“Buruan Ren!” Suruh ibu. Ia sedang menunggu di depan pintu kamarku.
“Bentar bu.” Jawabku. Aku sengaja memperlambat aktivitas yang kulakukan. “Nanti kita terlambat. Kasihan kan. Kalau tante Vera dan Ferdian nunggu kelamaan!” Ucap ibu. "Tante Vera siapa sih Bu?" Tanyaku pura pura lupa. "Tante Vera itu mamanya Ferdian. Masa kamu lupa sih Ren?" Jawab ibu disabar sabarkan. Hari ini, ibu bilang akan mengajakku ke butik untuk fitting baju pengantin. “Gerak cepat sekali mereka! Baru kemarin aku menyatakan bersedia, sekarang langsung fitting baju pengantin.” Batinku. Wajah ibu terlihat sangat segar, cerah dan ceria. Padahal kemarin, wajahnya terlihat sangat pucat pasi. Membuatku, terus terang ketakutan. Aku takut terjadi sesuatu yang enggak enggak pada ibuku itu. Tapi, lihatlah dia sekarang! Senyum merekahnya terus terusan terpatri di bibirnya. Wajahnya terlihat berbinar. Apakah yang kemarin itu akting? “Ren, cepetan! Ngapain saja sih lama amat? Bukannya kamu itu nggak pernah make up –an?” Tanya ibu tak sabaran. Sejak tadi kulihat ibu mondar mandir terus di depan pintu kamarku. Seperti setrikaan saja. “Sabar bu!” Ucapku sangaaat santai. Kudengar ibu mengambil nafas yang panjang dan dihembuskan dengan kasar. Pasti ia sebenarnya sedang jengkel dengan tingkahku ini. Tapi, untuk saat ini, sepertinya dia tak mungkin marah marah padaku. Jadi kumanfaatkan sajalah baiknya. “Buruan Ren! Kasihan itu sopir kakek Hutomo sudah nungguin kita dari setengah jam yang lalu.” Ucap ibuku. “Baru juga setengah jam.” Ucapku. “Astaghfirullah Rena!” ucap ibu setengah berteriak. “Ya udah. Ibu aja sana yang berangkat. Rena nggak usah ikut!” Balasku. “Iya, iya. Maaf ya, ibu tungguin kok Ren. Jangan ngambek ya!” Ucap ibu melunak. *** Saat ini, aku sedang berdiri di depan sebuah bangunan berlantai 3 yang bergaya minimalis tapi terlihat mewah dan elegan. Butik baju pengantin terlengkap di kota ini. Ibu yang tadi berjalan lebih dulu meninggalkanku di belakang, kini berbalik dan berjalan lagi menghampiriku yang masih termangu di tempat semula. “Rena! Ayo! Kok malah bengong sih?” Ucap ibu. Tanpa menunggu jawabanku, ia langsung menggandeng lenganku dan menarikku mengikutinya masuk ke butik megah itu. “Selamat datang ibu! Ada yang bisa kami bantu?” Sapa salah seorang pegawai butik dengan ramah. “Kami sudah janjian di sini, mbak. Dengan ibu Vera Hutomo. Apa beliau sudah datang ya?” Tanya ibu. “Ibu Vera dan putranya sudah datang, bu. Mari saya antarkan!” Sahut pegawai butik tersebut. Aku dan ibu pun mengikuti pegawai yang hendak mengantarkan kami. Kami di antarkan ke ruangan tersendiri. Terpisah dari showroom butik yang kami datangi tadi. Kata pegawai tersebut, keluarga Hutomo adalah pelanggan spesial di butik ini. Jadi pemilik butik secara khusus melayaninya secara langsung. “Dengar, Ren! Keluarga Hutomo itu bukan keluarga yang sembarangan.” Bisik ibu kepadaku. Sama sekali tak kuhiraukan ucapan ibu. Aku hanya diam saja. Sebelum sampai di ruangan yang kami tuju, “Rena kebelet pipis nih, bu!” ucapku. “Jangan bikin ulah ya, Ren!” Ibu sepertinya curiga aku akan kabur. “Beneran, bu. Rena nggak bohong. Swear!” jawabku. “Mbak, kamar mandinya di mana, ya?” Tanyaku kepada pegawai yang mengantarkan kami. Ia pun kemudian memberitahukanku dimana letak kamar mandinya. Saat aku hendak berjalan ke kamar mandi, ibu mencekal lenganku. “Apa lagi sih, bu? Rena kebelet nih!” Protesku. “Begitu sudah selesai langsung susul ibu, mengerti!” Ucap ibu. Aku hanya mengangguk sebagai jawabannya. *** Ada 2 kamar mandi yang berdampingan. Aku langsung memasuki kamar mandi yang kosong. Menuntaskan hajatku. Lega sudah! Saat aku hendak membuka pintu, terdengar suara seseorang dari kamar sebelah, tampaknya ia sedang bertelepon dengan seseorang. Aku sebenanya tak menghiraukan, tapi begitu aku mendengar nama kakekku di sebut, aku jadi penasaran untuk menguping pembicaraannya. “Aku tuh, sebenarnya nggak setuju Ferdian di jodohkan dengan cucu Sastro Dimejo itu. Cucunya itu ya, sama sekali nggak punya sopan santun. Minus adabnya!” Ucap orang tersebut. Aku menahan tawa mendengarnya. Sepertinya, kelakuanku waktu itu memang kelewatan. Aku dengar baik baik orang itu berbicara. Sepertinya, suaranya tak asing di telingaku. Aku mengenal suaranya. Ya! Sepertinya itu suara tante Vera?. “Jauhlah sopan santunnya kalau sama Vina, mbak.” Ucap orang itu lagi. Apa orang tua Ferdian tahu hubungannya dengan Vina? Ini Vina yang sama dengan yang kukenal atau beda orang ya? “Ya, mau bagaimana lagi mbak. Mertuaku itu maksa Ferdian buat nerima perjodohan itu. Dia bahkan ngancam kami mbak. Kalau Ferdian menolak, dia nggak akan memberikan kami sepeser pun harta warisannya.” Ucapnya lagi. “Ternyata bukan hanya aku yang terpaksa menerima perjodohan ini, gimana kalau aku bikin kesepakatan aja dengan Ferdian, ya?” Batinku. “Bisa jadi kere mendadak kami. Nggak mau banget aku! Apalagi kalau nanti pak Hutomo malah memberikan semua warisan ke anak pertamanya.!” Ujarnya lagi. Sepertinya ada persaingan tak wajar di keluarga kakek Hutomo. Keluarga seperti apa sebenarnya mereka. “Awalnya, Ferdian nggak mau, tapi ya terpaksa terimalah, mbak. Mana mau Ferdian hidup susah.” Ucap orang itu lagi. “Ehh, lha waktu itu kami ke rumah mereka, Ferdian kan ketemu sama anak gadis itu. Pulangnya malah kayak orang kasmaran. Sampai rumah minta dipercepat aja pernikahannya. Aku juga heran, pakai pelet mungkin ya mereka!” Ucap orang itu. Si alan, bisa bisanya dia nuduh aku pake pelet. Dia pikir aku bukan orang berimankah? Ya, meskipun imanku naik turun. Bukan naik turun sih, lebih tepatnya kadang ada kadang hilang. “Iya, sih mbak. Anaknya cantik. Banget malahan!” Ucap orang tersebut. Sepertinya ia tengah menjawab pertanyaan dari lawan bicaranya di telepon. “Nggak mempan pujian tante!” Ucapku dalam hati. “Ya, kalau aku sih, nggak peduli mau sama cucu mbah Sastro atau yang lainnya. Yang penting sih, warisan cair!” Ucap orang tersebut. Dasar mata duitan! “Tapi, aku takutnya, cucu mbah Sastro itu nggak bisa aku setir. Anaknya kelihatan suka membangkang, mbak.” Ucap tante Vera lagi. “Apalagi kalau Ferdian sampai bucin sama anak itu. Bisa merepotkanku mbak!” Ucapnya lagi. “Udah dulu ya mbak. Takutnya mereka sudah datang.” Ucap tante Vera mengakhiri panggilan telepon tersebut. Setelah terdengar suara pintu kamar mandi sebelah terbuka, kutunggu beberapa saat, baru aku keluar kamar mandi ini. Kemudian kususul ibu. *** “Assalamualaikum.” Ucapku sambil memasuki ruangan. “Waalaikumsalam.” Sahut mereka yang ada di ruangan tersebut secara bersamaan termasuk tante Vera. “Ayo masuk, nduk! Duduk sini!” Ucap tante Vera dibuat seramah mungkin. Aku langsung menghampiri mereka, dan duduk di kursi kosong sebelah Ferdian. Aku tak menyapanya. Meskipun sejak kemunculanku tadi, ia terus memandangku. Risih sekali aku dengan tingkahnya. “Ini calon menantumu, Ver?” Tanya sang pemilik butik ke tante Vera. “Iya. Cantik kan!” Jawab tante Vera. Ferdian terlihat senyum senyum tak jelas. Menyebalkan. Setelah selesai basa basinya, pemilik butik yang memperkenalkan diri bernama Citra itu, meminta kami mencoba pakaian pakaian yang telah disiapkannya. Aku melakukannya dengan ogah ogahan. Setelah selesai ganti baju, aku segera keluar dari ruang ganti. Berbagai pujian dilontarkan orang orang yang berada di ruangan ini. Tapi aku hanya diam tak menanggapinya. Anggap saja hari ini aku sedang menjadi manekin hidup. *** Hari berganti hari, tanggal pernikahan yang telah ditentukan semakin dekat. Terhitung dari hari ini, tinggal 2 hari lagi. Ketiga temanku tak juga mengabarkan keberhasilan mendapatkan bukti untuk menyelamatkanku. Aku semakin cemas. Apakah langkahku menyatakan kesediaanku dulu adalah salah besar. Entahlah? Tapi yang jelas aku merasa menyesal. *** Saat eyang uti tahu aku menepis kasar tangan ibu yang hendak menenangkanku, ia langsung ganti menggenggam tanganku. Erat. Sangat erat. Kurasakan kehangatan dari genggaman beliau. Kurasakan dukungan darinya. Beda, beda sekali rasanya, dengan genggaman ibu tadi. Eyang uti terus menggenggam tanganku dengan satu tangannya. Sementara tangan yang satunya beliau gunakan untuk mengusap usap punggungku. Tidak mampu menghilangkan kecemasan dan keteganganku sepenuhnya. Tapi setidaknya, sekarang aku merasa tak sendiri. Terlihat di sampingku, ibu sepertinya tersinggung dengan tindakanku yang menepis tangannya tadi. Wajahnya yang semula terlihat sangat bahagia dan berseri seri, sekarang terlihat berkurang. Semua persiapan telah selesai. Lengkap sudah! Bapak kulihat telah menjabat erat tangan lelaki yang tak kuinginkan itu. Kemudian dengan nyaring kudengar, “Saya nikahkan dan kawinkan.......” “Gubraakk!” suara benturan yang terdengar sangat keras. Ucapan bapak terhenti. Kala terdengar suara mengagetkan dari depan rumah. Bukan hanya bapak yang kaget. Aku juga kaget. Bahkan semua yang hadir di tempat ini kaget. Serempak kami mengarahkan pandang ke sumber suara yang mengagetkan tadi. Ternyata Dewi, sahabatku itu menabrak tandan pisang dan rangkaian janur yang terpasang di jalan masuk di ujung tenda. Beberapa orang di dekatnya kemudian membantunya berdiri. Dewi kemudian berjalan menghampiriku. Dengan langkah yang pincang dia mendekatiku. “Apa apaan ini Dewi!” Teriak mbah kakung ke Dewi. Rupanya ia sudah berada di sisi tak jauh dariku. “Maaf mbah, nggak sengaja. Bener mbah, saya nggak sengaja.” Ucap Dewi sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Orang orang yang melihat Dewi dan tingkahnya itu, mencoba sekuat tenaga menahan tawa. “Tadi kan saya buru buru mbah. Takut telat. Tegang sekali saya pas naik motor. Ee, sampai depan situ, malah jadi grogi. Mau ngerem malah tak gas mbah. Ya nabrak! Maaf ya mbah! Jangan marah ya mbah!” Jelas Dewi. “Untung aku lagi senang!” ucap mbah kakung. “Sudah duduk sana! Benerin rambutmu itu! Kayak ondel ondel!” Ucap mbah kakung. Semua orang yang hadir tertawa. Bahkan aku pun jadi tersenyum melihat tingkah Dewi. “Silahkan dilanjutkan lagi pak penghulu!” Pinta mbah kakung. Semua orang kembali diam dan fokus ke pelaksanaan akad nikah. Saat bapak akan memulai, terdengar Dewi berteriak. “Yes, akhirnya!” Teriak Dewi dengan lantang. Semua orang menoleh ke arahnya. Dewi kemudian berlari menghampiri pak dhe ku, Ramdan, kakak kandung tertua bapakku, yang duduk di samping eyang uti. Kemudian ia menyodorkan hpnya. Sepertinya ia sedang memperlihatkan video kepada pak dhe. Mbah kakung terlihat marah, lagi lagi Dewi membuat acara tertunda. Ia kemudian berdiri dan berteriak, “Dewi, pergi kamu dari sini. Bikin rusuh acara orang saja!” Usir mbah kakung pada Dewi. Tapi di satu sisi, terlihat raut wajah pak dhe Ramdan berubah. Ia tampak marah. “Cukup!” Ucap pak dhe Ramdan dengan menaikkan suaranya. “Rahman! Kamu itu laki laki apa bukan! Kenapa kamu tidak melakukan sesuatupun. Bagaimana bisa kamu mau menikahkan putrimu satu satunya dengan pria macam dia? Ha!” Ucap pak dhe dengan marah. “Apa maksud anda?” Tanya kakek Hutomo tak terima. Hp Dewi yang semula berada di tangan pak dhe Ramdan telah berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Semua keluarga besar bapakku, akhirnya telah menonton video tersebut. Aku tak tahu video apa itu. Yang jelas, mampu menyulut amarah saudara saudaraku dari pihak bapak. “Itu tidak benar. Video itu pasti hanya akal akalan saja. Cucu saya ini pria baik baik!” Bela kakek Hutomo. Tapi pembelaan itu, tak mampu memberi ketenangan ke cucunya. Wajah Ferdian Hutomo terlihat begitu tegang. “Kita tunggu 5 menit lagi. Pasti mereka sudah sampai di sini. Kalau memang saya yang salah, silahkan lanjutkan acaranya. Dan laporkan saya ke polisi.” Ucap Dewi menantang.Baru saja Dewi selesai bicara, ternyata mereka sudah datang. Terdiri dari 10 orang. 2 diantaranya adalah Santi dan Dian. Para sahabatku ini bukan hanya mendapatkan bukti foto dan video pengakuan Vina, tapi membawa langsung orangnya ke sini. Keren memang 3 sahabatku ini.Ketika rombongan orang itu semakin mendekat ke arah kami, kulihat wajah Ferdian juga semakin tegang dan tampak pucat. Bukan hanya dia, tapi juga dengan ibunya, tante Vera.“Siapa kalian semua?” Tanya kakek Hutomo.“Mereka adalah orang yang saya sebutkan tadi!” Ucap Dewi dengan lantang.Budhe Lastri mendekat ke arahku. Ada diantara aku dan ibu. Dan eyang uti, lagi lagi beliau menggenggam erat tanganku.Kudengar suara para tamu yang asyik berkasak kusuk.“Perkenalkan, ini adalah Vina, mbah Sastro! Wanita ini sedang hamil 5 bulan. Dan pria yang menghamilinya adalah cucu kakek Hutomo, yang anda bangga banggakan itu!” Jelas Santi.Hebat sekali para sahabatku hari ini. Biasanya, begitu bertemu muka dengan mbah kakung, nyali
Di dalam mobil, hanya ada keheningan. Tak ada satu pun yang berniat bicara. Semua sibuk dengan pikirannya masing masing. Termasuk Rena. Setelah melaju beberapa saat,“Kruk, kruk, kruk.” Bunyi yang berasal dari perutku, membuyarkan keheningan di dalam mobil ini. Eyang tersenyum menoleh menatapku membuatku merasa malu. Pastilah wajahku pun telah memerah.“Lapar? Rena tadi belum makan?” Tanya Eyang padaku.“Belum eyang.” Jawabku.“Sejak kapan?” Tanya eyang lagi. Yang lainnya hanya menyimak.“Kemarin sore.” Jawabku singkat.Tanpa mengucapkan apapun, pak dhe langsung membelokkan mobil ke rumah makan dan memarkirkannya. Baru setelahnya bertanya padaku,“Kita makan di sini saja ya Ren?” Tanya pak dhe.“Iya. Ibu juga lapar ini, Ram!” Eyang yang menjawab.“Sama. Aku juga lapar mas. Tadi belum sempat icip icip hidangannya.” Ucap budhe Lastri.“Kami juga lapar, pak dhe. Bukan cuma Rena!” Protes Nindy.Semua penumpang, rombongan kami bukan hanya mobil yang kutumpangi telah turun, kecuali aku. Bah
Saat aku membuka mata, ternyata aku sudah tak berada di dalam mobil lagi. Kulihat ke sekelilingku. Memindai satu persatu isi ruangan ini. Sepertinya ini adalah sebuah kamar tidur. Tapi kurasa ini bukanlah salah satu kamar tidur di rumah eyang uti. Aku segera bangun dari ranjang dan berjalan menuju pintu kamar. Begitu pintu kamar terbuka, bisa kudengar suara beberapa orang tengah mengobrol. Aku pun berjalan ke arah sumber suara itu. Kulihat eyang, pak dhe Ramdan dan istrinya bu dhe Narti, juga mas Damar sedang duduk di ruang keluarga. Mereka tak mengacuhkan televisi yang sedang menyala. Tampaknya obrolan mereka lebih menarik dari siaran di televisi. Sepertinya mereka sedang asyik memperbincangkan sesuatu. Sampai sampai, mereka tak menyadari kedatanganku.“Eyang!” Panggilku.“Sudah bangun tho? Sini nduk!” Ucap eyang sambil menepuk kursi kosong di sampingnya. Aku pun menghampiri eyang dan duduk di kursi yang beliau tepuk tadi.“Kok Rena nggak dibangunin sih tadi?” Protesku.“Kamu tidu
Anak kecil itu dengan jari telunjuknya terus menunjukku. Aku dan Rini dibuat heran oleh tingkahnya itu.“Mama!” Ucapnya lagi. Kali ini sambil menunjukku. Aku pun semakin bingung dengan tingkah anak ini. Begitu pun Rini.“Ini mama kamu?” Tanya Rini ke anak tersebut seraya menunjukku. Aku pun menepis tangannya yang mengarah padaku. Jengkel rasanya. Bagaimana mungkin dia bisa menanyakan itu. Bagaimana mungkin aku punya anak? Jelas jelas aku belum pernah menikah. Ehh, gagal nikah pula. Anehnya anak itu mengangguk dengan yakin.“Ternyata anakmu Ren!” Pekik Rini tertahan.“Ngaco kamu Rin!” Ucapku seraya memukul bahu Rini. Anak kecil itu memandang kami dengan senyum mengembang yang terus terpatri di bibirnya. Dan akhirnya tawa Rini pun meledak. Kami sampai menjadi perhatian para pengunjung. Sadar tawanya mengundang perhatian, Rini pun langsung membekap mulutnya dengan tangan.“Kamu ajak ke depan sana, Rin! Ke dekat meja kasir. Pasti orang tuanya kebingungan nyari nih anak.” Ucapku. Rini pu
“Rena Hanindya!” Seru orang itu.“Siapa ya?” Tanyaku heran. Aku tak merasa mengenal lelaki yang sedang berdiri di depanku ini. Kenapa dia tahu namaku? Apa dia salah satu fans di dunia maya. Tak pernah bertemu tapi sok kenal? Kenapa aku jadi narsis begini sih!Lagi lagi orang orang dibuat heran dan kaget dengan kejadian ini. Tapi mas Damar yang sedang duduk di sampingku terlihat biasa saja sih. “Anakmu bro? Capek nih, udah gendong sejak tadi!” Ucap mas Damar dengan ketus.Kata kata mas Damar sepertinya mampu mengalihkan pandangannya yang terus tertuju padaku. Saat lelaki itu hendak mengambil anaknya dari pangkuanku. Mas Damar mencegahnya. Ia kemudian mengangkat anak itu dari pangkuanku dan menyerahkannya pada lelaki tersebut, dengan wajah juteknya. Nggak ada ramah ramahnya. Mungkin, orang yang tak mengenal kedekatan kami sebagai sepupu akan menganggap mas Damar sedang cemburu.“Terima kasih banyak ya nak Rena.” Ucap bu Ning.“Sama sama bu.” Jawabku.“Terima kasih ya kak.” Ucap Risa.
Biasanya, saat membonceng motor dengan mas Damar, aku selalu merangkulnya dari belakang dan berceloteh ria di dekat telinga mas Damar yang tertutup helm. Suara berisikku, selalu menemani kami berkendara. Tapi, kali ini, aku hanya diam saja sepanjang perjalanan. Aku duduk di ujung jok belakang. Aku juga tak berpegangan dengan mas Damar. Tapi pada besi kiri kanan jok motor.“Kamu marah, Ren?” Tanya mas Damar. Aku hanya diam saja tak menjawab pertanyaannya.“Sudah tahu marah, masih juga nanya.” Batinku.“Ren!” Panggilnya. Tapi aku tetap membisu.“Kamu suka, sama cowok yang tadi?” Tanyanya.“Boro boro! Kenal aja nggak!” Jawabku ketus.“Nah, gitu dong. Kalau ditanya langsung jawab.” Ujarnya.Aku terus menunjukkan wajah cemberutku. Aku tahu, mas Damar sesekali melongok ke spion motor melihat ke arahku. Aku ingin mas Damar tahu aku sedang jengkel. “Kenapa?” Tanya mas Damar.“Lapar.” Jawabku singkat. Aku benar benar jengkel dengannya. Bagaimana bisa ia mengajakku pulang saat aku sedang asyik
“Ren, nggak pengen cerita acara semalam?” Tanya Nindy dengan antusiasnya.“Nggak! Males.” Ujarku. Mengingat apa yang terjadi semalam masih mampu membuatku jengkel dengan tingkah mas Damar.Sepertinya para sepupuku ini penasaran dengan kelangsungan acaraku dan mas Damar semalam. Mereka bertiga mengerubungiku. Bahkan para karyawan butik pun ikut ikutan. Akhirnya, dengan terpaksa, aku pun menceritakan apa yang kami lalui semalam. Mulai berangkat sampai pulang rumah, Begitu aku selesai bercerita, mereka langsung meluapkan tawa yang sudah mereka tahan sejak awal aku bercerita. Itung itung dapat pahala lah, sudah bikin mereka senang.“Ren, Ren! Untungnya semalam mas Damar stok kesabarannya full. Jadi sabar ngadepin kamu. Kalau enggak, udah ditinggal di pinggir jalan kamu!” Ucap Rini.“Memangnya kalian ada yang pernah ditinggal mas Damar? Tanyaku penasaran.“Nindy tuh yang pengalaman!” Jawab Ratna.“Beneran Nin?” Aku mengonfirmasi langsung ke orangnya.Nindy mengangguk yakin , sebagai jawaba
“Apa yang ingin kamu tanyakan?” Ucapku. Lega rasanya, ketika rasa penasaranku terobati. Ternyata dia adalah teman SMP ku. “Apakah kamu sudah menikah?” Tanya pria itu tanpa basa basi.“Ehh, itu urusan pribadi ya!” Ucapku.“Bukankah yang kujawab tadi juga urusan pribadi?” Elaknya.“Tapi kan, cuma nama.” Ucapku tak mau kalah.“Seingatku, Rena Hanindya yang kukenal bukanlah orang yang suka ingkar janji.” Tegas lelaki bernama Rendra itu. Pinter banget sih cari alasan yang mampu membuatku tak bisa menyanggah.“Aku belum menikah.” Jawabku. Aku tak mau mendapatkan cap pembohong.“Lalu, lelaki yang datang bersamamu semalam?” Tanya Rendra.“Lho, kok tanya lagi? Bukannya cuma satu ya?” Protesku.“Tinggal jawab aja, apa susahnya sih Ren!” Sahutnya.“Itu mas Damar. Sepupuku. Ngapain sih tanya tanya?” Omelku setelah menghela nafas.“Hanya memperjelas posisi.” Ujarnya.“Posisi apa?” Tanyaku penasaran dengan ucapannya.“Nanti kamu juga tahu.” Jawab lelaki itu berteka teki.Tak mendapatkan jawaban ya
“Assalamualaikum, mbah” Rendra menyapa begitu kami telah sampai di hadapan mbah kakung. Sedangkan aku masih setia terdiam. Aku tak tahu, haruskah aku mengeluarkan kata? Atau aku lebih baik terus terdiam saja. Rendra mengulurkan tangannya, mengajak berjabat tangan dengan mbah kakung.“Waalaikumsalam” Jawab mbah kakung sambil menerima uluran tangan Rendra. Dan Rendra pun kemudian mencium punggung tangan mbah kakung. Tak seperti yang terlintas di benak ini. Kupikir, mbah kakung akan menepis uluran tangan suamiku itu. Tapi ternyata tidak. Apa mungkin karena saat ini, kami sedang berada di tengah tengah banyak orang? Ya. Pasti karena itu. Mbah kakung pasti tak ingin mempermalukan dirinya sendiri. Rendra kemudian menyenggol lenganku, memberikanku kode agar segera menyalami mbah kakung. Dan aku pun melakukannya. Kucium punggung tangan kanan mbah kakung. Dan tanpa kuduga, beliau langsung menarik lembut tanganku dan memelukku. Mendekap erat tubuh ini. Kurasakan kehangatan yang selal
Aku mengalami morning sickness yang parah di pagi hari saja. Selebihnya, aku baik baik saja. Kecuali aku mendapati aroma dan bau bau yang tak kusukai, aku akan langsung mual dan muntah.Pagi ini, sholat Subuhku sedikit tertunda karena aku yang terus terusan muntah. Tenggorokanku terasa sakit. Perutku juga. Aku tak berhenti muntah meski seluruh isi perut telah kumuntahkan. Sampai terasa pahit tenggorokanku. Sudah sekitar setengah jam aku menghuni kamar mandi. Rendra terus menemaniku sambil memijat mijat lembut punggungku. Tak lupa juga mengoleskan minyak kayu putih. Rendra bahkan mengurungkan niatnya untuk sholat Subuh ke masjid karena tak tega untuk meninggalkanku.“Eyang boleh masuk?” Ujar eyang uti setelah mengetuk pintu kamarku yang sedikit terbuka.“Silahkan eyang!” Sahut Rendra setengah berteriak karena jarak kami tak dekat. Agar eyang bisa mendengarnya. Eyang kemudian masuk ke kamarku dan menghampiri kami yang tengah di kamar mandi. Mengulurkan segel
Alhamdulillah! Semua berjalan sesuai rencana. Semalam, aku dan mbak Ria, lembur sampai jam 11 malam untuk menyelesaikan gaun ibu. Rendra menungguku ditemani mas Damar, duduk di depan pabrik sambil menikmati kopi.Pagi ini, sekali lagi kuperiksa gaun untuk ibuku ini. Untuk memastikan tak ada yang kurang. Gaun ini sudah ‘sempurna’ seperti yang kumau. Kuminta Rendra untuk memotretku bersama gaun ini, yang kupasangkan pada salah satu manekin yang ada di butik. Meski sebenarnya, tanpa kuminta pun Rendra sudah jeprat jepret tanpa jeda sejak tadi.Mbak Dita datang, tepat saat gaun ibu selesai kupacking. Alhamdulillah! Lega rasanya. Aku tak mau membuat orang yang akan kumintai tolong itu menunggu. Setelah berbincang beberapa saat, mbak Dita berangkat membawa hadiahku untuk ibu.“Akhirnya! Selesai juga.” Sorak Nindy.“Yang ngerjain aku. Yang capek juga aku. Kenapa kamu yang sorak sorak tak jelas gitu? Ora Cetho!” Seruku.“Tahu nggak Rena? Aku tuh
Kubaca nama pengirimnya, ternyata ibu. Kubuka amplop itu perlahan. Ingin tahu apa isinya. Ternyata undangan pernikahan ibu dan om Hidayat. Bukan hanya 1 buah. Tapi ada beberapa. Untukku, untuk bapak, dan untuk tante Fatma. Ada juga secarik kertas dalam amplop coklat itu. Segera kubuka lipatan kertas itu dan kubaca isinya. Hanya beberapa baris kalimat. Ibu memang orang yang tak suka berbasa basi.“Rena, berikan 2 undangan yang lainnya untuk bapakmu dan tante Fatma. Ibu tak memaksamu untuk datang. Datang atau pun tidak itu adalah hakmu.”Kuhela nafas setelah membaca tulisan tangan ibu.“Rena pasti datang bu. Menyaksikan pernikahan kedua ibu. Meski sebenarnya bukan pernikahan yang ibu harapkan, tapi Rena berharap lelaki itu mampu membahagiakan ibu.” Batinku. Rendra yang berada di samping kananku, mengelus lembut punggungku.“Bi, menurutmu, kita akan beri hadiah apa untuk pernikahan ibu?” Tanyaku sambil menatap pria di sampingku ini.“Apa ya
“Astaghfirullahaladzim!” Seruku sambil tangan kiri memegang dada.Ya ampun, bagaimana bisa aku seceroboh ini. Harusnya kupastikan dulu siapa yang menelpon sebelum marah marah.“Assalamualaikum” Sapa seseorang di seberang sana.“Waalaikumsalam. Maaf bunda.” Sesalku. Ditanggapi dengan kekehan dari wanita yang telah melahirkan suamiku itu.“Ada apa?” Tanya bunda padaku.“Nggak ada apa apa kok bun. Rena pikir tadi mas Rendra yang telpon.” Ucapku.“Rendra pasti gangguin kamu ya.” Tebak bunda. Aku pun menceritakan ulah putranya itu pada bunda. Beliau hanya tertawa menanggapi ceritaku.“Matikan saja ponselmu, nduk.” Usul bunda. “Kalau dimatikan, bisa panjang urusannya, Bun.” Sahutku.“Oh iya, ada apa perlu apa bunda telpon Rena?” Tanyaku penasaran. Biasanya, meskipun ingin berbicara denganku, bunda selalu menghubungi ke nomor putranya.“Tadi bunda telpon Rendra nggak diangkat. Mungkin sedang sibuk. J
Seperti hari hari sebelumnya, aku duduk manis menunggui suamiku yang sibuk mencari uang.“Kenapa?” Tanya mas Adi yang hendak melintas. Ia menghentikan sejenak langkahnya di depanku.“Apanya?” Bukannya menjawab aku malah balik bertanya.“Kok lesu? Wajah kamu juga kelihatan agak pucat.” Ucap mas Adi.“Kebanyakan begadang sama si bos itu.” Seloroh mas Doni yang baru saja lewat. Mas Doni memang selalu mencari gara gara saja denganku.“Heem. Dari tadi Rena diam aja. Biasanya khan petakilan.” Mas Edwin ikut memberikan komentarnya. Atau sebenarnya malah nyinyiran.“Kalian ngapain kumpul di situ. Kerja! Kerja!” Teriak Rendra sambil melihat ke arah kami. Tak lupa sambil berkacak pinggang. “Kayaknya Rena sakit nih bos.” Ujar mas Adi. Rendra bergegas menghampiriku.“Kenapa?” Tanyanya mengulang pertanyaan awal mas Adi.“Perutku nyeri beberapa hari ini. Kepalaku juga terasa agak pusing” Jawabku jujur. Rendra kemud
Pagi ini, kami sarapan bubur ayam tak jauh dari apartemen. Setelahnya, kami berangkat ke studio. Pekerjaan Rendra menumpuk, karena beberapa minggu ditunda. Hari ini, ia pasti akan sangat sibuk.“Bukannya kita mau belanja?” Tanyaku ketika kami sampai di depan studio.“Kita belanja sepulang kerja nanti ya.” Ucap Rendra kemudian turun dari mobil. Tak lama kemudian dia sudah membukakan pintu untukku.“Aku di sini ngapain?” Gumamku lirih, tapi masih terdengar Rendra.“Menemani suami.” Sahut Rendra kemudian menggandeng tanganku masuk.“Selamat ya bos, mbak Rena. Semoga samawa!” Ucap para karyawan butik bergantian, sambil menyalami kami.*** Sudah 3 jam aku di studio ini. Duduk di sofa ini sambil ngemil dan main hp. Sesekali aku mengganggu Rendra yang tengah fokus dengan laptop di depannya. Bukannya marah, ia malah terkekeh setiap kali aku mengganggunya. Saat ini, aku tengah memeluk suamiku itu dari belakang. Seraya mengecup p
“Oh, ini mama Rayyan? Apa kabar bu?” Ucap bu guru itu dengan ramah.“Alhamdulillah baik bu. Saya harap ibu guru juga baik.” Sahutku.“Terima kasih.” Ucap bu guru yang bername tag ‘Nurul’ itu. Kemudian tak lama menyusul seorang guru lagi bername tag ‘ Laras’. Mereka berdua yang mengampu di kelas Rayyan.“Sejak tadi pagi, Rayyan antusias sekali menceritakan tentang mamanya. Hari ini, Rayyan terlihat sangat ceria dan bersemangat sekali bu.” Ucap bu guru Nurul.Entah hanya perasaanku atau memang benar, kulihat guru Rayyan yang bernama Laras itu tampak memandangku tak bersahabat. Setelah berbincang beberapa saat tentang perkembangan Rayyan di sekolah, kami pun berpamitan.*** “Bi, bu Laras tadi cantik ya!” Sindirku.“Rena Hanindya yang tercantik!” Sahut Rendra membuatku tersipu.“Iya, mamaku yang paling cantik!” Celetuk Rayyan yang duduk di pangkuanku. Dua lelakiku ini memang ‘duo ahli ngegombal’. Rendra mengacungka
“Tante akan jujur padamu Rena. Bohong jika tante bilang sudah tak memiliki rasa untuk bapakmu. Meski jauh di sudut hati tante, rasa itu masih ada.” Ucap tante Fatma.“Tapi, bukanlah keputusan yang bijak, jika kami bersama lagi saat ini. Sama seperti ibu dan bapakmu dulu, pernikahan tante dan mantan suami tante juga tak didasari rasa cinta pada awalnya. Tapi, bertahun tahun bersama, menjadikan tante untuk belajar menerima takdir yang telah Allah gariskan. Belajar mencintai lelaki jodoh pilihan Allah. Kenyataan harus tetap kita terima meski terpaksa. Karena tak akan ada gunanya memberontak pada takdir yang telah Allah persiapkan.” Ucap tante Fatma.“Adalah sebuah kesalahan jika ibumu berfikir jika bapakmu tak pernah mencintainya. Sama seperti tante, tante yakin bapakmu juga telah belajar menerima takdir dan belajar untuk mencintai ibumu. Waktu demi waktu dilalui bersama, rasa sayang dan cinta pastilah mampu tumbuh. Meski rasa itu tak semenggebu gebu seperti kisah cin