“Buruan Ren!” Suruh ibu. Ia sedang menunggu di depan pintu kamarku.
“Bentar bu.” Jawabku. Aku sengaja memperlambat aktivitas yang kulakukan. “Nanti kita terlambat. Kasihan kan. Kalau tante Vera dan Ferdian nunggu kelamaan!” Ucap ibu. "Tante Vera siapa sih Bu?" Tanyaku pura pura lupa. "Tante Vera itu mamanya Ferdian. Masa kamu lupa sih Ren?" Jawab ibu disabar sabarkan. Hari ini, ibu bilang akan mengajakku ke butik untuk fitting baju pengantin. “Gerak cepat sekali mereka! Baru kemarin aku menyatakan bersedia, sekarang langsung fitting baju pengantin.” Batinku. Wajah ibu terlihat sangat segar, cerah dan ceria. Padahal kemarin, wajahnya terlihat sangat pucat pasi. Membuatku, terus terang ketakutan. Aku takut terjadi sesuatu yang enggak enggak pada ibuku itu. Tapi, lihatlah dia sekarang! Senyum merekahnya terus terusan terpatri di bibirnya. Wajahnya terlihat berbinar. Apakah yang kemarin itu akting? “Ren, cepetan! Ngapain saja sih lama amat? Bukannya kamu itu nggak pernah make up –an?” Tanya ibu tak sabaran. Sejak tadi kulihat ibu mondar mandir terus di depan pintu kamarku. Seperti setrikaan saja. “Sabar bu!” Ucapku sangaaat santai. Kudengar ibu mengambil nafas yang panjang dan dihembuskan dengan kasar. Pasti ia sebenarnya sedang jengkel dengan tingkahku ini. Tapi, untuk saat ini, sepertinya dia tak mungkin marah marah padaku. Jadi kumanfaatkan sajalah baiknya. “Buruan Ren! Kasihan itu sopir kakek Hutomo sudah nungguin kita dari setengah jam yang lalu.” Ucap ibuku. “Baru juga setengah jam.” Ucapku. “Astaghfirullah Rena!” ucap ibu setengah berteriak. “Ya udah. Ibu aja sana yang berangkat. Rena nggak usah ikut!” Balasku. “Iya, iya. Maaf ya, ibu tungguin kok Ren. Jangan ngambek ya!” Ucap ibu melunak. *** Saat ini, aku sedang berdiri di depan sebuah bangunan berlantai 3 yang bergaya minimalis tapi terlihat mewah dan elegan. Butik baju pengantin terlengkap di kota ini. Ibu yang tadi berjalan lebih dulu meninggalkanku di belakang, kini berbalik dan berjalan lagi menghampiriku yang masih termangu di tempat semula. “Rena! Ayo! Kok malah bengong sih?” Ucap ibu. Tanpa menunggu jawabanku, ia langsung menggandeng lenganku dan menarikku mengikutinya masuk ke butik megah itu. “Selamat datang ibu! Ada yang bisa kami bantu?” Sapa salah seorang pegawai butik dengan ramah. “Kami sudah janjian di sini, mbak. Dengan ibu Vera Hutomo. Apa beliau sudah datang ya?” Tanya ibu. “Ibu Vera dan putranya sudah datang, bu. Mari saya antarkan!” Sahut pegawai butik tersebut. Aku dan ibu pun mengikuti pegawai yang hendak mengantarkan kami. Kami di antarkan ke ruangan tersendiri. Terpisah dari showroom butik yang kami datangi tadi. Kata pegawai tersebut, keluarga Hutomo adalah pelanggan spesial di butik ini. Jadi pemilik butik secara khusus melayaninya secara langsung. “Dengar, Ren! Keluarga Hutomo itu bukan keluarga yang sembarangan.” Bisik ibu kepadaku. Sama sekali tak kuhiraukan ucapan ibu. Aku hanya diam saja. Sebelum sampai di ruangan yang kami tuju, “Rena kebelet pipis nih, bu!” ucapku. “Jangan bikin ulah ya, Ren!” Ibu sepertinya curiga aku akan kabur. “Beneran, bu. Rena nggak bohong. Swear!” jawabku. “Mbak, kamar mandinya di mana, ya?” Tanyaku kepada pegawai yang mengantarkan kami. Ia pun kemudian memberitahukanku dimana letak kamar mandinya. Saat aku hendak berjalan ke kamar