Kenyataannya, jodoh itu misterius. Secantik apapun dirancang. Sekuat apapun dipaksakan. Tapi apa mau dikata, jika Tuhan tak mengijabahnya. Yang dipikir pasti, pergi. Yang dikejar, semakin lari. Yang tak pernah disangka malah menjadi nyata.
Lihat lebih banyak“Dari mana Rena?” Tanya pak dhe begitu aku membuka pintu pagar rumah. Beliau sedang duduk di teras rumah sambil menikmati teh buatan bu dhe Narti. Kebiasaannya di sore hari. Ini memang sudah pukul setengah lima sore. Wajah pak dhe terlihat datar. Sangat datar. Apakah beliau marah? “Dari jalan jalan sama Rayyan , pak dhe. “ Jawabku jujur. Kulihat mas Damar datang dari dalam rumah dan berhenti di pintu yang berada di samping pak dhe. Ia sengaja menunjukkan tampang mengejek padaku. Wah, memprovokasiku rupanya dia. Kalau pak dhe memang marah, aku tak mau dimarahi sendiri. Akan kupastikan mas Damar juga mendapatkannya.“Kenapa ponsel kamu nggak bisa dihubungi? Jangan bilang kehabisan baterai!” Ujar pak dhe. Mas Damar cekikikan di belakang pak dhe. Benar benar menantangku orang ini.“Sengaja Rena matikan, pak dhe.” Jawabku jujur.“Biar mas Damar nggak bisa hubungi.” Lanjutku. Aku yakin mas Damar pasti sudah menceritakan kejadian sepulang CFD tadi. “Maafin Rena ya kalau bikin pak dhe kha
“Tahu nggak siapa?” Ulang Nindy.“Aku nggak peduli!” Teriak wanita itu. Apa dia nggak malu sih teriak teriak di tempat umum ini. Rasa cemburu telah menguasainya. Wanita itu maju. Sepertinya ia masih ingin menyerangku lagi, tapi tanpa perasaan mas Damar langsung mendorongnya dengan keras. Wanita itu pasti jatuh andai tak ditahan temannya. Jujur saja, aku kaget, mas Damar bisa berlaku sekasar itu pada wanita. Dan wanita itu pun juga tampak kaget dengan perlakuan mas Damar. Di sekeliling kami semakin ramai orang berdatangan. Pasti mereka penasaran dengan keributan yang terjadi. Melihat orang yang semakin banyak, wanita itu bukannya malu, ia malah mencoba memanfaatkan situasi.“Mar, kamu tega berbuat sekasar ini hanya demi wanita murahan itu?” Ucapnya diiringi tangisan tersedu sedu. Air mata buaya betina. Kulihat beberapa orang asyik berkasak kusuk dengan prasangkanya masing masing. Ada pula yang sudah mengeluarkan ponselnya. Pasti mereka merekam kejadian ini. Wahh, bisa viral aku! Nggak
“Sudah cemberutnya.” Ucap Rendra. Dan aku tak menghiraukannya. Aku masih marah dengannya. Walau sebenarnya capek juga monyong monyongin bibir kayak gini.“Ambilin lensa dong di tas biru itu.” Pintanya. Meski marah, aku tetap mengambilkan tas yang ia pinta. Aku juga ingin ikut berkontribusi sebenarnya.“Makasih” Ucapnya setelah menerima tas yang kuambilkan. Tapi aku tak membalas ucapannya. Masih setia dengan wajah cemberutku.“Dekat tas ini tadi khan ada tas warna hitam khan?” Ucapnya, aku tetap diam tak menanggapi tapi tetap memperhatikan setiap omongannya. Rendra juga menyadari itu, makanya, ia tetap melanjutkan ucapannya.“Tolong, buka kantong yang depan.” Ucapnya lagi. Setelah yakin ucapan Rendra telah selesai, aku segera menghampiri tas yang dimaksud Rendra. Begitu ketemu, langsung kubuka resleting kantong depan.“Wahh! Black chocolate!” Ucapku sambil mengembangkan senyum di bibir. Rasa marahku menguap seketika. Tanpa meminta ijin sang empunya, aku langsung mengambilnya. Membuka b
“Ehh!” Seru Rendra kaget. Karena aku dengan tiba tiba menyandarkan kepala ke bahu kanannya.“Pusing” Keluhku. Aku bukannya sedang modus. Tapi kepalaku sungguhan terasa pusing. Atau lebih tepatnya pening. Hidungku mampet. Mataku terasa cenut cenut saat kubuka. Makanya aku terus memejamkan mata sejak tadi.“Kelamaan nangis meratapi cowok tadi!” Ujarnya.“Aku nangis bukan meratapi cowok br*ngsek tadi. Tapi aku sedang meratapi kebodohanku, Rendra!” Protesku.“Baguslah kalau sadar diri.” Ucapnya santai. Tapi aku yang mendengarnya dibuat dongkol.“Sadar diri?” Tanyaku penasaran.“Kalau bodo” Ucap Rendra.Tak terima dengan ucapannya, aku pun mencubit lengannya dengan keras.“Aww, sakit Rena!” Keluhnya. Aku sama sekali tak mempedulikan keluhannya. Dia membuatku jengkel di tengah perasaanku saat ini yang campur aduk. Harusnya kan dia menenangkanku bukan menambah jengkel?“Kalau marah, pindah dong! Besar kepalamu, terasa berat banget di bahu.” Sungutnya.“Rendra! Kamu ngatain aku sombong?” Ucap
Saat kami tiba di butik, terlihat olehku mas Damar tengah mencengkeram kerah baju mas Aditia. Terlihat beberapa pengunjung pria berusaha melerai mereka berdua. Aku segera berlari mendekat ke arah mereka berdua. Saat aku telah berada pada jarak yang cukup dekat dengan mereka, dapat kulihat dengan jelas, ada memar di wajah mas Aditia. Sepertinya mereka berdua sudah sempat adu jotos.“Sudah! Berhenti! Apa apaan sih kalian berdua. Apa kalian nggak malu jadi tontonan?” Ucapku coba melerai perkelahian mereka berdua. Aku menarik ujung kemeja mas Damar. Berharap ia segera bisa menguasai diri. Tapi, karena mas Damar benar benar telah dikuasai emosi, sepertinya ia tak menyadari kedatanganku. Bahkan keberadaanku di belakangnya. Ia menepis kasar tanganku dengan tenaga penuh. Alhasil aku terdorong ke belakang. Membuatku hampir saja terjungkal, andai tak ada Rendra yang menahan tubuhku.“Kamu nggak pa pa khan, Ren?” Tanya Rendra memastikan kondisiku. Ia menampakkan raut wajah khawatir. Aku mengangg
Rendra mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ranselnya. 2 buah paper bag ukuran kecil.“Ini oleh oleh buat Rayyan.” Ucap Rendra seraya menyodorkan sebuah paper bag. Rayyan segera membuka oleh oleh dari papanya dengan tak sabaran. Ia merobek kertas pembungkusnya dengan sangat tergesa gesa. Ingin segera tahu apa isi di dalamnya.“Yey. Rubik baru! Makasih papa.” Ucap anak itu dengan ceria. Oleh oleh yang dibawa papanya, ternyata sebuah rubik berbentuk segi enam kalau tak salah.“Rayyan bisa main ini sayang?” Tanyaku penasaran. Karena jujur saja, rubik yang kubus saja aku hanya bisa menyamakan satu sisi thok!“Heem.” Jawab Rayyan singkat. Anak itu fokus dengan rubik barunya.“Rayyan koleksi rubik di rumah, mbak.” Ucap Risa.“Oh iyakah?” Ucapku.“Kenapa Rayyan suka rubik? Susah lho mainnya.” Ucapku jujur.“Ian punya banyak, mama. Papa yang beliin. Papa juga yang ajarin mainnya.” Ujar anak itu.“Iya, trus kenapa Rayyan suka rubik?” Kuulangi pertanyaanku.“Kenapa nggak robot robotan atau yang
Dering hp mengalihkan fokusku dari kegiatan menyisir rambut. Segera kuambil hp yang tergeletak di atas nakas sejak semalam, usai menerima panggilan Rayyan. Kulihat kontak yang tertera ‘Si ganteng’. Seperti dugaanku. Rayyan lah yang menelpon sepagi ini. Anak yang membuatku tiba tiba berakting jadi seorang ibu. Sebenarnya, aku bukanlah perempuan tipe penyayang anak. Tapi juga tak membenci anak anak. Biasa sajalah diriku ketika berhadapan dengan makhluk yang bernama anak anak itu. Aku cenderung masa bodoh dengan mereka. Kecuali mereka mendekatiku. Tapi Rayyan ini berbeda. Ia seolah telah menjeratku. Aku sebenarnya tak ingin terlibat terlalu jauh dengan kehidupan anak itu. Cukup sampai kejadian di butik waktu itu. Tapi ternyata tidak. Tuhan seolah mentakdirkanku untuk terus terlibat dengan kehidupan anak ini. Anak yang tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu sejak lahir. Otakku selalu berpikir untuk meninggalkannya. Tetapi hatiku selalu menolaknya. Saat pertama kali bertemu dengan
“Apa yang ingin kamu tanyakan?” Ucapku. Lega rasanya, ketika rasa penasaranku terobati. Ternyata dia adalah teman SMP ku. “Apakah kamu sudah menikah?” Tanya pria itu tanpa basa basi.“Ehh, itu urusan pribadi ya!” Ucapku.“Bukankah yang kujawab tadi juga urusan pribadi?” Elaknya.“Tapi kan, cuma nama.” Ucapku tak mau kalah.“Seingatku, Rena Hanindya yang kukenal bukanlah orang yang suka ingkar janji.” Tegas lelaki bernama Rendra itu. Pinter banget sih cari alasan yang mampu membuatku tak bisa menyanggah.“Aku belum menikah.” Jawabku. Aku tak mau mendapatkan cap pembohong.“Lalu, lelaki yang datang bersamamu semalam?” Tanya Rendra.“Lho, kok tanya lagi? Bukannya cuma satu ya?” Protesku.“Tinggal jawab aja, apa susahnya sih Ren!” Sahutnya.“Itu mas Damar. Sepupuku. Ngapain sih tanya tanya?” Omelku setelah menghela nafas.“Hanya memperjelas posisi.” Ujarnya.“Posisi apa?” Tanyaku penasaran dengan ucapannya.“Nanti kamu juga tahu.” Jawab lelaki itu berteka teki.Tak mendapatkan jawaban ya
“Ren, nggak pengen cerita acara semalam?” Tanya Nindy dengan antusiasnya.“Nggak! Males.” Ujarku. Mengingat apa yang terjadi semalam masih mampu membuatku jengkel dengan tingkah mas Damar.Sepertinya para sepupuku ini penasaran dengan kelangsungan acaraku dan mas Damar semalam. Mereka bertiga mengerubungiku. Bahkan para karyawan butik pun ikut ikutan. Akhirnya, dengan terpaksa, aku pun menceritakan apa yang kami lalui semalam. Mulai berangkat sampai pulang rumah, Begitu aku selesai bercerita, mereka langsung meluapkan tawa yang sudah mereka tahan sejak awal aku bercerita. Itung itung dapat pahala lah, sudah bikin mereka senang.“Ren, Ren! Untungnya semalam mas Damar stok kesabarannya full. Jadi sabar ngadepin kamu. Kalau enggak, udah ditinggal di pinggir jalan kamu!” Ucap Rini.“Memangnya kalian ada yang pernah ditinggal mas Damar? Tanyaku penasaran.“Nindy tuh yang pengalaman!” Jawab Ratna.“Beneran Nin?” Aku mengonfirmasi langsung ke orangnya.Nindy mengangguk yakin , sebagai jawaba
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen