Setelah putus cinta karena diselingkuhi sang mantan kekasih, Aruna memilih menghapus kesedihannya dengan pergi ke klub malam. Di sana ia bertemu dengan seorang pria yang terus menggodanya hingga Aruna luluh dan menghabiskan malam dengan pria itu. Namun keesokan harinya, Aruna hampir terkena serangan jantung saat mengetahui bahwa pria itu adalah presiden direktur baru di kantornya. Lebih parahnya lagi, tiba-tiba saja pria itu mengajaknya untuk menikah.
Lihat lebih banyak“Kamu yakin ingin terus melanjutkannya?” tanya Baskara memastikan. Ada perasaan bersalah karena ia memanfaatkan kelemahan Aruna yang sedang tidak sadar demi memuaskan nafsunya. Tapi dalam pembelaannya, Baskara hanya menyambut apa yang Aruna berikan. Dan jika bicara teknis, Aruna yang memulai lebih dulu.
Bagai gayung bersambut, Aruna mengangguk kecil. Gerakan itu sudah cukup membuat Baskara yakin bahwa gadis itu juga menginginkan hal yang sama.
Tidak menunda lagi, Baskara kembali melanjutkan aksinya. Stimulus demi stimulus ia berikan pada Aruna hingga gadis itu kewalahan dalam gairahnya. Tidak ada bagian dari tubuh sang gadis yang Baskara lewatkan. Setiap sentuhan Baskara tepat di titik sensitif Aruna, membuat sang gadis merintih dan mendesah yang membuat Baskara semakin semangat.
“A–ku…nggak kuat!” jerit Aruna saat Baskara terus memainkan bibir dan lidahnya tepat di pusat sensitif sang gadis di bawah sana.
“Keluarkan saja, Sayang,” titah Baskara dengan nada sensual.
Lenguhan panjang memenuhi kamar apartemen Baskara. Untuk sesaat, Baskara membiarkan dulu Aruna menikmati puncak gairahnya. Ia juga mengambil pengaman di nakas lalu memasangkan pada dirinya. Ia mungkin gegabah karena tidur dengan wanita asing, hal yang sebenarnya tidak pernah ia lakukan. Namun ia masih berpikir rasional untuk tidak menambah masalah di masa depan.
Setelah pengaman terpasang sempurna, Baskara kembali memposisikan dirinya dan Aruna agar penyatuan mereka lebih mudah.
Perlahan tapi pasti, Baskara tenggelam dalam tubuh Aruna. Pria itu mengerang saat merasakan sensasi tubuh Aruna pada dirinya. Baskara terasa begitu dijepit di bawah sana, membuat perutnya diremas kuat.
“Ah…” desah Aruna saat tubuh keduanya berhasil menyatu.
Tanpa menunggu lagi, Baskara mulai beraksi. Ia bergerak maju-mundur ke dalam tubuh Aruna. Tiap gerakan hanya menambah hasrat pada dirinya, dan juga Aruna. Terlihat dari sang gadis yang semakin bergerak tidak karuan, mencengkram apa pun yang bisa diraihnya. Baskara bisa merasakan kuku-kuku Aruna tertancap di bahu dan punggungnya. Suara gadis itu juga semakin lantang, menyuarakan gairah yang ingin segera dicapainya.
“Ah! Ah…” jeritan panjang Aruna terdengar di telinga Baskara begitu sang gadis akhirnya kembali menemukan pelepasan.
Tidak ingin kalah, Baskara semakin cepat memompa dirinya ke dalam tubuh sang gadis, mencari juga pelepasannya. Suara keduanya berbaur dalam ruangan, menjadi musik indah yang mengalun sensual, membuat suasana semakin erotis.
“Aruna!” erang Baskara, merasakan puncak gairahnya juga.
Malam ini, Baskara baru saja mendapatkan ide bagaimana cara untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya. Jalan keluar dari masalahnya adalah wanita yang baru saja ia tiduri.
***
Aruna terbangun dengan kepala yang berdenyut hebat. Cahaya matahari yang menerobos masuk melalui jendela membuat matanya menyipit, menambah rasa pusing yang sudah cukup menyiksanya. Ia mengerang pelan, mencoba mengumpulkan kesadaran.
