"Mama, masak apa?" tanya Shifa yang menyusul ke dapur dan berdiri di dekatku. Dia sudah bangun.
"Mama lagi goreng ayam, katanya kemarin Shifa mau ayam goreng. Ayo, susunya di minum dulu. Nanti baru sarapan. Jangan lupa minum air putih dulu sebelum minum susu."
Aku menunjuk segelas susu yang ada di meja makan. Syifa langsung duduk di kursi, minum beberapa teguk air putih hangat, kemudian menyesap susunya.
Jam dinding menunjukkan pukul enam pagi. Tapi Mas Ilham belum juga keluar. Biasanya jam segini dia sudah selesai mandi.
Kuletakkan spatula dan mematikan kompor setelah mengangkat gorengan terakhir.
"Tunggu di sini, Mama mau lihat Papa dulu," kataku pada Syifa.
Pintu kamar masih tertutup rapat dan sepi. Ku putar gagang pintu perlahan. Lampu telah dinyalakan dan Mas Ilham yang masih memakai baju koko dan sarung sedang terlentang di ranjang. Wajahnya agak pucat.
Ku sentuh keningnya bersamaan dengan dia membuka mata. "Mas, sakit? Badan Mas panas."
Mas Ilham bangun dari tidurnya. "Ya, sejak tadi malam Mas sakit kepala."
Sejak tadi malam? Tentu saja aku tidak tahu. Setelah pulang dari rumah Mama aku kembali tidur menemani Syifa. Bicara dengan Mas Ilham hanya seperlunya saja.
Niat mau pulang ke rumah ibu pun jadi tertunda karena kamarku masih di cat dan diperbaiki plafonnya. Ah, Ibu memang sengaja melakukan itu, hanya alasan saja. Tentu beliau telah sepakat dengan Mama agar aku bertahan sekali lagi. Tidak tahukah mereka, kalau aku hampir gila di sini.
"Ku ambilkan sarapan dulu sama obat."
Aku melangkah ke dapur. Membuatkan teh hangat, mengambil sepiring nasi berlauk ayam dan tumis sawi. Kemudian mengambil obat di kotak P3K sekalian minyak kayu putih. Semua kujadikan satu di nampan.
"Syifa tunggu Mama dulu, ya. Mama ngasih obat dulu ke Papa."
"Papa kenapa?"
"Sakit."
Syifa mengangguk sambil memegang gelas susu dengan kedua tangannya.
Mas Ilham sudah duduk di tepi pembaringan saat aku masuk.
"Sarapan dulu, Mas. Obatnya tinggal ini yang masih ada. Nanti aku mampir apotek setelah ngantar Syifa sekolah." Ku letakkan nampan di nakas. Mas Ilham menggeser duduknya. Mengambil gelas teh dan minum beberapa teguk.
"Aku mandiin Syifa dan ngasih dia sarapan dulu."
Tanpa menunggu jawaban aku bergegas keluar kamar. Setelah menghabiskan susu kuajak Syifa mandi, ganti baju, dan menyuapinya.
Aku juga ganti baju dan memakai jaket lalu menghampiri Syifa yang menunggu di ruang tengah.
"Shifa, pamit sama Papa dulu, Mama tunggu sambil manasi motor di luar."
Sambil menggendong tas di punggungnya, Syifa melangkah ke kamar yang pintunya masih terbuka.
Motor ku lajukan agak cepat, karena ini memang sudah terlambat. Jarak sekolah Syifa dari rumah hanya sepuluh menit naik motor.
Kami sampai saat anak-anak masih senam. Setelah menunggu sebentar dan basa-basi dengan sesama ibu wali murid, aku segera pergi.
Ada beberapa obat yang telah kucatat untuk dibeli. Sekalian nanti belanja sayuran untuk masak besok.
"Vi," panggil seorang pria saat aku baru memarkir motor di halaman apotek.
Aku menoleh, seorang pria berpostur tinggi tersenyum sambil mendekat. Dia masih memakai setelan olahraga.
Bre Manggala, kakak kelas SMA dulu. Cowok berprestasi yang jadi idola cewek di sekolah. Selain jago taekwondo, dia juga pemain basket yang jadi andalan sekolah dan sebuah club di kota kami.
