Share

Menyesal?

Penulis: Wildeblume
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Aku berlari ke kamar dan meluapkan segala rasa yang menghimpit di dada ini, dengan menangis sekencang kencangnya. Aku tak peduli meskipun suara tangisku ini terdengar oleh tetangga. Ku kesampingkan rasa maluku.

Tak terasa, adzan Subuh telah terdengar berkumandang. Rupanya, semalam aku menangis sampai tertidur. Seusai menunaikan sholat Subuh, ku ambil hp yang tergeletak di atas nakas samping tempat tidurku. Pada saat bersamaan ada telepon masuk dari Santi. Segera kuangkat.

“Assalamualaikum.” Ucapku.

“Waalaikumsalam, Ren.” Jawabnya di seberang sana.

“Ada apa San, jam segini telepon?” Tanyaku.

Ya, ini baru sekitar jam 5 pagi. Tak biasanya dia menelepon sepagi ini.

“Cuma mau mastiin, kalau kamu baik baik saja, Ren. Habisnya, pesanku nggak ada yang kamu balas .” Terang Santi.

“Hari ini bisa ketemuan nggak?” Tanya Santi.

“Aku nggak boleh keluar rumah lagi San. Sampai hari pernikahan katanya.” Jelasku.

“Kita komunikasi lewat hp aja ya.” Tambahku.

“Siap, Ren!” Jawabnya.

“Kamu tenang aja, Ren. Aku akan bantu kamu sebisaku.” Imbuhnya.

Sudah seminggu ini, mbah kakung mendiamkanku dan sudah seminggu ini pula aku berhenti bekerja. Terus terang saja, aku malah senang, mbah kung mendiamkanku. Tak perlu aku mendengar ocehan amarahnya. Maaf ya, mbah! Kalau Rena kurang ajar.

Selama itu pula, ibu terus terusan marah padaku. Setiap hari mengomeliku. Jengah juga sih mendengarnya. Ibu lebih mendominasi dalam segala hal dibanding bapak. Selama ini, sepengetahuanku, ibu sangat sering membantah pada bapak, untuk membela mbah kakung. Tak peduli mbah kakung salah. Bapak lebih senang mengalah, dibanding harus bertengkar. Di keluarga ini bapak lebih banyak diam. Bukankah harusnya seorang istri itu taat kepada suami? Bukankah berdosa membantah suami, selama suami tidak melanggar perintah Allah? Ibu tak bisa kujadikan contoh teladan istri yang baik.

Pagi ini, seusai mandi, aku keluar kamar. Berniat mengambil sarapan. Tapi, tiba di depan kamar kedua orang tuaku, kudengar suara orang muntah muntah.

“tok, tok, tok.” Aku mengetuk pintu kamar kedua orang tuaku. Tak lama kemudian pintu terbuka. Nampak bapak yang membukanya.

“Ada apa, nduk?” Tanya bapak.

“Ibu sakit pak?” Tanyaku balik.

“Iya, asam lambungnya sepertinya kambuh, nduk.” Jawab bapak.

“Sudah minum obat?” Tanyaku.

“Belum, ibumu tidak mau minum obatnya.” Jawab bapak.

Setelah meminta ijin bapak, aku masuk ke kamar mereka. Berjalan mendekat ke ranjang yang sekarang sedang ditiduri oleh ibu.

“Bu, minum obat dulu ya?” Tawarku.

“Nggak usah sok peduli kamu, Ren!” Ketus ibu.

“Kenapa ibu ngomong seperti itu, bu?” Ucapku. Jujur, aku merasakan sedih mendengarnya.

“Kenapa? Kenapa kamu bilang?” Bentak ibu padaku.

“Apa selama ini ibu tidak memperlakukanmu dengan baik, Ren?” Tanya ibu padaku, lebih tepatnya pernyataan ibu pada ku.

“Apa selama ini ibu pernah meminta sesuatu dari Ren?” Tanya ibu padaku lagi. Aku menjawabnya hanya dengan gelengan kepala.

“Kali ini adalah pertama kalinya ibu meminta sesuatu padamu khan!” Ujar ibu.

Aku hanya menganggukkan kepala sebagai jawabannya, tak mengeluarkan suara sedikit pun.

“Kenapa harus permintaan seperti ini bu?” Tanyaku.

“Kenapa nggak permintaan yang lain saja? Rena pasti akan lakukan, bu.” Ucapku.

“Ibu nggak akan pernah minta apapun, Ren! Permintaan ibu cuma satu. Kamu menikah dengan cucu kakek Hutomo. Hanya itu. Atau kamu mau itu menjadi permintaan terakhir ibu di dunia?” Ucap ibu seolah mengancamku.

“Ibu jangan ngomong seperti itu! Rena sayang ibu.” Ucapku.

“Kalau kamu sayang ibu, pasti kamu tidak akan pernah membantah ibu!” Ujar ibu dengan keras.

“Rena bukannya mau membantah ibu. Rena cuman nggak mau dijodohin, bu!” Ucapku.

“Bukankah ibu dulu juga nggak mau dijodohin mbah kakung.” Ungkapku.

“Iya! Ibu dulu menolak dijodohkan oleh mbah kakungmu. Dan itu adalah sebuah kesalahan yang ibu pernah lakukan. Jadi ibu mau kamu tidak mengulang lagi kesalahan yang sama seperti ibu!” Terang ibu.

“Kenapa ibu bicara seperti itu. Kenapa ibu bisa menganggap keputusan ibu dulu adalah kesalahan? Bukankah ibu dan bapak sekarang ini hidup dengan bahagia?” Ucapku tak terima. Jadi ibu menyesali pernikahannya dengan bapak? Apa itu berarti ibu juga menyesali keberadaan ku?

“Hidup bahagia dengan mengecewakan mbah kakungmu!” Ucap ibu dengan keras. Untunglah bapak sudah keluar sedari tadi. Jadi, ia tak harus mendengar pembicaraan kami. Aku takut bapak akan sakit hatinya.

Aku sama sekali tidak menyangka, ibu akan bicara seperti itu. Aku pikir, kedua orang tuaku benar benar hidup bahagia selama ini. Tapi sepertinya.... aku salah.

Ini hari kedua ibu sakit. Tapi, ia belum juga mau minum obatnya. Kondisi kesehatan ibu semakin memburuk. Membuatku meningkatkan kewaspadaanku. Pasti ibu dan mbah kakung sedang merencanakan sesuatu. Dan mereka memakai situasi ini untuk menekanku, agar menerima keputusan mbah kakung.

***

Aku sadar, meskipun aku menolak dan terus membuat masalah. Mbah kakung tetap pada pendiriannya. Begitu pula ibu, yang merupakan sekutu abadi mbah kakung. Ibu pasti rela menyiksa dirinya sendiri demi mbah kakung. Demi perjodohan tak waras ini. Aku tak mau terjadi sesuatu dengan ibu, karena keputusan bodohnya untuk tak minum obatnya. Aku tak mau sampai menyesal. Ibu terlalu keras kepala untuk mundur dari usahanya memaksaku menerima perjodohan ini. Apalagi ada dukungan penuh dari mbah kakung.

Akhirnya aku menyatakan kesediaanku kepada ibu. Meskipun hanya kesediaan di mulutku saja. Otak dan hatiku terus mencari cara lolos dari perjodohan ini. Selain meminta tolong ketiga temanku untuk terus berusaha mencari bukti, di setiap sepertiga malam, ku selalu memohon kepada Allah untuk menolongku. Aku tahu, mungkin aku bukanlah termasuk hamba yang baik. Tapi setidaknya, aku selalu berusaha untuk menjadi baik. Mungkin Allah sedikit bersedia untuk memalingkan pandang ke diriku dan mengabulkan doaku.

Bukannya aku bermaksud membohongi keluargaku. Aku hanya muak, disuguhkan drama drama dan kebodohan. Biarlah kata kata kesediaanku menjadi obat penenang sampai bukti bukti didapat para sahabatku.

Setelah aku bilang akan menuruti kemauan mbah kakung, ibu langsung cepat cepat minum obat yang sejak kemarin sudah tersedia di atas nakas. Dengan terburu buru. Aku senang melihatnya tapi tentu aku juga merasa kesal dan jengkel sampai ke ubun ubun menyaksikan tingkah wanita yang telah melahirkanku itu.

Setelah memastikan ibu sudah meminum obatnya, aku segera berjalan keluar kamar kedua orang tuaku itu. Hendak menuju ke kamarku. Kudengar suara ibu dan mbah kakungku bersorak, karena aku belum benar benar pergi dari depan kamar kedua orang tuaku itu.

Apakah ibu dan mbah kakungku itu benar benar tak peduli masa depanku?

Aku berjalan menuju kamar dengan langkah tanpa semangat.

“Mengapa aku dilahirkan di keluarga seperti ini?” Batinku.

“Atau apakah aku kurang bersyukur?” Batinku lagi.

“Apakah aku harus menerima saja semua ini dengan ikhlas?” Gumamku.

“Tidak! Tidak! Aku harus tetap berusaha sampai detik detik terakhir. Karena rasa putus asa adalah akhir dari segala usaha.” Batinku.

Bab terkait

  • Bukan Siti Nurbaya   Tegang

    “Buruan Ren!” Suruh ibu. Ia sedang menunggu di depan pintu kamarku.“Bentar bu.” Jawabku. Aku sengaja memperlambat aktivitas yang kulakukan.“Nanti kita terlambat. Kasihan kan. Kalau tante Vera dan Ferdian nunggu kelamaan!” Ucap ibu."Tante Vera siapa sih Bu?" Tanyaku pura pura lupa."Tante Vera itu mamanya Ferdian. Masa kamu lupa sih Ren?" Jawab ibu disabar sabarkan.Hari ini, ibu bilang akan mengajakku ke butik untuk fitting baju pengantin.“Gerak cepat sekali mereka! Baru kemarin aku menyatakan bersedia, sekarang langsung fitting baju pengantin.” Batinku.Wajah ibu terlihat sangat segar, cerah dan ceria. Padahal kemarin, wajahnya terlihat sangat pucat pasi. Membuatku, terus terang ketakutan. Aku takut terjadi sesuatu yang enggak enggak pada ibuku itu. Tapi, lihatlah dia sekarang! Senyum merekahnya terus terusan terpatri di bibirnya. Wajahnya terlihat berbinar. Apakah yang kemarin itu akting?“Ren, cepetan! Ngapain saja sih lama amat? Bukannya kamu itu nggak pernah make up –an?” Tan

  • Bukan Siti Nurbaya   Kacau

    Baru saja Dewi selesai bicara, ternyata mereka sudah datang. Terdiri dari 10 orang. 2 diantaranya adalah Santi dan Dian. Para sahabatku ini bukan hanya mendapatkan bukti foto dan video pengakuan Vina, tapi membawa langsung orangnya ke sini. Keren memang 3 sahabatku ini.Ketika rombongan orang itu semakin mendekat ke arah kami, kulihat wajah Ferdian juga semakin tegang dan tampak pucat. Bukan hanya dia, tapi juga dengan ibunya, tante Vera.“Siapa kalian semua?” Tanya kakek Hutomo.“Mereka adalah orang yang saya sebutkan tadi!” Ucap Dewi dengan lantang.Budhe Lastri mendekat ke arahku. Ada diantara aku dan ibu. Dan eyang uti, lagi lagi beliau menggenggam erat tanganku.Kudengar suara para tamu yang asyik berkasak kusuk.“Perkenalkan, ini adalah Vina, mbah Sastro! Wanita ini sedang hamil 5 bulan. Dan pria yang menghamilinya adalah cucu kakek Hutomo, yang anda bangga banggakan itu!” Jelas Santi.Hebat sekali para sahabatku hari ini. Biasanya, begitu bertemu muka dengan mbah kakung, nyali

  • Bukan Siti Nurbaya   Cerdas

    Di dalam mobil, hanya ada keheningan. Tak ada satu pun yang berniat bicara. Semua sibuk dengan pikirannya masing masing. Termasuk Rena. Setelah melaju beberapa saat,“Kruk, kruk, kruk.” Bunyi yang berasal dari perutku, membuyarkan keheningan di dalam mobil ini. Eyang tersenyum menoleh menatapku membuatku merasa malu. Pastilah wajahku pun telah memerah.“Lapar? Rena tadi belum makan?” Tanya Eyang padaku.“Belum eyang.” Jawabku.“Sejak kapan?” Tanya eyang lagi. Yang lainnya hanya menyimak.“Kemarin sore.” Jawabku singkat.Tanpa mengucapkan apapun, pak dhe langsung membelokkan mobil ke rumah makan dan memarkirkannya. Baru setelahnya bertanya padaku,“Kita makan di sini saja ya Ren?” Tanya pak dhe.“Iya. Ibu juga lapar ini, Ram!” Eyang yang menjawab.“Sama. Aku juga lapar mas. Tadi belum sempat icip icip hidangannya.” Ucap budhe Lastri.“Kami juga lapar, pak dhe. Bukan cuma Rena!” Protes Nindy.Semua penumpang, rombongan kami bukan hanya mobil yang kutumpangi telah turun, kecuali aku. Bah

  • Bukan Siti Nurbaya   Langkah Baru

    Saat aku membuka mata, ternyata aku sudah tak berada di dalam mobil lagi. Kulihat ke sekelilingku. Memindai satu persatu isi ruangan ini. Sepertinya ini adalah sebuah kamar tidur. Tapi kurasa ini bukanlah salah satu kamar tidur di rumah eyang uti. Aku segera bangun dari ranjang dan berjalan menuju pintu kamar. Begitu pintu kamar terbuka, bisa kudengar suara beberapa orang tengah mengobrol. Aku pun berjalan ke arah sumber suara itu. Kulihat eyang, pak dhe Ramdan dan istrinya bu dhe Narti, juga mas Damar sedang duduk di ruang keluarga. Mereka tak mengacuhkan televisi yang sedang menyala. Tampaknya obrolan mereka lebih menarik dari siaran di televisi. Sepertinya mereka sedang asyik memperbincangkan sesuatu. Sampai sampai, mereka tak menyadari kedatanganku.“Eyang!” Panggilku.“Sudah bangun tho? Sini nduk!” Ucap eyang sambil menepuk kursi kosong di sampingnya. Aku pun menghampiri eyang dan duduk di kursi yang beliau tepuk tadi.“Kok Rena nggak dibangunin sih tadi?” Protesku.“Kamu tidu

  • Bukan Siti Nurbaya   'Duren'

    Anak kecil itu dengan jari telunjuknya terus menunjukku. Aku dan Rini dibuat heran oleh tingkahnya itu.“Mama!” Ucapnya lagi. Kali ini sambil menunjukku. Aku pun semakin bingung dengan tingkah anak ini. Begitu pun Rini.“Ini mama kamu?” Tanya Rini ke anak tersebut seraya menunjukku. Aku pun menepis tangannya yang mengarah padaku. Jengkel rasanya. Bagaimana mungkin dia bisa menanyakan itu. Bagaimana mungkin aku punya anak? Jelas jelas aku belum pernah menikah. Ehh, gagal nikah pula. Anehnya anak itu mengangguk dengan yakin.“Ternyata anakmu Ren!” Pekik Rini tertahan.“Ngaco kamu Rin!” Ucapku seraya memukul bahu Rini. Anak kecil itu memandang kami dengan senyum mengembang yang terus terpatri di bibirnya. Dan akhirnya tawa Rini pun meledak. Kami sampai menjadi perhatian para pengunjung. Sadar tawanya mengundang perhatian, Rini pun langsung membekap mulutnya dengan tangan.“Kamu ajak ke depan sana, Rin! Ke dekat meja kasir. Pasti orang tuanya kebingungan nyari nih anak.” Ucapku. Rini pu

  • Bukan Siti Nurbaya   Asing?

    “Rena Hanindya!” Seru orang itu.“Siapa ya?” Tanyaku heran. Aku tak merasa mengenal lelaki yang sedang berdiri di depanku ini. Kenapa dia tahu namaku? Apa dia salah satu fans di dunia maya. Tak pernah bertemu tapi sok kenal? Kenapa aku jadi narsis begini sih!Lagi lagi orang orang dibuat heran dan kaget dengan kejadian ini. Tapi mas Damar yang sedang duduk di sampingku terlihat biasa saja sih. “Anakmu bro? Capek nih, udah gendong sejak tadi!” Ucap mas Damar dengan ketus.Kata kata mas Damar sepertinya mampu mengalihkan pandangannya yang terus tertuju padaku. Saat lelaki itu hendak mengambil anaknya dari pangkuanku. Mas Damar mencegahnya. Ia kemudian mengangkat anak itu dari pangkuanku dan menyerahkannya pada lelaki tersebut, dengan wajah juteknya. Nggak ada ramah ramahnya. Mungkin, orang yang tak mengenal kedekatan kami sebagai sepupu akan menganggap mas Damar sedang cemburu.“Terima kasih banyak ya nak Rena.” Ucap bu Ning.“Sama sama bu.” Jawabku.“Terima kasih ya kak.” Ucap Risa.

  • Bukan Siti Nurbaya   Drama Angkringan

    Biasanya, saat membonceng motor dengan mas Damar, aku selalu merangkulnya dari belakang dan berceloteh ria di dekat telinga mas Damar yang tertutup helm. Suara berisikku, selalu menemani kami berkendara. Tapi, kali ini, aku hanya diam saja sepanjang perjalanan. Aku duduk di ujung jok belakang. Aku juga tak berpegangan dengan mas Damar. Tapi pada besi kiri kanan jok motor.“Kamu marah, Ren?” Tanya mas Damar. Aku hanya diam saja tak menjawab pertanyaannya.“Sudah tahu marah, masih juga nanya.” Batinku.“Ren!” Panggilnya. Tapi aku tetap membisu.“Kamu suka, sama cowok yang tadi?” Tanyanya.“Boro boro! Kenal aja nggak!” Jawabku ketus.“Nah, gitu dong. Kalau ditanya langsung jawab.” Ujarnya.Aku terus menunjukkan wajah cemberutku. Aku tahu, mas Damar sesekali melongok ke spion motor melihat ke arahku. Aku ingin mas Damar tahu aku sedang jengkel. “Kenapa?” Tanya mas Damar.“Lapar.” Jawabku singkat. Aku benar benar jengkel dengannya. Bagaimana bisa ia mengajakku pulang saat aku sedang asyik

  • Bukan Siti Nurbaya   Ternyata Dia...

    “Ren, nggak pengen cerita acara semalam?” Tanya Nindy dengan antusiasnya.“Nggak! Males.” Ujarku. Mengingat apa yang terjadi semalam masih mampu membuatku jengkel dengan tingkah mas Damar.Sepertinya para sepupuku ini penasaran dengan kelangsungan acaraku dan mas Damar semalam. Mereka bertiga mengerubungiku. Bahkan para karyawan butik pun ikut ikutan. Akhirnya, dengan terpaksa, aku pun menceritakan apa yang kami lalui semalam. Mulai berangkat sampai pulang rumah, Begitu aku selesai bercerita, mereka langsung meluapkan tawa yang sudah mereka tahan sejak awal aku bercerita. Itung itung dapat pahala lah, sudah bikin mereka senang.“Ren, Ren! Untungnya semalam mas Damar stok kesabarannya full. Jadi sabar ngadepin kamu. Kalau enggak, udah ditinggal di pinggir jalan kamu!” Ucap Rini.“Memangnya kalian ada yang pernah ditinggal mas Damar? Tanyaku penasaran.“Nindy tuh yang pengalaman!” Jawab Ratna.“Beneran Nin?” Aku mengonfirmasi langsung ke orangnya.Nindy mengangguk yakin , sebagai jawaba

Bab terbaru

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 66

    “Dasar b o d o h! Bagaimana kamu bisa menyerahkan segalanya pada wanita ini Rendra! Buat apa aku mengejar lelaki miskin!” Teriak Cindy. Aku pun langsung ber high five dengan Risa. Puas sekali kail pancingku tersangkut dengan mudahnya.“Ha ha ha... Kau sangat percaya sekali dengan ucapanku ya?” Puas ku menertawakan wanita itu.“Rendra, aku tadi tidak bermaksud menghinamu. Aku hanya sedang berusaha untuk menyadarkanmu. Betapa liciknya wanita yang telah kamu nikahi itu. Kamu tahu khan, kalau papi mami aku tuh sudah kaya raya jauh sebelum aku lahir. Jadi, buat apa aku ngincar hartamu. Iya khan?” Mendadak ucapan Cindy berubah lembut, setelah menyadari ia hanya kubohongi.“Rendra, tolong. Aku benar benar sakit karena ulah istrimu itu. Tolong aku Rendra, atau aku akan melaporkan perbuatan istrimu ke polisi.” Cindy benar pintar sekali playing victim. Jengkel aku dibuatnya. Risa memberikanku kode dengan kedip kedipan matanya. Tapi aku tak mengerti apa maksudnya.

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 65

    “Bugh! Brakk!” Kutendang wanita itu hingga terpelanting jauh dari posisinya semula. Ia terjatuh menimpa meja. Ahh, pasti sakit sekali rasanya. Apalagi bagi wanita manja seperti dia. Aku memang telah merasa jengkel dengan wanita itu sejak kedatangannya. Semua ucapannya hanyalah meremehkanku. Untunglah Rendra menyuruhku pergi dari meja itu dengan alasan untuk menemani Rayyan. Kukira aku telah terselamatkan dari luapan emosiku sendiri. Ehh, ternyata wanita itu belum merasa cukup membully ku dengan ucapan. Ia tampak berdiri tak lama begitu aku beranjak dari kursi yang kududuki. Ia mengikutiku dengan tangan kanannya menggenggam sebuah pisau yang hendak dia gunakan makan tadi. Tak bisa kubayangkan andai wanita itu berhasil melukaiku. Pisau yang tak tajam itu akan merobek kulitku dengan sangat menyakitkan. Bahkan ikan saja dipotong dengan pisau yang setajam mungkin saat akan dimasak, agar tidak menyakiti ikan itu. Lha ini wanita, mempunyai niat buruk untuk melukaiku dengan pisau makan yang t

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 64

    “Hanya acara makan makan saja. Sama para tetangga. Biar mereka tahu, kalau kita ini sudah menikah. Biar tak ada fitnah.” Jelas Rendra.“Dimana? Pakai pakaian kayak tadi pagi?” Ucapku was was. Aku yang tomboi, tentulah merasa tersiksa harus memakai pakaian super ribet tadi.“Di resto Angsana. Kita pakai baju biasa saja kok. Hanya makan makan sama perkenalan. Nggak pakai acara neko neko.” Terang Rendra lagi. Aku pun bisa menghela nafas lega setelah mendengarnya. Sedangkan Rendra, ia tampak tersenyum ketika mendengarku menghela nafas.*** Pagi ini, setelah menunaikan sholat Subuh, aku kembali membaringkan tubuhku di samping Rayyan. Bocah itu masih terlelap. Ia tampak sangat nyenyak dalam tidurnya.“Assalamualaikum” Baru saja memejamkan mata hendak tidur lagi, terdengar suara salam.“Waalaikumsalam” Sahutku dengan kaget.“Kenapa?” Tanya Rendra heran.“Hanya belum terbiasa.” Jawabku tak enak. Rendra berjalan mengh

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 63

    “Mau beli apa?” Tanya Rendra kemudian. Aku berjalan mencari letak es krim. Rendra terus mengekoriku di belakang. Karena tak mungkin ia menggandengku, ruang kosong yang tersedia cukup sempit. Kubuka tempat penyimpanan es krim. Ku ambil semua es krim dengan rasa durian. Aku juga membeli cooling box untuk menyimpannya. Cukup banyak es krim yang kubeli. Cukuplah untuk dibagi rata semua yang ada di rumah eyang.“Es krim durian?” Ucap Rendra heran.“Sama sama durian khan?” Sahutku.“Terserah kamu sajalah sayang.” Ucap Rendra pasrah.“Kita cari makan dulu ya, sayang.” Rendra menawarkan.“Nggak usah. Di rumah lagi bakar ikan. Kita makan di rumah aja ya. Kalau kelamaan, nanti es krimnya cair.” Ucapku.*** Akhirnya, aku dan Rendra sampai rumah eyang juga. Setelah memarkirkan mobil kami langsung masuk ke tempat dimana orang orang masih berkumpul. Halaman luas yang tadi pagi penuh dengan kursi kursi dan meja sekarang berganti karp

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 62

    “Assalamualaikum.” Ucapanku membuat Rendra menatapku penuh tanya. Dari tatapannya kuketahui ia sedang penasaran dengan siapa yang menghubungiku. Aku pun kemudian menunjukkan layar ponselku, agar ia tahu nama orang yang menghubungiku. Setelah beberapa saat berbincang, aku pun mematikan panggilan. Setelahnya, kucari nama kontak mas Damar. Dan menelponnya.“Apa?” Sahut mas Damar begitu panggilan terhubung. “Assalamualaikum.” Ucapku tanpa memedulikan ucapan mas Damar tadi.“Waalaikumsalam.” Jawab mas Damar dengan ketus.“Tadinya aku mau memberikan info yang pastinya bakal bikin mas Damar berbunga. Tapi nggak jadi sajalah. Dengar suara mas aja, aku udah bad mood.” Seruku. Tanpa banyak bertanya, Rendra hanya terus memandangiku dan mendengarkan obrolanku di ponsel.“Ini udah jam berapa! Capek kami menunggu kalian pulang.” Gerutu mas Damar.“Udah jam 11 malam, emang kenapa? Orang aku perginya sama suami sendiri. Bukan suami orang. Lagia

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 61

    Aku keluar untuk memastikan keberadaan Rendra. Kulihat ke kiri dan ke kanan. Tapi tak kudapati keberadaan suamiku itu. Menyebalkan! Atau yang sebenarnya adalah ia memberikanku waktu untuk membaca dengan baik baik dan teliti setiap tulisannya di album itu? Ya, sepertinya memang begitu.Aku duduk di bangku depan glamping sendirian. Para pengunjung di sini kebanyakan datang bersama dengan keluarga dan pasangan. Rasanya aneh, saat hanya aku sendiri yang sendirian. Beberapa saat kemudian, kulihat Rendra berjalan mendekat ke arahku sambil menjinjing beberapa kantong plastik di tangan kiri dan kanan.“Darimana? Katanya sebentar!” Protesku begitu ia sampai. Ia tak menjawab. Hanya menunjukkan kedua tangannya yang penuh barang belanjaan. Ia kemudian duduk di sampingku setelah meletakkan kantong plastik di meja. Kemudian menyodorkan sebungkus camilan padaku. Tapi, ia membukanya terlebih dulu sebelum menyerahkan padaku.“Sudah selesai?” Tanya Rendra. Ia pasti menanyak

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 60

    Kulihat halaman demi halaman album itu dengan seksama. Di dekat setiap foto yang tersimpan, selalu ada tulisan tangan Rendra. Kalimat kalimat yang menggambarkan isi hatinya, yang kutahu ditujukan padaku, atau setidaknya hanya keterangan hari dan tanggal foto itu diambil. Di halaman ke 20, kulihat foto diriku saat study tour. Seingatku, foto ini dulu ada di album foto kecil yang ia tunjukkan di kelas, seminggu sepulang kami dari acara study tour itu. Di dalam album foto itu, ada foto foto teman teman sekelas kami. "Demi mendapatkan foto ini, aku foto semua teman sekelas satu per satu hanya agar mereka tak mencurigaiku yang terlihat selalu fokus mengambil gambarnya. Saat kutunjukkan gambar ini di kelas, Rena memuji hasil jepretanku. Dia bilang hasil jepretanku keren. Ia mengatakan kalau aku berbakat menjadi seorang fotografer. Hati ini benar benar berbunga. Pujian Rena, membuatku memutuskan menjadikan fotografer, sebagai bagian dari cita citaku. Aku harus bisa menja

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 59

    “Tunggu dulu!” Cegahku.“Ada apa?” Tanya Rendra.“Coba lihat!” Aku menunjuk diri sendiri kemudian beralih menunjuknya.“Style kita terlalu jauh beda. Nggak sepadan. Aku kayak lagi jalan sama om om, kalau bajumu kayak gini. Ganti!” Gerutuku. Penampilan Rendra tak jauh beda dari waktu acara akad tadi. Meski tanpa jas, ia masih mengenakan kemeja putih formal dan celana bahan tadi pagi. Dasi juga masih melingkar di lehernya, meski tak serapi tadi. Sedangkan aku, memakai celana overall bahan jeans kupadukan dengan kaus lengan panjang.“Kita ke rumah pak dhe dulu ya. Baju gantiku ada di rumah pak dhe.” Ucap Rendra.“Kelamaan” Ucapku. Rendra terlihat heran tapi tak menyangkal ucapanku. Pasti dia heran, bagaimana mungkin aku bisa mengatakan ‘kelamaan’, padahal rumah pak dhe hanya berselang 2 rumah dari tempat ini. Aku tak peduli.Berjalan mendekatinya, mengikis jarak antara aku dan Rendra. Kulepas dasi yang melingkar di lehernya. Ia hanya diam dan terus menatapku lekat. Kulepas 2 kancing atas

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 58

    “Ada apa ya mas? Kenapa bunda nangis? Rendra mana tak cari cari nggak ada?” Cecarku setelah mas Alif menoleh karena tepukan tanganku di bahunya. “Rena, kamu mandi apa tidur sih?” Sindir Nindy yang berdiri tak jauh dari tempat mas Alif berdiri.“Mandi. Trus ketiduran!” Ucapku tanpa merasa bersalah.“Rena!” Bunda memanggil namaku begitu melihat aku ada tak jauh dari beliau. Bunda pun langsung menghapus air matanya dan bangkit, kemudian mendekatiku. Tanpa kuduga bunda langsung bersimpuh di hadapanku. Membuatku dan semua orang kaget. Aku pun langsung menjatuhkan diriku di hadapan bunda. Duduk sambil menatapnya lekat. Walau aku belum tahu apa yang terjadi, feelingku ini ada kaitannya dengan Rendra. Ya, seorang ibu yang sebenarnya akan mampu melakukan apapun demi anaknya. Tak peduli tentang harga diri ataupun gengsi. Tak seperti ibuku. Sering kali terbersit di pikiranku, ‘benarkah aku anaknya?’.“Rena, bunda minta tolong. Tolong telepon Rendra. Kami s

DMCA.com Protection Status