siapa sangka Cassanova kita ini akan datang ke pesta pernikahan Arjuna?" Aksa tampak memberi pelukan singkat seraya terkekeh. "Lama tidak bertemu, Damian. Aku merindukanmu."Damian balas terkekeh menyambut pelukan singkat ala pria yang Aksa berikan padanya. "Kau ini bisa saja. Aku datang ke sini untuk menggantikan ayahku." Setelah mengatakan alasan kedatangannya, ia beralih menatap kedua sejoli pengantin untuk sekedar memberikan satu dua patah kata. "Ah, selamat atas pernikahan Anda berdua. Saya Damian Alexander, datang untuk menggantikan ayah saya, Benedict Alexander dari agensi periklanan Gama Enterprises. Beliau tidak bisa hadir karena suatu urusan mendesak.""Terima kasih. Tidak apa-apa, sampaikan saja salam saya untuk Tuan Benedict." Arjuna menanggapinya dengan senyum sopan penuh bahagia. Dan Damian membalas senyum itu segera."Akan saya sampaikan.""Selamat menikmati pestanya, Tuan Damian."Mungkin ini merupakan keajaiban dari Tuhan, Evelyn merasa bahwa Damian tidak menyari kehadirannya. Ia mundur satu langkah, mencoba menghindar. Rencananya ia akan diam-diam pergi dari sana, menuju ke sudut lain gedung atau mungkin menyusul Luna dan ibunya ke kamar mandi.Namun—"Hey, Eve ... kau mau ke mana?"Usahanya untuk melarikan diri digagalkan oleh Sang kakak sepupu.Damian yang awalnya hendak melangkah menjauh mengurungkan langkah kakinya saat sebuah nama terucap dari mulut Si pengantin. Ia kembali memutar kepala, menatap pada seraut wajah jelita yang terasa begitu akrab di ingatannya."Eve? Kau ... Evelyn?" tanya pria itu memastikan."Ah, i-iya." Dan mau tidak mau Evelyn mengangguk membenarkan. Adanya Arjuna dan istrinya beserta Aksa adalah hal yang membuatnya tak mampu mengelak kenyataan.Atas pengakuan Evelyn, terbitlah senyuman lebar Damian. Tanpa ia sangka dadanya menghangat karena pada akhirnya mereka kembali bertemu. Saking bahagianya, ia merasa seperti mimpi."Astaga, Eve! Ya ampun! Aku sempat pangling tadi." Secara refleks Damian memeluk si wanita, tanpa menyadari bahwa apa yang ia lakukan membuat tubuh wanita itu membeku. Ia memang sempat tak mengenalinya tadi, sebab wajah itu tampak lebih dewasa dan lebih cantik dari beberapa tahun silam. "Kau tidak mengingatku?""Aku ingat." Meskipun tubuhnya seakan membatu karena begitu terkejut dengan pelukan yang ia dapatkan secara tiba-tiba, Evelyn tetap berusaha menjawabnya setenang mungkin. Padahal dadanya sudah sangat berdebar-debar, bahkan hampir meledak."Lalu kenapa kau diam saja padahal melihatku, hm?" Damian melepas dekapannya, kedua telapak tangannya memegang bahu kecil Evelyn saat memberikan tatapan sarat kerinduan."Aku mengira kalau kau sudah lupa padaku." Evelyn menjawab seadanya, selirih bisikan angin malam hingga nyaris tak terdengar."Mana mungkin aku melupakanmu, huh? Aku selalu mengingatmu. Aku mencarimu ke mana-mana tapi tidak pernah ketemu. Kau ke mana saja?"'Benarkah?'Rasa hangat tanpa tahu malu menyelusup di dada Evelyn kala mendengar kalimat Damian. Sesaat ia lupa bahwa ada satu wanita cantik yang berdiri di sisi pria itu. Entah kenapa di hatinya mulai muncul sebuah harapan bahwa Damian memang menaruh rasa yang sama padanya.Ya, Evelyn mengakuinya sekarang. Rasa cintanya pada pria di depannya ini tak pernah mau hilang meskipun sudah berulang kali ia mencoba menguburnya dalam-dalam. Terlebih dengan hadirnya Luna, membuat ia semakin sukar untuk memupuskan rasa itu pada ayah biologis gadis kecilnya."Tunggu ... kalian saling mengenal?" Arjuna yang sedari tadi diam menyimpan banyak tanya atas