"Jam segini masih di sini? Enggak ngajar, Mas?" tanyaku pada guru olahraga yang berdiri di depanku.
Dia melihat jam tangan. "Telat sebentar tidak apa-apa, demi nyamperin gebetan yang sudah jadi istri orang," candanya.
Aku tersenyum kecut. Bisa-bisanya dia gombalin perempuan yang lagi galau sepagi ini. "Bisa aja bercandanya."
"Sebenarnya aku tidak ada jadwal ngajar hari ini. Ini tadi mau ke GOR untuk melihat anak-anak berlatih yang mau dikirim ke pertandingan basket minggu depan. Habis sarapan di warung depan sana, aku melihatmu di sini."
"Aku barusan ngantar anak sekolah sekalian mau beli obat-obatan."
"Musim pancaroba, mesti jaga kesehatan."
"Ya."
"Tiga hari yang lalu aku ngantar Mbak Rima pesan kue ke toko ibumu."
"Oh, ya?"
"Hmm, kebetulan pas ramai-ramainya pengunjung. Padahal aku mau nyempetin tanya kabar kamu. Tapi bertemu di sini juga akhirnya. Kamu baik-baik saja, 'kan?"
"Alhamdulillah, aku ... sehat," jawabku sambil tersenyum.
"Syukurlah!"
Pria itu menatapku dengan pandangan aneh. Seolah tidak percaya dengan jawabanku baru saja. Selain ahli beladiri, apakah dia juga pandai menerawang isi hati?
"Mas, kok ngelamun, sih?" tegurku.
Bre tersenyum. "Aku pergi dulu, ya! Nanti anak-anak nungguin."
Aku mengangguk. Bre melangkah pergi, menyebrang jalan menuju motor sport-nya yang terparkir di depan sebuah rumah makan. Aku sendiri segera masuk ke apotek.
🌺🌺🌺
Sampai di rumah, Mas Ilham masih berbaring dengan pakaian yang sama. Setelah menaruh belanjaan di belakang dan cuci tangan, aku menghampirinya ke kamar.
AC sudah dimatikan. Kubuka jendela yang masih tertutup rapat, udara segar menyerbu masuk.
Rumah ini di bangun di tengah-tengah luas tanah. Jadi di sekeliling rumah masih ada sisa lahan kosong. Model perumahan di blok sini begitu semua, tidak seperti di perumahan pada umumnya yang tembok rumah saling berhimpitan.
Aku mengambilkan kaos dan celana pendek di lemari. "Ganti dulu bajunya. Biar sekalian yang Mas pakai itu aku cuci."
Mas Ilham bangun dan membuka baju. Tampaknya setelah minum obat pun badannya belum berkeringat. Ku ambil minyak kayu putih dan mengoleskan di punggung dan dadanya. Ada yang berdesir saat ku sentuh tubuh itu. Sosok yang membuatku nyaman sebelum aku sadar, rasa di dalam raga ini bukan milikku.
Ku pungut baju di atas ranjang dan ku bawa ke luar.
Seperti biasa, aku mengerjakan pekerjaan rumah sambil sesekali melihat jam. Takut kelewatan menjemput Syifa pulang sekolah.
Jam 10.45 aku berangkat ke sekolah Syifa. Nanti jam sebelas tepat dia akan keluar dari kelasnya.
Sinar matahari sangat terik siang itu. Untungnya ada angin musim pancaroba yang membuat suasana tidak terasa panasnya. Namun, membuat debu dan dedaunan kering beterbangan.
Syifa keluar dari kelas bersamaan dengan kedatanganku. Gadis kecilku berlari riang sambil membawa selembar kertas yang ditunjukkan padaku.
"Ma, Syifa dapat bintang lima. Bagus kan lukisan Syifa."
"Hmm, bagus. Pinternya anak Mama," pujiku sambil melihat sekilas gambar yang aku tidak begitu paham itu lukisan apa. Sebab segera kusuruh Syifa naik ke bocengan motor, mengikat badannya dengan sabuk pengaman yang melekat di tubuhku dan kami segera pulang.