Bantal di bawah kepalanya terasa asing. Begitu pula dengan selimut yang melingkari tubuhnya. Ini bukan kamarnya.
Kesadarannya perlahan kembali, dan saat ia menoleh ke samping, napasnya hampir tercekat.
Seorang pria tertidur di sana.
Dada bidang yang terbuka, napas yang teratur, dan wajah yang terasa familiar namun samar dalam ingatannya. Aruna mengerjapkan mata, berusaha mengingat apa yang terjadi semalam.
Bayangan Adrian, mantan kekasihnya, yang ketahuan berselingkuh dengan Yura, sahabat baiknya, masih terpatri jelas di benaknya. Itu sebabnya ia menghabiskan malam di bar, menenggelamkan diri dalam minuman keras sampai perasaannya mati rasa. Namun, alih-alih mengalihkan diri, Aruna malah bertemu dengan pria asing di hadapannya hingga menghabiskan malam di apartemennya.
Siapa nama pria ini?
Sial! Aruna tidak bisa mengingatnya.
Ia duduk dengan cepat, namun kepalanya kembali berdenyut, membuatnya mengusap pelipis dengan frustasi. Pikirannya mencoba menghubungkan kepingan-kepingan yang hilang, tapi tidak ada yang benar-benar jelas. Yang ia tahu hanyalah ia ada di sini sekarang—di tempat tidur pria asing yang baru ia temui semalam.
Menyadari sesuatu, Aruna mengecek arloji yang masih dipakainya. Ia segera bergegas karena ia tidak punya waktu untuk berlama-lama. Ia harus segera bersiap ke kantor.
Dengan hati-hati, Aruna menyibak selimut dan turun dari tempat tidur. Langkahnya ringan, hampir tanpa suara saat ia mengumpulkan barang-barangnya yang tersebar di sekitar ruangan. Blouse-nya di sandaran kursi, tas kecilnya di meja, dan sepatunya entah di mana.
Ia melirik ke arah tempat tidur sekali lagi. Pria itu masih tertidur, napasnya stabil, ekspresinya begitu tenang. Tidak ada tanda-tanda pria itu akan terbangun dalam waktu dekat.
Bagus.
Aruna akhirnya menemukan sepatunya di dekat pintu dan segera memakainya. Ia harus pulang. Hari ini ia masih harus bekerja, dan ia tidak punya waktu untuk memikirkan bagaimana ia bisa berakhir di sini.
Tanpa melihat ke belakang lagi, ia membuka pintu apartemen dengan pelan dan menyelinap keluar, meninggalkan malam yang tak sepenuhnya bisa ia ingat.
***
Beberapa hari setelah kejadian tak terduga di malam itu, Aruna terus berusaha melupakannya. Namun sialnya, kepala Aruna malah melakukan hal sebaliknya. Ingatannya terus memunculkan kegiatan panas yang dilakukannya dengan pria itu. Aruna mengingat saat mereka bercumbu di dalam mobil lalu menghabiskan malam dengan bercinta di apartemen sang pria.
Aruna seketika mengingat tiap sentuhan dan sensasi yang diberikan sang pria padanya. Hal itu membuat perutnya tergelitik.
Untung saja pikiran kotornya langsung teralihkan ketika Hani, rekan kerjanya, tiba-tiba menghampiri dengan ekspresi penuh semangat.
“Aruna! Kamu sudah tahu kabar yang beredar?” tanyanya antusias.
Aruna menatap Hani dengan wajah yang masih lelah. “Kabar tentang apa?”
Hani menarik kursi di sebelahnya dan duduk, matanya berbinar. “CEO baru! Dia akhirnya diperkenalkan hari ini.”
Aruna mengernyit. Memang sudah ada rumor tentang pergantian kepemimpinan di perusahaan ini, tapi ia tidak terlalu memperhatikannya. “Jadi siapa CEO barunya?”
Hani bersandar ke mejanya, suaranya lebih dramatis. “Putra Pak Riadi, pemilik perusahaan. Dia baru pulang dari luar negeri dan akan mengambil alih jabatan ayahnya.”
