Jam dua belas siang kami pulang ke rumah. Syifa langsung tidur kelelahan. Sementara aku langsung ke belakang membereskan jemuran yang sudah kering dan mencuci baju renangnya Shifa.
Ketika sedang sibuk menyetrika di kamar belakang, Mas Ilham menghampiri dan duduk di kursi sebelahku.
"Mama barusan nelfon. Malam ini kita di undang makan malam di rumah Mama."
Aku mengangguk tanpa memandangnya. Setiap kami di undang ke sana, pasti ada sesuatu yang ingin dibicarakan oleh mertuaku. Mungkin soal perceraian itu.
"Bawa baju ganti, nanti kita menginap di sana," ucap Mas Ilham sebelum beranjak pergi.
Baju yang sudah kulipat, kuletakkan di keranjang yang nantinya kususun di lemari masing-masing. Sebenarnya aku sudah berencana untuk mulai mengemas baju-baju besok setelah memasak, mumpung hari Minggu. Jika Pak Nardi datang, tinggal mengangkut saja.
Selesai setrika aku kembali ke dapur. Menyusun perabot di rak, membersihkan dinding dekat kompor yang sebenarnya sudah bersih.
Inilah kegiatanku jika Mas Ilham di rumah hari Sabtu-Minggu. Seharian menyibukkan diri dengan kerjaan rumah. Mungkin tetangga yang melihat berpikir aku seperti orang gila, benda-benda yang tidak perlu pun aku bersihkan. Seperti menyemprot pagar belakang, atau pintu pagar besi depan. Membersihkan satu per satu pot bunga yang terkena cipratan air saat aku menyiram tanaman. Ini caraku untuk menjaga hati tetap sehat daripada melihatnya sibuk dengan ponselnya.
Mungkin ada yang menyarankan, bukankah lebih baik aku mendekatinya, mengajak ngobrol, atau bercanda. Daripada melakukan hal yang tidak penting.
Sudah, selama ini aku telah melakukan itu. Berusaha mendekati dan menciptakan perbincangan seputar pekerjaan dan hobinya. Namun hanya sejenak ditanggapi, setelah itu dia akan sibuk sendiri. Menjawab pesan atau mendengar curhatan perempuan di seberang sana. Seolah deritanya saja yang tidak bertepi dan hanya Mas Ilham yang bisa memahami.
"Berhentilah, Vi. Apa kamu tidak capek, dari tadi tidak istirahat," tegur Mas Ilham yang berdiri di pintu samping.
Aku tersenyum tanpa memandangnya. Kemudian mengangkat satu pot berisi bunga mawar, untuk kupindahkan ke teras depan.
Bunga mawar putih itu kubawa dari rumah mertua setelah beberapa hari aku merawat beliau yang sedang sakit.
Setiap beliau sakit, akulah menantu yang dipanggilnya untuk menemani, bukan dua menantunya yang lain. Kurawat beliau seperti ibuku sendiri. Kubersihan rumahnya dan menyusun barang yang berantakan di sana.
Semua kulakukan demi bakti seorang istri dan menantu di keluarga itu. Namun, tidak juga bisa membuka hati Mas Ilham sedikit saja. Padahal sudah bertahun aku melakukannya.
Kadang aku heran, kenapa dia menikahiku kalau tidak mencintaiku? Kenapa dia juga menyentuhku. Apakah hanya untuk melampiasan kebutuhan biologisnya? Ah, siapa tahu saat bersamaku dia membayangkan bersama wanita itu.
Kuhentikan sejenak kegiatanku, saat ujung jari telunjuk tertusuk duri mawar. Hanya setetes saja darah yang keluar, tapi nyerinya sangat terasa.
"Kenapa?"
Aku menoleh ke belakang, rupanya Mas Ilham masih duduk di kursi teras samping. Ia berdiri dan mendekat.
"Enggak apa-apa," jawabku melanjutkan lagi memotong cabang-cabang kering di pohon mawar.
"Tanganmu berdarah."
"Ya, luka sedikit."
"Diobati dulu."
"Biar saja, nanti juga sembuh."
Pot terakhir, berisi bunga kamboja warna kuning, kuletakkan di dekat pagar depan. Setelah itu aku mencuci tangan di kran, masuk rumah, lalu menyapu.
Pembantu rumah depan sana saja tidak sesibuk diriku, dia bekerja santai. Sambil nyanyi-nyanyi dan sang majikan tidak pernah peduli, yang penting pekerjaan beres.