interaksi Sang adik sepupu bersama pria bernama Damian pada akhirnya menyerukan rasa ingin tahunya. Dan pernyataan itu seakan mewakili keingintahuan Aksa dan juga Karenina, istrinya."Tentu saja. Dia satu-satunya orang terdekatku ketika kami masih di bangku SMA. Yah, meskipun kami tidak satu kelas, dia adik kelasku." Damian menjawabnya dengan melingkarkan lengan di bahu pendek Evelyn, namun tatapan mata biru itu terarah pada Arjuna Adhitama. Di detik selanjutnya ia kembali memusatkan atensi pada mata indah nan cemerlang wanita di sisinya. "Bagaimana kabarmu, Eve?""Baik. Kau sendiri?""Yah, aku baik. Seperti yang terlihat."Saat pandangan mata indah Evelyn tanpa sengaja kembali jatuh pada wanita yang datang bersama Damian, rasa penasaran kembali datang mengganggu. Setelah sedikit menimbang, pada akhirnya ia memilih opsi untuk mengutarakan isi pikirannya."Nggg ... wanita yang bersamamu?"Satu pernyataan dari Evelyn membuat Damian segera melepaskan rengkuhannya kemudian kedapatan menepuk jidatnya. "Ah, astaga! Aku sampai lupa memperkenalkan kalian." Ia menggeser posisinya mendekat pada wanita yang datang bersamanya, berganti melingkarkan lengan di pinggang si wanita dengan posesif. "Perkenalkan. Dia Evelyn, dia temanku. Dan, Eve, dia bernama Kiara. Dia ... tunanganku."Seakan disambar petir, tubuh Evelyn menegang sempurna seiring setitik harapan itu sirna. Bahkan hubungan Damian dengan wanita berparas jelita dengan rambut kecokelatan sebahu bernama Kiara sudah lebih dari sekedar pasangan kekasih.Jangan ditanya bagaimana kondisi hatinya. Sudah pasti telah hancur lebur. Perihnya seakan tercabik-cabik tanpa ampun.Sedangkan Kiara tampak mengulurkan tangannya. Ia berusaha menampilkan senyuman manis pada Evelyn, hal yang membuat wanita itu mau tidak mau menjabat tangannya."Senang bisa berkenalan denganmu, Eve. Kau tahu, Damian banyak bercerita tentangmu padaku."Dan demi apa pun! Bukan hanya parasnya saja yang menawan, bahkan suara Kiara terdengar begitu merdu di telinga. Evelyn tersenyum sendu, pantas saja Damian jatuh cinta pada wanita itu."Begitu." Yah, ia hanya bisa merespons seadanya. Ia terlalu sibuk menyatukan kepingan demi kepingan hatinya."Wah, dunia ternyata begitu sempit, ya? Aku tidak menyangka kalau kau berteman sangat dekat dengan adikku. Kau teman Aksa juga?" Arjuna kembali bersuara. Tentu pertanyaan itu ditujukan untuk Damian."Iya, kami satu Universitas ketika di Jerman.""Bisa dibilang, kami adalah sahabat. Kau pasti terkejut, bukan?" kali ini Aksa turut menimpali diselingi tertawa renyah."Sangat tidak terduga. Kita bisa semakin akrab kalau begitu." Dan tawa itu menular cepat pada Arjuna. Setelahnya, Si pengantin pria kembali menatap Damian. "Mulai sekarang kau tidak perlu berbicara formal padaku, anggap saja aku seperti kakakmu.""Tentu. Terima kasih, Kak---""Juna. Namaku Arjuna Adhitama."Perbincangan itu terasa kabur di telinga Evelyn. Sembari menahan nyeri di dada, ia hanya mampu berharap semoga Luna beserta ayah dan ibunya tidak buru-buru menghampiri mereka.***Tbc..."Apa tidak sebaiknya kalau kalian menginap lebih lama di sini? Luna terlihat nyenyak sekali. Kasihan kalau harus dibangunkan." Adalah Arjuna, seseorang yang berbicara ketika melihat Burhan dan Arini muncul dengan menggeret sebuah koper dari kamar yang mereka tempati di rumah itu. Penampilan sepasang suami-istri itu sudah tampak rapi meskipun jam di dinding sudah menunjukkan pukul 9 malam."Kami masih memiliki pekerjaan di Surabaya yang tidak bisa ditinggal lama, Nak. Lagi pula Luna juga harus tetap bersekolah di sana." Burhan yang menjawabnya. Pria baya itu mendudukkan diri di kursi empuk yang tersisa, disusul Sang istri yang duduk di sisinya. Sebenarnya Burhan merasa tidak tega saat menatap Luna yang tertidur berbantalkan paha Evelyn, raut lelah tampak jelas menghiasi gurat wajah gadis kecilnya. Kemarin malam Luna memang begitu bersemangat mengikuti setiap rangkaian pesta pernikahan Arjuna dan Karenina, bahkan balita itu baru bisa tidur setelah tengah malam. Sedangkan Evelyn hanya
