Aruna sedang duduk bersila di atas ranjang, tenggelam dalam halaman buku yang sedang ia baca. Suasana kamar begitu tenang, hanya suara dentingan jam dan hembusan angin dari jendela yang terbuka sedikit. Setelah hari yang melelahkan, ia hanya ingin menikmati sedikit ketenangan.Namun, pintu kamar tiba-tiba terbuka tanpa ketukan.Baskara masuk dengan ekspresi datar, matanya langsung tertuju pada Aruna yang masih sibuk dengan bukunya. "Cepat bersiap. Oma mengundang makan malam," katanya dengan nada ketus, seakan menganggap perintahnya tidak bisa dibantah.Dengan enggan, ia bangkit dari tempat tidur. Namun, sebelum mengambil langkah, ia menatap Baskara. "Setidaknya ketuk pintu dulu sebelum masuk," cibirnya.Baskara terlihat tidak peduli dengan protes sang gadis. Pria itu melihat ke arah Aruna dari atas ke bawah lalu berkomentar sinis. “Ganti pakaianmu dengan sesuatu yang lebih pantas. Kamu ini bagian dari keluarga Adiwireja sekarang, berhenti memakai baju-baju lusuh seperti itu.”Kening A
Aruna menatap layar ponselnya yang masih tidak juga menyala. Ia sedang menunggu balasan dari Baskara. Sudah beberapa kali ia mencoba menghubungi Baskara, tapi pria itu tidak menjawab. Mungkin sibuk. Atau mungkin sengaja mengabaikannya.Menghela napas, Aruna akhirnya mengetik pesan singkat.Aruna: Aku pergi keluar sebentarTanpa menunggu balasan, ia segera mengambil tasnya dan meninggalkan apartemen. Ia tidak mau Baskara tahu tujuannya ke rumah sakit untuk mengecek keadaan ibunya. Jika pria itu tahu, Aruna takut Baskara akan semakin mengontrol hidupnya.Perjalanan ke rumah sakit terasa panjang meski hanya ditempuh dalam hitungan menit. Sesampainya di sana, Aruna langsung menuju kamar perawatan ibunya. Anindya yang menemani sang ibu tersenyum begitu melihat Aruna datang.“Ibu baru aja tidur,” bisik Anindya.Aruna mengangguk dan duduk di samping ranjang, memperhatikan wajah ibunya yang mulai terlihat lebih sehat dibanding terakhir kali ia melihatnya. Mungkin pengobatan ini memang membawa
Di taman rumah sakit, Aruna duduk bersisian dengan Adrian. Gadis itu membawa Adrian cepat-cepat menjauh dari ibu dan adiknya. Ia tidak mau Adrian membongkar rahasia pernikahannya kepada mereka.Aruna menghela napas panjang, mencoba menahan gejolak emosinya. Ia seharusnya sudah bisa mengabaikan Adrian, tapi pria itu justru makin menjadi."Aku dengar kamu sudah menikah," ujar Adrian, suaranya sarat dengan ketidakpercayaan. Mata pria itu menatap Aruna, seolah menuntut penjelasan.Aruna mengangkat dagunya, menolak menunjukkan kelemahan di depan pria yang telah mengkhianatinya. "Iya, memangnya kenapa?"Adrian tertawa pendek, tapi bukan tawa yang menyenangkan. "Serius, Aruna? Secepat ini kamu menikah? Kamu bahkan bilang belum mau menikah waktu kita masih bersama. Kamu bilang mau membiayai dulu adikmu kuliah."Ya, Adrian benar. Sampai satu hal membuat Aruna terpaksa melakukannya.Aruna mengepalkan tangannya, menahan dorongan untuk memba
