Setelah Lima Tahun

Setelah Lima Tahun

last updateTerakhir Diperbarui : 2022-04-12
Oleh:  Lis SusanawatiTamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
9.9
141 Peringkat. 141 Ulasan-ulasan
158Bab
1.1MDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Mereka mengira kami baik-baik saja. Mereka tidak tahu apa yang terjadi di istana kami. Kenyataan yang membuatku harus memilih, bertahan atau melepaskan.Dia pria yang menghalalkanku lima tahun yang lalu ternyata masih menyimpan kisah yang belum usai dengan perempuan itu, masa lalunya.

Lihat lebih banyak

Bab 1

Part 1 Aku yang Menyerah

Part 1 Aku yang Menyerah

"Cerai? Kamu serius?" tanya Miya dengan mimik muka tidak percaya. Dia memandangku lekat.

"Ya."

"Sudah kamu pikirkan masak-masak."

"Hu um. Ini sudah keputusan finalku. Aku menyerah dengan cinta yang kuperjuangkan selama ini. Nyatanya sampe sekarang aku tidak pernah jadi pemenangnya. Hati Mas Ilham tetap untuk Nura."

Rasanya sangat sakit mengucapkan kalimat itu. Namun aku memang butuh teman berbagi, agar beban dan luka dada ini terasa berkurang. 

Miya sudah kukenal sejak duduk di bangku SMA hingga kuliah. Dia juga yang tahu bagaimana hubunganku dan Mas Ilham bermula.

"Kalian punya Syifa. Apa enggak kasihan sama anak."

Kupandang bocah perempuan yang asyik bermain dengan Tita, anaknya Miya yang seumuran dengan Syifa.

"Syifa enggak begitu dekat dengan papanya. Jadi enggak akan berpengaruh dengan perpisahan kami."

Miya menggenggam erat tanganku yang dingin. Sebak di dada ini tidak lagi mengalirkan air mata seperti biasanya. Hatiku memang sudah beku dengan drama yang terjadi di rumah tangga yang terbina lima tahun ini.

"Sabar, Vi."

Aku tersenyum getir.

"Apa ibumu dan mertuamu sudah tahu."

"Sebelumnya aku sudah minta pertimbangan sama Ibu. Beliau enggak bisa berkata apa-apa. Ibu juga tahu aku sudah cukup bertahan selama ini. Kalau mertuaku ... masih berharap bahwa kami akan baik-baik saja."

"Ilham sendiri bagaimana?"

"Masih diam."

Kualihkan pandanganku pada mentari di ujung barat. Sinarnya mulai meredup di antara gumpalan mega-mega putih.

"Teman-teman kita akan kaget mendengar ini," gumam Miya.

Tentu saja mereka akan kaget. Sebab orang-orang di luar melihat kami hidup dengan harmonis. Mereka mana tahu, apa yang sesungguhnya terjadi di istana megah kami. Aku hanyalah ratu tanpa mahkota di sana. Aku hanya pelengkap status bagi pria yang menikahiku lima tahun yang lalu.

Aku sudah berusaha semampuku menjadi istri yang berbakti untuknya. Melayani dengan paripurna, tapi masa lalu masih juga merongrongnya.

Cerai? Selama lima tahun ini aku tidak pernah berpikir mengambil jalan itu. Aku percaya semua akan membaik pada akhirnya. Namun kini aku harus menyerah juga. 

Malam setelah kupergoki Mas Ilham tertidur di ruang kerjanya, saat itu ditangannya ada buku yang terselip foto lama seorang wanita. Dia Nura. Mantan kekasihnya.

Bukan alasan itu saja yang membuatku nekat bercerai. Waktu Mas Ilham opname, dari kaca pintu kulihat Nura menyuapinya dengan penuh perhatian. Mereka bercengkrama layaknya pasangan yang bercinta.

"Vi," panggilan Miya membuyarkan lamunanku.

