Setelah pikiran tenang, kuambil ponsel dari tas selempang warna hitam.
"Assalamu'alaikum, Vi." Suara ibu di seberang.
"W*'alaikumsalam, Bu. Kapan aku dan Shifa boleh pulang ke rumah, Ibu?"
"Ya, Allah, Nduk. Kapanpun kamu boleh pulang. Tapi ... kamu enggak apa-apa, 'kan? Kenapa suaramu serak?"
"Aku lagi diperjalanan ini, Bu. Mau jemput Shifa pulang sekolah."
"Kamu ada masalah lagi sama Ilham."
"Masalah yang sama. Nanti Ibu kabari aku ya, kapan Pak Nardi bisa jemput."
"Iya, Nduk."
"Assalamu'alaikum."
"W*'alaikumsalam."
Aku kembali melajukan motor ke arah sekolahnya Syifa. Dan berhenti sekali lagi saat dada dihempap sesak. Separah ini rasanya. Pantas saja sebagian istri yang dikhianati bisa sebrutal itu mengungkapkan kemarahannya. Mengamuk atau sekedar mencaci maki suami atau wanita idaman lain suaminya.
Tidak. Aku tidak akan melakukan itu. Aku tidak akan menjatuhkan harga diriku dengan sadis karena kalah bersaing.
Pria yang baik tidak akan mengkhianati pernikahannya dan wanita yang baik tidak akan menukar air mata wanita lain demi kebahagiaannya.
Saat sibuk menenangkan diri, bunyi klakson di sebelah membuatku menoleh. Pria itu lagi.
"Mas, ketemu lagi kita," kataku sambil tersenyum. Di balik helm teropongnya ia pun tersenyum.
"Aku ngikutin kamu dari belakang tadi. Kenapa selalu berhenti?"
"Anginnya kencang banget, sampai mataku berair," jawabku sambil mengerjapkan mata berkali-kali. Ini drama tentunya. Aku tidak ingin dia tahu kalau ini benar-benar air mata ratapan.
"Bukan karena menangis?" tanyanya penuh selidik.
Aku tersenyum. "Mas, ini mengada-ada. Untuk apa aku nangis. Oh, ya, Mas ini darimana? Setiap jam sekolah ada di luar."
"Aku masih ngurus tim yang mau tanding. Terpaksa bolak-balik antara sekolah sama GOR."
"Tanding lagi? Yang kemarin apa enggak jadi?"
"Jadi, Alhamdulilah dapat juara dua. Ini yang mau maju tim taekwondo."
"Ish, hebat Pak Guru ini. Sukses terus, ya, Pak. Capek yang penting happy, ada hiburannya juga, 'kan? Murid perempuan SMA cantik-cantik, lho!"
"Lebih menggoda lagi ibu anak satu ini," ucapnya sambil nyengir.
"Bisa aja. Udah panas-panas digombalin pula. Meleleh aku nanti."
"Lelehannya yang kunanti."
Tawa pecah di antara kami. Kulihat jam dipergelangan tangan.
"Maaf, Mas. Aku pergi dulu ya, ini Syifa pasti udah nungguin."
"Oke, hati-hati. Kalau naik motor usahakan pakai masker, musim begini debu jalanan sangat mengganggu pernapasan."
"Terima kasih udah diingetin. Assalamu'alaikum."
"W*'alaikumsalam."
Motor kustater lagi dan melaju. Bre mengikuti di belakang, kemudian membunyikan klakson ketika hendak mengambil arah berbeda saat kami di persimpangan.
🌺🌺🌺
Syifa sangat bersemangat sekali saat memasukkan mainannya di kotak yang kusediakan. Mungkin karena di rumah ibu dia akan memiliki banyak teman.
"Apa nanti kita enggak akan kembali ke rumah ini, Ma?" tanyanya polos sambil terus memindahkan mainannya.
"Sesekali boleh saja kalau Syifa mau main ke sini. Tapi sama Papa, ya!"
"Enggak mau kalau enggak sama Mama."
Aku diam sejenak.
"Mama mau ngambil baju di kamar depan. Syifa beresin dulu mainannya."
"Iya."