đșđșđș
Sehabis Salat Maghrib kami berangkat ke rumah Mama. Untuk ke sana hanya perlu menempuh perjalanan sekitar lima belas menit. Wanita umur enam puluh lima tahun yang anggun itu menyambut kami dengan gembira.
Syifa dipeluk erat kemudian digendong ke ruang makan.
"Sudah lapar apa belum?"
"Hu um, Nek. Syifa lapar banget, nih."
Ibu mertuaku tersenyum sambil menciumi pipi gembil Syifa.
Di meja makan sudah ada beberapa menu yang dihidangkan. Ada kare ayam dan tumis pare kesukaan Mas Ilham. Kentucky kegemaran Syifa dan tumis brokoli, ayam suwir plus wortel untukku.
"Ayo, makan!"
"Dinar ke mana, Ma? Kok, enggak ada," tanyaku tentang cucu sulung mama mertua. Dia putri dari Kakak Mas Ilham yang nomer satu. Remaja kecil umur dua belas tahun itu yang menemani neneknya.
"Masih ngaji di masjid. Nanti habis Isya baru pulang. Sudah dua hari ini dia ikut ngaji malam. Biasanya cuma sore saja."
Saat makan kami berbincang ringan. Mas Ilham membahas pekerjaannya yang sering ke luar kota. Aku hanya jadi pendengar saat dia bercerita dengan sang mama.
Seperti yang kulakukan di rumah, usai makan kubereskan semuanya.
Habis Salat Isya Mama mengajak kami berbincang di ruang tamu. Dinar yang menemani Syifa nonton kartun sambil tiduran di kasur lantai.
"Mama tadi siang ke toko kue ibumu, Vi. Hampir setengah hari Mama berbincang. Intinya kami membahas masalah kalian." Mama membuka percakapan.
"Kami masih ingin kalian mempertahankan pernikahan. Pertimbangkan lagi rencana perceraian itu. Kasihan Syifa, dia butuh orang tua yang lengkap."
Aku dan Mas Ilham diam mendengarkan.
Apa Mama tidak tahu kalau hubungan papa dan anak itu tak seperti kakak-kakaknya Mas Ilham dengan putra putri mereka?
Bagiku perceraian ini tidak akan berpengaruh sama sekali bagi Syifa.
"Ham, apa kamu sudah lupa dengan hinaan orang tua Nura ketika kamu masih belum sesukses sekarang ini? Bagaimana mereka menentangmu saat dekat dengan anaknya dulu? Ayahnya Nura memang sudah meninggal, tapi bukan berarti kalian bisa seenaknya untuk bersama. Kamu sudah punya Vi dan Syifa. Sekarang ganti Mama yang tidak suka dengan cara kalian berteman."
Aku menarik napas dalam-dalam mendengar mertuaku bicara. Mama memang tegas dengan berkata tidak menyukai kedekatan mereka berdua, meski dengan alasan sebagai teman.
"Malam ini biar Syifa tidur dengan Mama dan Dinar. Kalian perlu bicara berdua dari hati ke hati. Kami sebagai orang tua, enggak ingin rumah tangga kalian kandas."
Mama mertuaku berdiri dan meninggalkan kami.
đșđșđș
Di kamar ini, kami seperti dua orang asing yang baru bertemu pertama kali. Di kamar ini juga, Mas Ilham menyempurnakan aku sebagai istrinya, setelah pesta pernikahan yang melelahkan.
Waktu itu aku merasa telah menjadi ratu dihatinya. Namun, seiring berjalannya waktu menyadarkan bahwa kehadiranku hanya sebatas bayangan sebagai pelipur lara dari segenap luka-lukanya.
Wanita itu masih tetap kokoh bertahta.
Dalam posisi miring, aku diam dan memejam. Bertanya pada hati, apa aku harus bertahan demi mertua atau melepaskan untuk kesehatan jiwa.
"Vi." Sentuhan di pundak membuatku terhenyak. Aku membuka mata meski tidak memandangnya. Kurasakan ada gerakan yang mendekat.
"Bisa kita bicara?"
Aku bangun kemudian bersandar pada kepala ranjang. Menahan selimut agar tetap menutupi dada.
Setelah mengatur suasana hati, kupandang pria yang bergelar suami dalam jarak yang begitu dekat. Sorot netranya sulit kupahami. Tajam dan misterius. Rahangnya mulai ditumbuhi rambut-rambut halus. Dia yang selalu rajin merapikan cambang, akhir-akhir ini tampak abai.
"Mas, aku sudah sampai pada batasku. Sudah waktunya aku berhenti pada titik ini. Maaf, sudah cukup aku mengemis perhatian agar dianggap ada."
Entah dapat kekuatan darimana, aku bisa mengucapkan kalimat dramatis itu. Luka-luka ini membuatku lebih pandai berpuisi.
"Maaf, jika Mas terlena selama ini. Terbelenggu dengan masa lalu hingga mengabaikan hadirmu."
Aku menggigit bibir bawah, agar getarnya tidak tampak.
"Beri Mas kesempatan untuk menebus semuanya."
"Lima tahun ini sudah membuatku lelah. Saat, Mas, mengabaikanku, aku masih bisa terima. Tapi saat, Mas, enggak memperhatikan Syifa, itu yang melukaiku sangat dalam. Apa aku salah telah melahirkannya?" Mengatakan kalimat ini membuat napasku seolah tercekik.
Mas Ilham memandang tajam, lantas menggeleng pelan. "Mas tidak sekejam itu, Vi. Tidak ada yang bisa mengeluarkan darahku yang mengalir ditubuhnya."
Air mata mengalir deras tanpa bisa kutahan lagi.
"Mas, ingat saat kita liburan bareng bersama Nura dan anaknya. Saat kedua bocah itu terpeleset di kolam renang yang dalam. Tangan siapa yang Mas tahan? Bukan tangan Syifa, tapi lengan Dini. Dia yang Mas selamatkan."
Mata Mas Ilham memerah dan rahangnya mengeras.
"Aku diam dan menahan semuanya, karena apa? Karena aku bodoh. Apa pun kuterima dengan lapang dada. Tapi sekarang ... aku sudah lelah. Setelah satu per satu kedekatan kalian membuka mataku. Maaf, aku menyerah."
Kutarik napas dalam-dalam, menahannya di dada agar tangisku tidak pecah lagi.
"Waktu itu Mas menyelamatkan dua-duanya. Hanya saja tangan Syifa yang terlepas. Mas panik."
"Ya, enggak perlu dibahas lagi, Mas. Karena waktu itu aku juga percaya dengan apa yang Mas katakan. Meski Syifa trauma berbulan-bulan. Dan baru sekarang mau berenang lagi."
Hening beberapa saat menjadi jeda percakapan kami. Hanya bunyi jam dinding yang detak jarumnya terdengar jelas di kamar ini.
"Setelah pulang dari rumah Mama, aku akan mulai berkemas-kemas."
"Apa kamu tidak ingin memberikan Mas kesempatan sekali lagi?"
"Tadi sudah kubilang, kalau aku menyerah. Mas bersamaku tapi hati untuk yang lain, buat apa? Kita akan sama-sama tersiksa nantinya. Kita merasakan kebahagiaan sebagai suami istri hanya setahun saja di awal pernikahan. Setelah itu, Mas kembali sibuk dengan cinta Mas yang tidak pernah selesai."
Kutarik napas sejenak. "Carilah kebahagiaan itu. Aku juga akan mencari kebahagiaanku."
Malam ini menjadi malam panjang bagi kami. Kegelisahan membuatku dan Mas Ilham tidak bisa terlelap hingga jam dua pagi.
Rasanya baru saja memejam, saat kudengar azan subuh berkumandang dari masjid yang tidak jauh dari rumah mertua.
Saat mataku terbuka, aku baru sadar kalau dia memelukku. Lengannya melingkar di pinggang dan kaki Mas Ilham membelit di kakiku.
Perlahan kupindahkan lengannya dan dia terbangun. "Sudah subuh," kataku pelan.
Dalam remang lampu kamar kami berpandangan sesaat. Sebelum semuanya melenakan, aku segera duduk. Diam sebentar, kemudian menyibak selimut dan turun untuk ke kamar mandi.
Cukup lama aku berdiri di depan wastafel. Menatap bayangan diri dalam cermin. Mensugesti diri sendiri untuk tetap yakin, bahwa semua akan membaik setelah ini. Usiaku baru dua puluh sembilan tahun. Masih banyak kesempatan untuk mengeksplore kemampuan diri. Aku harus bekerja setelah kami berpisah, untuk masa depanku dan Syifa.
Sehabis Salat Subuh kubuka jendela, angin pagi sejuk menyapa. Samping kamar ada pekarangan yang masih luas dan penuh pepohonan. Rumah mertua memang berada di pinggir kota, jadi udaranya masih segar tanpa polusi.
Mas Ilham baru saja berdiri dari sajadah kemudian mendekatiku. Kami sama-sama diam memandang keluar. Menatap dedaunan penuh embun yang diembus angin pagi.
"Pikirkan lagi, Vi. Kita pasti bisa mempertahankan rumah tangga ini. Beri Mas kesempatan."