mandi, ibu mencekal lenganku. “Apa lagi sih, bu? Rena kebelet nih!” Protesku. “Begitu sudah selesai langsung susul ibu, mengerti!” Ucap ibu. Aku hanya mengangguk sebagai jawabannya. *** Ada 2 kamar mandi yang berdampingan. Aku langsung memasuki kamar mandi yang kosong. Menuntaskan hajatku. Lega sudah! Saat aku hendak membuka pintu, terdengar suara seseorang dari kamar sebelah, tampaknya ia sedang bertelepon dengan seseorang. Aku sebenanya tak menghiraukan, tapi begitu aku mendengar nama kakekku di sebut, aku jadi penasaran untuk menguping pembicaraannya. “Aku tuh, sebenarnya nggak setuju Ferdian di jodohkan dengan cucu Sastro Dimejo itu. Cucunya itu ya, sama sekali nggak punya sopan santun. Minus adabnya!” Ucap orang tersebut. Aku menahan tawa mendengarnya. Sepertinya, kelakuanku waktu itu memang kelewatan. Aku dengar baik baik orang itu berbicara. Sepertinya, suaranya tak asing di telingaku. Aku mengenal suaranya. Ya! Sepertinya itu suara tante Vera?. “Jauhlah sopan santunnya kalau sama Vina, mbak.” Ucap orang itu lagi. Apa orang tua Ferdian tahu hubungannya dengan Vina? Ini Vina yang sama dengan yang kukenal atau beda orang ya? “Ya, mau bagaimana lagi mbak. Mertuaku itu maksa Ferdian buat nerima perjodohan itu. Dia bahkan ngancam kami mbak. Kalau Ferdian menolak, dia nggak akan memberikan kami sepeser pun harta warisannya.” Ucapnya lagi. “Ternyata bukan hanya aku yang terpaksa menerima perjodohan ini, gimana kalau aku bikin kesepakatan aja dengan Ferdian, ya?” Batinku. “Bisa jadi kere mendadak kami. Nggak mau banget aku! Apalagi kalau nanti pak Hutomo malah memberikan semua warisan ke anak pertamanya.!” Ujarnya lagi. Sepertinya ada persaingan tak wajar di keluarga kakek Hutomo. Keluarga seperti apa sebenarnya mereka. “Awalnya, Ferdian nggak mau, tapi ya terpaksa terimalah, mbak. Mana mau Ferdian hidup susah.” Ucap orang itu lagi. “Ehh, lha waktu itu kami ke rumah mereka, Ferdian kan ketemu sama anak gadis itu. Pulangnya malah kayak orang kasmaran. Sampai rumah minta dipercepat aja pernikahannya. Aku juga heran, pakai pelet mungkin ya mereka!” Ucap orang itu. Si alan, bisa bisanya dia nuduh aku pake pelet. Dia pikir aku bukan orang berimankah? Ya, meskipun imanku naik turun. Bukan naik turun sih, lebih tepatnya kadang ada kadang hilang. “Iya, sih mbak. Anaknya cantik. Banget malahan!” Ucap orang tersebut. Sepertinya ia tengah menjawab pertanyaan dari lawan bicaranya di telepon. “Nggak mempan pujian tante!” Ucapku dalam hati. “Ya, kalau aku sih, nggak peduli mau sama cucu mbah Sastro atau yang lainnya. Yang penting sih, warisan cair!” Ucap orang tersebut. Dasar mata duitan! “Tapi, aku takutnya, cucu mbah Sastro itu nggak bisa aku setir. Anaknya kelihatan suka membangkang, mbak.” Ucap tante Vera lagi. “Apalagi kalau Ferdian sampai bucin sama anak itu. Bisa merepotkanku mbak!” Ucapnya lagi. “Udah dulu ya mbak. Takutnya mereka sudah datang.” Ucap tante Vera mengakhiri panggilan telepon tersebut. Setelah terdengar suara pintu kamar mandi sebelah terbuka, kutunggu beberapa saat, baru aku keluar kamar mandi ini. Kemudian kususul ibu. *** “Assalamualaikum.” Ucapku sambil memasuki ruangan. “Waalaikumsalam.” Sahut mereka yang ada di ruangan tersebut secara bersamaan termasuk tante Vera. “Ayo masuk, nduk! Duduk sini!” Ucap tante Vera dibuat seramah mungkin. Aku