Begitu mereka sampai di apartemen, Baskara langsung menutup pintu dengan keras, membuat Aruna tersentak. Tanpa memberi waktu untuk sekedar bernapas, pria itu langsung berbalik, menatapnya tajam."Apa maumu sebenarnya, Aruna?" suaranya dingin, penuh kecurigaan. "Kenapa aku menemukanmu dengan laki-laki lain di luar sana?"Aruna mengerutkan kening, merasa tidak terima dituduh begitu saja. "Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya kebetulan bertemu dengannya," jawabnya, mencoba bersikap tenang."Kebetulan?" Baskara mendengus sinis. "Jangan buat aku terlihat bodoh, Aruna. Kamu bertemu mantanmu, membiarkan dia menyentuhmu, dan membiarkannya bicara seolah-olah kamu masih menginginkannya!"Aruna mengepalkan tangan, hatinya mulai panas karena dituduh yang bukan-bukan. "Aku tidak me
Malam itu, Aruna duduk di ruang tengah apartemen, menunggu kepulangan Baskara. Jam di dinding sudah hampir menunjukkan pukul sebelas malam, dan pria itu belum juga tiba. Aruna tidak biasanya menunggu, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang ingin memastikan Baskara pulang dengan selamat. Entah karena perhatian, atau hanya rasa tanggung jawab sebagai istri kontraknya.Hawa dingin merayapi kulit Aruna saat ia merapatkan selimut di bahunya. Secangkir teh hangat di atas meja mulai mendingin, tidak tersentuh. Pikirannya terus melayang ke berbagai kemungkinan. Apakah Baskara sibuk dengan pekerjaan? Atau mungkin... bersama wanita lain? Pikiran itu menghantuinya lebih dari yang ia harapkan.Baru menjelang tengah malam, suara derit pintu masuk terdengar. Aruna segera menoleh. Sosok tinggi itu akhirnya muncul, namun ada yang berbeda dari biasanya. Baskara berjalan sedikit ol
Pagi datang dengan cahaya matahari yang mulai merayap melalui celah tirai, tapi tidak ada kehangatan yang Aruna rasakan. Hanya dingin yang merayapi tubuh dan pikirannya. Matanya terbuka perlahan, lalu langsung menangkap sosok yang masih tertidur di sampingnya—Baskara.Napasnya tercekat, dan dalam hitungan detik, semua yang terjadi semalam kembali memenuhi pikirannya seperti gelombang pasang yang menghantam keras.Baskara pulang dalam keadaan mabuk. Mata pria itu merah, langkahnya goyah, tapi genggamannya tetap sekuat baja. Aruna ingat bagaimana tubuh Baskara menindihnya. Ia mencoba menghindar, menolak, bahkan berteriak, tapi semua itu sia-sia. Kata-kata Baskara masih terngiang di kepalanya, kasar dan penuh ego. Ia diperlakukan seolah-olah dirinya bukan manusia dengan perasaan, melainkan sekadar barang yang menjadi miliknya—istri dalam perjanjian yang harus sela
Matahari siang bersinar cerah saat Aruna tiba di kediaman Oma, sebuah rumah klasik yang besar dengan taman luas dan bunga-bunga yang tertata rapi. Udara sejuk menyambutnya, memberikan sedikit ketenangan yang ia butuhkan setelah pagi yang begitu berat. Meski langkahnya terasa berat, Aruna tetap melangkah masuk dengan sikap seanggun mungkin. Ia tidak ingin perasaannya yang kacau karena kejadian semalam terlihat oleh siapa pun.Saat Aruna melangkah masuk ke ruang tamu, sosok Oma segera menyambutnya dengan senyuman hangat. Wanita tua itu mengenakan gaun berwarna pastel yang elegan, dipadukan dengan perhiasan sederhana namun berkelas. "Aruna, sayang! Akhirnya kamu datang!" serunya sambil meraih tangan Aruna dengan penuh kasih sayang.Aruna membalas senyuman itu, meski hatinya masih berat. "Maaf aku datang sedikit terlambat, Oma."