Aku menarik napas panjang, melihat jam tangan kemudian meraih hand bag di atas meja taman, tempat di mana aku dan Miya bertemu sore itu.

"Ayo, kita pulang Miya. Nanti suamimu pulang kerja kalian enggak ada di rumah."

"Vi, aku yakin kamu kuat. Hadapi dengan sabar dan doa."

Aku mengangguk. Kurasa aku cukup kuat selama ini. Bertahan dalam mahligai tanpa ada cinta di dalamnya.

"Syifa, ayo kita pulang, Sayang."

Dua bocah perempuan itu berlari pada kami. Miya mengajak anaknya pulang jalan kaki setelah aku naik taksi bersama Syifa. Taman itu memang tidak jauh dari perumahannya. Tadi aku belanja kebutuhan rumah di pusat perbelanjaan yang tidak jauh dari rumah Miya. Makanya sekalian kuajak dia ketemuan.

Jarak dari taman ke rumah hanya dua puluh menit. Saat taksi berhenti di depan rumah, tampak mobil Mas Ilham sudah terparkir di garasi. Rupanya dia pulang lebih awal. Apa tidak ada janji dengan perempuan itu?

Setelah membayar ongkos taksi, kugandeng Syifa masuk rumah.

"Assalamu'alaikum."

"W*'alaikumsalam," jawab Mas Ilham yang keluar dari kamar.

Tampaknya dia baru selesai mandi. Bau wangi sabun menguar di sekitar kami. Seperti yang kuajarkan pada Syifa, gadis kecilku akan mencium tangan papanya saat kami baru dari luar atau ketika Mas Ilham baru pulang dari kantor.

"Darimana?" 

"Belanja, sekalian ngajak main Syifa sebentar."

Aku ke belakang untuk menaruh barang belanjaan. Syifa langsung duduk di depan TV melihat kartun dan Mas Ilham duduk di sebelahnya. Membelai rambut putri kami. 

Ah, tiba-tiba dadaku terasa nyeri melihat pemandangan yang sangat jarang terjadi. Mas Ilham, ayah yang kaku dan tidak tahu bagaimana memuji anaknya. Dia hanya akan tersenyum sambil mengacungkan ibu jari saat Syifa menunjukkan hasil mewarnai di sekolah.

Jilbab kulepas sambil melangkah masuk kamar. Kemudian menutup jendela, mengambil baju kotor Mas Ilham di kamar mandi lalu membawanya ke belakang. Sekalian aku menyiapkan hidangan makan malam.

Kami langsung ke ruang makan setelah selesai Salat Maghrib berjamaah. Kulayani suami seperti biasa setelah mengambilkan makan untuk Syifa.

"Ma, besok kita jadi renang, enggak? Katanya kalau libur sekolah Mama mau ngajak Syifa renang," tanya Syifa.

"Iya. Besok kita pergi," jawabku sambil tersenyum.

"Besok Papa antar."

Syifa mengangguk sambil memandang papanya. Ada binar bahagia di mata gadis kecil kami. Namun aku justru takut, karena kenyamanan itu tak lama lagi akan terenggut.

Kami makan malam sambil mendengar Syifa bercerita tentang sekolahnya. Seperti biasa aku yang menanggapi, sedangkan Mas Ilham hanya jadi pendengar. Terkadang saja tersenyum.

Sudah jadi kebiasaanku kalau habis makan malam, langsung membereskan dapur. Bahkan langsung kupel malam itu juga. Keharmonisan yang tidak ada di antara kami, membuatku selalu menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah tangga. Hampir setiap hari lantai aku pel setelah mengantar Syifa sekolah. Kaca rumah bening tanpa dihinggapi debu karena selalu kulap setiap hari.

Sejak pembicaraan cerai seminggu yang lalu, aku tidur menemani Syifa di kamarnya. Seperti malam ini. Setelah Syifa tidur, aku membereskan buku-buku mewarnai dan beberapa krayon yang berserakan di atas meja belajarnya.

