Adrian menyandarkan tubuhnya ke dinding koridor rumah sakit dengan tangan terlipat di dada, sorot matanya tajam menatap Aruna yang berdiri di hadapannya.“Kenapa adikmu tidak tahu kamu sudah menikah? Kamu merahasiakan pernikahanmu dari keluargamu sendiri? Sangat tidak masuk akal.” suara Adrian terdengar rendah, tapi penuh ancaman.Aruna menggigit bibirnya, menahan ketegangan yang mulai menjalari tubuhnya. “Itu bukan urusanmu, Adrian.”Adrian tertawa sinis. “Oh, tentu saja itu urusanku. Karena kalau kamu tidak memberitahu, aku yang akan memberitahu mereka.”Aruna merasakan darahnya berdesir dingin. Ia tidak bisa membiarkan Adrian melakukan itu, tidak sekarang. “Adrian, tolong. Aku akan memberitahu mereka saat waktunya tepat,” ucapnya dengan nada memohon.Pria itu mengangkat alisnya dengan ekspresi penuh kemenangan. “Tepat menurutmu atau menurut suamimu? Kenapa kamu merahasiakan pernikahanmu? Apakah suamimu mengetahui hal ini juga? Atau apa mungkin dia yang menyuruhmu?”Aruna mengepalka
Aruna menggenggam ponselnya erat. Layar terang menampilkan pesan dari Adrian, masih dengan ancaman yang sama dengan yang didengar Aruna di rumah sakit.AdrianAku serius, ArunaKalau kamu tidak mengikuti keinginanku, aku akan memberitahu semuanya ke ibumu dan AnindyaKira-kira bagaimana reaksi mereka mengetahui rahasia kamu?Sudah beberapa waktu Aruna hanya tertegun di dalam kamarnya. Pesan dari Adrian itu hanya dipandanginya dengan tatapan kosong namun dengan kepala yang riuh.Tangan Aruna gemetar saat membaca pesan itu. Jantungnya berdebar kencang, seolah rasa takutnya semakin nyata. Adrian tidak main-main. Jika dia benar-benar memberitahu ibu dan Anindya, segalanya akan hancur.Aruna menggigit bibir, pikirannya berkecamuk. Haruskah ia meminta bantuan Baskara? Meskipun hubungan mereka dingin, pria itu pasti tidak ingin pernikahan kontrak mereka terbongkar sebelum waktunya.Tanpa berpikir panjang, Aruna bangkit dari sofa dan berjalan ke kamar Baskara. Pintu kamar sedikit terbuka, mem
Di rumah Oma, makan malam berlangsung dengan tenang, atau setidaknya bagi sebagian besar orang di meja makan. Hidangan-hidangan mewah tersaji di atas meja panjang yang tertata elegan, suara percakapan terdengar bersahut-sahutan, menciptakan atmosfer akrab khas jamuan keluarga.Namun bagi Aruna, suasana ini tidak lebih dari ujian kesabaran yang harus ia hadapi lagi dan lagi.Sejak awal kedatangannya, Aruna harus berusaha sekuat tenaga menahan air mata yang entah kenapa masih saja ingin keluar. Ia merasa dua kali lipat lebih lelah dengan kondisinya. Yang ingin Aruna lakukan adalah menghilang tanpa pernah kembali atau ditemukan.Belum lagi Aruna masih harus menghadapi mertuanya, Kumala, ibu Baskara, yang tidak melewatkan kesempatan untuk menyindirnya dengan halus tapi menusuk.“Aruna, kenapa kamu berantakan sekali? Tidak pantas seorang istri dari keluarga Adiwireja terlihat lusuh seperti ini,” ujar Kumala dengan nada yang terdengar ramah, tapi ada sesuatu di baliknya yang membuat Aruna l
Aruna melangkah masuk ke kantor pusat Adiwireja. Suasana kantor yang sibuk dengan karyawan berlalu lalang membuatnya sedikit terintimidasi, namun ia mencoba mengabaikannya. Kali terakhir ia menginjakkan kaki di kantor adalah saat pengunduran dirinya. Lalu tujuannya kali ini untuk menyetujui ajakan makan siang dengan Hani. Tapi sebelum bertemu Hani, Aruna ingin menemui Baskara lebih dulu.Hanya saja entah kenapa, sejak masuk ke dalam kantor, ada perasaan mengganjal di hatinya. Sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan, tapi cukup membuatnya gelisah.Sesampainya di lantai eksekutif, Aruna berjalan mendekati meja sekretaris Baskara. Yasmin, sekretaris yang selalu terlihat profesional dengan setelan rapi dan rambut yang tertata sempurna, menatapnya dengan ekspresi kaku."Aruna–um, Bu Aruna," sapa Yasmin kikuk dengan senyum tipis. Asisten Baskara itu pasti masih kesulitan dengan posisi Aruna yang kini sebagai istri dari atasannya. Yasmin melanjutkan dengan sopan, "Ada yang bisa saya bantu?""Aku
Aruna masih merasakan sesak di dadanya saat duduk di dalam mobil bersama Arga. Tatapan kosongnya menembus kaca jendela, melihat jalanan ibu kota yang ramai. Namun, semua itu terasa jauh. Perasaannya masih kacau setelah kejadian di kantor Baskara. Bayangan Tania yang duduk di pangkuan suaminya itu masih jelas di benaknya, menghantam hatinya dengan kejam.Arga, yang duduk di sebelahnya, melirik sekilas ke arah Aruna. Ia bisa melihat bagaimana wanita itu masih tenggelam dalam pikirannya sendiri. Arga mendesah pelan sebelum akhirnya memutar kemudinya, berbelok ke sebuah kafe kecil di sudut jalan.“Ayo turun,” katanya sambil melepas sabuk pengaman.Aruna mengerutkan kening. “Kemana?”“Kita beli sesuatu dulu sebelum ke rumah Oma.”Aruna hendak menolak, tetapi melihat ekspresi tenang Arga, ia menghela napas dan akhirnya mengikuti langkah pria itu keluar dari mobil. Udara siang yang sejuk menyambut mereka saat memasuki kafe dengan aroma manis dari roti yang baru dipanggang memenuhi ruangan. S
Menjelang malam, barulah Aruna kembali ke apartemen. Aruna membuka pintu apartemen dengan hati yang masih berat. Langkahnya ragu-ragu, seakan setiap inci ruangan itu terasa lebih dingin dan asing daripada sebelumnya. Lampu-lampu sudah dinyalakan, menandakan bahwa Baskara sudah lebih dulu pulang. Namun, Aruna tidak ingin melihatnya—setidaknya belum. Ia terlalu lelah, terlalu sakit hati untuk kembali berhadapan dengan pria itu setelah apa yang dilihatnya di kantor tadi. Tarikan napasnya berat saat ia melepas sepatu dan melangkah pelan menuju kamarnya. Ia berharap bisa melewati malam ini tanpa harus bertemu atau berbicara dengan Baskara. Ia tidak ingin mendengar alasan atau penjelasan apa pun. Bayangan Tania yang duduk di pangkuan Baskara masih begitu jelas di kepalanya, membuat dadanya kembali sesak. Saat melewati ruang tengah, Aruna sempat melihat siluet Baskara yang duduk di sofa dengan laptop terbuka di pangkuannya. Pria itu tampaknya sibuk dengan pekerjaannya, seakan tidak ada yang
Suara bentakan kasar membangunkan Aruna dari tidurnya. Ia membuka mata dengan terkejut dan mendapati Baskara berdiri di samping ranjang, wajahnya merah padam menahan amarah."Apa maksudnya ini?!" seru Baskara, sambil mengangkat ponselnya tepat di depan wajah Aruna.Aruna yang masih setengah sadar mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum akhirnya melihat layar ponsel itu. Foto-foto dirinya bersama Arga terpampang jelas di sana. Salah satunya saat ia duduk di kafe dengan Arga, dan yang lainnya saat Arga menyuapinya pastry di dalam mobil. Aruna segera tahu siapa pengirimnya—Tania.Hati Aruna mencelos."Kamu tidak mau menjelaskan sesuatu padaku?" suara Baskara menekan, dingin dan penuh tuduhan.Aruna mengerang frustasi, duduk dan merapikan rambutnya yang berantakan. "Aku tidak punya kewajiban menjelaskan apa pun padamu. Aku hanya pergi ke rumah Oma bersama Arga, itu saja. Tidak ada yang perlu dibesar-besarkan."Ba
Aruna duduk di sofa ruang tengah, tubuhnya terasa lelah setelah seharian di rumah sakit. Matanya masih sembab, pikirannya terus dipenuhi kondisi ibunya yang semakin memburuk. Belum lagi Adrian yang sepertinya belum ingin menyerah mengganggu Aruna.Tidak lama, Baskara masuk ke dalam apartemen. Pria itu melepas jas lalu berdiri dengan tangan diselipkan di saku celana, menatap Aruna dengan ekspresi dingin yang begitu khas. "Besok pagi kita berangkat ke acara gathering kantor di Bali. Aku ingin kamu ikut."Aruna mengangkat wajahnya, terkejut. "Apa? Kenapa?""Gathering perusahaan memperbolehkan karyawan membawa keluarga. Maka dari itu aku ingin kamu menemaniku sebagai istri. Aku tidak mau orang-orang mempertanyakan keberadaanmu jika kamu tidak ikut," ulang Baskara dengan nada yang tak mengizinkan penolakan.Aruna menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan emosinya. "Aku tidak bisa, Baskara. Ibuku sakit. Aku harus menjaga ibuku," ucap Aruna dengan suara lirih, berharap suaminya bisa menurun
Oma memanggil semua anggota keluarga untuk berkumpul di ruang tengah vila. Aruna buru-buru merapikan dirinya dan mengikuti Baskara yang sudah lebih dulu melangkah keluar kamar. Di ruang tengah, suasana terlihat cukup hangat. Semua anggota keluarga telah duduk, beberapa membawa cangkir teh, yang lain hanya berbicara pelan sambil menunggu."Besok kita akan mulai lebih sore. Sepertinya pemandangannya akan lebih bagus jika kita pergi sore hari saat matahari mulai tenggelam," ucap Oma sambil menatap anggota keluarganya satu per satu. "Kita akan berdoa bersama, lalu menaburkan bunga seperti biasa."Semua mengangguk, hingga Baskara tiba-tiba berujar dengan nada tidak sepenuhnya setuju, "Kenapa tiba-tiba mengubah jadwal? Biasanya kita melakukannya di pagi hari? Aku sengaja memundurkan pekerjaanku ke sore hari karena acara ini biasa berlangsung sejak pagi."Aruna yang duduk bersisian dengan Baskara, langsung menoleh, ekspresinya berubah. Namun gadis itu tidak mengatakan apa pun.Ternyata apa y
Langit Lombok sore berwarna biru dengan semburat jingga yang mulai menjalar perlahan menyambut kedatangan keluarga Adiwireja ke vila mereka, termasuk Aruna di dalamnya. Angin pantai membawa aroma laut yang asin dan segar, menyapu wajah Aruna saat ia berdiri di ambang pintu vila keluarga Baskara.Vila itu berdiri tenang di tepi pantai, menghadap langsung ke laut lepas. Bangunannya berarsitektur klasik tropis dengan jendela lebar berbingkai kayu, dan balkon luas yang menghadap ombak. Suasana di dalam vila hening, hanya suara debur ombak dan desir angin yang mendominasi.Baskara meletakkan koper di sudut kamar, lalu menghampiri Aruna yang masih berdiri terpaku memandangi pemandangan luar dari balik tirai tipis yang melambai.“Ada apa?” tanya Baskara lembut, memeluk tubuh istrinya dari belakang.Aruna hanya menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Aku cuma... ini terlalu indah. Juga sangat nyaman.”Baskara tersenyum, mengecup pelan pelipis Aruna. “Aku tidak pernah menyadari keindahan tempat ini