Aku melangkah ke kamar yang biasa ku tempati bersama Mas Ilham. Namun langkahku terhenti saat melihat pria itu sudah berdiri di ruang keluarga sambil memandang koper besar yang mepet ke dinding dekat pintu kamar.
Padahal baru jam dua, Mas Ilham sudah pulang.
"Apa maksudnya ini, Vi?" tanyanya sambil memandang ke arahku.
"Aku menunggu Pak Nardi menjemput, Mas. Aku akan pulang ke rumah ibu," jawabku setenang mungkin. Kemudian langsung masuk kamar. Mas Ilham mengikuti dan menutup pintu.
"Dengerin dulu penjelasan Mas."
Aku diam saat terperangkap antara lemari dan tubuh jangkungnya. Tatapan matanya yang sendu seolah ingin menelanku seketika itu.
"Tadi kami tidak melakukan apa-apa. Mas hanya mendengarkan keluh kesahnya. Maaf, jika kedekatan Mas dengan Nura memperburuk hubungan kita.
Curhat? Apakah tidak ada tempat lain untuk bercerita, kenapa harus suami orang?
"Mas, aku sedang tidak main-main membuat keputusan. Aku enggak sengaja pergi biar Mas kejar, karena berjuang tidak sebercanda ini. Aku pergi karena sudah lelah."
Aku duduk di kursi meja rias. Menyusut air mata dengan ujung jemari. Mas Ilham masih berdiri memandangku.
"Dulu, saat kita bertemu untuk kali pertama. Setelah kita berteman, ketika Mas mengungkapkan perasaan dan sangat perhatian, kukira tulus berkelanjutan. Rupanya aku salah, itu hanya sebuah pelarian."
Mata Mas Ilham memerah meski tidak meneteskan air mata.
"Kita juga bukan pasangan karena sebuah perjodohan, bukan?"
Mas Ilham mendongak, untuk menahan sesak yang terlihat begitu menyayat.
"Aku bertahan karena masih yakin kalau Mas dan aku akan jatuh cinta sekali lagi dan lagi, meski masa lalu membayangi. Tapi lagi-lagi aku salah. Sekarang, marilah kita berdamai dengan perpisahan ini. Kita cari kebahagiaan masing-masing."
Mas Ilham mendekat, meraihku dalam dekapan. Tubuhnya terguncang menahan tangis. Untuk beberapa saat kami larut dalam tangis dan luka-luka yang sedang mengucurkan darahnya.
"Vi, maafkan Mas."
"Aku lelah, Mas. Sumpah, sangat lelah. Biarlah aku pergi bersama Syifa. Kejarlah apa yang ingin Mas dapatkan, masa lalu yang luput Mas genggam. Aku ikhlas."
Setelah melepaskan pelukan, aku berdiri dan melangkah dengan kaki gemetar. Di depan pintu sudah berdiri Syifa yang membuatku kaget. Semoga dia belum bisa memahami masalah kami.
Buru-buru aku tersenyum dan berjongkok di depannya.
"Mama, nangis?" tanyanya sambil menatap ke wajahku.
"Enggak, Sayang. Mama enggak nangis. Habis cuci muka tadi."
"Oh."
Kugendong putri kecilku dan membawanya melangkah ke belakang. Setelah mendudukkan Syifa di kursi meja makan, aku membuka kulkas.
"Mama bikin puding cokelat tadi. Ayo, kita makan sama-sama." Kuletakkan mangkuk puding di depannya.
Mas Ilham yang belum berganti baju datang bergabung, duduk di sebelah Syifa.
"Papa boleh minta tak?"
"Iya, boleh."
Syifa menggeser mangkuk ke depan papanya. Kuambilkan satu sendok lagi untuk Mas Ilham. Gadis kecilku tersenyum senang. Rasa heran saat melihatku tadi terkikis hilang.
"Nanti kita beli mainan, ya?"
"Bener, Pa? Papa enggak sibuk?" Pertanyaan jujur dari Syifa. Sebab selama ini hanya bersamaku dia membeli mainan, meski perginya kadang di antar Mas Ilham yang menunggu dalam mobil. Yang Syifa tahu, papanya sibuk bekerja.