"Vi." Ada panggilan pelan bersamaan dengan ketukan di pintu kamar.

"Syifa sudah tidur?" tanya Mas Ilham saat aku membuka pintu.

"Sudah."

"Kita bicara sebentar."

Aku mengangguk dan mengikutinya ke ruang tengah.

Hening sejenak menjadi jeda.

"Minggu depan aku akan pindah ke rumah Ibu." Akhirnya aku yang membuka percakapan. Mas Ilham menatap kaget.

"Kamu serius kita cerai?"

"Ya."

"Apa tanggapan orang-orang nanti?"

Aku tersenyum getir sambil memainkan ujung piyama yang kupakai.

"Kenapa harus peduli dengan tanggapan orang. Mereka hanya beberapa waktu saja menggunjing. Setelahnya akan diam dan lupa."

"Antara aku dan Nura tidak ada hubungan apa-apa."

"Yang kutahu kalian saling mencintai dan menunggu satu sama lain. Sampai dia rela meninggalkan suaminya hanya untuk bersama Mas. Aku tahu kalian pergi bersama keluar kota hari itu."

Mas Ilham menatapku lekat. "Itu hanya untuk urusan pekerjaan."

"Aku juga tahu saat dia menyuapi Mas di rumah sakit. Aku tahu saat dia menggenggam tangan Mas dengan tatapan memuja. Aku pun tahu saat Mas tertidur di ruang kerja sambil memeluk buku terbuka yang terselip foto lama Nura."

"Vi ...."

"Aku juga tahu catatan di laptop Mas, tentang ungkapan perasaan Mas padanya. Maaf, aku enggak sengaja membacanya ketika Mas lupa mematikan laptop malam itu."

Aku berhenti sejenak. Menarik napas dalam-dalam untuk melonggarkan dada yang kian sesak.

"Jadi enggak ada alasan aku untuk bertahan lagi. Seolah aku yang menjadi duri di antara kalian. Aku enggak ingin seperti ini. Aku juga ingin bahagia. Mungkin dengan kita bercerai, Mas akan bahagia dan aku juga akan tenang."

Hembusan napas Mas Ilham terlihat berat, netranya sudah memerah. Entah apa yang dirasakannya. Malu karena aku bisa menyibak semuanya, atau khawatir dengan reputasinya yang akan terjejas setelah perceraian kami. Secara kariernya di kantor sebagai branch manager sedang berada di puncak.

"Aku enggak akan menuntut apa pun. Nafkah untuk Syifa, Mas pikirkan sendiri. Bukan karena aku enggak butuh, tapi aku juga sadar kalau sebenarnya kelahiran Syifa enggak pernah Mas inginkan."

Mas Ilham menatapku tajam, seolah menyangkal dengan apa yang aku ucapkan. Namun dia tetap diam tak bersuara. Membuatku semakin membenarkan asumsiku sendiri.

"Kita akan berpisah secara damai. Jangan khawatir, aku tidak akan mempersulit urusan pengadilan. Biar kalian segera bisa bersama."

Air mata berderai tidak terbendung. Aku harus segera pergi biar dia tidak tahu betapa hancurnya perasaanku.

"Vi."

Mas Ilham meraih lenganku kemudian berdiri. "Maaf untuk semuanya. Mungkin Mas memang sebrengsek itu, yang tidak memahami bagaimana perasaanmu. Marilah kita perbaiki hubungan ini. Kita coba sekali lagi."

Aku tersenyum getir. "Jangan sia-siakan waktu untuk uji coba. Kalau Mas ingin berubah, waktu lima tahun enggak sebentar. Tapi kenyataannya semua masih sama."

"Mas tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Nura. Kami memang dekat, tapi hanya sebatas teman. Kamu juga tahu kalau Mama sudah menganggap Nura seperti anak sendiri."

"Enggak ada apa-apa, tapi Mas menulis ungkapan cinta untuknya."

"Itu tulisan lama yang belum sempat Mas hapus."