Setelah bergelut dengan kemacetan lalu lintas, pada akhirnya mobil hitam metalik yang Damian kemudikan sudah berhenti di sisi gerbang rumah Arjuna. Pria itu kembali membaca peta elektronik di ponselnya, kembali memastikan bahwa dirinya sudah benar-benar sampai di titik tempat tujuan sesuai denah lokasi yang Evelyn kirimkan tadi malam."Sepertinya benar ini alamat rumahnya." Damian bergumam pada diri sendiri saat menatap hunian megah itu. Ia membuka pintu mobilnya kemudian menapakkan kaki pada paving di sekitar gerbang. Setelahnya, ia mendudukkan diri di kap mobilnya. Cuaca yang cukup terik siang itu tak sedikit pun membuatnya takut jika kulitnya akan terbakar.[Aku sudah sampai di depan gerbang.]Setelah yakin bahwa rumah besar bergaya Romawi itu benar tempat wanita yang ingin ia temui tinggal, Damian segera mengetikkan pesan untuknya. Ia memang sudah menantikan pertemuan ini sejak semalam. Tidak bertemu setelah bertahun lamanya membuat ia menanggung rindu yang begitu menggunung terha
Taman di halaman rumah berhiaskan berbagai macam bunga warna-warni menyambut pandangan Evelyn kala dirinya memutuskan keluar dari pintu rumah yang ia tinggali. Ada 2 buah kursi panjang berbahan besi yang dicat putih berada di tengah-tengah, saling berhadapan, bersekatkan sebuah meja berbentuk kubus yang dicat serupa.Sosok Karenina terlihat di antara tanaman indah itu, sedang membawa sebuah gembor untuk menyiram bunga-bunga di sudut kanan. Cahaya oranye senja yang menimpa, membuat sosok Sang kakak ipar tampak bercahaya. "Bisakah aku membantumu, Kak?" wanita itu berinisiatif menawarkan bantuan saat jarak sudah terpangkas. Karenina menoleh ke asal suara, dan ia tersenyum saat tatapannya menemukan sosok Evelyn. Ia tentu menyambut niat baik adik sepupunya."Tentu, Eve. Kau bisa menyiram bunga-bunga di bagian sana, ya? Di bagian sini biar aku saja." Ia menunjuk ke sisi kiri, pada sekumpulan tanaman bunga Lily dengan warna yang berbeda-beda."Siap." Gembor yang berada di sisi kran segera
"Papa ... Papa ...."Suara itu terdengar berdengung di telinga Damian. Suara seorang anak kecil perempuan yang cukup familier di telinga pria itu, suara yang jelas-jelas memanggil dirinya dengan sebutan 'Papa', meskipun ia tidak pernah dengan jelas mampu melihat sosoknya. Hanya samar-samar, di sudut kegelapan.Mata biru itu masih erat memejam, peluh pun telah membanjiri pelipisnya, membuat bantal yang ia gunakan menjadi basah. Bunga mimpi itu kembali hadir menyapa setelah sekian lama, entah mengapa. Kepala pria itu bergerak-gerak gelisah dalam tidurnya, lengkap dengan napas yang tidak beraturan. Akibatnya, seorang wanita yang berbagi tempat tidur dengannya menjadi terusik dari mimpi indahnya.Wanita itu ... Kiara Laurencia. Ia terbangun ketika merasa tempat di sisinya berguncang-guncang. Saat kedua mata indahnya membuka kemudian menemukan Sang tunangan dalam kondisi seperti itu, secara spontan ia terduduk demi meneliti lebih jelas raut tampan itu dengan kening mengernyit. "Sayang ...
"Sampai jumpa besok, Eve.""Sampai jumpa." Evelyn membalas lambaian tangan kedua teman barunya ketika menemui belokan, mereka menuju ke parkiran sedangkan dirinya tetap berjalan lurus menuju halaman depan untuk mencegat bus. Ia kedapatan membenarkan tali tas di bahu, lalu menatap lurus ke depan untuk meneruskan ayunan langkah kaki.Berusaha terlihat baik-baik saja saat perasaan tak menentu merupakan hal yang sukar untuk dilakukan. Senyum itu memang terulas di wajah jelita Evelyn, namun senyuman yang tak pernah sampai ke mata. Meski suasana hati wanita itu cukup kacau, namun ia masih mampu menahannya agar proses belajarnya tetap berjalan lancar. Entah bagaimana ucapan Damian tadi malam sukses membuatnya merasa sakit hati seharian ini. Perih sekali rasanya saat Damian berkata bahwa pria itu menginap di apartemen milik tunangannya. Tidur di ranjang yang sama, hal mustahil jika mereka tidak melakukan sesuatu, bukan? Pria itu pun pernah melakukan hal serupa saat bersama dengan dirinya be
Pertemuan terakhir baru saja usai, pun konsep iklan yang diajukan telah disetujui oleh semua pihak. Aksa Wijaya adalah seseorang yang menjadi perwakilan dari pihak klien, ia merupakan tangan kanan dari Arjuna Adhitama. Pria itu saat ini sedang melakukan monitoring ke beberapa cabang restoran miliknya sehingga tidak mampu datang menghadiri meeting penting kali ini.Arjuna merupakan seorang pengusaha yang cukup sukses di bidang kuliner. Ia memiliki banyak cabang restoran di seluruh Indonesia, Food'o Clock namanya. Restoran dengan tata ruang unik nan estetik tersebut memang sedang sangat digemari oleh semua orang, terkhusus anak muda, sebab menu yang mereka sajikan sangat bervariasi dengan menggabungkan konsep tradisional dan modern menjadi satu kesatuan. Selain makanan, restoran itu pun begitu terkenal dengan sajian es krimnya yang beraneka ragam.Meja persegi panjang dengan kursi-kursi empuk yang mengelilinginya itu hampir kosong seluruhnya, hanya meninggalkan dua sosok yang masih beta
"Aku pulang ...."Kedua wanita yang duduk di meja makan yang sama menoleh secara bersamaan, sejenak berhenti menyuap makanan kala suara maskulin yang sudah begitu akrab di telinga terdengar. Ada Arjuna dengan jas yang sudah tersampir di lengan kiri yang memasuki tatapan mata. "Selamat datang, Sayang." Sebagai seorang istri, Karenina menyambut kedatangan suaminya dengan ceria. Sedangkan Evelyn memilih untuk melanjutkan kembali acara makan malamnya."Wah, sepertinya enak." Meski gurat lelah tampak menghiasi wajah pria matang itu, namun tak menghapus senyum manisnya saat bertemu tatap dengan sang istri. Arjuna memberikan kecupan sayang di dahi setelah menatap beberapa sajian makanan menggugah selera di atas meja. Ada ayam teriyaki, capcai, dan berbagai olahan ikan laut yang terhidang."Tentu saja, aku memasak semua ini bersama Eve. Ternyata adik iparku ini begitu pandai memasak, ya?" Karenina berucap antusias saat sang suami sudah duduk pada kursi di sisinya, menyampirkan jas hitamnya p