"Iya. Dihabisin dulu pudingnya. Syifa mau mainan apa?"
"Kuda poni, Pa. Mama beliinnya cuma satu."
"Oke, habis ini kita beli."
Syifa terlihat girang. Mereka menghabiskan satu mangkuk puding di meja.
🌺🌺🌺
Sore itu aku terpaksa akur dengan kemauan Syifa. Dia ingin aku ikut membeli mainan bersama mereka. Akhirnya kami mandi lebih dulu sebelum berangkat.
"Kata Mama, kami mau tinggal di rumah Nenek, Pa. Papa, enggak mau ikut?" Syifa bertanya pada papanya yang sedang mengemudi.
"Papa boleh ikut?"
"Boleh enggak, Ma?" tanya Syifa sambil menoleh padaku.
"Papa 'kan kerja. Lagian siapa yang akan menunggu rumah kalau kita semua tinggal di rumah Nenek."
Mata bening Syifa masih memandangku. Pun begitu dengan Mas Ilham.
'Maaf, Mas, keputusanku sudah muktamad.'
Setelah membeli mainannya Syifa, kami keliling kota malam itu. Mampir Salat Maghrib di Masjid Jami' dekat kantor walikota, lantas bermain di kid zone, makan malam di restoran ayam bakar pemuda, dan terakhir duduk-duduk sebentar di taman kota.
Melihat kegembiraan beberapa keluarga yang ada di sana, membuatku iri. Mereka tampak bahagia dan harmonis.
Sementara langkah rumah tanggaku yang terseok-seok ini tidak lama lagi akan berakhir.
Jam sembilan malam kami baru sampai di rumah. Syifa sudah tertidur di mobil sejak baru keluar dari taman kota.
Mas Ilham menggendongnya masuk rumah dan menidurkan di kamarnya. Biasanya setelah pulang dari bepergian kubiasakan Syifa ganti baju, cuci tangan, dan kaki. Tapi kasihan kalau sekarang harus ku bangunkan.
Aku masuk kamar untuk mengambil baju tidur di lemari. Mas Ilham yang semula duduk di sofa depan TV menyusul.
Kesempatan itu ku manfaatkan untuk mengembalikan cincin pernikahan. Kulepas cincin yang longgar dari jari manisku.
Kudekati pria yang duduk di tepi pembaringan. Mas Ilham menatap tajam saat kuletakkan cincin di telapak tangannya.
"Kenapa dilepas?"
"Karena kita akan berpisah, Mas."
Dia meraih jemariku dan memakaikan lagi cincin itu. "Kita hanya butuh waktu untuk menyendiri sejenak. Bukan bercerai."
Next ....
Selamat membaca 😍
Aku menarik napas panjang. Pria ini memang keras kepala. Lebih baik aku segera pergi dari kamar kami. Namun, tarikan tangan membuatku terduduk di pangkuannya. Kami berpelukan sesaat. "Maaf, jika Mas terlena selama ini. Karena sering bertemu dan kerja bersama, membuat peluang kedekatan kami makin besar." "Apa yang kalian lakukan jika keluar kota? Sekedar berciuman atau mungkin ... sudah bercinta?" Mas Ilham terkejut dengan pertanyaanku baru saja. Kulepaskan tangannya yang melingkar di pinggang. "Enggak usah dijawab Mas. Melihat cara kalian berinteraksi saja sudah membuatku sesak napas." "Mas tidak pernah melakukan apapun dengannya." Apa berpelukan di rumah sakit waktu itu bukan apa-apa? Itu yang terlihat, bagaimana dengan yang tidak tampak. Tiba-tiba saja aku muak. Namun, aku membiarkannya memelukku sekali lagi. Ku jinjitkan kaki untuk mencium pipi