Kesempatan seperti apa yang dia inginkan. Bagaimana jika cinta masa lalunya tetap menjadi duri dan waktuku akan sia-sia menunggu pria yang gagal pergi dari kisah silamnya?
Aku mencintainya dan dia mencintai wanita lain. Mungkin, aku hanya memiliki tempat di sebagian kecil hatinya, hanya sebagai istri yang selalu melayani dan berbakti selama ini. Istri yang selalu ada saat mertua butuh bantuan. Ini menyedihkan, Mas. Detik ini aku akan berhenti mengemis.
"Aku akan lihat Syifa dulu, sudah bangun apa belum." Aku gegas keluar kamar.
đșđșđș
Hari Minggu pagi setelah belanja di tetangga sebelah, aku dan Mama sibuk memasak di dapur. Seperti biasanya kami bercerita sambil masak. Mama membahas tentang drama yang tiap hari tayang di salah satu stasiun televisi. Aku tertawa ringan saat beliau mengungkapkan kekecewaannya pada salah satu tokoh di sana. Meski aku tidak pernah melihat cerita itu, aku tetap jadi pendengar dan sesekali menanggapi.
Di ruang keluarga, anak-anak sedang menonton kartun di temani Mas Ilham. Terdengar canda mereka di sana.
Jika Mama mertuaku bilang, akulah menantu yang selalu ada untuknya. Maka aku juga mengakui, beliau mertua yang layak jadi teladan. Beliau wanita yang bijaksana. Entah nanti, aku dapat mertua yang seperti ini lagi apa tidak.
"Mama enggak ingin kehilanganmu, Vi. Mama sayang semua anak, menantu, dan cucu. Mama ingin kalian semua menjadi pasangan yang hanya bisa di pisahkan oleh maut."
Aku diam mendengarkan sambil mengupas bawang.
"Bertahanlah sekali lagi. Mama yakin, Ilham enggak ada hubungan apa-apa dengan Nura. Mereka hanya perlu menjaga jarak dalam berteman."
Ya, tapi hubungan mereka rumit. Terjebak oleh rasa yang tidak tuntas dan terhalang oleh keberadaanku.
Keceriaan kami siang itu seolah mengikis jarak yang terbentang antara aku dan Mas Ilham. Keadaan yang sempat menggodaku untuk bertahan sekali lagi.
Hingga suara salam perempuan di luar, kembali menyurutkan niatku.
Nura dan Dini datang sambil menenteng brownis kukus. Nama merk brownis itu tercetak di goodie bag yang dibawanya.
Kegagalan asmara Mas Ilham dan Nura tidak serta merta membuat hubungan kekeluargaan mereka ikut berantakan. Nura masih sering mengunjungi mama mertuaku. Anaknya juga kerasan di sana.
"Kabar ibumu bagaimana?" tanya Mama pada Nura setelah duduk bergabung bersama kami.
"Alhamdulillah, baik, Bu. Dua Minggu yang lalu sempat drop. Saya di kabari pas pulang meeting sama Mas Ilham. Akhirnya saya minta tolong Mas Ilham mengantar ibu ke rumah sakit."
Napasku tersekat sesaat. Aku baru mendengar cerita itu, karena Mas Ilham tidak memberitahu. Ku pandang suami yang saat itu juga menatapku. Ada permintaan maaf yang ditunjukkan oleh sorot matanya.
"Kenapa harus Ilham. Apa enggak ada kerabat yang dimintai tolong untuk segera membawa ke rumah sakit?"
"Kebetulan saya dan Mas Ilham pas pulang dari meeting sore itu, Bu."
Aku tidak menimpali percakapan mereka. Kusibukan diri dengan mengupas buah apel untuk anak-anak yang sedang menonton kartun.
Jam tiga sore Nura mengajak Dini pamitan pulang. Sebenarnya dia ingin sekalian ikut mobil kami, tapi Mama mencegah dengan mengatakan bahwa kami akan pulang malam nanti.
Dini sempat mogok tidak mau pulang naik taksi online, bocah umur tujuh tahun itu ingin pulang bersama Om Ilham. Dia pun sudah merasa nyaman dengan Mas Ilham. Mereka ternyata sedekat itu.
đșđșđș
"Mas minta maaf karena tidak cerita saat mengantar ibunya Nura waktu itu," ucap Mas Ilham saat kami selesai jamaah Salat Isya. Syifa sudah tidur setelah makan habis Maghrib. Ia kelelahan bermain dan tidak tidur tadi siang.
"Enggak apa-apa, memang enggak penting untuk kuketahui," jawabku tak acuh sambil melepaskan mukena.
Mas Ilham sedikit memaksa menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Memeluk erat sambil mengucap maaf berulang kali.
Sudah lama dia tidak memelukku seperti ini. Saat melayaninya mengarungi nirwana pun, kami akan kembali ke tempat masing-masing setelah keinginannya tuntas.
"Jangan pergi," ucapnya.
Next ....
Terima kasih untuk like dan komentarnya Man-teman.
Selamat Membaca đ
"Mama, masak apa?" tanya Shifa yang menyusul ke dapur dan berdiri di dekatku. Dia sudah bangun."Mama lagi goreng ayam, katanya kemarin Shifa mau ayam goreng. Ayo, susunya di minum dulu. Nanti baru sarapan. Jangan lupa minum air putih dulu sebelum minum susu."Aku menunjuk segelas susu yang ada di meja makan. Syifa langsung duduk di kursi, minum beberapa teguk air putih hangat, kemudian menyesap susunya.Jam dinding menunjukkan pukul enam pagi. Tapi Mas Ilham belum juga keluar. Biasanya jam segini dia sudah selesai mandi.Kuletakkan spatula dan mematikan kompor setelah mengangkat gorengan terakhir."Tunggu di sini, Mama mau lihat Papa dulu," kataku pada Syifa.Pintu kamar masih tertutup rapat dan sepi. Ku putar gagang pintu perlahan. Lampu telah dinyalakan dan Mas Ilham yang masih memakai baju koko dan sarung sedang terlentang di ranjang. Wajahn
Kutarik napas dalam-dalam, menata ekspresi wajah agar tampak biasa saja. Baru kudorong pintu perlahan. Di dalam, dua orang duduk berdekatan sambil menatap layar laptop. Tapi sempat kulihat wajah keduanya tampak murung, bahkan mata perempuan itu berkaca-kaca. Aku tersenyum, meski hatiku remuk redam untuk yang ke sekian kali. "Vi," panggil Mas Ilham terkejut. Dia langsung berdiri, pun begitu dengan Nura yang sibuk menyeka air mata. "Maaf, aku enggak mengetuk pintu. Ku pikir Mas sendirian. Aku hanya mau mengantarkan obat Mas yang ketinggalan." Kuletakkan plastik obat di meja. Setelah itu aku berbalik dan pergi. Dia mengejar. Di tangga yang sepi Mas Ilham menahan lenganku. "Jangan salah paham, Vi. Mas akan cerita nanti." Mas Ilham menjelaskan dengan panik. Aku diam tidak menjawab apa-apa. "Kamu tadi naik apa ke sini?" "Naik moto
Setelah pikiran tenang, kuambil ponsel dari tas selempang warna hitam."Assalamu'alaikum, Vi." Suara ibu di seberang."Wa'alaikumsalam, Bu. Kapan aku dan Shifa boleh pulang ke rumah, Ibu?""Ya, Allah, Nduk. Kapanpun kamu boleh pulang. Tapi ... kamu enggak apa-apa, 'kan? Kenapa suaramu serak?""Aku lagi diperjalanan ini, Bu. Mau jemput Shifa pulang sekolah.""Kamu ada masalah lagi sama Ilham.""Masalah yang sama. Nanti Ibu kabari aku ya, kapan Pak Nardi bisa jemput.""Iya, Nduk.""Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Aku kembali melajukan motor ke arah sekolahnya Syifa. Dan berhenti sekali lagi saat dada dihempap sesak. Separah ini rasanya. Pantas saja sebagian istri yang dikhianati bisa sebrutal itu mengungkapkan kemarahannya. Mengamuk atau sekedar mencaci maki suami atau wan
Aku menarik napas panjang. Pria ini memang keras kepala. Lebih baik aku segera pergi dari kamar kami. Namun, tarikan tangan membuatku terduduk di pangkuannya. Kami berpelukan sesaat. "Maaf, jika Mas terlena selama ini. Karena sering bertemu dan kerja bersama, membuat peluang kedekatan kami makin besar." "Apa yang kalian lakukan jika keluar kota? Sekedar berciuman atau mungkin ... sudah bercinta?" Mas Ilham terkejut dengan pertanyaanku baru saja. Kulepaskan tangannya yang melingkar di pinggang. "Enggak usah dijawab Mas. Melihat cara kalian berinteraksi saja sudah membuatku sesak napas." "Mas tidak pernah melakukan apapun dengannya." Apa berpelukan di rumah sakit waktu itu bukan apa-apa? Itu yang terlihat, bagaimana dengan yang tidak tampak. Tiba-tiba saja aku muak. Namun, aku membiarkannya memelukku sekali lagi. Ku jinjitkan kaki untuk mencium pipi
POV Ilham Aku masuk rumah yang telah kehilangan mahkota. Sepi dan terasa asing ketika duduk di salah satu sudutnya. Hari ini seperti mimpi. Kesabaran Vi telah sampai pada batasnya. Dia benar-benar pergi bersama bidadari kecil kami. Vi menciptakan jurang yang dalamnya tidak terjangkau. Ini jurang, bukan lagi tembok penghalang yang masih bisa ku robohkan. Tidak ada lagi celoteh suara Syifa. Gadis kecil yang mewarisi kecantikan ibunya, yang enggan berdekatan dengan papanya sendiri. Aku melangkah gontai masuk ke kamar. Tidur terlentang menghadap plafon. Di atas sana seolah penuh bayangan kebersamaan kami lima tahun ini. Namanya, Vi Ananda. Gadis cantik yang ku kenal saat magang di kantor tempatku bekerja. Matanya yang bening dengan iris mata cokelat memikat. Jujur, aku terpesona pada pandangan pertama, di antara patah hati yang serpihannya
POV Ilham Sudah satu bulan ini aku tanpa Vi dan Syifa. Hening. Malam-malam pun membuatku terpuruk dan hampir tidak waras. Seluruh penjuru rumah ini masih ada jejak mereka. Suara-suara mereka bercanda riang yang tidak kupedulikan kala itu, kini merongrong menjadi kenangan yang memilukan dan menimbulkan penyesalan. "Maafkan Papa, Sayang." Dua hari yang lalu Mama datang untuk membersihkan rumah dan memasak untukku. Sedihnya, Mama tidak juga mau bicara banyak. Mereka semua kecewa dengan ketotolanku. Pagi itu setelah rapi berpakaian, kuhubungi Vi. Seperti biasanya Syifa yang menerima panggilan. "Halo, Assalamualaikum." "Waalaikumsalam, Sayang," sapaku setelah panggilan diterima. "Iya, Pa. Syifa masih sarapan, belum berangkat ke sekolah." "Hmm, lauknya apa? Kayaknya enak, ya?" &n
Part 6 Kehilangan Dua minggu ini aku sudah bisa beradaptasi dengan keadaan. Setelah terpuruk tanpa daya lebih dari seminggu setelah kepulanganku ke rumah Ibu. Syifa tidak begitu terpengaruh, di sini dia memiliki banyak teman bermain. Aku mulai beraktivitas di toko dan merekap pesanan. Alhamdulillah, toko roti dan kue yang dirintis Ibu sejak aku umur sepuluh tahun berkembang sangat pesat. Ini hiburanku yang lain, selain mengurus Syifa. "Vi, ada telepon dari Ilham," kata Ibu sambil mengantar ponselku yang tertinggal di depan TV. Setelah Ibu keluar, kuletakkan ponsel di nakas. Syifa sudah tidur, biasanya Syifa yang menerima panggilan dari papanya. Ponsel kembali bergetar untuk yang ketiga kalinya, tetap kubiarkan. Aku belum sanggup bicara apa pun dengan Mas Ilham. Dalamnya cinta yang bersemayam membuatku tak berdaya
Part 6 Kehilangan"Mbak, ada Mas yang mau pesan kue," kata Sarti, salah satu karyawan yang jaga toko. Sesaat setelah Miya pamitan."Oh, ya? Siapa?" tanyaku penasaran."Orangnya masih di depan."Aku segera berdiri, mengambil nota catatan, dan melangkah keluar. Di depan Toko ada Bre yang masih berseragam guru, duduk di kursi biasa digunakan oleh para pembeli menunggu pesanan atau sengaja makan kue dan minum di sana."Assalamu'alaikum," sapaku.Pria itu menoleh dan tersenyum. "Wa'alaikumsalam.""Rupanya bos muda yang akan melayaniku," ujarnya."Mas, bisa aja. Oh ya, mau pesan apa?""Mau pesan 250 kotak kue untuk acara di rumah Tanteku.""Yang isi berapa Mas? Tiga atau empat. Misalnya satu kotak isi tiga kue basah dan satu camilan. Atau dua kue basah dan satu camilan
Vi Ananda's POV"Mas, tidur saja. Biar aku yang jaga Abrisam," ucapku sambil memandangnya. Dia kelihatan capek malam ini."Nanti kamu bisa bangunin Mas kalau butuh sesuatu."Aku mengangguk. Perlahan mata yang selalu bersorot tajam itu terpejam. Tidak lama kemudian terdengar dengkur halusnya.Sebulan ini Mas Ilham kurang tidur karena Abrisam sering mengajak begadang. Kami bergantian menjaganya. Tapi sudah dua hari ini si bungsu tidak lagi begadang. Dia nyenyak tidurnya, terbangun dan menangis kalau mau susu saja.Betapa capeknya Mas Ilham. Siang sibuk dengan pekerjaan, malamnya bergantian jaga Abrisam. Ini tidak pernah dilakukan pada dua anak sebelumnya.đșđșđșSore yang cerah. Aku mendorong stroller Abrisam menyusuri jalan berpaving yang menghubungkan jalan ke bangunan hotel dan sebuah kafe. Di depanku Abian berlarian