Gaun berwarna dusty pink nan anggun bak Princess Aurora yang awalnya Kiara kenakan untuk pemotretan kini telah tanggal, berganti dengan gaun yang lebih simpel. Perempuan itu berlari kecil menuju ke arah Damian yang sedang duduk pada salah satu kursi yang posisinya tak jauh dari lokasi dengan senyum merekah di bibir."Lama menungguku?" tanyanya setelah mendaratkan sebuah kecupan singkat di bibir Si calon suami."Yah, tidak terlalu. Pekerjaanku sedang tidak terlalu padat, jadi aku berpikir untuk menjemputmu lebih cepat." Dengan senyum yang selalu tampan menawan, Damian menjawab pertanyaan si perempuan. "Apa kau lelah? Aku membawakanmu ini." Kemudian ia memberikan sebotol minuman isotonik padanya. "Kau benar-benar membuatku senang. Terima kasih, Sayang. Kau sangat perhatian. Kebetulan, aku memang sedang kehausan." Lengkungan bibir Kiara semakin melebar ketika menerima minuman dingin itu. Apalagi saat menyadari bahwa Damian telah membukakan tutup botol untuknya. Ia meneguk isinya pelan-p
Kacamata hitam itu ia lepas kasar lalu diselipkan pada saku jas. Selanjutnya hela napas rendah terembus ketika ia mencoba bersikap tenang. Ya, ia harus tetap mampu mengontrol emosinya kendati ia cukup merasa kesal ketika melihat tingkah si putra semata wayang di depan sana.Pria matang itu adalah Bennedict Alexander. Ia datang dan mengikuti Damian sesuai janjinya; ia akan membantu putranya untuk meraih kebahagiaan. Dan kebahagian cetak biru dirinya itu adalah bersatu dengan Evelyn beserta Luna, maka sebagai seorang ayah tentu ia akan mengusahakannya dengan cara apa pun agar mampu mewujudkan impian sang putra.Sejujurnya Bennedict memiliki alasan yang kuat selain karena kasih sayangnya sebagai seorang ayah sehingga repot-repot datang ke Surabaya. Ia merasa bersalah. Ia sadar bahwa setelah kematian Darren Alexander, ia memperlakukan Damian dengan semaunya. Kasarnya, ia ingin menebus kesalahannya pada si putra bungsunya itu.Langkah panjang itu memutus jarak dengan tenang, lalu berdiri d
"Kau harus selalu mengingat apa kata Psikolog padamu." Obrolan itu mengalir di sela perjalanan menuju ke tempat parkir. Satu sesi konseling telah terlewati, dan kini mereka hendak kembali ke rumah."Iya." Pria berwajah oriental itu mengangguk, menyelaraskan langkah kaki dengan sang ibu, melewati jalan paving berpayungkan teduhnya pohon Tabebuya di sekitarnya."Jangan hanya diingat, kau harus melakukannya juga, Aksa." Lian Wijaya menyempatkan dirinya menatap sisi wajah tampan nan tirus itu, lengkap dengan ekspresi serius.Namun, putranya itu justru terkekeh kemudian berhenti melangkah demi memberikan atensi penuh pada wajah ibunya. "Baiklah, Mama. Aku akan melakukannya. Jangan khawatir begitu.""Kau satu-satunya putra Mama, Aksa. Mama hanya khawatir.""Aku tahu." Anggukan kepala Aksa berikan sebelum menyimpan kedua tangan di saku celana, bibir tipisnya mengukir senyum simpul. "Maaf karena aku sudah membuat Mama khawatir begini. Aku akan segera sembuh, seperti apa yang Psikolog katakan
"Kau sangat menyedihkan, Aksa!" kalimat itu lolos dari mulutnya ketika melihat pantulan dirinya sendiri di dalam cermin.Tatapan mata sehitam jelaga itu tak lagi berkharisma. Bagian bawah matanya yang menghitam menjadi bukti bahwa akhir-akhir ini pria itu tak pernah mendapati tidur yang nyenyak. Aksa Wijaya tampak kurus setelah gagal menikah. Dan kondisinya semakin memprihatinkan setelah menerima telepon dari Evelyn beberapa hari lalu.Suara ketukan di pintu kamarnya membuat atensi Aksa