Menjelang malam, Aruna akhirnya kembali ke apartemen. Begitu pintu dibuka, aroma khas apartemen yang familiar menyambutnya. Di ruang tengah, Baskara sedang duduk di sofa dengan laptop terbuka di pangkuannya, tapi langsung menoleh saat mendengar pintu terbuka.“Aku pulang,” ucap Aruna pelan, senyumnya tipis.Baskara mengangkat wajah. Mata pria itu berbinar begitu melihat Aruna masuk. Ia kemudian bangkit dan mendekat, menyambut Aruna dengan pelukan singkat. “Kamu kelihatan capek.”“Sedikit.” Aruna mengangguk. “Tadi habis dari rumah sekalian antar Anin pulang.”Mereka berdua lalu duduk di sofa, keheningan sejenak mengisi ruang.“Kamu sudah makan malam?” tanya Aruna.Baskara mengangguk. “Ya, aku makan lebih dulu karena kamu sudah makan dengan Anin. Tidak apa-apa?”“Ya, tidak apa-apa, Mas. Aku malah akan khawatir kalau kamu belum makan. Nanti kalau kamu sakit aku juga yang repot merawatmu,” ujar Aruna dengan senyum geli.Alis Baskara naik. “Maksudnya kamu tidak ikhlas merawatku kalau aku s
Aruna berdiri di depan rumah orang tuanya—rumah yang sudah lama sekali rasanya tidak ia kunjungi meski sebenarnya baru beberapa bulan saja. Banyaknya rentetan kejadian belakangan ini membuat kepergiannya dari rumah itu terasa sudah lama berlalu. Kini, Anindya yang tinggal di sana. Adiknya itu menolak untuk tinggal bersama Aruna dan memilih untuk tinggal sendirian di rumah orang tua mereka.Rumah itu menyimpan begitu banyak kenangan yang melekat dalam setiap dinding dan sudutnya. Udara senja terasa lebih berat ketika Aruna menatap pintu yang kini terbuka oleh Anindya.“Masuk aja, Kak. Mau istirahat dulu?” tanya Anindya sambil melepaskan sepatunya.Aruna mengangguk pelan dan mengikuti adiknya masuk. Saat melangkah melewati ruang tamu yang masih dipenuhi perabot lama, ada desir hangat sekaligus perih yang menghampiri dadanya. Ia merasa seperti kembali ke masa-masa kecil, masa saat semuanya masih utuh.Hidup keluarganya mungkin tidak bergelimang harta. Namun Aruna bisa ingat saat orang tu
Sambungan terputus begitu saja, menyisakan hening yang menekan telinga Aruna lebih keras dari suara apa pun. Ia masih mematung di kursinya, jari-jarinya menggenggam ponsel dengan kaku. Keringat dingin mulai membasahi tengkuknya, meski udara di restoran tidak panas.Tidak lama denting singkat terdengar. Satu notifikasi masuk.Aruna menunduk dengan detak jantung tidak karuan. Layar ponselnya kembali menyala. Kali ini bukan panggilan, melainkan sebuah pesan dari nomor tak dikenal.Tidak ada teks. Hanya satu file video.Dengan tangan gemetar, Aruna memutar video itu. Butuh waktu beberapa detik hingga gambar mulai bergerak. Seketika saja dunia Aruna seperti jungkir balik.Di layar, tampak seorang pria tua terbaring di atas ranjang besi, dalam sebuah ruangan yang tampak seperti fasilitas medis atau rumah sakit. Dindingnya kusam, pencahayaannya redup. Tidak ada tanda-tanda modernitas atau perawatan profesional. Hanya ranjang sederhana, alat infus menggantung yang tidak terpasang, dan tabung
Aruna baru saja selesai menyiapkan sarapan saat Baskara keluar dari kamar mandi, masih mengenakan handuk dan wajah yang masih terlihat was-was.Pagi ini gerak-gerik Baskara lebih sigap dan waspada, Aruna bisa merasakannya. Sejak Aruna membuka mata, ke mana pun matanya tertuju, pasti ada Baskara di sana. Seakan suaminya itu tidak mau jauh-jauh dari Aruna, ingin memastikan bahwa dirinya bisa terlihat dan terlindungi dalam jangkauan Baskara."Aku bisa kerja dari rumah hari ini," ujar Baskara akhirnya setelah kembali muncul dengan pakaian kerjanya. Sambil berjalan ke arah Aruna dan bergabung di meja makan, ia berkata lagi, "Atau lebih baik aku tidak pergi ke kantor saja dan menemani kamu di sini?"Aruna menoleh, menatap mata suaminya yang menunjukkan kecemasan. Bibirnya tersenyum lembut. Ditambah hatinya terasa hangat karena sangat merasakan usaha Baskara yang masih berusaha menjaganya sejak ia memberitahu tentang teror itu.“Tidak usah, Mas,” ucap Aruna lembut sambil menyiapkan sarapan u
Senja mulai merayap perlahan, menggantikan cahaya matahari yang tadi menghangatkan ruangan. Lampu-lampu apartemen menyala lembut saat pintu utama terbuka dan suara langkah kaki Baskara terdengar memasuki apartemen. Aruna, yang sedari tadi menunggu di ruang tamu dengan secangkir teh yang sudah dingin di tangan, segera berdiri dan menyambut sang suami seperti biasa.“Capek, ya?” tanya Aruna sambil mengambil jas yang dikenakan Baskara.Baskara tersenyum kecil, lalu mengecup kening istrinya. “Tidak juga. Aku hanya ingin cepat pulang dan bertemu kamu.”Aruna terkekeh pelan, meski nada tawanya terdengar hampa. Ia berusaha bersikap seperti biasa dengan menyiapkan minuman, bertanya soal pekerjaan, dan menemani Baskara makan malam. Tapi pikirannya tidak pernah benar-benar fokus. Matanya sering melirik ke arah pintu. Tangannya kadang gemetar ringan saat mengambil sendok atau gelas.Baskara menyadarinya, tapi belum berkomentar. Sampai akhirnya mereka duduk berdua di sofa setelah makan, dan pria
Pagi itu, cahaya matahari yang hangat menyusup masuk lewat celah tirai kamar, menyorot lembut ke arah tempat tidur yang masih berantakan. Di sisi ranjang, Aruna duduk bersandar dengan selimut membungkus tubuhnya, rambutnya sedikit kusut namun wajahnya berseri. Di hadapannya, Baskara tengah mengenakan jasnya, bersiap untuk berangkat kerja.“Kenapa kamu tidak membangunkanku? Aku belum menyiapkan sarapan karena terlambat bangun,” gerutu Aruna, suaranya masih serak karena baru bangun.Tidurnya terlalu nyenyak hingga ia tidak menyadari hari sudah pagi. Ia bahkan tidak menyadari gerak-gerik Baskara yang pasti mengeluarkan suara-suara saat bersiap-siap. Apa yang terjadi semalam benar-benar membuat Aruna lelah dan hatinya penuh hingga tidur lelap.Baskara menoleh, lalu tersenyum kecil. Aruna perlahan mulai terbiasa dengan senyum sang pria yang hanya muncul untuk dirinya. Ia melangkah mendekat dan duduk di tepi ranjang, tangannya menyentuh pipi istrinya dengan lembut.“Kamu tidur nyenyak sekal
Ciuman mereka tidak lagi sekadar sentuhan bibir. Ada hasrat yang tertahan terlalu lama, ada gairah yang meronta untuk dilepaskan. Baskara mendekap Aruna erat, seolah ingin menyatu, bukan hanya tubuhnya, tapi juga hati dan luka-luka yang selama ini mereka simpan dalam diam.Baskara menatap Aruna sejenak, seolah meminta izin, memastikan bahwa ini adalah keinginan mereka berdua. Saat Aruna mengangguk pelan, dengan mata yang berkaca, ia tahu tidak ada lagi yang perlu diragukan.Dengan satu gerakan lembut namun tegas, Baskara mengangkat Aruna ke dalam gendongannya dan membawanya ke kamar. Cahaya temaram lampu tidur menyinari kulit mereka, menciptakan bayang-bayang yang seolah ikut menyaksikan malam yang menjadi momen penting bagi dua insan itu.Begitu Aruna berada di atas ranjang, Baskara bergabung di sana. Tubuhnya bera