Vi Ananda's POV"I love you," bisik Mas Ilham di telinga saat aku sedang menyusui Abrisam. Kedekatan kami membuat suster yang bertugas tersipu malu, lantas izin ke luar kamar.Salah satu fasilitas yang kami dapat adalah adanya seorang suster yang stand by selama dua puluh empat jam."Didit ngirim pesan kalau akan datang ke sini agak siang. Hari ini guru home schooling-nya Abian mulai ngajar, jadi Didit nunggu sekalian.""Ya, nggak apa-apa."Home schooling. Sebenarnya ini seperti les yang dilakukan Syifa setiap hari. Abian memang sudah waktunya masuk PAUD. Meski start belajar secara formal masih dua bulan lagi, tapi sekarang sudah di mulai. Aslinya, yang mengajar Homeschooling memang orangtua, bukan guru privat. Tapi beda buat kami, Pak Broto yang memfasilitasi semuanya, gaji guru privat plus uang tranport-nya.Akan tetapi setelah ini aku d
Ilham's POV"Ibu, mau pergi ke hajatan, ya?" godaku bercampur jengkel karena khawatir.Wanita di hadapanku tersenyum santai. "Ayo, kita berangkat!" ajaknya sambil menggamit lenganku. Persis seperti pasangan model yang akan melewati red karpet."Kenapa pakai sandal seperti ini?" protesku sambil menunjuk ke arah kakinya."Nggak apa-apa, kita kan mau naik mobil."Sudahlah. Dituruti saja, habis ini aku bisa mencuri sandal itu untuk kusingkirkan.Mobil meluncur pergi di bawah tatapan dua satpam yang sempat mendoakan agar proses kelahiran putra kami lancar.Aku duduk di bangku belakang bersama Vi. Tangannya yang memegang lenganku kadang terasa mencengkeram, mungkin mulasnya kembali datang. Namun saat kupandang dia hanya tersenyum. Tanpa memedulikan adanya Didit, aku menciumi pipi Vi. Pikiranku serius tegang kali ini.
Ilham's POV"Pak Ilham, ini berkas yang Bapak minta tadi." Seorang staf bernama Wita menahan langkahku yang hendak keluar kantor."Taruh di meja. Biar nanti saya periksa."Aku segera bergegas keluar ruangan, berjalan lurus ke arah utara menuju ruang pribadiku. Beberapa hari ini aku memang tidak bisa tenang menjelang persalinan anak ketiga kami."Papa," sapa Abian yang sedang asyik bermain di depan TV ditemani Arum. Aku mendekat dan mencium rambut putraku. Lantas aku masuk kamar, Vi sedang duduk di ranjang sambil menyusun baju bayi dan beberapa perlengkapannya sendiri ke dalam travel bag ukuran sedang."Mas, kok pulang lagi?" tanya Vi heran karena sepagi ini aku sudah dua kali menemuinya."Nggak usah cemas gitu. HPL-nya kan masih sepuluh hari lagi. Lagian kalau aku terasa mau lahiran, bayinya juga nggak langsung nongol. Masih ada prosesnya.
Vi Ananda's POVSiang itu aku duduk menemani Abian dan Arum yang bermain dengan si kucing hitam. Suasana redup, mendung mengantung menutupi sang surya.Hari ini hatiku berdebar-debar menunggu hasil pembicaraan Mas Ilham dan Pak Broto. Sebenarnya hak Mas Ilham untuk menolak, karena perjanjian awal hanya sampai pada dua bulan ke depan lagi. Tapi aku tahu bagaimana suamiku, terkadang dia terbawa oleh rasa tak enak hati. Mungkin karena dia juga nyaman kerja di sini.Perhatianku beralih pada mobil Fortuner yang memasuki lokasi. Itu kendaraan Pak Petra. Tiba-tiba aku berharap kalau ada Bu Melinda ikut serta, tapi aku kecewa. Yang turun justru Pak Broto, Pak Rony, dan di susul perempuan itu. Perempuan masa lalu suamiku. Dia memakai gamis dan jilbab yang ujungnya dimasukkan ke kerah gamisnya.Pak Petra mendekatiku dan menyalami. "Apa kabar?""Alhamdulillah, kabar baik Pak.
Vi Ananda's POVPagi yang dingin, jaket tebal yang kupakai masih membuatku menggigil. Tapi Mas Ilham yang berdiri di sebelahku sudah mandi keringat. Aku sedang menemaninya jogging di tepi pantai sepagi ini. Hanya berdua, karena Abian belum bangun.Dia menenggak habis air mineral di tangannya. Kami berdiri menghadap laut lepas."Kita akan merindukan tempat ini, Mas," kataku.Mas Ilham merangkulku. "Suatu hari nanti kita bisa liburan ke sini ngajak anak-anak," ujarnya sambil tersenyum. Lantas dia terdiam, memandangku lalu tersenyum lagi. Seperti ada yang ingin dibicarakan tapi dia masih tampak bingung."Pak Alex kapan datang?" tanyaku."Kemungkinan dua bulan lagi."Diam. Kami menikmati indahnya pemandangan, sejuk dan berkabut. Angin pagi berembus membuat bergo yang kupakai berkibar. Mas Ilham menahan dengan tangannya aga
Ilham's POVAbian masih bermain di depan TV bersama Arum. Gadis umur delapan belas tahun itu telaten menjaga jagoanku. Sementara aku duduk agak ke belakang sambil menyimak email yang masuk. Signal di sini sudah lancar sejak enam bulan terakhir ini. Lima belas menit yang lalu Vi baru masuk kamar setelah menemani Abian bermain.Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan dengannya. Mengenai bos yang ingin agar aku tetap bertahan mengurus proyek ini sampai finish. Inilah yang membuatku bingung beberapa hari, nanti Alex hanya akan sesekali saja ke sini karena akan ada design interior dari sini saja, tapi tetap dalam pantauan Alex.Tidak tega aku menyampaikan ini pada Vi. Dia sudah bahagia mau pulang dan berkumpul lagi dengan putri kami. Abian tahun depan juga masuk PAUD. Vi mau melahirkan di sana dan tinggal di rumah kami yang sudah selesai direnovasi. Kusandarkan punggung di sofa dan menarik napas dalam-dalam. Dil
Ilham's POV"Janin Ibu sudah berumur delapan minggu," kata dokter Etik sambil menunjukkan layar USG."Alhamdulillah," ucapku. Vi tersenyum lantas kembali menatap layar USG dan memerhatikan ucapan dokternya.Dulu waktu Vi hamil Syifa, aku yang terkejut karena tidak menyangka kalau dia akan hamil secepat itu. Bulan ini menikah bulan depannya dia sudah mengandung.Terus kehamilan kedua yang keguguran karena dia tidak tahu dan aku benar-benar kehilangan. Waktu itu kami lagi berada di puncak masalah. Hamil kali ketiga aku yang merencanakan, disaat dia belum siap, tapi aku yang memaksa diam-diam, karena itu peluang besar kami bisa hidup bersama lagi. Dan kehamilan keempat ini yang benar-benar kami persiapkan berdua."Sayang, mau makan apa? Siang belum makan, 'kan?" tanyaku setelah kami masuk mobil."Apa ya? Ada yang jual lontong sayur nggak ya,
Vi Ananda's POVHari ini cuaca sangat terik. Matahari serasa berada tepat di atas kepala. Abian merenggek minta main ke luar, tapi aku melarangnya. Kadang kasihan sama Abian, tidak punya teman bermain. Kalau cucunya Bu Asti diajak ke proyek, Abian baru punya teman. Tapi pasti berujung drama, cucunya Bu Asti -anak lelaki umur enam tahun- itu tidak mau diajak pulang dan Abian sendiri juga nangis kalau ditinggal. Senang dan susah jadinya."Mama, ayo!" Abian kembali menarik tanganku."Jangan, Sayang. Ini jam dua belas lho, panas banget di luar. Abian makan siang terus bobok, nanti sore baru kita jalan-jalan ke pantai sama Papa." Perlahan kutarik lengannya dan kupangku.Abian masih merengek dan diam ketika pintu kamar di ketuk dari luar. Aku bergegas membuka pintu. Bu Asti tersenyum, ditangannya ada semangkuk besar kolak pisang. "Mau nganterin kolak pisang, Bu.""Iya, Bu Asti. T