Selepas acara makan siang di rumah Oma, Aruna izin berpamitan setelah menghabiskan siang bercengkrama dengan Oma dan Arga. Untung saja ibu mertuanya ada acara lain yang mengharuskannya pergi lebih dulu.Berada di dalam mobil, Aruna menatap layar ponselnya dengan ragu. Jemarinya sudah mengetik pesan, tetapi kemudian ia menghapusnya lagi. Ia hendak meminta izin pada Baskara untuk pergi ke rumah sakit. Hanya saja, meminta izin pada Baskara bukanlah hal yang mudah, terlebih setelah kejadian beberapa hari yang lalu. Namun, ia harus kembali ke rumah sakit untuk melihat kondisi ibunya.Dengan tarikan napas panjang, Aruna akhirnya menekan tombol panggil. Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum suara berat di seberang menjawab.“Ada apa?” suara Baskara terdengar seperti biasa—datar dan penuh otoritas.Aruna menggigit bibirnya. Ia harus hati-hati dalam berbicara. “Aku mau ke rumah sakit lagi. Menjenguk temanku,” katanya, suaranya sehalus mungkin agar tidak memicu kemarahan pria itu.Hening
Langit Lombok sore berwarna biru dengan semburat jingga yang mulai menjalar perlahan menyambut kedatangan keluarga Adiwireja ke vila mereka, termasuk Aruna di dalamnya. Angin pantai membawa aroma laut yang asin dan segar, menyapu wajah Aruna saat ia berdiri di ambang pintu vila keluarga Baskara.Vila itu berdiri tenang di tepi pantai, menghadap langsung ke laut lepas. Bangunannya berarsitektur klasik tropis dengan jendela lebar berbingkai kayu, dan balkon luas yang menghadap ombak. Suasana di dalam vila hening, hanya suara debur ombak dan desir angin yang mendominasi.Baskara meletakkan koper di sudut kamar, lalu menghampiri Aruna yang masih berdiri terpaku memandangi pemandangan luar dari balik tirai tipis yang melambai.“Ada apa?” tanya Baskara lembut, memeluk tubuh istrinya dari belakang.Aruna hanya menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Aku cuma... ini terlalu indah. Juga sangat nyaman.”Baskara tersenyum, mengecup pelan pelipis Aruna. “Aku tidak pernah menyadari keindahan tempat ini
Menjelang malam, Aruna akhirnya kembali ke apartemen. Begitu pintu dibuka, aroma khas apartemen yang familiar menyambutnya. Di ruang tengah, Baskara sedang duduk di sofa dengan laptop terbuka di pangkuannya, tapi langsung menoleh saat mendengar pintu terbuka.“Aku pulang,” ucap Aruna pelan, senyumnya tipis.Baskara mengangkat wajah. Mata pria itu berbinar begitu melihat Aruna masuk. Ia kemudian bangkit dan mendekat, menyambut Aruna dengan pelukan singkat. “Kamu kelihatan capek.”“Sedikit.” Aruna mengangguk. “Tadi habis dari rumah sekalian antar Anin pulang.”Mereka berdua lalu duduk di sofa, keheningan sejenak mengisi ruang.“Kamu sudah makan malam?” tanya Aruna.Baskara mengangguk. “Ya, aku makan lebih dulu karena kamu sudah makan dengan Anin. Tidak apa-apa?”“Ya, tidak apa-apa, Mas. Aku malah akan khawatir kalau kamu belum makan. Nanti kalau kamu sakit aku juga yang repot merawatmu,” ujar Aruna dengan senyum geli.Alis Baskara naik. “Maksudnya kamu tidak ikhlas merawatku kalau aku s
