Aruna menatap bayangannya di cermin dengan perasaan campur aduk. Gaun malam berwarna merah berbahan satin mahal itu tampak begitu mewah di tubuhnya. Lekuk tubuh Aruna menonjol sempurna namun tidak berlebihan. Rambutnya ditata anggun, riasan di wajahnya mempertegas wajahnya tanpa berlebihan. Ia hampir tidak mengenali dirinya sendiri—seolah ini bukan Aruna yang biasanya.
Namun, di balik semua keindahan itu, ada kegelisahan yang menyusup dalam hati Aruna. Ia tidak terbiasa dengan pakaian mahal, tidak terbiasa dengan kehidupan seperti ini. Apakah ia benar-benar pantas berada di sisi Baskara dalam acara malam ini? Bagaimana caranya ia bersikap di hadapan para orang kaya di sana?
Kalimat tegas Baskara terngiang dalam kepala Aruna.
“Jangan buat aku malu.”
Aruna menarik napas dalam-dalam, mengenyahkan rasa gugup yang menyerang. Wajah dan tubuhnya mungkin siap untuk menghadiri acara penting malam ini, tapi tidak dengan hatinya. Ia hanya berharap semua berjalan dengan lancar dan ia tidak membuat hal-hal memalukan.
Tidak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Aruna menegakkan punggungnya, napasnya tertahan saat melihat pantulan seorang pria dalam cermin. Baskara berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan jas hitam yang sempurna membalut tubuh tegapnya. Mata tajamnya menyapu Aruna dengan ekspresi sulit ditebak.
Perias profesional yang masih sibuk membereskan alat-alatnya menoleh ke arah Baskara dan tersenyum bangga. “Pak Baskara, bagaimana? Istri Bapak sudah terlihat cantik, bukan?”
Aruna menunggu jawaban sang pria, jantungnya berdebar. Namun, yang didapatkan bukan pujian ataupun respons hangat yang ia harapkan.
Baskara hanya menatapnya sekilas, lalu mengalihkan pandangannya. Wajahnya dingin, rahangnya mengeras, seolah kehadiran Aruna dalam balutan gaun itu tidak berarti apa-apa baginya.
Aruna menelan ludah, kecewa merayapi dadanya.
“Kita berangkat sekarang,” ucap Baskara singkat, suaranya datar tanpa emosi.
Perias itu tampak sedikit canggung, sementara Aruna hanya bisa menggenggam jemarinya sendiri, mencoba meredam perasaan tidak nyaman yang mulai menyelimuti hatinya.
Kenapa Baskara tiba-tiba bersikap seperti ini? Berbeda sekali dengan sikapnya saat memaksa Aruna untuk menikah. Kini, Aruna seakan seperti barang usang yang tidak terpakai.
Tanpa banyak kata, pria itu melangkah keluar, meninggalkan Aruna yang masih berdiri mematung di depan cermin. Semua kepercayaan diri yang tadi sempat Aruna rasakan perlahan menguap, berganti dengan kegugupan yang semakin menyesakkan.
Setelah tim perias yang membantu Aruna pamit, gadis itu merasa dua kali lipat lebih hampa. Sejak tadi ia hanya mengobrol dengan orang-orang itu sementara Baskara sibuk dengan dunianya sendiri. Pria yang menjadi suaminya itu seakan tidak ingin melihat Aruna, bahkan menganggap sang gadis tidak ada.
Saat Aruna sedang berjalan ke ruang tamu, terdengar suara seruan.
“Baskara? Kamu ada di rumah?” seru suara wanita dewasa yang terdengar asing itu.
Aruna melangkah lebih cepat untuk melihat siapa sosok itu. Seorang wanita paruh baya masuk ke apartemen dengan langkah anggun, mengenakan gaun elegan dengan rambut yang tertata rapi sesuai usianya. Tatapannya tajam, penuh wibawa, namun ada kelembutan dalam sorot matanya saat melihat Aruna berdiri dengan gugup di lorong.