langsung menghampiri mereka, dan duduk di kursi kosong sebelah Ferdian. Aku tak menyapanya. Meskipun sejak kemunculanku tadi, ia terus memandangku. Risih sekali aku dengan tingkahnya. “Ini calon menantumu, Ver?” Tanya sang pemilik butik ke tante Vera. “Iya. Cantik kan!” Jawab tante Vera. Ferdian terlihat senyum senyum tak jelas. Menyebalkan. Setelah selesai basa basinya, pemilik butik yang memperkenalkan diri bernama Citra itu, meminta kami mencoba pakaian pakaian yang telah disiapkannya. Aku melakukannya dengan ogah ogahan. Setelah selesai ganti baju, aku segera keluar dari ruang ganti. Berbagai pujian dilontarkan orang orang yang berada di ruangan ini. Tapi aku hanya diam tak menanggapinya. Anggap saja hari ini aku sedang menjadi manekin hidup. *** Hari berganti hari, tanggal pernikahan yang telah ditentukan semakin dekat. Terhitung dari hari ini, tinggal 2 hari lagi. Ketiga temanku tak juga mengabarkan keberhasilan mendapatkan bukti untuk menyelamatkanku. Aku semakin cemas. Apakah langkahku menyatakan kesediaanku dulu adalah salah besar. Entahlah? Tapi yang jelas aku merasa menyesal. *** Saat eyang uti tahu aku menepis kasar tangan ibu yang hendak menenangkanku, ia langsung ganti menggenggam tanganku. Erat. Sangat erat. Kurasakan kehangatan dari genggaman beliau. Kurasakan dukungan darinya. Beda, beda sekali rasanya, dengan genggaman ibu tadi. Eyang uti terus menggenggam tanganku dengan satu tangannya. Sementara tangan yang satunya beliau gunakan untuk mengusap usap punggungku. Tidak mampu menghilangkan kecemasan dan keteganganku sepenuhnya. Tapi setidaknya, sekarang aku merasa tak sendiri. Terlihat di sampingku, ibu sepertinya tersinggung dengan tindakanku yang menepis tangannya tadi. Wajahnya yang semula terlihat sangat bahagia dan berseri seri, sekarang terlihat berkurang. Semua persiapan telah selesai. Lengkap sudah! Bapak kulihat telah menjabat erat tangan lelaki yang tak kuinginkan itu. Kemudian dengan nyaring kudengar, “Saya nikahkan dan kawinkan.......” “Gubraakk!” suara benturan yang terdengar sangat keras. Ucapan bapak terhenti. Kala terdengar suara mengagetkan dari depan rumah. Bukan hanya bapak yang kaget. Aku juga kaget. Bahkan semua yang hadir di tempat ini kaget. Serempak kami mengarahkan pandang ke sumber suara yang mengagetkan tadi. Ternyata Dewi, sahabatku itu menabrak tandan pisang dan rangkaian janur yang terpasang di jalan masuk di ujung tenda. Beberapa orang di dekatnya kemudian membantunya berdiri. Dewi kemudian berjalan menghampiriku. Dengan langkah yang pincang dia mendekatiku. “Apa apaan ini Dewi!” Teriak mbah kakung ke Dewi. Rupanya ia sudah berada di sisi tak jauh dariku. “Maaf mbah, nggak sengaja. Bener mbah, saya nggak sengaja.” Ucap Dewi sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Orang orang yang melihat Dewi dan tingkahnya itu, mencoba sekuat tenaga menahan tawa. “Tadi kan saya buru buru mbah. Takut telat. Tegang sekali saya pas naik motor. Ee, sampai depan situ, malah jadi grogi. Mau ngerem malah tak gas mbah. Ya nabrak! Maaf ya mbah! Jangan marah ya mbah!” Jelas Dewi. “Untung aku lagi senang!” ucap mbah kakung. “Sudah duduk sana! Benerin rambutmu itu! Kayak ondel ondel!” Ucap mbah kakung. Semua orang yang hadir tertawa. Bahkan aku pun jadi tersenyum melihat tingkah Dewi. “Silahkan dilanjutkan lagi pak penghulu!” Pinta mbah kakung. Semua orang kembali diam dan fokus ke pelaksanaan akad nikah. Saat bapak akan memulai, terdengar Dewi berteriak. “Yes, akhirnya!” Teriak Dewi dengan lantang. Semua orang menoleh ke arahnya. Dewi kemudian berlari menghampiri pak dhe ku, Ramdan, kakak kandung tertua bapakku, yang duduk di samping eyang uti. Kemudian ia menyodorkan hpnya. Sepertinya ia sedang memperlihatkan video kepada pak dhe. Mbah kakung terlihat marah, lagi lagi Dewi membuat acara tertunda. Ia kemudian berdiri dan berteriak, “Dewi, pergi kamu dari sini. Bikin rusuh acara orang saja!” Usir mbah kakung pada Dewi. Tapi di satu sisi, terlihat raut wajah pak dhe Ramdan berubah. Ia tampak marah. “Cukup!” Ucap pak dhe Ramdan dengan menaikkan suaranya. “Rahman! Kamu itu laki laki apa bukan! Kenapa kamu tidak melakukan sesuatupun. Bagaimana bisa kamu mau menikahkan putrimu satu satunya dengan pria macam dia? Ha!” Ucap pak dhe dengan marah. “Apa maksud anda?” Tanya kakek Hutomo tak terima. Hp Dewi yang semula berada di tangan pak dhe Ramdan telah berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Semua keluarga besar bapakku, akhirnya telah menonton video tersebut. Aku tak tahu video apa itu. Yang jelas, mampu menyulut amarah saudara saudaraku dari pihak bapak. “Itu tidak benar. Video itu pasti hanya akal akalan saja. Cucu saya ini pria baik baik!” Bela kakek Hutomo. Tapi pembelaan itu, tak mampu memberi ketenangan ke cucunya. Wajah Ferdian Hutomo terlihat begitu tegang. “Kita tunggu 5 menit lagi. Pasti mereka sudah sampai di sini. Kalau memang saya yang salah, silahkan lanjutkan acaranya. Dan laporkan saya ke polisi.” Ucap Dewi menantang.Baru saja Dewi selesai bicara, ternyata mereka sudah datang. Terdiri dari 10 orang. 2 diantaranya adalah Santi dan Dian. Para sahabatku ini bukan hanya mendapatkan bukti foto dan video pengakuan Vina, tapi membawa langsung orangnya ke sini. Keren memang 3 sahabatku ini.Ketika rombongan orang itu semakin mendekat ke arah kami, kulihat wajah Ferdian juga semakin tegang dan tampak pucat. Bukan hanya dia, tapi juga dengan ibunya, tante Vera.“Siapa kalian semua?” Tanya kakek Hutomo.“Mereka adalah orang yang saya sebutkan tadi!” Ucap Dewi dengan lantang.Budhe Lastri mendekat ke arahku. Ada diantara aku dan ibu. Dan eyang uti, lagi lagi beliau menggenggam erat tanganku.Kudengar suara para tamu yang asyik berkasak kusuk.“Perkenalkan, ini adalah Vina, mbah Sastro! Wanita ini sedang hamil 5 bulan. Dan pria yang menghamilinya adalah cucu kakek Hutomo, yang anda bangga banggakan itu!” Jelas Santi.Hebat sekali para sahabatku hari ini. Biasanya, begitu bertemu muka dengan mbah kakung, nyali
Di dalam mobil, hanya ada keheningan. Tak ada satu pun yang berniat bicara. Semua sibuk dengan pikirannya masing masing. Termasuk Rena. Setelah melaju beberapa saat,“Kruk, kruk, kruk.” Bunyi yang berasal dari perutku, membuyarkan keheningan di dalam mobil ini. Eyang tersenyum menoleh menatapku membuatku merasa malu. Pastilah wajahku pun telah memerah.“Lapar? Rena tadi belum makan?” Tanya Eyang padaku.“Belum eyang.” Jawabku.“Sejak kapan?” Tanya eyang lagi. Yang lainnya hanya menyimak.“Kemarin sore.” Jawabku singkat.Tanpa mengucapkan apapun, pak dhe langsung membelokkan mobil ke rumah makan dan memarkirkannya. Baru setelahnya bertanya padaku,“Kita makan di sini saja ya Ren?” Tanya pak dhe.“Iya. Ibu juga lapar ini, Ram!” Eyang yang menjawab.“Sama. Aku juga lapar mas. Tadi belum sempat icip icip hidangannya.” Ucap budhe Lastri.“Kami juga lapar, pak dhe. Bukan cuma Rena!” Protes Nindy.Semua penumpang, rombongan kami bukan hanya mobil yang kutumpangi telah turun, kecuali aku. Bah
Saat aku membuka mata, ternyata aku sudah tak berada di dalam mobil lagi. Kulihat ke sekelilingku. Memindai satu persatu isi ruangan ini. Sepertinya ini adalah sebuah kamar tidur. Tapi kurasa ini bukanlah salah satu kamar tidur di rumah eyang uti. Aku segera bangun dari ranjang dan berjalan menuju pintu kamar. Begitu pintu kamar terbuka, bisa kudengar suara beberapa orang tengah mengobrol. Aku pun berjalan ke arah sumber suara itu. Kulihat eyang, pak dhe Ramdan dan istrinya bu dhe Narti, juga mas Damar sedang duduk di ruang keluarga. Mereka tak mengacuhkan televisi yang sedang menyala. Tampaknya obrolan mereka lebih menarik dari siaran di televisi. Sepertinya mereka sedang asyik memperbincangkan sesuatu. Sampai sampai, mereka tak menyadari kedatanganku.“Eyang!” Panggilku.“Sudah bangun tho? Sini nduk!” Ucap eyang sambil menepuk kursi kosong di sampingnya. Aku pun menghampiri eyang dan duduk di kursi yang beliau tepuk tadi.“Kok Rena nggak dibangunin sih tadi?” Protesku.“Kamu tidu
Anak kecil itu dengan jari telunjuknya terus menunjukku. Aku dan Rini dibuat heran oleh tingkahnya itu.“Mama!” Ucapnya lagi. Kali ini sambil menunjukku. Aku pun semakin bingung dengan tingkah anak ini. Begitu pun Rini.“Ini mama kamu?” Tanya Rini ke anak tersebut seraya menunjukku. Aku pun menepis tangannya yang mengarah padaku. Jengkel rasanya. Bagaimana mungkin dia bisa menanyakan itu. Bagaimana mungkin aku punya anak? Jelas jelas aku belum pernah menikah. Ehh, gagal nikah pula. Anehnya anak itu mengangguk dengan yakin.“Ternyata anakmu Ren!” Pekik Rini tertahan.“Ngaco kamu Rin!” Ucapku seraya memukul bahu Rini. Anak kecil itu memandang kami dengan senyum mengembang yang terus terpatri di bibirnya. Dan akhirnya tawa Rini pun meledak. Kami sampai menjadi perhatian para pengunjung. Sadar tawanya mengundang perhatian, Rini pun langsung membekap mulutnya dengan tangan.“Kamu ajak ke depan sana, Rin! Ke dekat meja kasir. Pasti orang tuanya kebingungan nyari nih anak.” Ucapku. Rini pu
“Rena Hanindya!” Seru orang itu.“Siapa ya?” Tanyaku heran. Aku tak merasa mengenal lelaki yang sedang berdiri di depanku ini. Kenapa dia tahu namaku? Apa dia salah satu fans di dunia maya. Tak pernah bertemu tapi sok kenal? Kenapa aku jadi narsis begini sih!Lagi lagi orang orang dibuat heran dan kaget dengan kejadian ini. Tapi mas Damar yang sedang duduk di sampingku terlihat biasa saja sih. “Anakmu bro? Capek nih, udah gendong sejak tadi!” Ucap mas Damar dengan ketus.Kata kata mas Damar sepertinya mampu mengalihkan pandangannya yang terus tertuju padaku. Saat lelaki itu hendak mengambil anaknya dari pangkuanku. Mas Damar mencegahnya. Ia kemudian mengangkat anak itu dari pangkuanku dan menyerahkannya pada lelaki tersebut, dengan wajah juteknya. Nggak ada ramah ramahnya. Mungkin, orang yang tak mengenal kedekatan kami sebagai sepupu akan menganggap mas Damar sedang cemburu.“Terima kasih banyak ya nak Rena.” Ucap bu Ning.“Sama sama bu.” Jawabku.“Terima kasih ya kak.” Ucap Risa.
Biasanya, saat membonceng motor dengan mas Damar, aku selalu merangkulnya dari belakang dan berceloteh ria di dekat telinga mas Damar yang tertutup helm. Suara berisikku, selalu menemani kami berkendara. Tapi, kali ini, aku hanya diam saja sepanjang perjalanan. Aku duduk di ujung jok belakang. Aku juga tak berpegangan dengan mas Damar. Tapi pada besi kiri kanan jok motor.“Kamu marah, Ren?” Tanya mas Damar. Aku hanya diam saja tak menjawab pertanyaannya.“Sudah tahu marah, masih juga nanya.” Batinku.“Ren!” Panggilnya. Tapi aku tetap membisu.“Kamu suka, sama cowok yang tadi?” Tanyanya.“Boro boro! Kenal aja nggak!” Jawabku ketus.“Nah, gitu dong. Kalau ditanya langsung jawab.” Ujarnya.Aku terus menunjukkan wajah cemberutku. Aku tahu, mas Damar sesekali melongok ke spion motor melihat ke arahku. Aku ingin mas Damar tahu aku sedang jengkel. “Kenapa?” Tanya mas Damar.“Lapar.” Jawabku singkat. Aku benar benar jengkel dengannya. Bagaimana bisa ia mengajakku pulang saat aku sedang asyik
“Ren, nggak pengen cerita acara semalam?” Tanya Nindy dengan antusiasnya.“Nggak! Males.” Ujarku. Mengingat apa yang terjadi semalam masih mampu membuatku jengkel dengan tingkah mas Damar.Sepertinya para sepupuku ini penasaran dengan kelangsungan acaraku dan mas Damar semalam. Mereka bertiga mengerubungiku. Bahkan para karyawan butik pun ikut ikutan. Akhirnya, dengan terpaksa, aku pun menceritakan apa yang kami lalui semalam. Mulai berangkat sampai pulang rumah, Begitu aku selesai bercerita, mereka langsung meluapkan tawa yang sudah mereka tahan sejak awal aku bercerita. Itung itung dapat pahala lah, sudah bikin mereka senang.“Ren, Ren! Untungnya semalam mas Damar stok kesabarannya full. Jadi sabar ngadepin kamu. Kalau enggak, udah ditinggal di pinggir jalan kamu!” Ucap Rini.“Memangnya kalian ada yang pernah ditinggal mas Damar? Tanyaku penasaran.“Nindy tuh yang pengalaman!” Jawab Ratna.“Beneran Nin?” Aku mengonfirmasi langsung ke orangnya.Nindy mengangguk yakin , sebagai jawaba
“Apa yang ingin kamu tanyakan?” Ucapku. Lega rasanya, ketika rasa penasaranku terobati. Ternyata dia adalah teman SMP ku. “Apakah kamu sudah menikah?” Tanya pria itu tanpa basa basi.“Ehh, itu urusan pribadi ya!” Ucapku.“Bukankah yang kujawab tadi juga urusan pribadi?” Elaknya.“Tapi kan, cuma nama.” Ucapku tak mau kalah.“Seingatku, Rena Hanindya yang kukenal bukanlah orang yang suka ingkar janji.” Tegas lelaki bernama Rendra itu. Pinter banget sih cari alasan yang mampu membuatku tak bisa menyanggah.“Aku belum menikah.” Jawabku. Aku tak mau mendapatkan cap pembohong.“Lalu, lelaki yang datang bersamamu semalam?” Tanya Rendra.“Lho, kok tanya lagi? Bukannya cuma satu ya?” Protesku.“Tinggal jawab aja, apa susahnya sih Ren!” Sahutnya.“Itu mas Damar. Sepupuku. Ngapain sih tanya tanya?” Omelku setelah menghela nafas.“Hanya memperjelas posisi.” Ujarnya.“Posisi apa?” Tanyaku penasaran dengan ucapannya.“Nanti kamu juga tahu.” Jawab lelaki itu berteka teki.Tak mendapatkan jawaban ya
“Dasar b o d o h! Bagaimana kamu bisa menyerahkan segalanya pada wanita ini Rendra! Buat apa aku mengejar lelaki miskin!” Teriak Cindy. Aku pun langsung ber high five dengan Risa. Puas sekali kail pancingku tersangkut dengan mudahnya.“Ha ha ha... Kau sangat percaya sekali dengan ucapanku ya?” Puas ku menertawakan wanita itu.“Rendra, aku tadi tidak bermaksud menghinamu. Aku hanya sedang berusaha untuk menyadarkanmu. Betapa liciknya wanita yang telah kamu nikahi itu. Kamu tahu khan, kalau papi mami aku tuh sudah kaya raya jauh sebelum aku lahir. Jadi, buat apa aku ngincar hartamu. Iya khan?” Mendadak ucapan Cindy berubah lembut, setelah menyadari ia hanya kubohongi.“Rendra, tolong. Aku benar benar sakit karena ulah istrimu itu. Tolong aku Rendra, atau aku akan melaporkan perbuatan istrimu ke polisi.” Cindy benar pintar sekali playing victim. Jengkel aku dibuatnya. Risa memberikanku kode dengan kedip kedipan matanya. Tapi aku tak mengerti apa maksudnya.
“Bugh! Brakk!” Kutendang wanita itu hingga terpelanting jauh dari posisinya semula. Ia terjatuh menimpa meja. Ahh, pasti sakit sekali rasanya. Apalagi bagi wanita manja seperti dia. Aku memang telah merasa jengkel dengan wanita itu sejak kedatangannya. Semua ucapannya hanyalah meremehkanku. Untunglah Rendra menyuruhku pergi dari meja itu dengan alasan untuk menemani Rayyan. Kukira aku telah terselamatkan dari luapan emosiku sendiri. Ehh, ternyata wanita itu belum merasa cukup membully ku dengan ucapan. Ia tampak berdiri tak lama begitu aku beranjak dari kursi yang kududuki. Ia mengikutiku dengan tangan kanannya menggenggam sebuah pisau yang hendak dia gunakan makan tadi. Tak bisa kubayangkan andai wanita itu berhasil melukaiku. Pisau yang tak tajam itu akan merobek kulitku dengan sangat menyakitkan. Bahkan ikan saja dipotong dengan pisau yang setajam mungkin saat akan dimasak, agar tidak menyakiti ikan itu. Lha ini wanita, mempunyai niat buruk untuk melukaiku dengan pisau makan yang t
“Hanya acara makan makan saja. Sama para tetangga. Biar mereka tahu, kalau kita ini sudah menikah. Biar tak ada fitnah.” Jelas Rendra.“Dimana? Pakai pakaian kayak tadi pagi?” Ucapku was was. Aku yang tomboi, tentulah merasa tersiksa harus memakai pakaian super ribet tadi.“Di resto Angsana. Kita pakai baju biasa saja kok. Hanya makan makan sama perkenalan. Nggak pakai acara neko neko.” Terang Rendra lagi. Aku pun bisa menghela nafas lega setelah mendengarnya. Sedangkan Rendra, ia tampak tersenyum ketika mendengarku menghela nafas.*** Pagi ini, setelah menunaikan sholat Subuh, aku kembali membaringkan tubuhku di samping Rayyan. Bocah itu masih terlelap. Ia tampak sangat nyenyak dalam tidurnya.“Assalamualaikum” Baru saja memejamkan mata hendak tidur lagi, terdengar suara salam.“Waalaikumsalam” Sahutku dengan kaget.“Kenapa?” Tanya Rendra heran.“Hanya belum terbiasa.” Jawabku tak enak. Rendra berjalan mengh
“Mau beli apa?” Tanya Rendra kemudian. Aku berjalan mencari letak es krim. Rendra terus mengekoriku di belakang. Karena tak mungkin ia menggandengku, ruang kosong yang tersedia cukup sempit. Kubuka tempat penyimpanan es krim. Ku ambil semua es krim dengan rasa durian. Aku juga membeli cooling box untuk menyimpannya. Cukup banyak es krim yang kubeli. Cukuplah untuk dibagi rata semua yang ada di rumah eyang.“Es krim durian?” Ucap Rendra heran.“Sama sama durian khan?” Sahutku.“Terserah kamu sajalah sayang.” Ucap Rendra pasrah.“Kita cari makan dulu ya, sayang.” Rendra menawarkan.“Nggak usah. Di rumah lagi bakar ikan. Kita makan di rumah aja ya. Kalau kelamaan, nanti es krimnya cair.” Ucapku.*** Akhirnya, aku dan Rendra sampai rumah eyang juga. Setelah memarkirkan mobil kami langsung masuk ke tempat dimana orang orang masih berkumpul. Halaman luas yang tadi pagi penuh dengan kursi kursi dan meja sekarang berganti karp
“Assalamualaikum.” Ucapanku membuat Rendra menatapku penuh tanya. Dari tatapannya kuketahui ia sedang penasaran dengan siapa yang menghubungiku. Aku pun kemudian menunjukkan layar ponselku, agar ia tahu nama orang yang menghubungiku. Setelah beberapa saat berbincang, aku pun mematikan panggilan. Setelahnya, kucari nama kontak mas Damar. Dan menelponnya.“Apa?” Sahut mas Damar begitu panggilan terhubung. “Assalamualaikum.” Ucapku tanpa memedulikan ucapan mas Damar tadi.“Waalaikumsalam.” Jawab mas Damar dengan ketus.“Tadinya aku mau memberikan info yang pastinya bakal bikin mas Damar berbunga. Tapi nggak jadi sajalah. Dengar suara mas aja, aku udah bad mood.” Seruku. Tanpa banyak bertanya, Rendra hanya terus memandangiku dan mendengarkan obrolanku di ponsel.“Ini udah jam berapa! Capek kami menunggu kalian pulang.” Gerutu mas Damar.“Udah jam 11 malam, emang kenapa? Orang aku perginya sama suami sendiri. Bukan suami orang. Lagia
Aku keluar untuk memastikan keberadaan Rendra. Kulihat ke kiri dan ke kanan. Tapi tak kudapati keberadaan suamiku itu. Menyebalkan! Atau yang sebenarnya adalah ia memberikanku waktu untuk membaca dengan baik baik dan teliti setiap tulisannya di album itu? Ya, sepertinya memang begitu.Aku duduk di bangku depan glamping sendirian. Para pengunjung di sini kebanyakan datang bersama dengan keluarga dan pasangan. Rasanya aneh, saat hanya aku sendiri yang sendirian. Beberapa saat kemudian, kulihat Rendra berjalan mendekat ke arahku sambil menjinjing beberapa kantong plastik di tangan kiri dan kanan.“Darimana? Katanya sebentar!” Protesku begitu ia sampai. Ia tak menjawab. Hanya menunjukkan kedua tangannya yang penuh barang belanjaan. Ia kemudian duduk di sampingku setelah meletakkan kantong plastik di meja. Kemudian menyodorkan sebungkus camilan padaku. Tapi, ia membukanya terlebih dulu sebelum menyerahkan padaku.“Sudah selesai?” Tanya Rendra. Ia pasti menanyak
Kulihat halaman demi halaman album itu dengan seksama. Di dekat setiap foto yang tersimpan, selalu ada tulisan tangan Rendra. Kalimat kalimat yang menggambarkan isi hatinya, yang kutahu ditujukan padaku, atau setidaknya hanya keterangan hari dan tanggal foto itu diambil. Di halaman ke 20, kulihat foto diriku saat study tour. Seingatku, foto ini dulu ada di album foto kecil yang ia tunjukkan di kelas, seminggu sepulang kami dari acara study tour itu. Di dalam album foto itu, ada foto foto teman teman sekelas kami. "Demi mendapatkan foto ini, aku foto semua teman sekelas satu per satu hanya agar mereka tak mencurigaiku yang terlihat selalu fokus mengambil gambarnya. Saat kutunjukkan gambar ini di kelas, Rena memuji hasil jepretanku. Dia bilang hasil jepretanku keren. Ia mengatakan kalau aku berbakat menjadi seorang fotografer. Hati ini benar benar berbunga. Pujian Rena, membuatku memutuskan menjadikan fotografer, sebagai bagian dari cita citaku. Aku harus bisa menja
“Tunggu dulu!” Cegahku.“Ada apa?” Tanya Rendra.“Coba lihat!” Aku menunjuk diri sendiri kemudian beralih menunjuknya.“Style kita terlalu jauh beda. Nggak sepadan. Aku kayak lagi jalan sama om om, kalau bajumu kayak gini. Ganti!” Gerutuku. Penampilan Rendra tak jauh beda dari waktu acara akad tadi. Meski tanpa jas, ia masih mengenakan kemeja putih formal dan celana bahan tadi pagi. Dasi juga masih melingkar di lehernya, meski tak serapi tadi. Sedangkan aku, memakai celana overall bahan jeans kupadukan dengan kaus lengan panjang.“Kita ke rumah pak dhe dulu ya. Baju gantiku ada di rumah pak dhe.” Ucap Rendra.“Kelamaan” Ucapku. Rendra terlihat heran tapi tak menyangkal ucapanku. Pasti dia heran, bagaimana mungkin aku bisa mengatakan ‘kelamaan’, padahal rumah pak dhe hanya berselang 2 rumah dari tempat ini. Aku tak peduli.Berjalan mendekatinya, mengikis jarak antara aku dan Rendra. Kulepas dasi yang melingkar di lehernya. Ia hanya diam dan terus menatapku lekat. Kulepas 2 kancing atas
“Ada apa ya mas? Kenapa bunda nangis? Rendra mana tak cari cari nggak ada?” Cecarku setelah mas Alif menoleh karena tepukan tanganku di bahunya. “Rena, kamu mandi apa tidur sih?” Sindir Nindy yang berdiri tak jauh dari tempat mas Alif berdiri.“Mandi. Trus ketiduran!” Ucapku tanpa merasa bersalah.“Rena!” Bunda memanggil namaku begitu melihat aku ada tak jauh dari beliau. Bunda pun langsung menghapus air matanya dan bangkit, kemudian mendekatiku. Tanpa kuduga bunda langsung bersimpuh di hadapanku. Membuatku dan semua orang kaget. Aku pun langsung menjatuhkan diriku di hadapan bunda. Duduk sambil menatapnya lekat. Walau aku belum tahu apa yang terjadi, feelingku ini ada kaitannya dengan Rendra. Ya, seorang ibu yang sebenarnya akan mampu melakukan apapun demi anaknya. Tak peduli tentang harga diri ataupun gengsi. Tak seperti ibuku. Sering kali terbersit di pikiranku, ‘benarkah aku anaknya?’.“Rena, bunda minta tolong. Tolong telepon Rendra. Kami s