🌺🌺🌺
Siang itu aku duduk di kamar Syifa, menunggunya masuk kamar untuk tidur siang. Sementara bocahku masih asyik di ruang tengah. Menjawab pertanyaan papanya tentang apa yang dilukisnya tadi.
"Ini pagarnya kebun binatang, Pa. Terus yang bulat-bulat ini hewannya. Ada ular, gajah, macan, jerapah, burung, dan hewan yang lainnya."
Aku tersenyum di dalam kamar, membayangkan gambar yang ditunjukkan padaku tadi siang. Sebuah lingkaran besar dan di dalamnya ada bulatan-bulatan kecil yang dia bilang gambar hewan tadi. Di tepi atas gurunya menulis, 'Kebun Binatang'.
Bagi bocah usia empat tahun, itu gambar yang sudah luar biasa tentunya. Setidaknya ia sudah bisa berimajinasi. Dan yang lebih berbeda lagi, Syifa mau bicara banyak dengan papanya. Selama ini tidak seperti itu. Mas Ilham sendiri jarang berinteraksi dengan putrinya. Justru sekarang dalam kondisi sakit pun, kenapa mau meladeni Syifa?
Sepuluh menit kemudian Syifa masuk kamar. Tersenyum senang dan bilang kalau gambarnya dipuji oleh sang Papa.
"Ayo, tidur dulu. Nanti sore Syifa ngaji, 'kan?"
"Iya, Ma."
Setelah Syifa tidur, aku keluar kamar. Mas Ilham sedang Salat Zhuhur, saat kulihat ponselnya berpendar di meja depan TV.
Pesan masuk itu membuatku penasaran. Dengan tangan gemetar kuberanikan diri membuka pesan dari layar pemberitahuan.
[Mas, sakit apa? Tadi aku ke kantor katanya Mas enggak masuk karena sakit.]
[Aku jadi kepikiran.]
[Padahal tadi Pak Tantowi mengundang kita diner besok malam. Semoga Mas lekas sembuh.]
Itu bunyi pesan dari Nura.
Kuletakkan kembali ponsel ditempatnya. Ada yang menggelegak di dada , tapi ... aku tidak peduli dengan apa yang terjadi setelahnya. Dibalas atau tidak, aku tidak ingin mengintip untuk tahu. Aku merasa hakku telah selesai kali ini.
Namun, harapan untuk segera angkat kaki masih belum terealisasi. Ketika Mama menginap beberapa hari di rumah, saat kukabari Mas Ilham sakit. Typus-nya kambuh kata doker langganan kami, meski tidak separah beberapa bulan yang lalu.
"Syifa sudah tidur?" tanya Mas Ilham saat aku masuk kamar. Beberapa hari ini kami tidur satu kamar lagi, karena ada Mama.
Aku mengangguk.
"Besok Mas masuk kerja. Ada meeting penting yang harus Mas hadiri."
"Ya," jawabku singkat sambil berjalan menuju sisi ranjang yang lain. Merebahkan diri dengan posisi miring, kemudian menarik selimut.
Lengan itu memelukku dari belakang, hingga hembusan napasnya terasa hangat di tengkuk.
Kuhentikan jemarinya yang berhasil membuka satu kancing piyama paling atas. Lima tahun bersamanya, membuatku hapal kebiasaan Mas Ilham saat ingin bercinta. Ini kali pertama aku menolaknya. Selama ini bagaimanapun rasa hati, aku tetap melayani.
Tatapan mata kami bertemu dalam jarak yang begitu dekat. Embusan napasnya terasa menghangatkan wajahku.
Pada akhirnya kami mengarungi Nirwana yang hampir sebulan ini kami tinggalkan. Jiwa raga yang memelukku itu kudekap erat. Sosok yang kucintai setengah mati.
"Terima kasih," ucapnya dengan posisi tetap memelukku.
🌺🌺🌺
Pagi itu Mama tampak berbinar, hanya melihat rambutku yang basah. Beliau menemaniku memasak di dapur.
"Mama hari ini pulang, Vi. Ilham sudah sembuh."
"Ya, Ma. Nanti bawa lauk dari sini saja, Mama enggak usah masak sampai di rumah."
Mertuaku tersenyum.
"Nanti biar Ilham ngantar Mama sekalian berangkat ke kantor. Kasihan Dinar, Vi, tadi malam sudah menelepon tanya kapan Mama pulang. Anak itu malah enggak kerasan tinggal sama orang tuanya sendiri."
Rumah Mas Ahmad, kakak pertama suamiku, sebenarnya masih satu kampung dengan Mama. Hanya saja rumahnya berada di ujung sebelah barat, sedangkan rumah mertua di sebelah timur.
Suami istri itu sangat sibuk di pasar. Mereka memiliki tiga kios yang menjual sembako dan pernak-pernik untuk perlengkapan hajatan. Ada beberapa karyawan yang bekerja pada mereka.
Selesai masak aku memandikan Syifa, memakaikan seragam, dan mengajaknya ke ruang makan untuk sarapan bersama-sama.
Mas Ilham tampak berseri-seri saat duduk di meja makan. Dia telah berpakaian rapi dan tampak bersemangat pagi ini. Entah karena akan bertemu lagi dengan yang di sana atau karena kebutuhan biologisnya telah terpenuhi tadi malam.
"Kalau ada waktu, kalian pergilah liburan," saran Mama.
"Nanti pas Syifa liburan sekolah saja, Ma. Sekalian aku ngambil cuti."
Kami ceria pagi itu. Sebelum kembali hening saat aku sendirian di rumah setelah Mas Ilham berangkat ke kantor sambil mengantar Mama pulang dan mengantarkan Syifa ke sekolahnya.
Setelah membereskan dapur, aku membersihkan dua koper besar yang kusimpan di atas lemari. Saat mengemas kamar, kulihat obat Mas Ilham kelupaan tidak di bawa. Padahal ia masih harus minum obat agar benar-benar pulih.
Aku buru-buru mandi, inilah kesempatanku untuk datang ke kantornya dengan alasan mengantarkan obat. Mungkin bisa kutemukan sesuatu yang bisa memantapkan hati untuk membuat keputusan.
Perjalanan yang kutempuh lumayan jauh, sekitar 30 km. Perusahaan properti tempatnya bekerja berada di pusat kota. Aku pernah beberapa kali diajak ke sana waktu ada acara di kantor.
Setelah memarkir motor, aku dipersilakan masuk oleh satpam yang berjaga. Kutemui resepsionis yang sudah tahu kalau aku istrinya Mas Ilham.
"Pak Ilhamnya masih ada di ruangannya, Bu. Sebentar lagi keluar meeting. Ibu langsung masuk saja." Ramah sekali wanita bernama Santi itu.
"Terima kasih, ya, Mbak."
Aku melangkah melewati lorong dan tersenyum pada beberapa karyawan yang menyapa ramah dari balik meja kerjanya.
Ruangan Mas Ilham berada di lantai dua, jadi aku naik tangga yang berada di ujung ruangan lantai satu.
Di pojok ada ruangan yang pintunya sedikit terbuka. Ada nama Ilham Bagaskara, S.H yang melekat di pintunya.
Aku tercekat di depan pintu saat kudengar ada suara dua orang di dalam. Aku kenal suara itu.
Next ....