“Inikah wanita yang diceritakan ibumu?” tanya wanita itu pada Baskara yang sedang duduk di sofa.
Baskara hanya mengangguk sambil lalu. Ia memilih mengeluarkan ponsel dan kembali sibuk dengan urusannya.
Aruna menunduk sopan, tangannya menggenggam erat sisi gaunnya. Ia sudah menyiapkan mental jika harus menghadapi perlakuan dingin seperti yang ia terima dari Riadi dan Kumala. Namun yang terjadi justru di luar dugaan.
Wanita itu tersenyum, matanya mengamati Aruna dengan penuh perhatian. “Siapa namamu, Nak?” suaranya lembut namun penuh karakter kuat berwibawa.
Aruna mengangkat wajah, sedikit terkejut. “Eh… Aruna, Bu,” jawabnya hati-hati.
Wanita itu tergelak. “Astaga! Kamu belum tahu siapa aku ya? Aku nenek Baskara. Kamu boleh panggil aku Oma.”
Dilanda bingung, Aruna masih bergeming. Oma kemudian melangkah mendekat, lalu tanpa ragu meraih tangan Aruna. Ia meneliti wajah gadis itu, lalu mengangguk seakan puas. “Cantik sekali menantuku. Ternyata cucuku bisa juga pilih istri,” katanya, membuat Aruna hampir ternganga.
Baskara yang berdiri di dekat sofa hanya diam, ekspresinya sulit ditebak. Ia tidak ikut berkomentar, tidak juga menampakkan rasa bangga atau kekaguman seperti yang Aruna harapkan.
“Memang mengejutkan saat mendapati cucuku menikah tanpa pemberitahuan. Tapi aku berharap pernikahan ini berjalan dengan baik, Aruna,” lanjut Oma, tatapannya penuh arti. “Kuharap cucuku memperlakukanmu dengan baik.”
Aruna mencuri pandang ke arah Baskara, tapi pria itu tetap tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatapnya sekilas sebelum mengalihkan pandangan.
“Oma, kami harus segera berangkat,” akhirnya Baskara berbicara, suaranya datar. “Kalian bicara lagi saja nanti.”
Sang nenek mengangguk, lalu menepuk tangan Aruna dengan lembut. “Tidak usah khawatir, Aruna. Kamu adalah bagian dari keluarga sekarang. Beritahu Oma jika Baskara macam-macam padamu.”
Aruna tersenyum kecil. Ia melirik Baskara yang mendengus dengan peringatan neneknya. Namun meski begitu, sepertinya pria itu menghormati sang nenek karena sebelum pergi, Baskara mendekat menghampiri Oma untuk memeluk dan menciumnya.
“Jaga istrimu dengan baik.” Oma mewanti-wanti Baskara saat pria itu berpamitan.
Baskara mengangguk malas, membuat Aruna berharap pria itu sedikit menunjukkan usaha sebagai suami. Namun, Aruna memilih tidak memikirkan perubahan sikap Baskara, meskipun dalam hatinya masih ada keraguan. Paling tidak kini hatinya sedikit menghangat dengan kehadiran Oma. Sejauh ini, hanya wanita itu yang memperlakukan Aruna dengan baik.
Aruna berkali-kali menelan ludah saat langkahnya mengikuti Baskara memasuki salah satu ballroom hotel ternama di ibu kota. Ruangan itu memiliki langit-langit tinggi dan lampu kristal yang berkilauan. Dentingan gelas, suara obrolan rendah, dan alunan musik klasik mengisi udara, namun semua itu tidak mampu meredakan kegugupan Aruna.Tatapan para tamu yang berbalik ke arah mereka semakin membuat Aruna merasa kecil. Mereka semua pasti orang kaya dan penting. Berbagai bisikan mulai terdengar begitu Baskara dengan percaya diri memperkenalkannya.Tangan Baskara yang melingkari pinggang Aruna terasa hangat, tapi itu tidak cukup untuk meredakan kegugupannya. Apalagi saat mereka melewati beberapa tamu, Aruna bisa merasakan tatapan mereka menyelidik, penuh rasa ingin tahu.“Itu istrinya?” bisik seseorang.“Katanya sih karyawan di kantornya sendiri,” sahut yang lain.“Kudengar dia hamil duluan…” tamu yang lain menimpali.Semakin masuk ke dalam keramaian, semakin Aruna merasa ia tidak pantas berad
Melihat Aruna yang pucat dan gaunnya yang basah, Baskara membawa sang gadis meninggalkan tempat acara. Aruna hanya mengikuti langkah Baskara yang cepat tanpa suara meski kakinya terasa sakit dengan sepatu hak yang dipakainya.Sampai di parkiran, Baskara membukakan pintu penumpang untuk Aruna. Lagi, sang wanita hanya menurut tanpa suara, bagai raga yang kehilangan jiwanya.Di dalam mobil yang melaju di jalanan malam, suasana terasa begitu sunyi dan menegangkan. Aruna duduk dengan tangan mengepal di pangkuannya, mencoba menahan emosi yang sebenarnya berkecamuk. Gaunnya masih sedikit lembab, meninggalkan rasa dingin yang merayap di kulitnya.Baskara yang sejak tadi diam, akhirnya membuka suara. “Apa yang dia lakukan padamu?” tanya Baskara dingin, tapi Aruna bisa merasakan ketegangan di balik suaranya.Aruna tetap diam, menatap lurus ke luar jendela. Bayangan lampu-lampu kota memantul di kaca, tidak beraturan, terlihat kacau seperti pikirannya.Jika Aruna mengatakan yang sebenarnya, apa y
Aruna menatap amplop berisi surat pengunduran dirinya dengan perasaan berat. Ia menghela napas sebelum melangkah masuk ke kantor. Hari ini akan menjadi hari terakhirnya di sini. Dengan kekuatan Baskara sebagai pimpinan tertinggi yang kini menjadi suaminya, tentu saja Aruna bisa langsung berhenti bekerja hari itu juga. Setelah dari ruangan HR, Aruna segera menuju meja kerjanya untuk mengambil beberapa barang pribadinya. Baskara menyuruh Aruna untuk membiarkan orang lain untuk merapikan mejanya. Namun, Aruna ingin kembali ke mejanya untuk terakhir kali sambil mengucapkan perpisahan pada pekerjaan yang sudah tiga tahun digelutinya ini.Belum sempat Aruna duduk, Hani sudah berdiri di depannya dengan ekspresi kaget dan penuh rasa ingin tahu."Aruna! Jadi beneran, kamu nikah sama Pak Baskara?" Hani bertanya dengan suara setengah berbisik, tapi penuh desakan.Aruna terdiam sejenak sebelum mengangguk pelan. "Iya," jawabnya singkat."Dan… kamu hamil?" lanjut Hani, matanya melebar seolah tidak
Di sebuah rumah makan yang masih berada dalam gedung kantor Baskara, Aruna menikmati makanannya sambil tersenyum kecil, merasa nyaman dengan percakapan bersama Arga. Sepupu Baskara itu benar-benar ramah dan humoris, membuat suasana makan siang ini terasa lebih ringan meski pikirannya masih melayang ke kejadian di ruangan Baskara.Sepanjang jalan bahkan hingga ia makan, Aruna masih saja memikirkan obrolan Baskara dengan orang-orang di dalam kantornya. Apakah pria itu dalam masalah? Haruskah Aruna menolongnya? Tapi bagaimana?“Kamu pasti kesulitan menghadapi Baskara,” ujar Arga dengan nada bercanda, membuat lamunan Aruna buyar. “Dia memang selalu kaku dan menyebalkan sejak kecil.”Aruna terkekeh, mengenyahkan sejenak pikirannya tentang Baskara. “Kupikir hanya aku yang merasa begitu.”“Tenang saja, dia selalu bersikap seperti itu ke semua orang,” ujar Arga, entah membuat Aruna merasa lebih tenang atau malah semakin bertanya-tanya.Apa yang membuat Baskara bersikap dingin dan kaku kepada
Aruna sedang duduk bersila di atas ranjang, tenggelam dalam halaman buku yang sedang ia baca. Suasana kamar begitu tenang, hanya suara dentingan jam dan hembusan angin dari jendela yang terbuka sedikit. Setelah hari yang melelahkan, ia hanya ingin menikmati sedikit ketenangan.Namun, pintu kamar tiba-tiba terbuka tanpa ketukan.Baskara masuk dengan ekspresi datar, matanya langsung tertuju pada Aruna yang masih sibuk dengan bukunya. "Cepat bersiap. Oma mengundang makan malam," katanya dengan nada ketus, seakan menganggap perintahnya tidak bisa dibantah.Dengan enggan, ia bangkit dari tempat tidur. Namun, sebelum mengambil langkah, ia menatap Baskara. "Setidaknya ketuk pintu dulu sebelum masuk," cibirnya.Baskara terlihat tidak peduli dengan protes sang gadis. Pria itu melihat ke arah Aruna dari atas ke bawah lalu berkomentar sinis. “Ganti pakaianmu dengan sesuatu yang lebih pantas. Kamu ini bagian dari keluarga Adiwireja sekarang, berhenti memakai baju-baju lusuh seperti itu.”Kening A
Aruna menatap layar ponselnya yang masih tidak juga menyala. Ia sedang menunggu balasan dari Baskara. Sudah beberapa kali ia mencoba menghubungi Baskara, tapi pria itu tidak menjawab. Mungkin sibuk. Atau mungkin sengaja mengabaikannya.Menghela napas, Aruna akhirnya mengetik pesan singkat.Aruna: Aku pergi keluar sebentarTanpa menunggu balasan, ia segera mengambil tasnya dan meninggalkan apartemen. Ia tidak mau Baskara tahu tujuannya ke rumah sakit untuk mengecek keadaan ibunya. Jika pria itu tahu, Aruna takut Baskara akan semakin mengontrol hidupnya.Perjalanan ke rumah sakit terasa panjang meski hanya ditempuh dalam hitungan menit. Sesampainya di sana, Aruna langsung menuju kamar perawatan ibunya. Anindya yang menemani sang ibu tersenyum begitu melihat Aruna datang.“Ibu baru aja tidur,” bisik Anindya.Aruna mengangguk dan duduk di samping ranjang, memperhatikan wajah ibunya yang mulai terlihat lebih sehat dibanding terakhir kali ia melihatnya. Mungkin pengobatan ini memang membawa
Di taman rumah sakit, Aruna duduk bersisian dengan Adrian. Gadis itu membawa Adrian cepat-cepat menjauh dari ibu dan adiknya. Ia tidak mau Adrian membongkar rahasia pernikahannya kepada mereka.Aruna menghela napas panjang, mencoba menahan gejolak emosinya. Ia seharusnya sudah bisa mengabaikan Adrian, tapi pria itu justru makin menjadi."Aku dengar kamu sudah menikah," ujar Adrian, suaranya sarat dengan ketidakpercayaan. Mata pria itu menatap Aruna, seolah menuntut penjelasan.Aruna mengangkat dagunya, menolak menunjukkan kelemahan di depan pria yang telah mengkhianatinya. "Iya, memangnya kenapa?"Adrian tertawa pendek, tapi bukan tawa yang menyenangkan. "Serius, Aruna? Secepat ini kamu menikah? Kamu bahkan bilang belum mau menikah waktu kita masih bersama. Kamu bilang mau membiayai dulu adikmu kuliah."Ya, Adrian benar. Sampai satu hal membuat Aruna terpaksa melakukannya.Aruna mengepalkan tangannya, menahan dorongan untuk memba
