Aruna berkali-kali menelan ludah saat langkahnya mengikuti Baskara memasuki salah satu ballroom hotel ternama di ibu kota. Ruangan itu memiliki langit-langit tinggi dan lampu kristal yang berkilauan. Dentingan gelas, suara obrolan rendah, dan alunan musik klasik mengisi udara, namun semua itu tidak mampu meredakan kegugupan Aruna.
Tatapan para tamu yang berbalik ke arah mereka semakin membuat Aruna merasa kecil. Mereka semua pasti orang kaya dan penting. Berbagai bisikan mulai terdengar begitu Baskara dengan percaya diri memperkenalkannya.
Tangan Baskara yang melingkari pinggang Aruna terasa hangat, tapi itu tidak cukup untuk meredakan kegugupannya. Apalagi saat mereka melewati beberapa tamu, Aruna bisa merasakan tatapan mereka menyelidik, penuh rasa ingin tahu.
“Itu istrinya?” bisik seseorang.
“Katanya sih karyawan di kantornya sendiri,” sahut yang lain.
“Kudengar dia hamil duluan…” tamu yang lain menimpali.
Semakin masuk ke dalam keramaian, semakin Aruna merasa ia tidak pantas berada di tempat itu. Kini perutnya diremas kuat seiring dengan rasa gugup yang semakin tidak tertahankan. Sayangnya, Aruna harus menahan apa pun yang ia rasakan. Malam ini ia harus bersandiwara menjadi istri seorang Baskara yang bahagia.
“Izinkan aku memperkenalkan istriku. Aruna,” ujar Baskara dengan suara tenang namun penuh ketegasan, memperkenalkan Aruna kepada beberapa rekan bisnisnya.
Aruna tersenyum kecil, meskipun ia bisa merasakan detak jantungnya berpacu cepat.
Beberapa orang mencoba basa-basi, sisanya hanya bisa menatap dan berbisik. Meski begitu, Aruna berusaha membalas dengan senyuman canggung, meski ia merasa semua pasang mata seolah sedang menilai dan menghakiminya.
Tidak lama, seorang wanita mendekat dengan langkah anggun. Gaun berpotongan mahal membalut tubuhnya yang indah. Senyum ramah terukir di wajahnya, meskipun ada sesuatu yang membuat Aruna merasa tidak nyaman dari gerak-gerik wanita itu.
"Halo, Baskara," sapa sang wanita dengan nada lembut namun mengandung sesuatu yang tersirat. Gadis itu kemudian beralih pada Aruna. “Kamu… Aruna, ya?”
Aruna mengangguk sopan. Wanita itu lantas beralih lagi pada Baskara, melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang Aruna tidak mengerti, membuatnya semakin merasa seperti orang asing di antara mereka.
“Jadi ini alasan kamu membatalkan kesepakatan keluarga kita?” tanya gadis itu pada Baskara.
Tatapan Baskara tetap tenang saat menjawab, suaranya terdengar datar namun memiliki intensi lain. Aruna masih tidak mengerti apa yang keduanya katakan, tapi dari gerak-gerik dua orang itu, Aruna bisa melihat bahwa mereka memiliki hubungan atau setidaknya mengenal satu sama lain sejak lama.
Obrolan dua orang itu membuat Aruna merasa semakin tersisih. Entah kenapa ia merasa sedang menjadi objek pembicaraan meski tidak mengerti bagaimana. Ia juga merasa kehadirannya di sini lebih sebagai pajangan daripada sebagai istri Baskara.
Karena merasa semakin tidak nyaman, Aruna beralasan harus pergi ke toilet. Secepat kilat ia berjalan menjauh menuju toilet, berusaha menenangkan diri sejenak dari atmosfer yang begitu menyesakkan.
***
Aruna menatap bayangannya di cermin, mencoba mengatur napas yang terasa berat. Tangannya bertumpu di tepi wastafel, berusaha meredakan kegugupan dan perasaan tidak nyaman yang sejak tadi menggelayutinya. Ia tidak menyangka acara ini menjadi sangat sulit.
Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat. Aruna menoleh dan melihat wanita tadi masuk ke dalam toilet dengan langkah anggun. Wanita itu berdiri di sebelahnya, juga menatap cermin sambil merapikan riasannya.
"Aku Tania," katanya tiba-tiba, dengan senyum tipis yang sulit diartikan. Mata mereka bertemu lewat pantulan di cermin.
Aruna langsung mengenali nama itu. Tania—wanita yang seharusnya dijodohkan dengan Baskara.
Jantungnya berdetak lebih cepat, tapi ia tetap berusaha menjaga ekspresinya agar tetap tenang.
"Aku tahu siapa kamu," jawab Aruna pelan.
“Baskara yang memberitahumu?”
Aruna menggeleng.
Tania melangkah lebih dekat hingga berdiri di hadapan Aruna. Tubuhnya menjulang mendominasi, berbanding terbalik dari Aruna yang sejak tadi menunduk, merasa gugup dan takut akan situasinya.
“Begini, Aruna. Kamu telah merebut apa yang jadi milikku. Tapi, tidak apa-apa, aku masih coba memberimu kesempatan. Mungkin kamu memang tidak tahu situasinya.” Tania berkata dengan santai namun nadanya mengintimidasi.
Aruna tidak menjawab, bibirnya terkatup.
Melihat diam Aruna, Tania bicara lagi. “Ini peringatanku yang pertama dan terakhir, tinggalkan Baskara.”
“T-tapi aku istrinya,” ucap Aruna saat ia akhirnya menemukan keberanian untuk bicara.
Tania mendengus. Kedua tangannya terlipat di depan dada. “Kita lihat saja nanti, Aruna. Memangnya kamu pikir kamu pantas menjadi istrinya?”
“Baskara sendiri yang memilihku,” ucap Aruna lagi, kali ini lebih berani dari sebelumnya.
Hal itu tentu saja membuat Tania naik pitam. “Dasar wanita rendahan!” umpatnya kesal.
Tanpa Aruna sadari, Tania menadahkan air ke tangannya lalu menyiram Aruna hingga tubuh dan wajah gadis itu basah.
Aruna menjerit, terkejut dengan serangan yang dilancarkan Tania. Setelah itu, Tania berjalan keluar dari toilet tanpa menghiraukan lagi Aruna.
Bibir Aruna bergetar menahan emosi saat ia berdiri di depan cermin, menatap bayangannya yang kacau dan basah. Tania telah berhasil mempermalukannya, dan ia hanya bisa diam. Meski ingin melawan, Aruna tahu ia tidak boleh membuat keributan yang lebih besar.
Menghela napas, Aruna menegakkan punggungnya dan melangkah keluar toilet dengan hati-hati. Namun, begitu ia kembali memasuki ruangan utama, tatapan-tatapan mulai menghujani dirinya. Beberapa tamu saling berbisik, sebagian bahkan menatapnya semakin sinis.
Aruna menundukkan wajah, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. Ini memalukan. Baskara pasti akan memarahinya setelah pria itu memperingatkan Aruna untuk tidak membuat dirinya malu.
Tiba-tiba, Baskara menghampiri dengan ekspresi dingin dan tajam, matanya langsung menangkap kondisi Aruna yang basah kuyup.
"Apa yang terjadi?" suara pria itu nyaris seperti erangan.
Aruna menggeleng cepat, tidak ingin memperumit keadaan. "Tidak apa-apa, aku hanya—"
Namun, matanya tanpa sadar melirik ke arah Tania yang tengah berdiri di sudut ruangan, berbincang dengan beberapa orang sambil diam-diam melihat ke arah Aruna yang menjadi pusat perhatian karena kondisinya.
Baskara mengikuti arah tatapan Aruna, lalu rahangnya mengatup keras. Tanpa berpikir dua kali, pria itu menghampiri Tania dengan langkah cepat dan penuh amarah.
Para tamu mulai menyadari perubahan suasana. Beberapa orang melirik ke arah Baskara dan Tania dengan penasaran, bisik-bisik kembali terdengar di antara mereka.
"Baskara, ada apa?" tanya Tania polos, seolah-olah tidak tahu apa yang terjadi.
Hanya saja Aruna bisa melihat tatapan Baskara tajam seperti belati saat pria itu berhadapan dengan Tania. "Jangan pura-pura bodoh, Tania." Suaranya rendah, namun penuh ancaman. "Apa yang kamu lakukan pada istriku?"
Kening Tania mengerut. “Aku tidak melakukan apa pun. Mungkin istrimu saja yang gegabah? Dia pasti tidak terbiasa dengan pesta semewah ini karena berasal dari kalangan bawah. Kamu seharusnya mencari istri yang lebih baik, Baskara. Dia tidak selevel denganmu, denganku, dengan kita–”
Belum selesai Tania bicara, Baskara menggenggam pergelangan wanita itu dan mencengkramnya keras. Tania mengaduh dan minta dilepaskan, namun Baskara malah semakin mencengkram dan menatap gadis itu dengan tatapan membunuh.
“Jangan pernah kamu mengganggu istriku atau kamu akan rasakan sendiri akibatnya!” desis Baskara kemudian.
Melihat Aruna yang pucat dan gaunnya yang basah, Baskara membawa sang gadis meninggalkan tempat acara. Aruna hanya mengikuti langkah Baskara yang cepat tanpa suara meski kakinya terasa sakit dengan sepatu hak yang dipakainya.Sampai di parkiran, Baskara membukakan pintu penumpang untuk Aruna. Lagi, sang wanita hanya menurut tanpa suara, bagai raga yang kehilangan jiwanya.Di dalam mobil yang melaju di jalanan malam, suasana terasa begitu sunyi dan menegangkan. Aruna duduk dengan tangan mengepal di pangkuannya, mencoba menahan emosi yang sebenarnya berkecamuk. Gaunnya masih sedikit lembab, meninggalkan rasa dingin yang merayap di kulitnya.Baskara yang sejak tadi diam, akhirnya membuka suara. “Apa yang dia lakukan padamu?” tanya Baskara dingin, tapi Aruna bisa merasakan ketegangan di balik suaranya.Aruna tetap diam, menatap lurus ke luar jendela. Bayangan lampu-lampu kota memantul di kaca, tidak beraturan, terlihat kacau seperti pikirannya.Jika Aruna mengatakan yang sebenarnya, apa y
Aruna menatap amplop berisi surat pengunduran dirinya dengan perasaan berat. Ia menghela napas sebelum melangkah masuk ke kantor. Hari ini akan menjadi hari terakhirnya di sini. Dengan kekuatan Baskara sebagai pimpinan tertinggi yang kini menjadi suaminya, tentu saja Aruna bisa langsung berhenti bekerja hari itu juga. Setelah dari ruangan HR, Aruna segera menuju meja kerjanya untuk mengambil beberapa barang pribadinya. Baskara menyuruh Aruna untuk membiarkan orang lain untuk merapikan mejanya. Namun, Aruna ingin kembali ke mejanya untuk terakhir kali sambil mengucapkan perpisahan pada pekerjaan yang sudah tiga tahun digelutinya ini.Belum sempat Aruna duduk, Hani sudah berdiri di depannya dengan ekspresi kaget dan penuh rasa ingin tahu."Aruna! Jadi beneran, kamu nikah sama Pak Baskara?" Hani bertanya dengan suara setengah berbisik, tapi penuh desakan.Aruna terdiam sejenak sebelum mengangguk pelan. "Iya," jawabnya singkat."Dan… kamu hamil?" lanjut Hani, matanya melebar seolah tidak
Di sebuah rumah makan yang masih berada dalam gedung kantor Baskara, Aruna menikmati makanannya sambil tersenyum kecil, merasa nyaman dengan percakapan bersama Arga. Sepupu Baskara itu benar-benar ramah dan humoris, membuat suasana makan siang ini terasa lebih ringan meski pikirannya masih melayang ke kejadian di ruangan Baskara.Sepanjang jalan bahkan hingga ia makan, Aruna masih saja memikirkan obrolan Baskara dengan orang-orang di dalam kantornya. Apakah pria itu dalam masalah? Haruskah Aruna menolongnya? Tapi bagaimana?“Kamu pasti kesulitan menghadapi Baskara,” ujar Arga dengan nada bercanda, membuat lamunan Aruna buyar. “Dia memang selalu kaku dan menyebalkan sejak kecil.”Aruna terkekeh, mengenyahkan sejenak pikirannya tentang Baskara. “Kupikir hanya aku yang merasa begitu.”“Tenang saja, dia selalu bersikap seperti itu ke semua orang,” ujar Arga, entah membuat Aruna merasa lebih tenang atau malah semakin bertanya-tanya.Apa yang membuat Baskara bersikap dingin dan kaku kepada
Aruna sedang duduk bersila di atas ranjang, tenggelam dalam halaman buku yang sedang ia baca. Suasana kamar begitu tenang, hanya suara dentingan jam dan hembusan angin dari jendela yang terbuka sedikit. Setelah hari yang melelahkan, ia hanya ingin menikmati sedikit ketenangan.Namun, pintu kamar tiba-tiba terbuka tanpa ketukan.Baskara masuk dengan ekspresi datar, matanya langsung tertuju pada Aruna yang masih sibuk dengan bukunya. "Cepat bersiap. Oma mengundang makan malam," katanya dengan nada ketus, seakan menganggap perintahnya tidak bisa dibantah.Dengan enggan, ia bangkit dari tempat tidur. Namun, sebelum mengambil langkah, ia menatap Baskara. "Setidaknya ketuk pintu dulu sebelum masuk," cibirnya.Baskara terlihat tidak peduli dengan protes sang gadis. Pria itu melihat ke arah Aruna dari atas ke bawah lalu berkomentar sinis. “Ganti pakaianmu dengan sesuatu yang lebih pantas. Kamu ini bagian dari keluarga Adiwireja sekarang, berhenti memakai baju-baju lusuh seperti itu.”Kening A
Aruna menatap layar ponselnya yang masih tidak juga menyala. Ia sedang menunggu balasan dari Baskara. Sudah beberapa kali ia mencoba menghubungi Baskara, tapi pria itu tidak menjawab. Mungkin sibuk. Atau mungkin sengaja mengabaikannya.Menghela napas, Aruna akhirnya mengetik pesan singkat.Aruna: Aku pergi keluar sebentarTanpa menunggu balasan, ia segera mengambil tasnya dan meninggalkan apartemen. Ia tidak mau Baskara tahu tujuannya ke rumah sakit untuk mengecek keadaan ibunya. Jika pria itu tahu, Aruna takut Baskara akan semakin mengontrol hidupnya.Perjalanan ke rumah sakit terasa panjang meski hanya ditempuh dalam hitungan menit. Sesampainya di sana, Aruna langsung menuju kamar perawatan ibunya. Anindya yang menemani sang ibu tersenyum begitu melihat Aruna datang.“Ibu baru aja tidur,” bisik Anindya.Aruna mengangguk dan duduk di samping ranjang, memperhatikan wajah ibunya yang mulai terlihat lebih sehat dibanding terakhir kali ia melihatnya. Mungkin pengobatan ini memang membawa
Di taman rumah sakit, Aruna duduk bersisian dengan Adrian. Gadis itu membawa Adrian cepat-cepat menjauh dari ibu dan adiknya. Ia tidak mau Adrian membongkar rahasia pernikahannya kepada mereka.Aruna menghela napas panjang, mencoba menahan gejolak emosinya. Ia seharusnya sudah bisa mengabaikan Adrian, tapi pria itu justru makin menjadi."Aku dengar kamu sudah menikah," ujar Adrian, suaranya sarat dengan ketidakpercayaan. Mata pria itu menatap Aruna, seolah menuntut penjelasan.Aruna mengangkat dagunya, menolak menunjukkan kelemahan di depan pria yang telah mengkhianatinya. "Iya, memangnya kenapa?"Adrian tertawa pendek, tapi bukan tawa yang menyenangkan. "Serius, Aruna? Secepat ini kamu menikah? Kamu bahkan bilang belum mau menikah waktu kita masih bersama. Kamu bilang mau membiayai dulu adikmu kuliah."Ya, Adrian benar. Sampai satu hal membuat Aruna terpaksa melakukannya.Aruna mengepalkan tangannya, menahan dorongan untuk memba