Ah, tulisan lama katanya. Namun kenapa dia membuka dan membacanya lagi. Jika itu tidak bermakna lagi, kenapa tidak segera dihapus saja.

Kulepaskan pegangan tangannya. Aku tidak ingin membicarakan hal itu lagi. Semua amat menyakiti. Mungkin Mas Ilham tidak tahu, kalau aku mengetahui mereka sering pergi berdua. Meski dengan alasan pekerjaan. Ya, mereka memang bekerja di dua tempat yang berbeda, tapi masing-masing perusahaan memiliki ikatan kerjasama.

"Sudah malam, tidurlah, Mas!"

Aku melangkah kembali ke kamar Syifa sambil mengusap air mata. 

Setelah menutup pintu kamar, aku duduk menatap Syifa yang tidur pulas. Air mata kembali menganak sungai saat ingat lima tahun yang lalu. Bagaimana reaksi Mas Ilham saat tahu aku hamil, tidak tampak dimatanya binar bahagia. Bahkan begitu kaget dan tidak siap.

Bahkan waktu kelahiran Syifa dia sedang ke luar kota. Dia tidak tahu bagaimana aku bertarung nyawa demi melahirkan anaknya. Setelah pulang pun Mas Ilham tetap sibuk dengan urusan pekerjaan. Bayi kecilku kuurus dengan bantuan Mama mertua. 

Sesekali Ibu akan datang di waktu longgarnya. Sebab usaha kue ibu saat itu sedang berkembang pesat. Pesanan datang dari mana-mana.

Kukecup kening gadis cantikku penuh cinta sebelum aku rebah di sampingnya.

🌷🌷🌷

"Mama, tolong ikatkan tali sepatu. Syifa enggak bisa, Ma," teriak Syifa dari teras. Pagi itu kami bersiap pergi berenang.

"Iya, sebentar," jawabku sambil memasukkan bekal. Aku membawa kue dan cemilan.

"Sini, Papa ikatkan." 

Mas Ilham mendekati Syifa. Kuperhatikan bocah itu diam saja. Setelah mengucapkan terima kasih langsung duduk di kursi teras, menjauh dari papanya.

Lihatlah, anak sekecil itu sangat peka dengan apa yang terjadi antara kami. Mungkin Syifa juga merasa bahwa dulu kehadirannya diterima dengan setengah hati.

Dari dalam kulihat Mas Ilham masih berjongkok sambil memandang putri kami. Mungkin dia juga sadar bahwa ada jarak yang membentang di antara dia dan anaknya.

"Kita berangkat!" ajakku dengan nada datar.

Tercipta hening dalam perjalanan. Aku tetap duduk di bangku depan, sambil memangku Syifa. Sesekali Syifa bertanya tentang apa yang dilihatnya dalam perjalanan. 

"Katanya kita mau tinggal di rumah Nenek. Kapan, Ma?"

Mas Ilham menatap kami.

"Minggu depan, Sayang. Nunggu Pak Nardi longgar dulu, ya," jawabku pelan.

Pak Nardi adalah tetangga ibuku sekaligus orang yang sering disuruh ibu untuk mengantarkan pesanan-pesanan kue.

"Papa ikut juga?"

"Enggak. Kalau Papa ikut siapa yang akan menjaga rumah."

Syifa mengangguk sambil memandang papanya sebentar.

Setelah turun dari mobil, Syifa langsung berlari sambil menarikku menuju loket pembelian tiket. Mas Ilham mengikuti di belakang. Entah kenapa dia ikut, biasanya menunggu di mobil atau pulang.

Kami duduk di ayunan besi tepi kolam tempat berenang Syifa. Dia sibuk dengan ponselnya, sedangkan aku memperhatikan keceriaan anak-anak yang sedang bermain air dan beberapa orang tua yang sedang menungguinya.

Tiba-tiba ponsel Mas Ilham berdering. Kulirik sekilas ada panggilan masuk dari Nura. Dibiarkan panggilan itu hingga berhenti. Kemudian disusul panggilan selanjutnya. Dan sebuah pesan masuk saat Mas Ilham masih diam. Entah pesan dari siapa.

Kenapa aku tidak marah atau menegurnya? Bukankah aku berhak untuk itu?

Aku tidak akan melakukan hal itu lagi. Setelah aku hampir depresi setelah melahirkan Syifa. Aku pernah mengamuk saat bayi kami rewel, sedangkan Mas Ilham malah sibuk menenangkan Nura yang kala itu sedang mengurus perceraian dengan suaminya.

Saat Syifa umur dua bulan, aku tidak mau menyusuinya. Setelah bayiku hampir sakit, aku sadar kalau tindakan itu sangat bodoh dan konyol. Untuk apa menyiksa diri demi pria yang tidak menganggapku sama sekali. Aku harus waras demi anak dan diriku sendiri.

"Kalau Mas ada urusan lain, tinggalkan kami. Nanti kami bisa naik taksi," ucapku kemudian meninggalkannya untuk menghampiri Syifa.

Dia tidak pergi, tapi malah memperhatikan aku dan Syifa yang bercanda di tepi kolam. Sejak dulu sikapnya memang sulit ditebak.

Next ...

Terima kasih untuk like dan komentarnya Man-teman 😍😘

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

10
96%(136)
9
0%(0)
8
1%(2)
7
0%(0)
6
1%(2)
5
0%(0)
4
1%(1)
3
0%(0)
2
0%(0)
1
0%(0)
9.9 / 10.0
141 Peringkat · 141 Ulasan-ulasan
Tulis Ulasan
user avatar
Satria Henry
emang setampan apa sih Ilham?? tapi kalau brengsek kayaknya nggak layak buat diperjuangkan!!! kalau Vi dan Melinda sayang sama diri sendiri kayaknya ga perlu nunggu 5 tahun untuk melepaskan it is what it is, cinta mengalahkan akal sehat, hufh......
2025-03-29 00:28:57
0
user avatar
Zainurida R
tidak bisa membayangkan bagaimana hati mereka mengambil keputusan setelah tersakiti...
2025-01-12 15:53:29
0
user avatar
Yayuk Budianto
cerita nya bagus banget dan sangat mengharukan, rasa sakit, duka, senang, luka, pedih jadi satu
2025-01-02 22:59:01
0
user avatar
Helmy Rafisqy Pambudi
crita ke 4 KK Lis..
2024-10-28 13:34:56
1
user avatar
Nani Sunarni
suka semua bukunya, sederhana tp istimewa.
2024-10-23 18:54:33
0
user avatar
Satria Henry
cerita yang sangat bagus dan menarik
2024-10-17 10:47:16
0
user avatar
nelly thalita
baru mau baca
2024-09-21 16:33:29
0
user avatar
Syarifa Kalsum
sudah 5 buku karyanya mbak lis yg aku baca, pokoknya bagus semua ceritanya
2024-08-27 18:06:18
0
user avatar
yenyen
very very love this novel. Penyelesaian masalah keluarga ga harus dengan bercerai. Intinya harus sabar. Ilmu dari novel ini
2024-07-21 12:12:38
1
user avatar
Nunix"z
bagus banget cerita
2024-07-14 17:14:18
0
user avatar
Aidah Ismail
bagus jln ceritanya....terbaik Thor
2024-07-13 10:35:09
1
user avatar
Shity Hajar
bagus,ceritanya seru
2024-06-29 08:30:59
1
user avatar
Suliyati Huong
Ulang baca lagi,tak pernah bosan...ceritanya sangat bagus,banyak pengajarannya.
2024-06-08 06:24:24
1
user avatar
Endah Ing
Sdh baca berkali-kali... Perjuangan stlh pengkhianatan dlm rumah tangga sll menarik perhatian. berjuang utk menata hati bagi yg dikhianati, berjuang menunjukkan kesungguhannya bagi yg berkhianat. sama" berat. Dan tdk byk yg bisa berhasil spt Ilham dan Vi. Kuncinya sabar dan dkt dgn Tuhan
2024-04-24 18:51:21
2
user avatar
Agnes Dyah Ratnawati
bagus dan tidak bosan untuk bacanya
2024-04-17 17:31:19
1
  • 1
  • 2
  • 3
  • 4
  • 10
158 Bab
Part 1 Aku yang Menyerah
Part 1 Aku yang Menyerah   "Cerai? Kamu serius?" tanya Miya dengan mimik muka tidak percaya. Dia memandangku lekat.   "Ya."   "Sudah kamu pikirkan masak-masak."   "Hu um. Ini sudah keputusan finalku. Aku menyerah dengan cinta yang kuperjuangkan selama ini. Nyatanya sampe sekarang aku tidak pernah jadi pemenangnya. Hati Mas Ilham tetap untuk Nura."   Rasanya sangat sakit mengucapkan kalimat itu. Namun aku memang butuh teman berbagi, agar beban dan luka dada ini terasa berkurang.    Miya sudah kukenal sejak duduk di bangku SMA hingga kuliah. Dia juga yang tahu bagaimana hubunganku dan Mas Ilham bermula.   "Kalian punya Syifa. Apa enggak kasihan sama anak."   Kupandang bocah perempuan yang asyik bermain dengan Tita, anaknya Miya yang seumuran dengan Syifa.   "Syifa enggak begitu dekat dengan pap
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-16
Baca selengkapnya
Part 2 Jangan Pergi
Jam dua belas siang kami pulang ke rumah. Syifa langsung tidur kelelahan. Sementara aku langsung ke belakang membereskan jemuran yang sudah kering dan mencuci baju renangnya Shifa.   Ketika sedang sibuk menyetrika di kamar belakang, Mas Ilham menghampiri dan duduk di kursi sebelahku.   "Mama barusan nelfon. Malam ini kita di undang makan malam di rumah Mama."   Aku mengangguk tanpa memandangnya. Setiap kami di undang ke sana, pasti ada sesuatu yang ingin dibicarakan oleh mertuaku. Mungkin soal perceraian itu.   "Bawa baju ganti, nanti kita menginap di sana," ucap Mas Ilham sebelum beranjak pergi.   Baju yang sudah kulipat, kuletakkan di keranjang yang nantinya kususun di lemari masing-masing. Sebenarnya aku sudah berencana untuk mulai mengemas baju-baju besok setelah memasak, mumpung hari Minggu. Jika Pak Nardi datang, tinggal mengangkut saja.   Selesai setri
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-16
Baca selengkapnya
Part 3.a Cinta dan Luka
 "Mama, masak apa?" tanya Shifa yang menyusul ke dapur dan berdiri di dekatku. Dia sudah bangun. "Mama lagi goreng ayam, katanya kemarin Shifa mau ayam goreng. Ayo, susunya di minum dulu. Nanti baru sarapan. Jangan lupa minum air putih dulu sebelum minum susu." Aku menunjuk segelas susu yang ada di meja makan. Syifa langsung duduk di kursi, minum beberapa teguk air putih hangat, kemudian menyesap susunya. Jam dinding menunjukkan pukul enam pagi. Tapi Mas Ilham belum juga keluar. Biasanya jam segini dia sudah selesai mandi. Kuletakkan spatula dan mematikan kompor setelah mengangkat gorengan terakhir. "Tunggu di sini, Mama mau lihat Papa dulu," kataku pada Syifa. Pintu kamar masih tertutup rapat dan sepi. Ku putar gagang pintu perlahan. Lampu telah dinyalakan dan Mas Ilham yang masih memakai baju koko dan sarung sedang terlentang di ranjang. Wajahn
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-16
Baca selengkapnya
Part 3.b Cinta dan Luka
Kutarik napas dalam-dalam, menata ekspresi wajah agar tampak biasa saja. Baru kudorong pintu perlahan. Di dalam, dua orang duduk berdekatan sambil menatap layar laptop. Tapi sempat kulihat wajah keduanya tampak murung, bahkan mata perempuan itu berkaca-kaca. Aku tersenyum, meski hatiku remuk redam untuk yang ke sekian kali.   "Vi," panggil Mas Ilham terkejut. Dia langsung berdiri, pun begitu dengan Nura yang sibuk menyeka air mata.   "Maaf, aku enggak mengetuk pintu. Ku pikir Mas sendirian. Aku hanya mau mengantarkan obat Mas yang ketinggalan."   Kuletakkan plastik obat di meja. Setelah itu aku berbalik dan pergi. Dia mengejar. Di tangga yang sepi Mas Ilham menahan lenganku.   "Jangan salah paham, Vi. Mas akan cerita nanti." Mas Ilham menjelaskan dengan panik.   Aku diam tidak menjawab apa-apa.   "Kamu tadi naik apa ke sini?"   "Naik moto
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-16
Baca selengkapnya
Part 4a Ibu, Izinkan Aku Pulang
Setelah pikiran tenang, kuambil ponsel dari tas selempang warna hitam. "Assalamu'alaikum, Vi." Suara ibu di seberang. "Wa'alaikumsalam, Bu. Kapan aku dan Shifa boleh pulang ke rumah, Ibu?" "Ya, Allah, Nduk. Kapanpun kamu boleh pulang. Tapi ... kamu enggak apa-apa, 'kan? Kenapa suaramu serak?" "Aku lagi diperjalanan ini, Bu. Mau jemput Shifa pulang sekolah." "Kamu ada masalah lagi sama Ilham." "Masalah yang sama. Nanti Ibu kabari aku ya, kapan Pak Nardi bisa jemput." "Iya, Nduk." "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Aku kembali melajukan motor ke arah sekolahnya Syifa. Dan berhenti sekali lagi saat dada dihempap sesak. Separah ini rasanya. Pantas saja sebagian istri yang dikhianati bisa sebrutal itu mengungkapkan kemarahannya. Mengamuk atau sekedar mencaci maki suami atau wan
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-25
Baca selengkapnya
Part 4b Ibu, Izinkan Aku Pulang
Aku menarik napas panjang. Pria ini memang keras kepala. Lebih baik aku segera pergi dari kamar kami. Namun, tarikan tangan membuatku terduduk di pangkuannya. Kami berpelukan sesaat.   "Maaf, jika Mas terlena selama ini. Karena sering bertemu dan kerja bersama, membuat peluang kedekatan kami makin besar."   "Apa yang kalian lakukan jika keluar kota? Sekedar berciuman atau mungkin ... sudah bercinta?"   Mas Ilham terkejut dengan pertanyaanku baru saja. Kulepaskan tangannya yang melingkar di pinggang. "Enggak usah dijawab Mas. Melihat cara kalian berinteraksi saja sudah membuatku sesak napas."   "Mas tidak pernah melakukan apapun dengannya."   Apa berpelukan di rumah sakit waktu itu bukan apa-apa? Itu yang terlihat, bagaimana dengan yang tidak tampak. Tiba-tiba saja aku muak. Namun, aku membiarkannya memelukku sekali lagi.   Ku jinjitkan kaki untuk mencium pipi
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-25
Baca selengkapnya
Part 5a Bidadariku yang Terluka
POV Ilham    Aku masuk rumah yang telah kehilangan mahkota. Sepi dan terasa asing ketika duduk di salah satu sudutnya.   Hari ini seperti mimpi. Kesabaran Vi telah sampai pada batasnya. Dia benar-benar pergi bersama bidadari kecil kami. Vi menciptakan jurang yang dalamnya tidak terjangkau. Ini jurang, bukan lagi tembok penghalang yang masih bisa ku robohkan.   Tidak ada lagi celoteh suara Syifa. Gadis kecil yang mewarisi kecantikan ibunya, yang enggan berdekatan dengan papanya sendiri.   Aku melangkah gontai masuk ke kamar. Tidur terlentang menghadap plafon. Di atas sana seolah penuh bayangan kebersamaan kami lima tahun ini.    Namanya, Vi Ananda.   Gadis cantik yang ku kenal saat magang di kantor tempatku bekerja. Matanya yang bening dengan iris mata cokelat memikat. Jujur, aku terpesona pada pandangan pertama, di antara patah hati yang serpihannya
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-26
Baca selengkapnya
Part 5b Bidadariku yang Terluka
  POV Ilham    Sudah satu bulan ini aku tanpa Vi dan Syifa. Hening. Malam-malam pun membuatku terpuruk dan hampir tidak waras. Seluruh penjuru rumah ini masih ada jejak mereka. Suara-suara mereka bercanda riang yang tidak kupedulikan kala itu, kini merongrong menjadi kenangan yang memilukan dan menimbulkan penyesalan.   "Maafkan Papa, Sayang."   Dua hari yang lalu Mama datang untuk membersihkan rumah dan memasak untukku. Sedihnya, Mama tidak juga mau bicara banyak. Mereka semua kecewa dengan ketotolanku.   Pagi itu setelah rapi berpakaian, kuhubungi Vi. Seperti biasanya Syifa yang menerima panggilan.   "Halo, Assalamualaikum."   "Waalaikumsalam, Sayang," sapaku setelah panggilan diterima.   "Iya, Pa. Syifa masih sarapan, belum berangkat ke sekolah."   "Hmm, lauknya apa? Kayaknya enak, ya?" &n
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-26
Baca selengkapnya
Part 6a Kehilangan
Part 6 Kehilangan   Dua minggu ini aku sudah bisa beradaptasi dengan keadaan. Setelah terpuruk tanpa daya lebih dari seminggu setelah kepulanganku ke rumah Ibu. Syifa tidak begitu terpengaruh, di sini dia memiliki banyak teman bermain.   Aku mulai beraktivitas di toko dan merekap pesanan. Alhamdulillah, toko roti dan kue yang dirintis Ibu sejak aku umur sepuluh tahun berkembang sangat pesat.    Ini hiburanku yang lain, selain mengurus Syifa.   "Vi, ada telepon dari Ilham," kata Ibu sambil mengantar ponselku yang tertinggal di depan TV.   Setelah Ibu keluar, kuletakkan ponsel di nakas. Syifa sudah tidur, biasanya Syifa yang menerima panggilan dari papanya.   Ponsel kembali bergetar untuk yang ketiga kalinya, tetap kubiarkan. Aku belum sanggup bicara apa pun dengan Mas Ilham.    Dalamnya cinta yang bersemayam membuatku tak berdaya
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-27
Baca selengkapnya
Part 6b Kehilangan
 Part 6 Kehilangan "Mbak, ada Mas yang mau pesan kue," kata Sarti, salah satu karyawan yang jaga toko. Sesaat setelah Miya pamitan. "Oh, ya? Siapa?" tanyaku penasaran. "Orangnya masih di depan." Aku segera berdiri, mengambil nota catatan, dan melangkah keluar. Di depan Toko ada Bre yang masih berseragam guru, duduk di kursi biasa digunakan oleh para pembeli menunggu pesanan atau sengaja makan kue dan minum di sana. "Assalamu'alaikum," sapaku. Pria itu menoleh dan tersenyum. "Wa'alaikumsalam." "Rupanya bos muda yang akan melayaniku," ujarnya. "Mas, bisa aja. Oh ya, mau pesan apa?" "Mau pesan 250 kotak kue untuk acara di rumah Tanteku." "Yang isi berapa Mas? Tiga atau empat. Misalnya satu kotak isi tiga kue basah dan satu camilan. Atau dua kue basah dan satu camilan
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-27
Baca selengkapnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status