Kutarik napas dalam-dalam, menata ekspresi wajah agar tampak biasa saja. Baru kudorong pintu perlahan. Di dalam, dua orang duduk berdekatan sambil menatap layar laptop. Tapi sempat kulihat wajah keduanya tampak murung, bahkan mata perempuan itu berkaca-kaca. Aku tersenyum, meski hatiku remuk redam untuk yang ke sekian kali. "Vi," panggil Mas Ilham terkejut. Dia langsung berdiri, pun begitu dengan Nura yang sibuk menyeka air mata. "Maaf, aku enggak mengetuk pintu. Ku pikir Mas sendirian. Aku hanya mau mengantarkan obat Mas yang ketinggalan." Kuletakkan plastik obat di meja. Setelah itu aku berbalik dan pergi. Dia mengejar. Di tangga yang sepi Mas Ilham menahan lenganku. "Jangan salah paham, Vi. Mas akan cerita nanti." Mas Ilham menjelaskan dengan panik. Aku diam tidak menjawab apa-apa. "Kamu tadi naik apa ke sini?" "Naik moto
Setelah pikiran tenang, kuambil ponsel dari tas selempang warna hitam."Assalamu'alaikum, Vi." Suara ibu di seberang."Wa'alaikumsalam, Bu. Kapan aku dan Shifa boleh pulang ke rumah, Ibu?""Ya, Allah, Nduk. Kapanpun kamu boleh pulang. Tapi ... kamu enggak apa-apa, 'kan? Kenapa suaramu serak?""Aku lagi diperjalanan ini, Bu. Mau jemput Shifa pulang sekolah.""Kamu ada masalah lagi sama Ilham.""Masalah yang sama. Nanti Ibu kabari aku ya, kapan Pak Nardi bisa jemput.""Iya, Nduk.""Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Aku kembali melajukan motor ke arah sekolahnya Syifa. Dan berhenti sekali lagi saat dada dihempap sesak. Separah ini rasanya. Pantas saja sebagian istri yang dikhianati bisa sebrutal itu mengungkapkan kemarahannya. Mengamuk atau sekedar mencaci maki suami atau wan
Aku menarik napas panjang. Pria ini memang keras kepala. Lebih baik aku segera pergi dari kamar kami. Namun, tarikan tangan membuatku terduduk di pangkuannya. Kami berpelukan sesaat. "Maaf, jika Mas terlena selama ini. Karena sering bertemu dan kerja bersama, membuat peluang kedekatan kami makin besar." "Apa yang kalian lakukan jika keluar kota? Sekedar berciuman atau mungkin ... sudah bercinta?" Mas Ilham terkejut dengan pertanyaanku baru saja. Kulepaskan tangannya yang melingkar di pinggang. "Enggak usah dijawab Mas. Melihat cara kalian berinteraksi saja sudah membuatku sesak napas." "Mas tidak pernah melakukan apapun dengannya." Apa berpelukan di rumah sakit waktu itu bukan apa-apa? Itu yang terlihat, bagaimana dengan yang tidak tampak. Tiba-tiba saja aku muak. Namun, aku membiarkannya memelukku sekali lagi. Ku jinjitkan kaki untuk mencium pipi
POV Ilham Aku masuk rumah yang telah kehilangan mahkota. Sepi dan terasa asing ketika duduk di salah satu sudutnya. Hari ini seperti mimpi. Kesabaran Vi telah sampai pada batasnya. Dia benar-benar pergi bersama bidadari kecil kami. Vi menciptakan jurang yang dalamnya tidak terjangkau. Ini jurang, bukan lagi tembok penghalang yang masih bisa ku robohkan. Tidak ada lagi celoteh suara Syifa. Gadis kecil yang mewarisi kecantikan ibunya, yang enggan berdekatan dengan papanya sendiri. Aku melangkah gontai masuk ke kamar. Tidur terlentang menghadap plafon. Di atas sana seolah penuh bayangan kebersamaan kami lima tahun ini. Namanya, Vi Ananda. Gadis cantik yang ku kenal saat magang di kantor tempatku bekerja. Matanya yang bening dengan iris mata cokelat memikat. Jujur, aku terpesona pada pandangan pertama, di antara patah hati yang serpihannya
POV Ilham Sudah satu bulan ini aku tanpa Vi dan Syifa. Hening. Malam-malam pun membuatku terpuruk dan hampir tidak waras. Seluruh penjuru rumah ini masih ada jejak mereka. Suara-suara mereka bercanda riang yang tidak kupedulikan kala itu, kini merongrong menjadi kenangan yang memilukan dan menimbulkan penyesalan. "Maafkan Papa, Sayang." Dua hari yang lalu Mama datang untuk membersihkan rumah dan memasak untukku. Sedihnya, Mama tidak juga mau bicara banyak. Mereka semua kecewa dengan ketotolanku. Pagi itu setelah rapi berpakaian, kuhubungi Vi. Seperti biasanya Syifa yang menerima panggilan. "Halo, Assalamualaikum." "Waalaikumsalam, Sayang," sapaku setelah panggilan diterima. "Iya, Pa. Syifa masih sarapan, belum berangkat ke sekolah." "Hmm, lauknya apa? Kayaknya enak, ya?" &n
Part 6 Kehilangan Dua minggu ini aku sudah bisa beradaptasi dengan keadaan. Setelah terpuruk tanpa daya lebih dari seminggu setelah kepulanganku ke rumah Ibu. Syifa tidak begitu terpengaruh, di sini dia memiliki banyak teman bermain. Aku mulai beraktivitas di toko dan merekap pesanan. Alhamdulillah, toko roti dan kue yang dirintis Ibu sejak aku umur sepuluh tahun berkembang sangat pesat. Ini hiburanku yang lain, selain mengurus Syifa. "Vi, ada telepon dari Ilham," kata Ibu sambil mengantar ponselku yang tertinggal di depan TV. Setelah Ibu keluar, kuletakkan ponsel di nakas. Syifa sudah tidur, biasanya Syifa yang menerima panggilan dari papanya. Ponsel kembali bergetar untuk yang ketiga kalinya, tetap kubiarkan. Aku belum sanggup bicara apa pun dengan Mas Ilham. Dalamnya cinta yang bersemayam membuatku tak berdaya
Part 6 Kehilangan"Mbak, ada Mas yang mau pesan kue," kata Sarti, salah satu karyawan yang jaga toko. Sesaat setelah Miya pamitan."Oh, ya? Siapa?" tanyaku penasaran."Orangnya masih di depan."Aku segera berdiri, mengambil nota catatan, dan melangkah keluar. Di depan Toko ada Bre yang masih berseragam guru, duduk di kursi biasa digunakan oleh para pembeli menunggu pesanan atau sengaja makan kue dan minum di sana."Assalamu'alaikum," sapaku.Pria itu menoleh dan tersenyum. "Wa'alaikumsalam.""Rupanya bos muda yang akan melayaniku," ujarnya."Mas, bisa aja. Oh ya, mau pesan apa?""Mau pesan 250 kotak kue untuk acara di rumah Tanteku.""Yang isi berapa Mas? Tiga atau empat. Misalnya satu kotak isi tiga kue basah dan satu camilan. Atau dua kue basah dan satu camilan
Entah berapa lama aku tertidur, saat membuka mata hari sudah sore. Dan aku terkejut saat melihat sosok yang menatap sendu sambil menggenggam tangan kiriku. Perlahan tangan kutarik. Mas Ilham tersenyum meski matanya memerah. "Sejak kapan, Mas, di sini?" "Kira-kira setengah jam yang lalu. Mas kaget waktu dikabari sama Miya. Kenapa enggak ngasih tahu Mas kalau kamu hamil, Vi?" Benar saja, pasti Miya yang memberitahunya. "Enggak apa-apa," jawabku singkat. Padahal aku sendiri tidak tahu kalau tengah mengandung. Aku berusaha bangun dan duduk. Kubiarkan Mas Ilham membantuku. Rasa nyeri dan lemas masih terasa. Lagi-lagi dalam kondisi kecewa begini, aku masih membutuhkannya. "Maafkan Mas." Digenggamnya kedua tanganku. Netranya menatap lekat. "Karena keegoisan Mas, kita kehilangan calo
Vi Ananda's POV"Mas, tidur saja. Biar aku yang jaga Abrisam," ucapku sambil memandangnya. Dia kelihatan capek malam ini."Nanti kamu bisa bangunin Mas kalau butuh sesuatu."Aku mengangguk. Perlahan mata yang selalu bersorot tajam itu terpejam. Tidak lama kemudian terdengar dengkur halusnya.Sebulan ini Mas Ilham kurang tidur karena Abrisam sering mengajak begadang. Kami bergantian menjaganya. Tapi sudah dua hari ini si bungsu tidak lagi begadang. Dia nyenyak tidurnya, terbangun dan menangis kalau mau susu saja.Betapa capeknya Mas Ilham. Siang sibuk dengan pekerjaan, malamnya bergantian jaga Abrisam. Ini tidak pernah dilakukan pada dua anak sebelumnya.🌺🌺🌺Sore yang cerah. Aku mendorong stroller Abrisam menyusuri jalan berpaving yang menghubungkan jalan ke bangunan hotel dan sebuah kafe. Di depanku Abian berlarian