Begitu mereka sampai di apartemen, Baskara langsung menutup pintu dengan keras, membuat Aruna tersentak. Tanpa memberi waktu untuk sekedar bernapas, pria itu langsung berbalik, menatapnya tajam."Apa maumu sebenarnya, Aruna?" suaranya dingin, penuh kecurigaan. "Kenapa aku menemukanmu dengan laki-laki lain di luar sana?"Aruna mengerutkan kening, merasa tidak terima dituduh begitu saja. "Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya kebetulan bertemu dengannya," jawabnya, mencoba bersikap tenang."Kebetulan?" Baskara mendengus sinis. "Jangan buat aku terlihat bodoh, Aruna. Kamu bertemu mantanmu, membiarkan dia menyentuhmu, dan membiarkannya bicara seolah-olah kamu masih menginginkannya!"Aruna mengepalkan tangan, hatinya mulai panas karena dituduh yang bukan-bukan. "Aku tidak me
Langit Lombok sore berwarna biru dengan semburat jingga yang mulai menjalar perlahan menyambut kedatangan keluarga Adiwireja ke vila mereka, termasuk Aruna di dalamnya. Angin pantai membawa aroma laut yang asin dan segar, menyapu wajah Aruna saat ia berdiri di ambang pintu vila keluarga Baskara.Vila itu berdiri tenang di tepi pantai, menghadap langsung ke laut lepas. Bangunannya berarsitektur klasik tropis dengan jendela lebar berbingkai kayu, dan balkon luas yang menghadap ombak. Suasana di dalam vila hening, hanya suara debur ombak dan desir angin yang mendominasi.Baskara meletakkan koper di sudut kamar, lalu menghampiri Aruna yang masih berdiri terpaku memandangi pemandangan luar dari balik tirai tipis yang melambai.“Ada apa?” tanya Baskara lembut, memeluk tubuh istrinya dari belakang.Aruna hanya menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Aku cuma... ini terlalu indah. Juga sangat nyaman.”Baskara tersenyum, mengecup pelan pelipis Aruna. “Aku tidak pernah menyadari keindahan tempat ini
Menjelang malam, Aruna akhirnya kembali ke apartemen. Begitu pintu dibuka, aroma khas apartemen yang familiar menyambutnya. Di ruang tengah, Baskara sedang duduk di sofa dengan laptop terbuka di pangkuannya, tapi langsung menoleh saat mendengar pintu terbuka.“Aku pulang,” ucap Aruna pelan, senyumnya tipis.Baskara mengangkat wajah. Mata pria itu berbinar begitu melihat Aruna masuk. Ia kemudian bangkit dan mendekat, menyambut Aruna dengan pelukan singkat. “Kamu kelihatan capek.”“Sedikit.” Aruna mengangguk. “Tadi habis dari rumah sekalian antar Anin pulang.”Mereka berdua lalu duduk di sofa, keheningan sejenak mengisi ruang.“Kamu sudah makan malam?” tanya Aruna.Baskara mengangguk. “Ya, aku makan lebih dulu karena kamu sudah makan dengan Anin. Tidak apa-apa?”“Ya, tidak apa-apa, Mas. Aku malah akan khawatir kalau kamu belum makan. Nanti kalau kamu sakit aku juga yang repot merawatmu,” ujar Aruna dengan senyum geli.Alis Baskara naik. “Maksudnya kamu tidak ikhlas merawatku kalau aku s
