“Kalau foto fotonya cuman kayak gitu, nggak bisa dijadikan bukti deh kayaknya.” Tulis Dian.
“Iya, mbah kakung pasti nggak percaya.” Tulisku. “Kalau dapat dari upload –an medsos, ya cuma kayak kayak gitu lah.” Tulis Santi. “Ya iyalah. Masa di medsos upload foto mesum, ya nggak mungkinlah. Kecuali sudah agak error orangnya.” Tulis Dewi. “Gimana kalau kamu deketin Vina, San?” Tulis Dewi. “Kenapa harus aku coba?” Tulis Santi tidak terima. “Karena, dari kita berempat, cuman kamu yang nggak terlalu frontal membenci dia. Iya khan, Wi?” Tulis Dian. “Iya. Kalau kita bertiga khan, kalau ketemu dia, bawaannya pengen nonjok aja.” Tulis Dewi. “Lagian khan kamu sama Vina 1 tempat kerja.” Tulis Dewi lagi. “Oke deh! Demi kamu Ren, aku bakalan deketin Vina.” Tulis Santi. “Kalian emang best friend aku!” Tulisku senang. “Tok, tok, tok!” Terdengar suara ketukan pintu. Aku kemudian berjalan ke pintu dan membukanya. Ada ibu di depan pintu kamarku. “Ayo, kita makan dulu!” Ajak ibu. “Rena masih kenyang bu!” Tolakku. “Ayolah Ren!.” Ajak ibu lagi. Dengan terpaksa aku mengikutinya. Biasanya, jika aku sedang jengkel seperti ini, aku selalu menolak ikut makan malam bersama. Aku lebih suka menunda makanku daripada harus ketemu orang yang membuatku jengkel. Nanti, saat semua orang telah terlelap, barulah aku ambil makanan ke dapur. Mengendap endap seperti pencuri. *** Ketika sampai di ruang makan, aku terkejut. Ternyata, peserta makan malam ini bukan hanya keluarga kami. Terlihat ada 1 keluarga lain. Ya. Lelaki yang baru saja aku ghibahin dengan ketiga temanku tadi, ada di ruang makan ini. Kupindai satu per satu tamu yang berada di ruang makan ini. Mbah kakung duduk di dekat lelaki yang sama tuanya dengan beliau. Aku yakin, pasti lelaki tua itu adalah kakek Hutomo. Pasti! Bisa dilihat dari keakraban mereka berdua. Bapak duduk di dekat seorang lelaki yang aku perkirakan usianya sedikit lebih tua dari bapak. Mungkin itu adalah ayah dari si Ferdian. Dan ibu, duduk di dekat wanita sebaya dengannya. Pasti itu ibu si Ferdian. Dan di meja makan itu, hanya tersisa satu kursi kosong, yang berada di sebelah Ferdian. Sepertinya mereka sengaja mengaturnya. Aku terpaksa duduk di kursi itu. Selera makanku menguap entah kemana. Semua yang ada di meja makan ini, makan dengan lahapnya. Kecuali aku. Aku hanya mengaduk aduk makanan di piringku. Sambil memonyongkan bibir. Dan sesekali kuhentakkan sendok ke piring hingga menimbulkan bunyi. Tidak sopan sih, tapi.... “Biarkan saja!” Ucapku dalam hati. “Biar mereka tahu, kalau aku tidak suka perjodohan ini.” Batinku. Di sela sela makan, mbah kakung memperkenalkan orang orang ini padaku. Mulai dari kakek Hutomo, om, tante dan terakhir Ferdian. Aku tidak mempedulikannya. Aku tetap cuek sambil mengaduk aduk nasi di piringku. Benar. Tidak sopan! Tapi, barangkali setelah melihat aku yang kurang beradab ini, mereka akan mundur. Siapapun pasti tak mau memiliki menantu tak beradab. Kurasakan cubitan ibu di pahaku. Memperingatkanku untuk bersikap sopan. But, i don’t care! Aku sedang dalam misi menggagalkan perjodohan ini. Raut wajah mbah kakung dan kedua orang tuaku terlihat sedang menahan malu. Aku sebenarnya kasihan, karena aku telah mempermalukan mereka dengan sikapku. Tapi, bukankah misi harus berhasil? Selesai makan malam, Ferdian dan keluarganya beserta mbah kakung dan kedua orang tuaku menuju ke ruang tamu untuk melanjutkan perbincangan di sana. Aku yang benar benar malas dan sama sekali tak tertarik dengan obrolan mereka, berjalan berbelok ke arah kamarku. Tapi tanganku langsung di cekal ibu. Beliau langsung menarikku ke ruang tamu. Mendudukkanku tepat di sampingnya. Ibu duduk di sampingku dengan posisi waspada. Takut aku melarikan diri