POV Ilham Aku masuk rumah yang telah kehilangan mahkota. Sepi dan terasa asing ketika duduk di salah satu sudutnya. Hari ini seperti mimpi. Kesabaran Vi telah sampai pada batasnya. Dia benar-benar pergi bersama bidadari kecil kami. Vi menciptakan jurang yang dalamnya tidak terjangkau. Ini jurang, bukan lagi tembok penghalang yang masih bisa ku robohkan. Tidak ada lagi celoteh suara Syifa. Gadis kecil yang mewarisi kecantikan ibunya, yang enggan berdekatan dengan papanya sendiri. Aku melangkah gontai masuk ke kamar. Tidur terlentang menghadap plafon. Di atas sana seolah penuh bayangan kebersamaan kami lima tahun ini. Namanya, Vi Ananda. Gadis cantik yang ku kenal saat magang di kantor tempatku bekerja. Matanya yang bening dengan iris mata cokelat memikat. Jujur, aku terpesona pada pandangan pertama, di antara patah hati yang serpihannya
POV Ilham Sudah satu bulan ini aku tanpa Vi dan Syifa. Hening. Malam-malam pun membuatku terpuruk dan hampir tidak waras. Seluruh penjuru rumah ini masih ada jejak mereka. Suara-suara mereka bercanda riang yang tidak kupedulikan kala itu, kini merongrong menjadi kenangan yang memilukan dan menimbulkan penyesalan. "Maafkan Papa, Sayang." Dua hari yang lalu Mama datang untuk membersihkan rumah dan memasak untukku. Sedihnya, Mama tidak juga mau bicara banyak. Mereka semua kecewa dengan ketotolanku. Pagi itu setelah rapi berpakaian, kuhubungi Vi. Seperti biasanya Syifa yang menerima panggilan. "Halo, Assalamualaikum." "Waalaikumsalam, Sayang," sapaku setelah panggilan diterima. "Iya, Pa. Syifa masih sarapan, belum berangkat ke sekolah." "Hmm, lauknya apa? Kayaknya enak, ya?" &n
Part 6 Kehilangan Dua minggu ini aku sudah bisa beradaptasi dengan keadaan. Setelah terpuruk tanpa daya lebih dari seminggu setelah kepulanganku ke rumah Ibu. Syifa tidak begitu terpengaruh, di sini dia memiliki banyak teman bermain. Aku mulai beraktivitas di toko dan merekap pesanan. Alhamdulillah, toko roti dan kue yang dirintis Ibu sejak aku umur sepuluh tahun berkembang sangat pesat. Ini hiburanku yang lain, selain mengurus Syifa. "Vi, ada telepon dari Ilham," kata Ibu sambil mengantar ponselku yang tertinggal di depan TV. Setelah Ibu keluar, kuletakkan ponsel di nakas. Syifa sudah tidur, biasanya Syifa yang menerima panggilan dari papanya. Ponsel kembali bergetar untuk yang ketiga kalinya, tetap kubiarkan. Aku belum sanggup bicara apa pun dengan Mas Ilham. Dalamnya cinta yang bersemayam membuatku tak berdaya
Part 6 Kehilangan"Mbak, ada Mas yang mau pesan kue," kata Sarti, salah satu karyawan yang jaga toko. Sesaat setelah Miya pamitan."Oh, ya? Siapa?" tanyaku penasaran."Orangnya masih di depan."Aku segera berdiri, mengambil nota catatan, dan melangkah keluar. Di depan Toko ada Bre yang masih berseragam guru, duduk di kursi biasa digunakan oleh para pembeli menunggu pesanan atau sengaja makan kue dan minum di sana."Assalamu'alaikum," sapaku.Pria itu menoleh dan tersenyum. "Wa'alaikumsalam.""Rupanya bos muda yang akan melayaniku," ujarnya."Mas, bisa aja. Oh ya, mau pesan apa?""Mau pesan 250 kotak kue untuk acara di rumah Tanteku.""Yang isi berapa Mas? Tiga atau empat. Misalnya satu kotak isi tiga kue basah dan satu camilan. Atau dua kue basah dan satu camilan