Begitu mereka sampai di apartemen, Baskara langsung menutup pintu dengan keras, membuat Aruna tersentak. Tanpa memberi waktu untuk sekedar bernapas, pria itu langsung berbalik, menatapnya tajam."Apa maumu sebenarnya, Aruna?" suaranya dingin, penuh kecurigaan. "Kenapa aku menemukanmu dengan laki-laki lain di luar sana?"Aruna mengerutkan kening, merasa tidak terima dituduh begitu saja. "Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya kebetulan bertemu dengannya," jawabnya, mencoba bersikap tenang."Kebetulan?" Baskara mendengus sinis. "Jangan buat aku terlihat bodoh, Aruna. Kamu bertemu mantanmu, membiarkan dia menyentuhmu, dan membiarkannya bicara seolah-olah kamu masih menginginkannya!"Aruna mengepalkan tangan, hatinya mulai panas karena dituduh yang bukan-bukan. "Aku tidak me
Malam itu, Aruna duduk di ruang tengah apartemen, menunggu kepulangan Baskara. Jam di dinding sudah hampir menunjukkan pukul sebelas malam, dan pria itu belum juga tiba. Aruna tidak biasanya menunggu, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang ingin memastikan Baskara pulang dengan selamat. Entah karena perhatian, atau hanya rasa tanggung jawab sebagai istri kontraknya.Hawa dingin merayapi kulit Aruna saat ia merapatkan selimut di bahunya. Secangkir teh hangat di atas meja mulai mendingin, tidak tersentuh. Pikirannya terus melayang ke berbagai kemungkinan. Apakah Baskara sibuk dengan pekerjaan? Atau mungkin... bersama wanita lain? Pikiran itu menghantuinya lebih dari yang ia harapkan.Baru menjelang tengah malam, suara derit pintu masuk terdengar. Aruna segera menoleh. Sosok tinggi itu akhirnya muncul, namun ada yang berbeda dari biasanya. Baskara berjalan sedikit ol
Langit Lombok sore berwarna biru dengan semburat jingga yang mulai menjalar perlahan menyambut kedatangan keluarga Adiwireja ke vila mereka, termasuk Aruna di dalamnya. Angin pantai membawa aroma laut yang asin dan segar, menyapu wajah Aruna saat ia berdiri di ambang pintu vila keluarga Baskara.Vila itu berdiri tenang di tepi pantai, menghadap langsung ke laut lepas. Bangunannya berarsitektur klasik tropis dengan jendela lebar berbingkai kayu, dan balkon luas yang menghadap ombak. Suasana di dalam vila hening, hanya suara debur ombak dan desir angin yang mendominasi.Baskara meletakkan koper di sudut kamar, lalu menghampiri Aruna yang masih berdiri terpaku memandangi pemandangan luar dari balik tirai tipis yang melambai.“Ada apa?” tanya Baskara lembut, memeluk tubuh istrinya dari belakang.Aruna hanya menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Aku cuma... ini terlalu indah. Juga sangat nyaman.”Baskara tersenyum, mengecup pelan pelipis Aruna. “Aku tidak pernah menyadari keindahan tempat ini
Menjelang malam, Aruna akhirnya kembali ke apartemen. Begitu pintu dibuka, aroma khas apartemen yang familiar menyambutnya. Di ruang tengah, Baskara sedang duduk di sofa dengan laptop terbuka di pangkuannya, tapi langsung menoleh saat mendengar pintu terbuka.“Aku pulang,” ucap Aruna pelan, senyumnya tipis.Baskara mengangkat wajah. Mata pria itu berbinar begitu melihat Aruna masuk. Ia kemudian bangkit dan mendekat, menyambut Aruna dengan pelukan singkat. “Kamu kelihatan capek.”“Sedikit.” Aruna mengangguk. “Tadi habis dari rumah sekalian antar Anin pulang.”Mereka berdua lalu duduk di sofa, keheningan sejenak mengisi ruang.“Kamu sudah makan malam?” tanya Aruna.Baskara mengangguk. “Ya, aku makan lebih dulu karena kamu sudah makan dengan Anin. Tidak apa-apa?”“Ya, tidak apa-apa, Mas. Aku malah akan khawatir kalau kamu belum makan. Nanti kalau kamu sakit aku juga yang repot merawatmu,” ujar Aruna dengan senyum geli.Alis Baskara naik. “Maksudnya kamu tidak ikhlas merawatku kalau aku s
Aruna berdiri di depan rumah orang tuanya—rumah yang sudah lama sekali rasanya tidak ia kunjungi meski sebenarnya baru beberapa bulan saja. Banyaknya rentetan kejadian belakangan ini membuat kepergiannya dari rumah itu terasa sudah lama berlalu. Kini, Anindya yang tinggal di sana. Adiknya itu menolak untuk tinggal bersama Aruna dan memilih untuk tinggal sendirian di rumah orang tua mereka.Rumah itu menyimpan begitu banyak kenangan yang melekat dalam setiap dinding dan sudutnya. Udara senja terasa lebih berat ketika Aruna menatap pintu yang kini terbuka oleh Anindya.“Masuk aja, Kak. Mau istirahat dulu?” tanya Anindya sambil melepaskan sepatunya.Aruna mengangguk pelan dan mengikuti adiknya masuk. Saat melangkah melewati ruang tamu yang masih dipenuhi perabot lama, ada desir hangat sekaligus perih yang menghampiri dadanya. Ia merasa seperti kembali ke masa-masa kecil, masa saat semuanya masih utuh.Hidup keluarganya mungkin tidak bergelimang harta. Namun Aruna bisa ingat saat orang tu
Sambungan terputus begitu saja, menyisakan hening yang menekan telinga Aruna lebih keras dari suara apa pun. Ia masih mematung di kursinya, jari-jarinya menggenggam ponsel dengan kaku. Keringat dingin mulai membasahi tengkuknya, meski udara di restoran tidak panas.Tidak lama denting singkat terdengar. Satu notifikasi masuk.Aruna menunduk dengan detak jantung tidak karuan. Layar ponselnya kembali menyala. Kali ini bukan panggilan, melainkan sebuah pesan dari nomor tak dikenal.Tidak ada teks. Hanya satu file video.Dengan tangan gemetar, Aruna memutar video itu. Butuh waktu beberapa detik hingga gambar mulai bergerak. Seketika saja dunia Aruna seperti jungkir balik.Di layar, tampak seorang pria tua terbaring di atas ranjang besi, dalam sebuah ruangan yang tampak seperti fasilitas medis atau rumah sakit. Dindingnya kusam, pencahayaannya redup. Tidak ada tanda-tanda modernitas atau perawatan profesional. Hanya ranjang sederhana, alat infus menggantung yang tidak terpasang, dan tabung
Aruna baru saja selesai menyiapkan sarapan saat Baskara keluar dari kamar mandi, masih mengenakan handuk dan wajah yang masih terlihat was-was.Pagi ini gerak-gerik Baskara lebih sigap dan waspada, Aruna bisa merasakannya. Sejak Aruna membuka mata, ke mana pun matanya tertuju, pasti ada Baskara di sana. Seakan suaminya itu tidak mau jauh-jauh dari Aruna, ingin memastikan bahwa dirinya bisa terlihat dan terlindungi dalam jangkauan Baskara."Aku bisa kerja dari rumah hari ini," ujar Baskara akhirnya setelah kembali muncul dengan pakaian kerjanya. Sambil berjalan ke arah Aruna dan bergabung di meja makan, ia berkata lagi, "Atau lebih baik aku tidak pergi ke kantor saja dan menemani kamu di sini?"Aruna menoleh, menatap mata suaminya yang menunjukkan kecemasan. Bibirnya tersenyum lembut. Ditambah hatinya terasa hangat karena sangat merasakan usaha Baskara yang masih berusaha menjaganya sejak ia memberitahu tentang teror itu.“Tidak usah, Mas,” ucap Aruna lembut sambil menyiapkan sarapan u
Senja mulai merayap perlahan, menggantikan cahaya matahari yang tadi menghangatkan ruangan. Lampu-lampu apartemen menyala lembut saat pintu utama terbuka dan suara langkah kaki Baskara terdengar memasuki apartemen. Aruna, yang sedari tadi menunggu di ruang tamu dengan secangkir teh yang sudah dingin di tangan, segera berdiri dan menyambut sang suami seperti biasa.“Capek, ya?” tanya Aruna sambil mengambil jas yang dikenakan Baskara.Baskara tersenyum kecil, lalu mengecup kening istrinya. “Tidak juga. Aku hanya ingin cepat pulang dan bertemu kamu.”Aruna terkekeh pelan, meski nada tawanya terdengar hampa. Ia berusaha bersikap seperti biasa dengan menyiapkan minuman, bertanya soal pekerjaan, dan menemani Baskara makan malam. Tapi pikirannya tidak pernah benar-benar fokus. Matanya sering melirik ke arah pintu. Tangannya kadang gemetar ringan saat mengambil sendok atau gelas.Baskara menyadarinya, tapi belum berkomentar. Sampai akhirnya mereka duduk berdua di sofa setelah makan, dan pria
Pagi itu, cahaya matahari yang hangat menyusup masuk lewat celah tirai kamar, menyorot lembut ke arah tempat tidur yang masih berantakan. Di sisi ranjang, Aruna duduk bersandar dengan selimut membungkus tubuhnya, rambutnya sedikit kusut namun wajahnya berseri. Di hadapannya, Baskara tengah mengenakan jasnya, bersiap untuk berangkat kerja.“Kenapa kamu tidak membangunkanku? Aku belum menyiapkan sarapan karena terlambat bangun,” gerutu Aruna, suaranya masih serak karena baru bangun.Tidurnya terlalu nyenyak hingga ia tidak menyadari hari sudah pagi. Ia bahkan tidak menyadari gerak-gerik Baskara yang pasti mengeluarkan suara-suara saat bersiap-siap. Apa yang terjadi semalam benar-benar membuat Aruna lelah dan hatinya penuh hingga tidur lelap.Baskara menoleh, lalu tersenyum kecil. Aruna perlahan mulai terbiasa dengan senyum sang pria yang hanya muncul untuk dirinya. Ia melangkah mendekat dan duduk di tepi ranjang, tangannya menyentuh pipi istrinya dengan lembut.“Kamu tidur nyenyak sekal
Ciuman mereka tidak lagi sekadar sentuhan bibir. Ada hasrat yang tertahan terlalu lama, ada gairah yang meronta untuk dilepaskan. Baskara mendekap Aruna erat, seolah ingin menyatu, bukan hanya tubuhnya, tapi juga hati dan luka-luka yang selama ini mereka simpan dalam diam.Baskara menatap Aruna sejenak, seolah meminta izin, memastikan bahwa ini adalah keinginan mereka berdua. Saat Aruna mengangguk pelan, dengan mata yang berkaca, ia tahu tidak ada lagi yang perlu diragukan.Dengan satu gerakan lembut namun tegas, Baskara mengangkat Aruna ke dalam gendongannya dan membawanya ke kamar. Cahaya temaram lampu tidur menyinari kulit mereka, menciptakan bayang-bayang yang seolah ikut menyaksikan malam yang menjadi momen penting bagi dua insan itu.Begitu Aruna berada di atas ranjang, Baskara bergabung di sana. Tubuhnya bera
Wajah Baskara maju satu jengkal, menghapus jarak di antara mereka. Napasnya terdengar pelan, dalam, lalu mendadak ia menarik tubuh Aruna ke arahnya dan mencium bibir sang gadis. Ciumannya tidak tergesa, tapi cukup untuk membuat Aruna terhuyung karena tidak siap. Ada kegelisahan yang tersalur lewat sentuhan bibirnya.Aruna yang sempat terkejut perlahan mulai menerima pagutan suaminya. Hatinya ikut larut, meski kepala dan nalurinya tahu ada sesuatu yang disembunyikan Baskara di balik ciuman yang dimulai dengan spontan, dalam, sekaligus memabukkan itu.Ternyata apa yang Baskara inginkan belum selesai hanya sebatas ciuman. Pria itu menarik tubuh Aruna menjadi berada di atas tubuhnya. Dengan sedikit terkesiap Aruna mengikuti arahan Baskara. Gadis itu kini sudah ada di pangkuan Baskara dengan ciuman keduanya yang tidak terlepas.