sepertinya. Ketika mereka semua asyik berbincang dan bercengkrama, aku duduk dengan posisi malas malasan, sambil sibuk memilin milin ujung sarung bantal sofa yang ku pangku. Ketika mereka mengajakku berbicara pun aku hanya diam tak menanggapinya. Hari ini, aku benar benar bertingkah sebagai anak yang kurang ajar, nggak beradab, tidak tahu sopan santun, seperti kata kata yang sering dilontarkan ibu dan mbah kakung padaku, akhir akhir ini. Mungkinkah ini adalah bukti nyata bahwa ucapan adalah doa? Ibu berulang kali mencubit pinggangku, untuk memperingatkan akan tingkahku yang membuat mereka malu. Tapi, lagi lagi tak kuhiraukan. Meskipun aku merasakan perih di pinggangku akibat cubitan ibu. Obrolan di ruang tamu ini sebenarnya baru berjalan 30 menitan, tapi bagiku terasa sudah berjam jam. Mereka sibuk dan asyik membicarakan mengenai persiapan pernikahan yang sama sekali tak kusetujui ini. Aku memang benar benar tak mereka anggap! “Hei! Aku ini juga manusia seperti kalian, yang punya hati sama seperti kalian.” Teriakku dengan sangat keras di dalam hati. Setelah 1 jam-an mereka pun pamitan pulang. Rasanya lega sekali hati ini. Saat mereka pamitan padaku, aku tak menanggapinya. Bahkan, uluran tangan dari mereka pun tak kutanggapi. Kubiarkan saja tangan mereka menggantung di udara. Raut wajah mbah kakung terlihat sangat marah sekali, melihat tingkahku. Sepertinya keselamatanku sedang terancam. Kali ini aku benar benar mempermalukan mereka. Ketika tamu sudah sepenuhnya pergi. Mbah kakung langsung menghampiriku. Kemudian tanpa aba aba, “Plak!” Mbah kakung menamparku. Tapak tangan tercetak di pipi kiriku. Perih! Sangat perih rasa pipi kiriku. Tapi, lebih sakit lagi rasa di hatiku. Sakit! Sakit sekali hatiku saat ini. Ini pertama kalinya dalam hidupku, ada orang yang mengasariku. Dan semakin menyakitkan lagi, orang itu adalah orang yang menjagaku selama ini. Bukan hanya aku yang shock. Ibu dan bapak pun tampaknya juga terkejut melihat mbah kakung menamparku dengan sangat keras. Pasti mereka tak akan percaya mbah kakung sanggup berbuat seperti ini, andai mereka tak menyaksikannya sendiri. Kupegang pipi kiriku yang terasa panas dan perih. “Kamu bertingkah seperti orang yang tak pernah diajari sopan santun! Kamu benar benar mempermalukan mbah mu ini. Bagaimana bisa cucu seorang Sastro Dimejo tidak beradab seperti ini. Memalukan! Kamu sudah mencorengkan arang ke muka mbah mu ini!” Marah mbah kakung padaku. “Dengar Rena! Dengan atau tanpa persetujuanmu, kamu tetap harus menikah dengan cucu Hutomo.” Teriak mbah kakung sambil menunjuk mukaku. “Rena nggak mau!” Jawabku sambil berteriak pula. “Kamu tidak punya hak menolak! Kamu pikir apa yang kamu nikmati selama ini gratis!! Dan sekarang, waktunya kamu membayar semuanya dengan menikah dengan cucu Hutomo! Mengerti!!” Lagi lagi mbah kakung berteriak sambil menunjuk mukaku. Dari semua yang terjadi sampai detik ini. Inilah yang paling membuatku kaget.. “Apakah mbah kakung selama ini menganggap aku menumpang hidup padanya?” Tanyaku dalam hati. Tanpa aba aba, air mata ini mengalir dengan derasnya dari kedua pelupuk mataku. Aku tidak mengira kalau mbah kakung akan berbicara seperti itu.Aku berlari ke kamar dan meluapkan segala rasa yang menghimpit di dada ini, dengan menangis sekencang kencangnya. Aku tak peduli meskipun suara tangisku ini terdengar oleh tetangga. Ku kesampingkan rasa maluku.Tak terasa, adzan Subuh telah terdengar berkumandang. Rupanya, semalam aku menangis sampai tertidur. Seusai menunaikan sholat Subuh, ku ambil hp yang tergeletak di atas nakas samping tempat tidurku. Pada saat bersamaan ada telepon masuk dari Santi. Segera kuangkat.“Assalamualaikum.” Ucapku.“Waalaikumsalam, Ren.” Jawabnya di seberang sana.“Ada apa San, jam segini telepon?” Tanyaku.Ya, ini baru sekitar jam 5 pagi. Tak biasanya dia menelepon sepagi ini.“Cuma mau mastiin, kalau kamu baik baik saja, Ren. Habisnya, pesanku nggak ada yang kamu balas .” Terang Santi. “Hari ini bisa ketemuan nggak?” Tanya Santi.“Aku nggak boleh keluar rumah lagi San. Sampai hari pernikahan katanya.” Jelasku.“Kita komunikasi lewat hp aja ya.” Tambahku.“Siap, Ren!” Jawabnya.“Kamu tenang aja, Re
“Buruan Ren!” Suruh ibu. Ia sedang menunggu di depan pintu kamarku.“Bentar bu.” Jawabku. Aku sengaja memperlambat aktivitas yang kulakukan.“Nanti kita terlambat. Kasihan kan. Kalau tante Vera dan Ferdian nunggu kelamaan!” Ucap ibu."Tante Vera siapa sih Bu?" Tanyaku pura pura lupa."Tante Vera itu mamanya Ferdian. Masa kamu lupa sih Ren?" Jawab ibu disabar sabarkan.Hari ini, ibu bilang akan mengajakku ke butik untuk fitting baju pengantin.“Gerak cepat sekali mereka! Baru kemarin aku menyatakan bersedia, sekarang langsung fitting baju pengantin.” Batinku.Wajah ibu terlihat sangat segar, cerah dan ceria. Padahal kemarin, wajahnya terlihat sangat pucat pasi. Membuatku, terus terang ketakutan. Aku takut terjadi sesuatu yang enggak enggak pada ibuku itu. Tapi, lihatlah dia sekarang! Senyum merekahnya terus terusan terpatri di bibirnya. Wajahnya terlihat berbinar. Apakah yang kemarin itu akting?“Ren, cepetan! Ngapain saja sih lama amat? Bukannya kamu itu nggak pernah make up –an?” Tan
Baru saja Dewi selesai bicara, ternyata mereka sudah datang. Terdiri dari 10 orang. 2 diantaranya adalah Santi dan Dian. Para sahabatku ini bukan hanya mendapatkan bukti foto dan video pengakuan Vina, tapi membawa langsung orangnya ke sini. Keren memang 3 sahabatku ini.Ketika rombongan orang itu semakin mendekat ke arah kami, kulihat wajah Ferdian juga semakin tegang dan tampak pucat. Bukan hanya dia, tapi juga dengan ibunya, tante Vera.“Siapa kalian semua?” Tanya kakek Hutomo.“Mereka adalah orang yang saya sebutkan tadi!” Ucap Dewi dengan lantang.Budhe Lastri mendekat ke arahku. Ada diantara aku dan ibu. Dan eyang uti, lagi lagi beliau menggenggam erat tanganku.Kudengar suara para tamu yang asyik berkasak kusuk.“Perkenalkan, ini adalah Vina, mbah Sastro! Wanita ini sedang hamil 5 bulan. Dan pria yang menghamilinya adalah cucu kakek Hutomo, yang anda bangga banggakan itu!” Jelas Santi.Hebat sekali para sahabatku hari ini. Biasanya, begitu bertemu muka dengan mbah kakung, nyali
Di dalam mobil, hanya ada keheningan. Tak ada satu pun yang berniat bicara. Semua sibuk dengan pikirannya masing masing. Termasuk Rena. Setelah melaju beberapa saat,“Kruk, kruk, kruk.” Bunyi yang berasal dari perutku, membuyarkan keheningan di dalam mobil ini. Eyang tersenyum menoleh menatapku membuatku merasa malu. Pastilah wajahku pun telah memerah.“Lapar? Rena tadi belum makan?” Tanya Eyang padaku.“Belum eyang.” Jawabku.“Sejak kapan?” Tanya eyang lagi. Yang lainnya hanya menyimak.“Kemarin sore.” Jawabku singkat.Tanpa mengucapkan apapun, pak dhe langsung membelokkan mobil ke rumah makan dan memarkirkannya. Baru setelahnya bertanya padaku,“Kita makan di sini saja ya Ren?” Tanya pak dhe.“Iya. Ibu juga lapar ini, Ram!” Eyang yang menjawab.“Sama. Aku juga lapar mas. Tadi belum sempat icip icip hidangannya.” Ucap budhe Lastri.“Kami juga lapar, pak dhe. Bukan cuma Rena!” Protes Nindy.Semua penumpang, rombongan kami bukan hanya mobil yang kutumpangi telah turun, kecuali aku. Bah
Saat aku membuka mata, ternyata aku sudah tak berada di dalam mobil lagi. Kulihat ke sekelilingku. Memindai satu persatu isi ruangan ini. Sepertinya ini adalah sebuah kamar tidur. Tapi kurasa ini bukanlah salah satu kamar tidur di rumah eyang uti. Aku segera bangun dari ranjang dan berjalan menuju pintu kamar. Begitu pintu kamar terbuka, bisa kudengar suara beberapa orang tengah mengobrol. Aku pun berjalan ke arah sumber suara itu. Kulihat eyang, pak dhe Ramdan dan istrinya bu dhe Narti, juga mas Damar sedang duduk di ruang keluarga. Mereka tak mengacuhkan televisi yang sedang menyala. Tampaknya obrolan mereka lebih menarik dari siaran di televisi. Sepertinya mereka sedang asyik memperbincangkan sesuatu. Sampai sampai, mereka tak menyadari kedatanganku.“Eyang!” Panggilku.“Sudah bangun tho? Sini nduk!” Ucap eyang sambil menepuk kursi kosong di sampingnya. Aku pun menghampiri eyang dan duduk di kursi yang beliau tepuk tadi.“Kok Rena nggak dibangunin sih tadi?” Protesku.“Kamu tidu
Anak kecil itu dengan jari telunjuknya terus menunjukku. Aku dan Rini dibuat heran oleh tingkahnya itu.“Mama!” Ucapnya lagi. Kali ini sambil menunjukku. Aku pun semakin bingung dengan tingkah anak ini. Begitu pun Rini.“Ini mama kamu?” Tanya Rini ke anak tersebut seraya menunjukku. Aku pun menepis tangannya yang mengarah padaku. Jengkel rasanya. Bagaimana mungkin dia bisa menanyakan itu. Bagaimana mungkin aku punya anak? Jelas jelas aku belum pernah menikah. Ehh, gagal nikah pula. Anehnya anak itu mengangguk dengan yakin.“Ternyata anakmu Ren!” Pekik Rini tertahan.“Ngaco kamu Rin!” Ucapku seraya memukul bahu Rini. Anak kecil itu memandang kami dengan senyum mengembang yang terus terpatri di bibirnya. Dan akhirnya tawa Rini pun meledak. Kami sampai menjadi perhatian para pengunjung. Sadar tawanya mengundang perhatian, Rini pun langsung membekap mulutnya dengan tangan.“Kamu ajak ke depan sana, Rin! Ke dekat meja kasir. Pasti orang tuanya kebingungan nyari nih anak.” Ucapku. Rini pu
“Rena Hanindya!” Seru orang itu.“Siapa ya?” Tanyaku heran. Aku tak merasa mengenal lelaki yang sedang berdiri di depanku ini. Kenapa dia tahu namaku? Apa dia salah satu fans di dunia maya. Tak pernah bertemu tapi sok kenal? Kenapa aku jadi narsis begini sih!Lagi lagi orang orang dibuat heran dan kaget dengan kejadian ini. Tapi mas Damar yang sedang duduk di sampingku terlihat biasa saja sih. “Anakmu bro? Capek nih, udah gendong sejak tadi!” Ucap mas Damar dengan ketus.Kata kata mas Damar sepertinya mampu mengalihkan pandangannya yang terus tertuju padaku. Saat lelaki itu hendak mengambil anaknya dari pangkuanku. Mas Damar mencegahnya. Ia kemudian mengangkat anak itu dari pangkuanku dan menyerahkannya pada lelaki tersebut, dengan wajah juteknya. Nggak ada ramah ramahnya. Mungkin, orang yang tak mengenal kedekatan kami sebagai sepupu akan menganggap mas Damar sedang cemburu.“Terima kasih banyak ya nak Rena.” Ucap bu Ning.“Sama sama bu.” Jawabku.“Terima kasih ya kak.” Ucap Risa.
Biasanya, saat membonceng motor dengan mas Damar, aku selalu merangkulnya dari belakang dan berceloteh ria di dekat telinga mas Damar yang tertutup helm. Suara berisikku, selalu menemani kami berkendara. Tapi, kali ini, aku hanya diam saja sepanjang perjalanan. Aku duduk di ujung jok belakang. Aku juga tak berpegangan dengan mas Damar. Tapi pada besi kiri kanan jok motor.“Kamu marah, Ren?” Tanya mas Damar. Aku hanya diam saja tak menjawab pertanyaannya.“Sudah tahu marah, masih juga nanya.” Batinku.“Ren!” Panggilnya. Tapi aku tetap membisu.“Kamu suka, sama cowok yang tadi?” Tanyanya.“Boro boro! Kenal aja nggak!” Jawabku ketus.“Nah, gitu dong. Kalau ditanya langsung jawab.” Ujarnya.Aku terus menunjukkan wajah cemberutku. Aku tahu, mas Damar sesekali melongok ke spion motor melihat ke arahku. Aku ingin mas Damar tahu aku sedang jengkel. “Kenapa?” Tanya mas Damar.“Lapar.” Jawabku singkat. Aku benar benar jengkel dengannya. Bagaimana bisa ia mengajakku pulang saat aku sedang asyik