Aruna hanya mengangguk datar. Ia tidak terlalu peduli. Yang penting baginya adalah pekerjaannya tetap berjalan lancar. Maka dari itu, setelah Hani puas memberitahu informasi yang ia tahu tentang CEO baru, Aruna kembali bekerja tanpa banyak berkomentar.
Namun kemudian, suasana kantor tiba-tiba menjadi hening. Bisikan-bisikan terdengar di seluruh ruangan, beberapa karyawan bahkan berdiri dari meja mereka, memperhatikan sosok pria yang baru saja memasuki area kantor.
Aruna yang awalnya tidak terlalu tertarik, ikut melirik. Ia melihat ke arah ruang Pak Riadi, sama seperti karyawan yang lain. Dari ruangan itu, Pak Riadi tampak berjalan dengan seorang pria muda bertubuh tegap dengan pakaian formal. Aruna tidak bisa melihat dengan jelas siapa pria itu.
Lalu saat Pak Riadi dan pria itu berjalan mendekat, mata Aruna bertemu dengan sang pria. Seluruh tubuh Aruna seketika langsung membeku.
Pria itu pun berhenti melangkah, tidak lagi berjalan di samping Pak Riadi.
Napas Aruna tercekat, sementara otaknya mencoba memproses apa yang sedang terjadi. Wajah pria itu terlihat familiar–
“Dia …” gumam Aruna pelan.
Ini pasti lelucon, kan? Tidak mungkin CEO baru yang dibicarakan Hani adalah pria yang menghabiskan malam panas dengannya. Tidak mungkin!
Oma memanggil semua anggota keluarga untuk berkumpul di ruang tengah vila. Aruna buru-buru merapikan dirinya dan mengikuti Baskara yang sudah lebih dulu melangkah keluar kamar. Di ruang tengah, suasana terlihat cukup hangat. Semua anggota keluarga telah duduk, beberapa membawa cangkir teh, yang lain hanya berbicara pelan sambil menunggu."Besok kita akan mulai lebih sore. Sepertinya pemandangannya akan lebih bagus jika kita pergi sore hari saat matahari mulai tenggelam," ucap Oma sambil menatap anggota keluarganya satu per satu. "Kita akan berdoa bersama, lalu menaburkan bunga seperti biasa."Semua mengangguk, hingga Baskara tiba-tiba berujar dengan nada tidak sepenuhnya setuju, "Kenapa tiba-tiba mengubah jadwal? Biasanya kita melakukannya di pagi hari? Aku sengaja memundurkan pekerjaanku ke sore hari karena acara ini biasa berlangsung sejak pagi."Aruna yang duduk bersisian dengan Baskara, langsung menoleh, ekspresinya berubah. Namun gadis itu tidak mengatakan apa pun.Ternyata apa y
Langit Lombok sore berwarna biru dengan semburat jingga yang mulai menjalar perlahan menyambut kedatangan keluarga Adiwireja ke vila mereka, termasuk Aruna di dalamnya. Angin pantai membawa aroma laut yang asin dan segar, menyapu wajah Aruna saat ia berdiri di ambang pintu vila keluarga Baskara.Vila itu berdiri tenang di tepi pantai, menghadap langsung ke laut lepas. Bangunannya berarsitektur klasik tropis dengan jendela lebar berbingkai kayu, dan balkon luas yang menghadap ombak. Suasana di dalam vila hening, hanya suara debur ombak dan desir angin yang mendominasi.Baskara meletakkan koper di sudut kamar, lalu menghampiri Aruna yang masih berdiri terpaku memandangi pemandangan luar dari balik tirai tipis yang melambai.“Ada apa?” tanya Baskara lembut, memeluk tubuh istrinya dari belakang.Aruna hanya menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Aku cuma... ini terlalu indah. Juga sangat nyaman.”Baskara tersenyum, mengecup pelan pelipis Aruna. “Aku tidak pernah menyadari keindahan tempat ini