Entah berapa lama aku tertidur, saat membuka mata hari sudah sore. Dan aku terkejut saat melihat sosok yang menatap sendu sambil menggenggam tangan kiriku. Perlahan tangan kutarik. Mas Ilham tersenyum meski matanya memerah. "Sejak kapan, Mas, di sini?" "Kira-kira setengah jam yang lalu. Mas kaget waktu dikabari sama Miya. Kenapa enggak ngasih tahu Mas kalau kamu hamil, Vi?" Benar saja, pasti Miya yang memberitahunya. "Enggak apa-apa," jawabku singkat. Padahal aku sendiri tidak tahu kalau tengah mengandung. Aku berusaha bangun dan duduk. Kubiarkan Mas Ilham membantuku. Rasa nyeri dan lemas masih terasa. Lagi-lagi dalam kondisi kecewa begini, aku masih membutuhkannya. "Maafkan Mas." Digenggamnya kedua tanganku. Netranya menatap lekat. "Karena keegoisan Mas, kita kehilangan calo
Dokter wanita berperawakan sedang itu tersenyum saat masuk ruang perawatanku. Di belakangnya ada suster yang mengikuti."Selamat pagi, Bu Vi Ananda. Selamat pagi Pak Ilham," sapanya ramah."Pagi, Dok," jawabku hampir bersamaan dengan Mas Ilham."Sudah lebih baik, 'kan, sekarang? Jangan lupa di minum obatnya, Bu. Biar cepat pulih dan lekas dapat dedek lagi."Aku tersenyum menanggapi doa dokter setengah baya itu.Hanya sebentar dokter itu visit, karena kondisiku secara medis sudah membaik. Tentang hati? Hanya aku yang tahu. Dokter dan perawat itu pasti menilai kegundahan kami hanya karena baru saja kehilangan calon anak.Mas Ilham keluar untuk membereskan pembayaran. Ponselnya yang tertinggal di meja berpendar. Aku menahan diri untuk tidak melihat siapa yang menelepon. Cukuplah, aku tidak harus tahu lagi.Aku membenahi jilbab milik Miya yang dibawakan kemarin. Mas Ilham menunggu sambil duduk di depanku."Mas, enggak
Part 8 Pertemuan Tak Sengaja Kadang aku tidak tahu apa yang diinginkan hatiku selain berpisah dengan damai. Sesekali mengamuk misalnya, menemui perempuan itu dan menjambak rambut atau sekedar memaki. Aku justru pergi dan memberi kesempatan kepada suami untuk berkomunikasi. Ketika perempuan itu menghubungi. Ternyata aku bisa selandai ini. Aku membuat teh di dapur, Mas Ilham menyusul dan berdiri di sebelah. Sepertinya dia tidak menerima panggilan itu. "Mas masih ada pekerjaan dengannya. Setelah proyek ini selesai, Mas akan meminta pihak PT Adi Tama untuk mengirim orang lain mengurus pekerjaan dengan kami." "Ini tehnya, Mas." Aku menggeser gelas teh di hadapan Mas Ilham. Tanpa menanggapi dengan apa yang baru saja dikatakannya. Terserah. Bukan apa-apa, misalnya aku tidak mengambil sikap begini. Bisa jadi dia masih terlena dengan
Vi Ananda's POV"Mas, tidur saja. Biar aku yang jaga Abrisam," ucapku sambil memandangnya. Dia kelihatan capek malam ini."Nanti kamu bisa bangunin Mas kalau butuh sesuatu."Aku mengangguk. Perlahan mata yang selalu bersorot tajam itu terpejam. Tidak lama kemudian terdengar dengkur halusnya.Sebulan ini Mas Ilham kurang tidur karena Abrisam sering mengajak begadang. Kami bergantian menjaganya. Tapi sudah dua hari ini si bungsu tidak lagi begadang. Dia nyenyak tidurnya, terbangun dan menangis kalau mau susu saja.Betapa capeknya Mas Ilham. Siang sibuk dengan pekerjaan, malamnya bergantian jaga Abrisam. Ini tidak pernah dilakukan pada dua anak sebelumnya.🌺🌺🌺Sore yang cerah. Aku mendorong stroller Abrisam menyusuri jalan berpaving yang menghubungkan jalan ke bangunan hotel dan sebuah kafe. Di depanku Abian berlarian
Vi Ananda's POV"I love you," bisik Mas Ilham di telinga saat aku sedang menyusui Abrisam. Kedekatan kami membuat suster yang bertugas tersipu malu, lantas izin ke luar kamar.Salah satu fasilitas yang kami dapat adalah adanya seorang suster yang stand by selama dua puluh empat jam."Didit ngirim pesan kalau akan datang ke sini agak siang. Hari ini guru home schooling-nya Abian mulai ngajar, jadi Didit nunggu sekalian.""Ya, nggak apa-apa."Home schooling. Sebenarnya ini seperti les yang dilakukan Syifa setiap hari. Abian memang sudah waktunya masuk PAUD. Meski start belajar secara formal masih dua bulan lagi, tapi sekarang sudah di mulai. Aslinya, yang mengajar Homeschooling memang orangtua, bukan guru privat. Tapi beda buat kami, Pak Broto yang memfasilitasi semuanya, gaji guru privat plus uang tranport-nya.Akan tetapi setelah ini aku d
Ilham's POV"Ibu, mau pergi ke hajatan, ya?" godaku bercampur jengkel karena khawatir.Wanita di hadapanku tersenyum santai. "Ayo, kita berangkat!" ajaknya sambil menggamit lenganku. Persis seperti pasangan model yang akan melewati red karpet."Kenapa pakai sandal seperti ini?" protesku sambil menunjuk ke arah kakinya."Nggak apa-apa, kita kan mau naik mobil."Sudahlah. Dituruti saja, habis ini aku bisa mencuri sandal itu untuk kusingkirkan.Mobil meluncur pergi di bawah tatapan dua satpam yang sempat mendoakan agar proses kelahiran putra kami lancar.Aku duduk di bangku belakang bersama Vi. Tangannya yang memegang lenganku kadang terasa mencengkeram, mungkin mulasnya kembali datang. Namun saat kupandang dia hanya tersenyum. Tanpa memedulikan adanya Didit, aku menciumi pipi Vi. Pikiranku serius tegang kali ini.
Ilham's POV"Pak Ilham, ini berkas yang Bapak minta tadi." Seorang staf bernama Wita menahan langkahku yang hendak keluar kantor."Taruh di meja. Biar nanti saya periksa."Aku segera bergegas keluar ruangan, berjalan lurus ke arah utara menuju ruang pribadiku. Beberapa hari ini aku memang tidak bisa tenang menjelang persalinan anak ketiga kami."Papa," sapa Abian yang sedang asyik bermain di depan TV ditemani Arum. Aku mendekat dan mencium rambut putraku. Lantas aku masuk kamar, Vi sedang duduk di ranjang sambil menyusun baju bayi dan beberapa perlengkapannya sendiri ke dalam travel bag ukuran sedang."Mas, kok pulang lagi?" tanya Vi heran karena sepagi ini aku sudah dua kali menemuinya."Nggak usah cemas gitu. HPL-nya kan masih sepuluh hari lagi. Lagian kalau aku terasa mau lahiran, bayinya juga nggak langsung nongol. Masih ada prosesnya.
Vi Ananda's POVSiang itu aku duduk menemani Abian dan Arum yang bermain dengan si kucing hitam. Suasana redup, mendung mengantung menutupi sang surya.Hari ini hatiku berdebar-debar menunggu hasil pembicaraan Mas Ilham dan Pak Broto. Sebenarnya hak Mas Ilham untuk menolak, karena perjanjian awal hanya sampai pada dua bulan ke depan lagi. Tapi aku tahu bagaimana suamiku, terkadang dia terbawa oleh rasa tak enak hati. Mungkin karena dia juga nyaman kerja di sini.Perhatianku beralih pada mobil Fortuner yang memasuki lokasi. Itu kendaraan Pak Petra. Tiba-tiba aku berharap kalau ada Bu Melinda ikut serta, tapi aku kecewa. Yang turun justru Pak Broto, Pak Rony, dan di susul perempuan itu. Perempuan masa lalu suamiku. Dia memakai gamis dan jilbab yang ujungnya dimasukkan ke kerah gamisnya.Pak Petra mendekatiku dan menyalami. "Apa kabar?""Alhamdulillah, kabar baik Pak.
Vi Ananda's POVPagi yang dingin, jaket tebal yang kupakai masih membuatku menggigil. Tapi Mas Ilham yang berdiri di sebelahku sudah mandi keringat. Aku sedang menemaninya jogging di tepi pantai sepagi ini. Hanya berdua, karena Abian belum bangun.Dia menenggak habis air mineral di tangannya. Kami berdiri menghadap laut lepas."Kita akan merindukan tempat ini, Mas," kataku.Mas Ilham merangkulku. "Suatu hari nanti kita bisa liburan ke sini ngajak anak-anak," ujarnya sambil tersenyum. Lantas dia terdiam, memandangku lalu tersenyum lagi. Seperti ada yang ingin dibicarakan tapi dia masih tampak bingung."Pak Alex kapan datang?" tanyaku."Kemungkinan dua bulan lagi."Diam. Kami menikmati indahnya pemandangan, sejuk dan berkabut. Angin pagi berembus membuat bergo yang kupakai berkibar. Mas Ilham menahan dengan tangannya aga
Ilham's POVAbian masih bermain di depan TV bersama Arum. Gadis umur delapan belas tahun itu telaten menjaga jagoanku. Sementara aku duduk agak ke belakang sambil menyimak email yang masuk. Signal di sini sudah lancar sejak enam bulan terakhir ini. Lima belas menit yang lalu Vi baru masuk kamar setelah menemani Abian bermain.Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan dengannya. Mengenai bos yang ingin agar aku tetap bertahan mengurus proyek ini sampai finish. Inilah yang membuatku bingung beberapa hari, nanti Alex hanya akan sesekali saja ke sini karena akan ada design interior dari sini saja, tapi tetap dalam pantauan Alex.Tidak tega aku menyampaikan ini pada Vi. Dia sudah bahagia mau pulang dan berkumpul lagi dengan putri kami. Abian tahun depan juga masuk PAUD. Vi mau melahirkan di sana dan tinggal di rumah kami yang sudah selesai direnovasi. Kusandarkan punggung di sofa dan menarik napas dalam-dalam. Dil
Ilham's POV"Janin Ibu sudah berumur delapan minggu," kata dokter Etik sambil menunjukkan layar USG."Alhamdulillah," ucapku. Vi tersenyum lantas kembali menatap layar USG dan memerhatikan ucapan dokternya.Dulu waktu Vi hamil Syifa, aku yang terkejut karena tidak menyangka kalau dia akan hamil secepat itu. Bulan ini menikah bulan depannya dia sudah mengandung.Terus kehamilan kedua yang keguguran karena dia tidak tahu dan aku benar-benar kehilangan. Waktu itu kami lagi berada di puncak masalah. Hamil kali ketiga aku yang merencanakan, disaat dia belum siap, tapi aku yang memaksa diam-diam, karena itu peluang besar kami bisa hidup bersama lagi. Dan kehamilan keempat ini yang benar-benar kami persiapkan berdua."Sayang, mau makan apa? Siang belum makan, 'kan?" tanyaku setelah kami masuk mobil."Apa ya? Ada yang jual lontong sayur nggak ya,
Vi Ananda's POVHari ini cuaca sangat terik. Matahari serasa berada tepat di atas kepala. Abian merenggek minta main ke luar, tapi aku melarangnya. Kadang kasihan sama Abian, tidak punya teman bermain. Kalau cucunya Bu Asti diajak ke proyek, Abian baru punya teman. Tapi pasti berujung drama, cucunya Bu Asti -anak lelaki umur enam tahun- itu tidak mau diajak pulang dan Abian sendiri juga nangis kalau ditinggal. Senang dan susah jadinya."Mama, ayo!" Abian kembali menarik tanganku."Jangan, Sayang. Ini jam dua belas lho, panas banget di luar. Abian makan siang terus bobok, nanti sore baru kita jalan-jalan ke pantai sama Papa." Perlahan kutarik lengannya dan kupangku.Abian masih merengek dan diam ketika pintu kamar di ketuk dari luar. Aku bergegas membuka pintu. Bu Asti tersenyum, ditangannya ada semangkuk besar kolak pisang. "Mau nganterin kolak pisang, Bu.""Iya, Bu Asti. T