teralihkan. Sosok ibunyalah yang muncul dari balik daun pintu, menatap khawatir padanya."Mama," lirihnya.Lian Wijaya, ibunda Aksa mengalihkan tatapan mata pada nakas di sisi ranjang anaknya. Semangkuk sup jamur dan segelas air putih di atas nampan yang ia letakkan di sana pagi tadi tampak sedikit pun tak tersentuh. Sorot mata tua nan sipit itu seketika berubah sendu ketika mulai memutus jarak pada pria yang masih setia berdiri di depan cermin almarinya. "Kenapa sarapanmu masih utuh, Aksa?""Aku sedan
Setelah pesawat yang ia naiki mendarat di Bandara pagi ini, Damian segera menuju ke alamat rumah sakit yang ayahnya katakan di telepon. Ya, mau tidak mau pria itu pulang ke Jakarta. Bukan karena rasa takut, ia hanya merasa bersalah pada perempuan yang nyaris akan menjadi istrinya itu.Kedua orang tuanya sudah ada di kursi tunggu yang terletak di depan ruang perawatan Kiara Laurencia ketika langkah kaki panjang si pria menjejak di sana. Ada sosok ibunda si pasien yang duduk di sisi Sasmitha Alexander; ibunya. Dari raut wajah senja itu, Damian mampu melihat kabut duka yang pekat.Apakah ... kondisi Kiara begitu parah?Meski anak-anak mereka tak jadi menikah, namun ibu Kiara masih berhubungan baik dengan keluarga Damian. Pun keluarga pria itu pun memperlakukan mantan calon besannya serupa, mereka sudah bagaikan keluarga. "Damian, akhirnya kau datang." Sasmitha yang akhirnya lebih dulu menyadari kedatangan sang putra segera menyapa.Bennedict yang melihat wajah Damian kembali babak belur
Hal terakhir yang Damian ingat adalah pukulan Hiashi yang begitu kuat, selanjutnya kegelapan yang menyergap penglihatannya. Kini kepalanya terasa berdenyut-denyut, sangat tidak nyaman, menyakitkan. Bukan, bukan karena tinjuan si pria baya yang membuatnya kehilangan kesadaran. Ia tidak selemah itu. Hanya saja, tubuhnya memang sedang tidak dalam stamina yang baik hari ini, dan kebetulan pukulan terakhir dari ayah wanita yang ia cintai itu mengarah tepat di kepala. Ia goyah, dan ia tidak mengingat apa pun lagi setelahnya.Selanjutnya pria itu perlahan membuka mata, detik selanjutnya cahaya perlahan masuk ke retina matanya dan ... ia tersenyum. Meskipun samar, ia dapat mengenali sosok itu, sosok wanita berambut panjang yang duduk di sisi ranjang tempatnya berbaring dalam ruangan yang asing, kamar tamu jika tebakannya benar. Suara isak yang terdengar menguatkan dugaan si pria bahwa wanita itu tengah menangis. Ya, menangisi dirinya. Ada rasa hangat yang perlahan merambat di dada ketika me
Evelyn memang tergolong wanita yang rajin. Meski udara masih terasa dingin menggigit, ia sudah tampak beraktivitas di luar rumah. Ada sapu di tangannya, ia sedang membersihkan daun-daun kering yang berguguran di halaman."Masih pukul 6, apakah Aksa sudah bangun?" Wanita itu berujar pada diri sendiri, sejenak menghentikan gerakannya.Sekian detik berlalu, akhirnya Evelyn memutuskan untuk menelepon. Ia mengambil ponsel di saku celana, mencari kontak pria yang ingin ia hubungi kemudian menempelkannya di salah satu daun telinga.Dan tak lama kemudian terdengar suara dari ujung telepon sana, suara berat yang tak asing di telinga Evelyn."Hm." Hanya satu dehaman. Ya, hanya sebuah dehaman, namun hal itu cukup membuat jantung Evelyn berguncang, berdetak menyakitkan. Rasa bersalah itu kembali datang menyerang."Aksa, bagaiman—""Kukira kau sudah tak lagi mengingatku." Aksa sengaja memotong ucapan Evelyn. Meski dikatakan dengan nada biasa, namun tak mampu menutupi kegetiran di dalamnya.Di saat
Cinta memang mampu membuat orang waras menjadi gila. Damian tak pernah merasa tenang sebelum bisa memiliki Evelyn, pun sang putri. Setidaknya ... ia harus sesegera mungkin menemui mereka, terutama si wanita pemilik hatinya. Ia ingin meminta penjelasan atas ucapan wanita itu tempo hari, perkataan yang sukses membuat hatinya hancur berkeping.Meskipun sang ayah berkata akan membantunya mendapatkan kedua perempuan yang ia cintai di dunia, namun ia bukanlah pria manja yang hanya menunggu bala bantuan tanpa usaha. Ia akan berjuang dengan tenaga dan tangannya sendiri.Malam itu juga Damian putuskan untuk mendatangi Arjuna di kediamannya. Tepat setelah menepikan mobil, ia bergegas turun kemudian menghampiri satpam yang berjaga di dekat gerbang hunian megah itu."Selamat malam, bisakah saya bertemu dengan Tuan Arjuna?" pria bertubuh tegap nan menjulang tinggi itu bertanya di balik pintu gerbang ketika dua satpam mulai datang mendekat atas kehadirannya."Selamat malam, Tuan. Apakah Anda sudah
Suasana hangat itu sudah tidak lagi Evelyn rasakan. Meskipun kini mereka tengah berkumpul di meja makan, namun hanya berteman keheningan. Setiap anggota keluarga sibuk dengan hidangan pun pikirannya masing-masing.Jujur saja Evelyn merasa tak nyaman dengan kondisi yang seperti ini. Arjuna kentara masih menyimpan kebencian padanya. Meskipun duduk di meja yang sama, pria berambut gondrong itu sedikit pun tak melihat ke arahnya, seakan kehadirannya tak pernah ada."Kak Juna tidak ingin mencicipi capcaynya? Aku sendiri yang memasaknya, loh." Evelyn mencoba membuka obrolan pada akhirnya. Ia hanya ingin mencairkan kebekuan di antara mereka.Capcay adalah makanan kesukaan pria itu. Tentu saja ia berharap jika Arjuna akan memberikan respons atas ucapannya, pun sedikit apresiasi atas sajian makanan yang ia buat khusus untuknya.Namun, ekspektasi memang sering kali tak sesuai fakta. Arjuna nyatanya tak sedikit pun mengindahkan ucapan Evelyn. Ia acuh tak acuh dan justru menyendokkan lauk lain ke
Sasmitha Alexander sudah tampak duduk manis di ruang makan ketika Damian menyeret langkah kakinya menuju ke sana. Senyuman hangat itu menyambutnya ketika wanita yang telah melahirkan dirinya ke dunia itu telah menyadari keberadaannya."Duduklah, Dam. Kita tunggu Papamu sebentar, ya?" Sasmitha bangkit berdiri, menarikkan kursi untuk putranya sebelum kembali duduk ke tempat semula.Damian hanya mengangguk, mendudukkan diri dengan senyum tipis tanda menghargai. Semenjak pulang dari rumah sakit, ia mulai mau diajak makan bersama, seperti bertahun lalu ketika sang kakak masih ada.Pria berdarah Jerman itu memang sudah keluar dari rumah sakit beberapa hari lalu. Meski ia sempat mendapatkan luka lebam cukup berat, namun ternyata tubuhnya begitu cepat menyembuhkan diri. Beruntungnya, tiada satu pun tulangnya yang patah akibat pukulan membabi buta kemarin."Bagaimana kondisimu? Apakah sudah merasa lebih baik?" sebagai seorang ibu, tentu Sasmitha mencurahkan seluruh perhatiannya. "Lumayan. Sud