Menjelang malam, Aruna akhirnya kembali ke apartemen. Begitu pintu dibuka, aroma khas apartemen yang familiar menyambutnya. Di ruang tengah, Baskara sedang duduk di sofa dengan laptop terbuka di pangkuannya, tapi langsung menoleh saat mendengar pintu terbuka.“Aku pulang,” ucap Aruna pelan, senyumnya tipis.Baskara mengangkat wajah. Mata pria itu berbinar begitu melihat Aruna masuk. Ia kemudian bangkit dan mendekat, menyambut Aruna dengan pelukan singkat. “Kamu kelihatan capek.”“Sedikit.” Aruna mengangguk. “Tadi habis dari rumah sekalian antar Anin pulang.”Mereka berdua lalu duduk di sofa, keheningan sejenak mengisi ruang.“Kamu sudah makan malam?” tanya Aruna.Baskara mengangguk. “Ya, aku makan lebih dulu karena kamu sudah makan dengan Anin. Tidak apa-apa?”“Ya, tidak apa-apa, Mas. Aku malah akan khawatir kalau kamu belum makan. Nanti kalau kamu sakit aku juga yang repot merawatmu,” ujar Aruna dengan senyum geli.Alis Baskara naik. “Maksudnya kamu tidak ikhlas merawatku kalau aku s
Aruna berdiri di depan rumah orang tuanya—rumah yang sudah lama sekali rasanya tidak ia kunjungi meski sebenarnya baru beberapa bulan saja. Banyaknya rentetan kejadian belakangan ini membuat kepergiannya dari rumah itu terasa sudah lama berlalu. Kini, Anindya yang tinggal di sana. Adiknya itu menolak untuk tinggal bersama Aruna dan memilih untuk tinggal sendirian di rumah orang tua mereka.Rumah itu menyimpan begitu banyak kenangan yang melekat dalam setiap dinding dan sudutnya. Udara senja terasa lebih berat ketika Aruna menatap pintu yang kini terbuka oleh Anindya.“Masuk aja, Kak. Mau istirahat dulu?” tanya Anindya sambil melepaskan sepatunya.Aruna mengangguk pelan dan mengikuti adiknya masuk. Saat melangkah melewati ruang tamu yang masih dipenuhi perabot lama, ada desir hangat sekaligus perih yang menghampiri dadanya. Ia merasa seperti kembali ke masa-masa kecil, masa saat semuanya masih utuh.Hidup keluarganya mungkin tidak bergelimang harta. Namun Aruna bisa ingat saat orang tu
Sambungan terputus begitu saja, menyisakan hening yang menekan telinga Aruna lebih keras dari suara apa pun. Ia masih mematung di kursinya, jari-jarinya menggenggam ponsel dengan kaku. Keringat dingin mulai membasahi tengkuknya, meski udara di restoran tidak panas.Tidak lama denting singkat terdengar. Satu notifikasi masuk.Aruna menunduk dengan detak jantung tidak karuan. Layar ponselnya kembali menyala. Kali ini bukan panggilan, melainkan sebuah pesan dari nomor tak dikenal.Tidak ada teks. Hanya satu file video.Dengan tangan gemetar, Aruna memutar video itu. Butuh waktu beberapa detik hingga gambar mulai bergerak. Seketika saja dunia Aruna seperti jungkir balik.Di layar, tampak seorang pria tua terbaring di atas ranjang besi, dalam sebuah ruangan yang tampak seperti fasilitas medis atau rumah sakit. Dindingnya kusam, pencahayaannya redup. Tidak ada tanda-tanda modernitas atau perawatan profesional. Hanya ranjang sederhana, alat infus menggantung yang tidak terpasang, dan tabung