Vi Ananda's POV"I love you," bisik Mas Ilham di telinga saat aku sedang menyusui Abrisam. Kedekatan kami membuat suster yang bertugas tersipu malu, lantas izin ke luar kamar.Salah satu fasilitas yang kami dapat adalah adanya seorang suster yang stand by selama dua puluh empat jam."Didit ngirim pesan kalau akan datang ke sini agak siang. Hari ini guru home schooling-nya Abian mulai ngajar, jadi Didit nunggu sekalian.""Ya, nggak apa-apa."Home schooling. Sebenarnya ini seperti les yang dilakukan Syifa setiap hari. Abian memang sudah waktunya masuk PAUD. Meski start belajar secara formal masih dua bulan lagi, tapi sekarang sudah di mulai. Aslinya, yang mengajar Homeschooling memang orangtua, bukan guru privat. Tapi beda buat kami, Pak Broto yang memfasilitasi semuanya, gaji guru privat plus uang tranport-nya.Akan tetapi setelah ini aku d
Ilham's POV"Ibu, mau pergi ke hajatan, ya?" godaku bercampur jengkel karena khawatir.Wanita di hadapanku tersenyum santai. "Ayo, kita berangkat!" ajaknya sambil menggamit lenganku. Persis seperti pasangan model yang akan melewati red karpet."Kenapa pakai sandal seperti ini?" protesku sambil menunjuk ke arah kakinya."Nggak apa-apa, kita kan mau naik mobil."Sudahlah. Dituruti saja, habis ini aku bisa mencuri sandal itu untuk kusingkirkan.Mobil meluncur pergi di bawah tatapan dua satpam yang sempat mendoakan agar proses kelahiran putra kami lancar.Aku duduk di bangku belakang bersama Vi. Tangannya yang memegang lenganku kadang terasa mencengkeram, mungkin mulasnya kembali datang. Namun saat kupandang dia hanya tersenyum. Tanpa memedulikan adanya Didit, aku menciumi pipi Vi. Pikiranku serius tegang kali ini.
Ilham's POV"Pak Ilham, ini berkas yang Bapak minta tadi." Seorang staf bernama Wita menahan langkahku yang hendak keluar kantor."Taruh di meja. Biar nanti saya periksa."Aku segera bergegas keluar ruangan, berjalan lurus ke arah utara menuju ruang pribadiku. Beberapa hari ini aku memang tidak bisa tenang menjelang persalinan anak ketiga kami."Papa," sapa Abian yang sedang asyik bermain di depan TV ditemani Arum. Aku mendekat dan mencium rambut putraku. Lantas aku masuk kamar, Vi sedang duduk di ranjang sambil menyusun baju bayi dan beberapa perlengkapannya sendiri ke dalam travel bag ukuran sedang."Mas, kok pulang lagi?" tanya Vi heran karena sepagi ini aku sudah dua kali menemuinya."Nggak usah cemas gitu. HPL-nya kan masih sepuluh hari lagi. Lagian kalau aku terasa mau lahiran, bayinya juga nggak langsung nongol. Masih ada prosesnya.
Vi Ananda's POVSiang itu aku duduk menemani Abian dan Arum yang bermain dengan si kucing hitam. Suasana redup, mendung mengantung menutupi sang surya.Hari ini hatiku berdebar-debar menunggu hasil pembicaraan Mas Ilham dan Pak Broto. Sebenarnya hak Mas Ilham untuk menolak, karena perjanjian awal hanya sampai pada dua bulan ke depan lagi. Tapi aku tahu bagaimana suamiku, terkadang dia terbawa oleh rasa tak enak hati. Mungkin karena dia juga nyaman kerja di sini.Perhatianku beralih pada mobil Fortuner yang memasuki lokasi. Itu kendaraan Pak Petra. Tiba-tiba aku berharap kalau ada Bu Melinda ikut serta, tapi aku kecewa. Yang turun justru Pak Broto, Pak Rony, dan di susul perempuan itu. Perempuan masa lalu suamiku. Dia memakai gamis dan jilbab yang ujungnya dimasukkan ke kerah gamisnya.Pak Petra mendekatiku dan menyalami. "Apa kabar?""Alhamdulillah, kabar baik Pak.
Vi Ananda's POVPagi yang dingin, jaket tebal yang kupakai masih membuatku menggigil. Tapi Mas Ilham yang berdiri di sebelahku sudah mandi keringat. Aku sedang menemaninya jogging di tepi pantai sepagi ini. Hanya berdua, karena Abian belum bangun.Dia menenggak habis air mineral di tangannya. Kami berdiri menghadap laut lepas."Kita akan merindukan tempat ini, Mas," kataku.Mas Ilham merangkulku. "Suatu hari nanti kita bisa liburan ke sini ngajak anak-anak," ujarnya sambil tersenyum. Lantas dia terdiam, memandangku lalu tersenyum lagi. Seperti ada yang ingin dibicarakan tapi dia masih tampak bingung."Pak Alex kapan datang?" tanyaku."Kemungkinan dua bulan lagi."Diam. Kami menikmati indahnya pemandangan, sejuk dan berkabut. Angin pagi berembus membuat bergo yang kupakai berkibar. Mas Ilham menahan dengan tangannya aga
Ilham's POVAbian masih bermain di depan TV bersama Arum. Gadis umur delapan belas tahun itu telaten menjaga jagoanku. Sementara aku duduk agak ke belakang sambil menyimak email yang masuk. Signal di sini sudah lancar sejak enam bulan terakhir ini. Lima belas menit yang lalu Vi baru masuk kamar setelah menemani Abian bermain.Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan dengannya. Mengenai bos yang ingin agar aku tetap bertahan mengurus proyek ini sampai finish. Inilah yang membuatku bingung beberapa hari, nanti Alex hanya akan sesekali saja ke sini karena akan ada design interior dari sini saja, tapi tetap dalam pantauan Alex.Tidak tega aku menyampaikan ini pada Vi. Dia sudah bahagia mau pulang dan berkumpul lagi dengan putri kami. Abian tahun depan juga masuk PAUD. Vi mau melahirkan di sana dan tinggal di rumah kami yang sudah selesai direnovasi. Kusandarkan punggung di sofa dan menarik napas dalam-dalam. Dil
Ilham's POV"Janin Ibu sudah berumur delapan minggu," kata dokter Etik sambil menunjukkan layar USG."Alhamdulillah," ucapku. Vi tersenyum lantas kembali menatap layar USG dan memerhatikan ucapan dokternya.Dulu waktu Vi hamil Syifa, aku yang terkejut karena tidak menyangka kalau dia akan hamil secepat itu. Bulan ini menikah bulan depannya dia sudah mengandung.Terus kehamilan kedua yang keguguran karena dia tidak tahu dan aku benar-benar kehilangan. Waktu itu kami lagi berada di puncak masalah. Hamil kali ketiga aku yang merencanakan, disaat dia belum siap, tapi aku yang memaksa diam-diam, karena itu peluang besar kami bisa hidup bersama lagi. Dan kehamilan keempat ini yang benar-benar kami persiapkan berdua."Sayang, mau makan apa? Siang belum makan, 'kan?" tanyaku setelah kami masuk mobil."Apa ya? Ada yang jual lontong sayur nggak ya,
Vi Ananda's POVHari ini cuaca sangat terik. Matahari serasa berada tepat di atas kepala. Abian merenggek minta main ke luar, tapi aku melarangnya. Kadang kasihan sama Abian, tidak punya teman bermain. Kalau cucunya Bu Asti diajak ke proyek, Abian baru punya teman. Tapi pasti berujung drama, cucunya Bu Asti -anak lelaki umur enam tahun- itu tidak mau diajak pulang dan Abian sendiri juga nangis kalau ditinggal. Senang dan susah jadinya."Mama, ayo!" Abian kembali menarik tanganku."Jangan, Sayang. Ini jam dua belas lho, panas banget di luar. Abian makan siang terus bobok, nanti sore baru kita jalan-jalan ke pantai sama Papa." Perlahan kutarik lengannya dan kupangku.Abian masih merengek dan diam ketika pintu kamar di ketuk dari luar. Aku bergegas membuka pintu. Bu Asti tersenyum, ditangannya ada semangkuk besar kolak pisang. "Mau nganterin kolak pisang, Bu.""Iya, Bu Asti. T