Aruna berdiri di depan rumah orang tuanya—rumah yang sudah lama sekali rasanya tidak ia kunjungi meski sebenarnya baru beberapa bulan saja. Banyaknya rentetan kejadian belakangan ini membuat kepergiannya dari rumah itu terasa sudah lama berlalu. Kini, Anindya yang tinggal di sana. Adiknya itu menolak untuk tinggal bersama Aruna dan memilih untuk tinggal sendirian di rumah orang tua mereka.Rumah itu menyimpan begitu banyak kenangan yang melekat dalam setiap dinding dan sudutnya. Udara senja terasa lebih berat ketika Aruna menatap pintu yang kini terbuka oleh Anindya.“Masuk aja, Kak. Mau istirahat dulu?” tanya Anindya sambil melepaskan sepatunya.Aruna mengangguk pelan dan mengikuti adiknya masuk. Saat melangkah melewati ruang tamu yang masih dipenuhi perabot lama, ada desir hangat sekaligus perih yang menghampiri dadanya. Ia merasa seperti kembali ke masa-masa kecil, masa saat semuanya masih utuh.Hidup keluarganya mungkin tidak bergelimang harta. Namun Aruna bisa ingat saat orang tu
Sambungan terputus begitu saja, menyisakan hening yang menekan telinga Aruna lebih keras dari suara apa pun. Ia masih mematung di kursinya, jari-jarinya menggenggam ponsel dengan kaku. Keringat dingin mulai membasahi tengkuknya, meski udara di restoran tidak panas.Tidak lama denting singkat terdengar. Satu notifikasi masuk.Aruna menunduk dengan detak jantung tidak karuan. Layar ponselnya kembali menyala. Kali ini bukan panggilan, melainkan sebuah pesan dari nomor tak dikenal.Tidak ada teks. Hanya satu file video.Dengan tangan gemetar, Aruna memutar video itu. Butuh waktu beberapa detik hingga gambar mulai bergerak. Seketika saja dunia Aruna seperti jungkir balik.Di layar, tampak seorang pria tua terbaring di atas ranjang besi, dalam sebuah ruangan yang tampak seperti fasilitas medis atau rumah sakit. Dindingnya kusam, pencahayaannya redup. Tidak ada tanda-tanda modernitas atau perawatan profesional. Hanya ranjang sederhana, alat infus menggantung yang tidak terpasang, dan tabung
Aruna baru saja selesai menyiapkan sarapan saat Baskara keluar dari kamar mandi, masih mengenakan handuk dan wajah yang masih terlihat was-was.Pagi ini gerak-gerik Baskara lebih sigap dan waspada, Aruna bisa merasakannya. Sejak Aruna membuka mata, ke mana pun matanya tertuju, pasti ada Baskara di sana. Seakan suaminya itu tidak mau jauh-jauh dari Aruna, ingin memastikan bahwa dirinya bisa terlihat dan terlindungi dalam jangkauan Baskara."Aku bisa kerja dari rumah hari ini," ujar Baskara akhirnya setelah kembali muncul dengan pakaian kerjanya. Sambil berjalan ke arah Aruna dan bergabung di meja makan, ia berkata lagi, "Atau lebih baik aku tidak pergi ke kantor saja dan menemani kamu di sini?"Aruna menoleh, menatap mata suaminya yang menunjukkan kecemasan. Bibirnya tersenyum lembut. Ditambah hatinya terasa hangat karena sangat merasakan usaha Baskara yang masih berusaha menjaganya sejak ia memberitahu tentang teror itu.“Tidak usah, Mas,” ucap Aruna lembut sambil menyiapkan sarapan u
Senja mulai merayap perlahan, menggantikan cahaya matahari yang tadi menghangatkan ruangan. Lampu-lampu apartemen menyala lembut saat pintu utama terbuka dan suara langkah kaki Baskara terdengar memasuki apartemen. Aruna, yang sedari tadi menunggu di ruang tamu dengan secangkir teh yang sudah dingin di tangan, segera berdiri dan menyambut sang suami seperti biasa.“Capek, ya?” tanya Aruna sambil mengambil jas yang dikenakan Baskara.Baskara tersenyum kecil, lalu mengecup kening istrinya. “Tidak juga. Aku hanya ingin cepat pulang dan bertemu kamu.”Aruna terkekeh pelan, meski nada tawanya terdengar hampa. Ia berusaha bersikap seperti biasa dengan menyiapkan minuman, bertanya soal pekerjaan, dan menemani Baskara makan malam. Tapi pikirannya tidak pernah benar-benar fokus. Matanya sering melirik ke arah pintu. Tangannya kadang gemetar ringan saat mengambil sendok atau gelas.Baskara menyadarinya, tapi belum berkomentar. Sampai akhirnya mereka duduk berdua di sofa setelah makan, dan pria
Pagi itu, cahaya matahari yang hangat menyusup masuk lewat celah tirai kamar, menyorot lembut ke arah tempat tidur yang masih berantakan. Di sisi ranjang, Aruna duduk bersandar dengan selimut membungkus tubuhnya, rambutnya sedikit kusut namun wajahnya berseri. Di hadapannya, Baskara tengah mengenakan jasnya, bersiap untuk berangkat kerja.“Kenapa kamu tidak membangunkanku? Aku belum menyiapkan sarapan karena terlambat bangun,” gerutu Aruna, suaranya masih serak karena baru bangun.Tidurnya terlalu nyenyak hingga ia tidak menyadari hari sudah pagi. Ia bahkan tidak menyadari gerak-gerik Baskara yang pasti mengeluarkan suara-suara saat bersiap-siap. Apa yang terjadi semalam benar-benar membuat Aruna lelah dan hatinya penuh hingga tidur lelap.Baskara menoleh, lalu tersenyum kecil. Aruna perlahan mulai terbiasa dengan senyum sang pria yang hanya muncul untuk dirinya. Ia melangkah mendekat dan duduk di tepi ranjang, tangannya menyentuh pipi istrinya dengan lembut.“Kamu tidur nyenyak sekal
Ciuman mereka tidak lagi sekadar sentuhan bibir. Ada hasrat yang tertahan terlalu lama, ada gairah yang meronta untuk dilepaskan. Baskara mendekap Aruna erat, seolah ingin menyatu, bukan hanya tubuhnya, tapi juga hati dan luka-luka yang selama ini mereka simpan dalam diam.Baskara menatap Aruna sejenak, seolah meminta izin, memastikan bahwa ini adalah keinginan mereka berdua. Saat Aruna mengangguk pelan, dengan mata yang berkaca, ia tahu tidak ada lagi yang perlu diragukan.Dengan satu gerakan lembut namun tegas, Baskara mengangkat Aruna ke dalam gendongannya dan membawanya ke kamar. Cahaya temaram lampu tidur menyinari kulit mereka, menciptakan bayang-bayang yang seolah ikut menyaksikan malam yang menjadi momen penting bagi dua insan itu.Begitu Aruna berada di atas ranjang, Baskara bergabung di sana. Tubuhnya bera
Wajah Baskara maju satu jengkal, menghapus jarak di antara mereka. Napasnya terdengar pelan, dalam, lalu mendadak ia menarik tubuh Aruna ke arahnya dan mencium bibir sang gadis. Ciumannya tidak tergesa, tapi cukup untuk membuat Aruna terhuyung karena tidak siap. Ada kegelisahan yang tersalur lewat sentuhan bibirnya.Aruna yang sempat terkejut perlahan mulai menerima pagutan suaminya. Hatinya ikut larut, meski kepala dan nalurinya tahu ada sesuatu yang disembunyikan Baskara di balik ciuman yang dimulai dengan spontan, dalam, sekaligus memabukkan itu.Ternyata apa yang Baskara inginkan belum selesai hanya sebatas ciuman. Pria itu menarik tubuh Aruna menjadi berada di atas tubuhnya. Dengan sedikit terkesiap Aruna mengikuti arahan Baskara. Gadis itu kini sudah ada di pangkuan Baskara dengan ciuman keduanya yang tidak terlepas.