Aruna berdiri di depan rumah orang tuanya—rumah yang sudah lama sekali rasanya tidak ia kunjungi meski sebenarnya baru beberapa bulan saja. Banyaknya rentetan kejadian belakangan ini membuat kepergiannya dari rumah itu terasa sudah lama berlalu. Kini, Anindya yang tinggal di sana. Adiknya itu menolak untuk tinggal bersama Aruna dan memilih untuk tinggal sendirian di rumah orang tua mereka.Rumah itu menyimpan begitu banyak kenangan yang melekat dalam setiap dinding dan sudutnya. Udara senja terasa lebih berat ketika Aruna menatap pintu yang kini terbuka oleh Anindya.“Masuk aja, Kak. Mau istirahat dulu?” tanya Anindya sambil melepaskan sepatunya.Aruna mengangguk pelan dan mengikuti adiknya masuk. Saat melangkah melewati ruang tamu yang masih dipenuhi perabot lama, ada desir hangat sekaligus perih yang menghampiri dadanya. Ia merasa seperti kembali ke masa-masa kecil, masa saat semuanya masih utuh.Hidup keluarganya mungkin tidak bergelimang harta. Namun Aruna bisa ingat saat orang tu
Sambungan terputus begitu saja, menyisakan hening yang menekan telinga Aruna lebih keras dari suara apa pun. Ia masih mematung di kursinya, jari-jarinya menggenggam ponsel dengan kaku. Keringat dingin mulai membasahi tengkuknya, meski udara di restoran tidak panas.Tidak lama denting singkat terdengar. Satu notifikasi masuk.Aruna menunduk dengan detak jantung tidak karuan. Layar ponselnya kembali menyala. Kali ini bukan panggilan, melainkan sebuah pesan dari nomor tak dikenal.Tidak ada teks. Hanya satu file video.Dengan tangan gemetar, Aruna memutar video itu. Butuh waktu beberapa detik hingga gambar mulai bergerak. Seketika saja dunia Aruna seperti jungkir balik.Di layar, tampak seorang pria tua terbaring di atas ranjang besi, dalam sebuah ruangan yang tampak seperti fasilitas medis atau rumah sakit. Dindingnya kusam, pencahayaannya redup. Tidak ada tanda-tanda modernitas atau perawatan profesional. Hanya ranjang sederhana, alat infus menggantung yang tidak terpasang, dan tabung
Aruna baru saja selesai menyiapkan sarapan saat Baskara keluar dari kamar mandi, masih mengenakan handuk dan wajah yang masih terlihat was-was.Pagi ini gerak-gerik Baskara lebih sigap dan waspada, Aruna bisa merasakannya. Sejak Aruna membuka mata, ke mana pun matanya tertuju, pasti ada Baskara di sana. Seakan suaminya itu tidak mau jauh-jauh dari Aruna, ingin memastikan bahwa dirinya bisa terlihat dan terlindungi dalam jangkauan Baskara."Aku bisa kerja dari rumah hari ini," ujar Baskara akhirnya setelah kembali muncul dengan pakaian kerjanya. Sambil berjalan ke arah Aruna dan bergabung di meja makan, ia berkata lagi, "Atau lebih baik aku tidak pergi ke kantor saja dan menemani kamu di sini?"Aruna menoleh, menatap mata suaminya yang menunjukkan kecemasan. Bibirnya tersenyum lembut. Ditambah hatinya terasa hangat karena sangat merasakan usaha Baskara yang masih berusaha menjaganya sejak ia memberitahu tentang teror itu.“Tidak usah, Mas,” ucap Aruna lembut sambil menyiapkan sarapan u
Senja mulai merayap perlahan, menggantikan cahaya matahari yang tadi menghangatkan ruangan. Lampu-lampu apartemen menyala lembut saat pintu utama terbuka dan suara langkah kaki Baskara terdengar memasuki apartemen. Aruna, yang sedari tadi menunggu di ruang tamu dengan secangkir teh yang sudah dingin di tangan, segera berdiri dan menyambut sang suami seperti biasa.“Capek, ya?” tanya Aruna sambil mengambil jas yang dikenakan Baskara.Baskara tersenyum kecil, lalu mengecup kening istrinya. “Tidak juga. Aku hanya ingin cepat pulang dan bertemu kamu.”Aruna terkekeh pelan, meski nada tawanya terdengar hampa. Ia berusaha bersikap seperti biasa dengan menyiapkan minuman, bertanya soal pekerjaan, dan menemani Baskara makan malam. Tapi pikirannya tidak pernah benar-benar fokus. Matanya sering melirik ke arah pintu. Tangannya kadang gemetar ringan saat mengambil sendok atau gelas.Baskara menyadarinya, tapi belum berkomentar. Sampai akhirnya mereka duduk berdua di sofa setelah makan, dan pria
Pagi itu, cahaya matahari yang hangat menyusup masuk lewat celah tirai kamar, menyorot lembut ke arah tempat tidur yang masih berantakan. Di sisi ranjang, Aruna duduk bersandar dengan selimut membungkus tubuhnya, rambutnya sedikit kusut namun wajahnya berseri. Di hadapannya, Baskara tengah mengenakan jasnya, bersiap untuk berangkat kerja.“Kenapa kamu tidak membangunkanku? Aku belum menyiapkan sarapan karena terlambat bangun,” gerutu Aruna, suaranya masih serak karena baru bangun.Tidurnya terlalu nyenyak hingga ia tidak menyadari hari sudah pagi. Ia bahkan tidak menyadari gerak-gerik Baskara yang pasti mengeluarkan suara-suara saat bersiap-siap. Apa yang terjadi semalam benar-benar membuat Aruna lelah dan hatinya penuh hingga tidur lelap.Baskara menoleh, lalu tersenyum kecil. Aruna perlahan mulai terbiasa dengan senyum sang pria yang hanya muncul untuk dirinya. Ia melangkah mendekat dan duduk di tepi ranjang, tangannya menyentuh pipi istrinya dengan lembut.“Kamu tidur nyenyak sekal
Ciuman mereka tidak lagi sekadar sentuhan bibir. Ada hasrat yang tertahan terlalu lama, ada gairah yang meronta untuk dilepaskan. Baskara mendekap Aruna erat, seolah ingin menyatu, bukan hanya tubuhnya, tapi juga hati dan luka-luka yang selama ini mereka simpan dalam diam.Baskara menatap Aruna sejenak, seolah meminta izin, memastikan bahwa ini adalah keinginan mereka berdua. Saat Aruna mengangguk pelan, dengan mata yang berkaca, ia tahu tidak ada lagi yang perlu diragukan.Dengan satu gerakan lembut namun tegas, Baskara mengangkat Aruna ke dalam gendongannya dan membawanya ke kamar. Cahaya temaram lampu tidur menyinari kulit mereka, menciptakan bayang-bayang yang seolah ikut menyaksikan malam yang menjadi momen penting bagi dua insan itu.Begitu Aruna berada di atas ranjang, Baskara bergabung di sana. Tubuhnya bera
Wajah Baskara maju satu jengkal, menghapus jarak di antara mereka. Napasnya terdengar pelan, dalam, lalu mendadak ia menarik tubuh Aruna ke arahnya dan mencium bibir sang gadis. Ciumannya tidak tergesa, tapi cukup untuk membuat Aruna terhuyung karena tidak siap. Ada kegelisahan yang tersalur lewat sentuhan bibirnya.Aruna yang sempat terkejut perlahan mulai menerima pagutan suaminya. Hatinya ikut larut, meski kepala dan nalurinya tahu ada sesuatu yang disembunyikan Baskara di balik ciuman yang dimulai dengan spontan, dalam, sekaligus memabukkan itu.Ternyata apa yang Baskara inginkan belum selesai hanya sebatas ciuman. Pria itu menarik tubuh Aruna menjadi berada di atas tubuhnya. Dengan sedikit terkesiap Aruna mengikuti arahan Baskara. Gadis itu kini sudah ada di pangkuan Baskara dengan ciuman keduanya yang tidak terlepas.