Aruna baru saja selesai menyiapkan sarapan saat Baskara keluar dari kamar mandi, masih mengenakan handuk dan wajah yang masih terlihat was-was.Pagi ini gerak-gerik Baskara lebih sigap dan waspada, Aruna bisa merasakannya. Sejak Aruna membuka mata, ke mana pun matanya tertuju, pasti ada Baskara di sana. Seakan suaminya itu tidak mau jauh-jauh dari Aruna, ingin memastikan bahwa dirinya bisa terlihat dan terlindungi dalam jangkauan Baskara."Aku bisa kerja dari rumah hari ini," ujar Baskara akhirnya setelah kembali muncul dengan pakaian kerjanya. Sambil berjalan ke arah Aruna dan bergabung di meja makan, ia berkata lagi, "Atau lebih baik aku tidak pergi ke kantor saja dan menemani kamu di sini?"Aruna menoleh, menatap mata suaminya yang menunjukkan kecemasan. Bibirnya tersenyum lembut. Ditambah hatinya terasa hangat karena sangat merasakan usaha Baskara yang masih berusaha menjaganya sejak ia memberitahu tentang teror itu.“Tidak usah, Mas,” ucap Aruna lembut sambil menyiapkan sarapan u
Senja mulai merayap perlahan, menggantikan cahaya matahari yang tadi menghangatkan ruangan. Lampu-lampu apartemen menyala lembut saat pintu utama terbuka dan suara langkah kaki Baskara terdengar memasuki apartemen. Aruna, yang sedari tadi menunggu di ruang tamu dengan secangkir teh yang sudah dingin di tangan, segera berdiri dan menyambut sang suami seperti biasa.“Capek, ya?” tanya Aruna sambil mengambil jas yang dikenakan Baskara.Baskara tersenyum kecil, lalu mengecup kening istrinya. “Tidak juga. Aku hanya ingin cepat pulang dan bertemu kamu.”Aruna terkekeh pelan, meski nada tawanya terdengar hampa. Ia berusaha bersikap seperti biasa dengan menyiapkan minuman, bertanya soal pekerjaan, dan menemani Baskara makan malam. Tapi pikirannya tidak pernah benar-benar fokus. Matanya sering melirik ke arah pintu. Tangannya kadang gemetar ringan saat mengambil sendok atau gelas.Baskara menyadarinya, tapi belum berkomentar. Sampai akhirnya mereka duduk berdua di sofa setelah makan, dan pria
Pagi itu, cahaya matahari yang hangat menyusup masuk lewat celah tirai kamar, menyorot lembut ke arah tempat tidur yang masih berantakan. Di sisi ranjang, Aruna duduk bersandar dengan selimut membungkus tubuhnya, rambutnya sedikit kusut namun wajahnya berseri. Di hadapannya, Baskara tengah mengenakan jasnya, bersiap untuk berangkat kerja.“Kenapa kamu tidak membangunkanku? Aku belum menyiapkan sarapan karena terlambat bangun,” gerutu Aruna, suaranya masih serak karena baru bangun.Tidurnya terlalu nyenyak hingga ia tidak menyadari hari sudah pagi. Ia bahkan tidak menyadari gerak-gerik Baskara yang pasti mengeluarkan suara-suara saat bersiap-siap. Apa yang terjadi semalam benar-benar membuat Aruna lelah dan hatinya penuh hingga tidur lelap.Baskara menoleh, lalu tersenyum kecil. Aruna perlahan mulai terbiasa dengan senyum sang pria yang hanya muncul untuk dirinya. Ia melangkah mendekat dan duduk di tepi ranjang, tangannya menyentuh pipi istrinya dengan lembut.“Kamu tidur nyenyak sekal
Ciuman mereka tidak lagi sekadar sentuhan bibir. Ada hasrat yang tertahan terlalu lama, ada gairah yang meronta untuk dilepaskan. Baskara mendekap Aruna erat, seolah ingin menyatu, bukan hanya tubuhnya, tapi juga hati dan luka-luka yang selama ini mereka simpan dalam diam.Baskara menatap Aruna sejenak, seolah meminta izin, memastikan bahwa ini adalah keinginan mereka berdua. Saat Aruna mengangguk pelan, dengan mata yang berkaca, ia tahu tidak ada lagi yang perlu diragukan.Dengan satu gerakan lembut namun tegas, Baskara mengangkat Aruna ke dalam gendongannya dan membawanya ke kamar. Cahaya temaram lampu tidur menyinari kulit mereka, menciptakan bayang-bayang yang seolah ikut menyaksikan malam yang menjadi momen penting bagi dua insan itu.Begitu Aruna berada di atas ranjang, Baskara bergabung di sana. Tubuhnya bera
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen