“Maaf mbak, yang bayarin kita siapa ya? Cewek apa cowok?” Tanya Dewi pada mbak kasir.
“Iya, mbak, orangnya yang mana ya?” Tanya Dian penasaran. “Namanya siapa ya mbak?” Tanya Santi juga tak mau kalah. Mbak kasir terlihat bingung, diberondong pertanyaan oleh teman temanku. “Cowok, mbak. Orangnya baru saja pergi, mbak. Kalau namanya saya nggak tahu. Tadi dia hanya ninggalin kertas itu. Maaf ya mbak.” Terang sang kasir terlihat merasa bersalah. “Ga pa pa kok mbak. Ya udah deh, kami permisi dulu ya.” Ucapku. “Silahkan!” Jawab mbak kasir dengan ramah. Kami berempat pun segera berjalan ke parkiran dengan langkah cepat. Berharap orang yang membayari makan kami masih ada di sana. Selain untuk mengobati rasa penasaran juga untuk mengucapkan terima kasih. Sampai di parkiran kami berempat celingak celinguk ke kanan kiri mencari orang tersebut. Tapi, nyatanya tak ada orang di parkiran selain bapak tukang parkir dan kendaraan yang berjejer rapi. Sepertinya kami terlambat. *** Dewi mengantarkanku pulang dengan motornya. Sesampai di depan pintu pagar rumah, sudah disambut mbah kakung yang bertolak pinggang. Setelah aku turun dari motor Dewi, segera kusuruh dia untuk pergi. Aku tak mau Dewi juga menjadi sasaran kemarahan mbah kakungku. Dia pun langsung tancap gas. Sepertinya Dewi juga merasa ngeri menghadapi kemarahan mbah kakung. “Apa ini perilaku wanita baik baik?” Tanya mbah kakung dengan maksud menyindirku. “Pergi tanpa pamit! Seenaknya saja! Apa kamu lupa yang namanya tata krama!” Bentak mbah kakung padaku. “Siapa bilang Rena pergi nggak pamit? Rena pamit kok sama ibu. Tanya aja sama ibu kalau mbah kakung nggak percaya!” Jawabku tak mau mengalah. Egoku sama tingginya dengan Mbah Kakung. Mungkin aku tertular dengan wataknya. Karena dialah yang membesarkanku. “Pasti teman temanmu itu yang bikin kamu berani sama mbah kakung!” Tuduh mbah kakung pada teman temanku. “Mbah kakung nggak usah nyebar fitnah, ya! Harusnya mbah kakung sadar diri, siapa yang sudah bikin Rena berubah.” Ucapku tak mau kalah. Tak terima para sahabatku disalahkan. “Rena.......” Ucapan mbah kakung terputus. “Pak, sudah. Jangan teriak teriak di depan rumah. Malu sama tetangga.” Ucapan ibu yang memotong perkataan mbah kakung. “Rena, masuk rumah! Jangan membantah perkataan orang tua.” Perintah ibu padaku. Tanpa menjawab ibu, aku langsung masuk ke rumah dan langsung ke kamar. Mengunci kamar dari dalam. Kurebahkan badan ini ke tempat tidur. Dalam posisi telungkup ku tutup kepala dengan bantal. Ya, ini yang kulakukan setiap kali merasa jengkel. Drrt,drrt,drrt. Terdengar bunyi getaran dari hp yang masih berada di dalam tas. Kutarik tasku yang berada di dekat kakiku. Kuambil tas, kubuka dan menarik hp yang ada di dalamnya. Ku lihat layar hpku, ternyata notifikasi pesan w******p. “Ren, gimana? Amankah? Masih utuhkah dirimu, Ren?” Bunyi pesan dari Dewi. Pastilah ia khawatir. Ia tadi melihat jelas raut wajah penuh kemarahan mbah kakung. “Aman, Wi.” Jawabku singkat. “Benarkah? Kenapa pendek sekali balasanmu, Ren?” Dewi langsung membalas pesanku. “Suntuk, Wi.” “Udah dulu ya. Nanti kalau suasana hatiku udah enakkan, aku telepon. Ok?” Balasku. “Siap.” Tulis Dewi. Seusai membaca balasan dari Dewi, aku langsung mematikan hpku. Melemparnya ke sofa yang berada di sudut kamarku. Kemudian ku coba memejamkan mata. Tidur sepertinya menjadi jalan menenangkan hati dan pikiranku. *** Aku terbangun ketika mendengar suara alarm yang berasal dari hpku. Kucari ke sekeliling kamar keberadaan hpku. Aku lupa kalau tadi benda itu kulempar ke sofa. Begitu kutemukan, kulihat ke jam di layarnya, jam 17.30 wib. Aku memang menyetel banyak alarm di hpku. Ini salah satunya, jam 17.30 wib, waktuku mandi sebelum adzan maghrib. Kalau kalian mau bilang, ‘mandi maghrib maghrib tidak bagus buat kesehatan’, maaf ya teman, ini sudah jadi kebiasaanku. Bahkan jika sebelum ashar aku mandi, nanti sebelum sholat maghrib pun aku juga akan mandi lagi. Gerah!!! Untunglah! Kamar mandiku berada di dalam kamarku, jadi aku tak perlu keluar kamar dan dengan terpaksa bertemu mbah kakung. Aku masih jengkel dengannya. Selesai mandi, pas, terdengar suara adzan maghrib. Jadi, langsung saja aku mengerjakan sholat maghrib. Setelah sebelumnya sudah mengambil wudhu. Seusai mengerjakan sholat, berdzikir dan berdoa, aku berdiam diri di atas sajadah. Aku bingung harus melakukan apa. Akhirnya, ku ambil mushaf Al Qur’an dan ku baca. Tak terasa aku membacanya hingga terdengar lantunan kumandang adzan Isya. *** Sejak maghrib tadi, tidak ada suara ketukan pintu dari ibu, seperti biasanya. Apa ibu marah padaku? Biasanya seusai sholat maghrib dan mengaji sebentar, kan terdengar ketukan pintu oleh ibu. Tawaran untuk memakan camilan buatannya. Benar. Mungkin ibu marah padaku. Setelah selesai menunaikan sholat Isya, aku tak segera keluar kamar. Kuambil hpku yang tergeletak di atas ranjang. Begitu kunyalakan datanya, berjubel pesan w******p masuk, paling banyak, ya dari 3 bestie ku itu. Kubuka pesan di grup wa kami berempat. Terlihat Santi mengirimkan sebuah foto dengan keterangan, “Ren, ini lho, yang namanya Ferdian Hutomo, calon suamimu!” Kemudian Santi mengirim foto lagi dengan keterangan, “Cewek yang jalan sama dia ini namanya Vina. Kakak kelas kita di SMP. Itu lho, yang orangnya rese abis! Inget nggak?” “Yang pernah jambak jambak-an sama Dewi dulu, ya?” Tanya Dian. “Ho’o ” Jawab Santi. “Vina punya hubungan sama nih cowok?” Tanya Dewi. “Wahh, kalau Rena beneran jadi nikah sama nih cowok, hidupnya nggak akan tenang nih. Pasti Vina akan terus terusan cari masalah.” Tulis Dewi. “Dijadiin mainan sama si Ferdi nih anak kayaknya. Khan ferdi playboy, fren!” Tulis Santi kemudian. Terlihat Dian juga mengirim foto. Sebuah screenshoot dengan keterangan, “Ini salah satu teman fbku nih!” Kemudian Dian bertanya, “Ini beneran si Ferdian bukan, cowok yang ngerangkul itu? Atau cuman mirip?” “Iya, betul. Si Ferdian itu!” Jawab Santi. “Kok ceweknya beda?” Tanya Dewi. “Kan dia player!” Jawab Santi. “Hallo,hallo, Ren, Rena, Rena. Kenapa nggak ada tanggapan nih anak? Lama banget sih, si Rena off-nya!” Tulis Dewi. “Mumet dia. Mikirin nasib!” Tulis Santi. Chat terakhir mereka 5 menit yang lalu. “Oh, ini yang namanya Ferdian Hutomo? Goodlooking sih, tapi kok nggak bikin berdebar ya?” Tulisku sebagai balasan chat mereka yang bejibun. “Bodho kamu Ren, kalau berdebar sama cowok modelan dia.” Tulis Santi, membalasku secepat kilat. “Udah bosan aku, liat cowok yang ganteng. Cari yang mukanya biasa biasa aja, yang penting baik dan setia.” Tulisku. “Bosan?” Tulis Dian. “Shok, banget sih Ren. Pacaran aja belum pernah. Koar koar udah bosan!” Tulis Dewi. “Lah! Itu para sepupuku, cowok semua dan goodlooking semua pula.Ya, nggak?” Balasku. “Siapa coba, dulu yang minta dicomblangin sama sepupuku itu? ‘yang mana aja deh Ren’ “ Ledekku. “Kena deh lu, Wi.” Tulis Dian. “Woi, serius woi! Ini menyangkut masa depan Rena!” Tulis Santi. “Oke, kembali ke topik!” Tulis Dewi.“Kalau foto fotonya cuman kayak gitu, nggak bisa dijadikan bukti deh kayaknya.” Tulis Dian.“Iya, mbah kakung pasti nggak percaya.” Tulisku.“Kalau dapat dari upload –an medsos, ya cuma kayak kayak gitu lah.” Tulis Santi.“Ya iyalah. Masa di medsos upload foto mesum, ya nggak mungkinlah. Kecuali sudah agak error orangnya.” Tulis Dewi.“Gimana kalau kamu deketin Vina, San?” Tulis Dewi.“Kenapa harus aku coba?” Tulis Santi tidak terima.“Karena, dari kita berempat, cuman kamu yang nggak terlalu frontal membenci dia. Iya khan, Wi?” Tulis Dian.“Iya. Kalau kita bertiga khan, kalau ketemu dia, bawaannya pengen nonjok aja.” Tulis Dewi.“Lagian khan kamu sama Vina 1 tempat kerja.” Tulis Dewi lagi.“Oke deh! Demi kamu Ren, aku bakalan deketin Vina.” Tulis Santi.“Kalian emang best friend aku!” Tulisku senang.“Tok, tok, tok!” Terdengar suara ketukan pintu. Aku kemudian berjalan ke pintu dan membukanya. Ada ibu di depan pintu kamarku.“Ayo, kita makan dulu!” Ajak ibu.“Rena masih kenyang bu
Aku berlari ke kamar dan meluapkan segala rasa yang menghimpit di dada ini, dengan menangis sekencang kencangnya. Aku tak peduli meskipun suara tangisku ini terdengar oleh tetangga. Ku kesampingkan rasa maluku.Tak terasa, adzan Subuh telah terdengar berkumandang. Rupanya, semalam aku menangis sampai tertidur. Seusai menunaikan sholat Subuh, ku ambil hp yang tergeletak di atas nakas samping tempat tidurku. Pada saat bersamaan ada telepon masuk dari Santi. Segera kuangkat.“Assalamualaikum.” Ucapku.“Waalaikumsalam, Ren.” Jawabnya di seberang sana.“Ada apa San, jam segini telepon?” Tanyaku.Ya, ini baru sekitar jam 5 pagi. Tak biasanya dia menelepon sepagi ini.“Cuma mau mastiin, kalau kamu baik baik saja, Ren. Habisnya, pesanku nggak ada yang kamu balas .” Terang Santi. “Hari ini bisa ketemuan nggak?” Tanya Santi.“Aku nggak boleh keluar rumah lagi San. Sampai hari pernikahan katanya.” Jelasku.“Kita komunikasi lewat hp aja ya.” Tambahku.“Siap, Ren!” Jawabnya.“Kamu tenang aja, Re
“Buruan Ren!” Suruh ibu. Ia sedang menunggu di depan pintu kamarku.“Bentar bu.” Jawabku. Aku sengaja memperlambat aktivitas yang kulakukan.“Nanti kita terlambat. Kasihan kan. Kalau tante Vera dan Ferdian nunggu kelamaan!” Ucap ibu."Tante Vera siapa sih Bu?" Tanyaku pura pura lupa."Tante Vera itu mamanya Ferdian. Masa kamu lupa sih Ren?" Jawab ibu disabar sabarkan.Hari ini, ibu bilang akan mengajakku ke butik untuk fitting baju pengantin.“Gerak cepat sekali mereka! Baru kemarin aku menyatakan bersedia, sekarang langsung fitting baju pengantin.” Batinku.Wajah ibu terlihat sangat segar, cerah dan ceria. Padahal kemarin, wajahnya terlihat sangat pucat pasi. Membuatku, terus terang ketakutan. Aku takut terjadi sesuatu yang enggak enggak pada ibuku itu. Tapi, lihatlah dia sekarang! Senyum merekahnya terus terusan terpatri di bibirnya. Wajahnya terlihat berbinar. Apakah yang kemarin itu akting?“Ren, cepetan! Ngapain saja sih lama amat? Bukannya kamu itu nggak pernah make up –an?” Tan
Baru saja Dewi selesai bicara, ternyata mereka sudah datang. Terdiri dari 10 orang. 2 diantaranya adalah Santi dan Dian. Para sahabatku ini bukan hanya mendapatkan bukti foto dan video pengakuan Vina, tapi membawa langsung orangnya ke sini. Keren memang 3 sahabatku ini.Ketika rombongan orang itu semakin mendekat ke arah kami, kulihat wajah Ferdian juga semakin tegang dan tampak pucat. Bukan hanya dia, tapi juga dengan ibunya, tante Vera.“Siapa kalian semua?” Tanya kakek Hutomo.“Mereka adalah orang yang saya sebutkan tadi!” Ucap Dewi dengan lantang.Budhe Lastri mendekat ke arahku. Ada diantara aku dan ibu. Dan eyang uti, lagi lagi beliau menggenggam erat tanganku.Kudengar suara para tamu yang asyik berkasak kusuk.“Perkenalkan, ini adalah Vina, mbah Sastro! Wanita ini sedang hamil 5 bulan. Dan pria yang menghamilinya adalah cucu kakek Hutomo, yang anda bangga banggakan itu!” Jelas Santi.Hebat sekali para sahabatku hari ini. Biasanya, begitu bertemu muka dengan mbah kakung, nyali
Di dalam mobil, hanya ada keheningan. Tak ada satu pun yang berniat bicara. Semua sibuk dengan pikirannya masing masing. Termasuk Rena. Setelah melaju beberapa saat,“Kruk, kruk, kruk.” Bunyi yang berasal dari perutku, membuyarkan keheningan di dalam mobil ini. Eyang tersenyum menoleh menatapku membuatku merasa malu. Pastilah wajahku pun telah memerah.“Lapar? Rena tadi belum makan?” Tanya Eyang padaku.“Belum eyang.” Jawabku.“Sejak kapan?” Tanya eyang lagi. Yang lainnya hanya menyimak.“Kemarin sore.” Jawabku singkat.Tanpa mengucapkan apapun, pak dhe langsung membelokkan mobil ke rumah makan dan memarkirkannya. Baru setelahnya bertanya padaku,“Kita makan di sini saja ya Ren?” Tanya pak dhe.“Iya. Ibu juga lapar ini, Ram!” Eyang yang menjawab.“Sama. Aku juga lapar mas. Tadi belum sempat icip icip hidangannya.” Ucap budhe Lastri.“Kami juga lapar, pak dhe. Bukan cuma Rena!” Protes Nindy.Semua penumpang, rombongan kami bukan hanya mobil yang kutumpangi telah turun, kecuali aku. Bah
Saat aku membuka mata, ternyata aku sudah tak berada di dalam mobil lagi. Kulihat ke sekelilingku. Memindai satu persatu isi ruangan ini. Sepertinya ini adalah sebuah kamar tidur. Tapi kurasa ini bukanlah salah satu kamar tidur di rumah eyang uti. Aku segera bangun dari ranjang dan berjalan menuju pintu kamar. Begitu pintu kamar terbuka, bisa kudengar suara beberapa orang tengah mengobrol. Aku pun berjalan ke arah sumber suara itu. Kulihat eyang, pak dhe Ramdan dan istrinya bu dhe Narti, juga mas Damar sedang duduk di ruang keluarga. Mereka tak mengacuhkan televisi yang sedang menyala. Tampaknya obrolan mereka lebih menarik dari siaran di televisi. Sepertinya mereka sedang asyik memperbincangkan sesuatu. Sampai sampai, mereka tak menyadari kedatanganku.“Eyang!” Panggilku.“Sudah bangun tho? Sini nduk!” Ucap eyang sambil menepuk kursi kosong di sampingnya. Aku pun menghampiri eyang dan duduk di kursi yang beliau tepuk tadi.“Kok Rena nggak dibangunin sih tadi?” Protesku.“Kamu tidu
Anak kecil itu dengan jari telunjuknya terus menunjukku. Aku dan Rini dibuat heran oleh tingkahnya itu.“Mama!” Ucapnya lagi. Kali ini sambil menunjukku. Aku pun semakin bingung dengan tingkah anak ini. Begitu pun Rini.“Ini mama kamu?” Tanya Rini ke anak tersebut seraya menunjukku. Aku pun menepis tangannya yang mengarah padaku. Jengkel rasanya. Bagaimana mungkin dia bisa menanyakan itu. Bagaimana mungkin aku punya anak? Jelas jelas aku belum pernah menikah. Ehh, gagal nikah pula. Anehnya anak itu mengangguk dengan yakin.“Ternyata anakmu Ren!” Pekik Rini tertahan.“Ngaco kamu Rin!” Ucapku seraya memukul bahu Rini. Anak kecil itu memandang kami dengan senyum mengembang yang terus terpatri di bibirnya. Dan akhirnya tawa Rini pun meledak. Kami sampai menjadi perhatian para pengunjung. Sadar tawanya mengundang perhatian, Rini pun langsung membekap mulutnya dengan tangan.“Kamu ajak ke depan sana, Rin! Ke dekat meja kasir. Pasti orang tuanya kebingungan nyari nih anak.” Ucapku. Rini pu
“Rena Hanindya!” Seru orang itu.“Siapa ya?” Tanyaku heran. Aku tak merasa mengenal lelaki yang sedang berdiri di depanku ini. Kenapa dia tahu namaku? Apa dia salah satu fans di dunia maya. Tak pernah bertemu tapi sok kenal? Kenapa aku jadi narsis begini sih!Lagi lagi orang orang dibuat heran dan kaget dengan kejadian ini. Tapi mas Damar yang sedang duduk di sampingku terlihat biasa saja sih. “Anakmu bro? Capek nih, udah gendong sejak tadi!” Ucap mas Damar dengan ketus.Kata kata mas Damar sepertinya mampu mengalihkan pandangannya yang terus tertuju padaku. Saat lelaki itu hendak mengambil anaknya dari pangkuanku. Mas Damar mencegahnya. Ia kemudian mengangkat anak itu dari pangkuanku dan menyerahkannya pada lelaki tersebut, dengan wajah juteknya. Nggak ada ramah ramahnya. Mungkin, orang yang tak mengenal kedekatan kami sebagai sepupu akan menganggap mas Damar sedang cemburu.“Terima kasih banyak ya nak Rena.” Ucap bu Ning.“Sama sama bu.” Jawabku.“Terima kasih ya kak.” Ucap Risa.
“Assalamualaikum, mbah” Rendra menyapa begitu kami telah sampai di hadapan mbah kakung. Sedangkan aku masih setia terdiam. Aku tak tahu, haruskah aku mengeluarkan kata? Atau aku lebih baik terus terdiam saja. Rendra mengulurkan tangannya, mengajak berjabat tangan dengan mbah kakung.“Waalaikumsalam” Jawab mbah kakung sambil menerima uluran tangan Rendra. Dan Rendra pun kemudian mencium punggung tangan mbah kakung. Tak seperti yang terlintas di benak ini. Kupikir, mbah kakung akan menepis uluran tangan suamiku itu. Tapi ternyata tidak. Apa mungkin karena saat ini, kami sedang berada di tengah tengah banyak orang? Ya. Pasti karena itu. Mbah kakung pasti tak ingin mempermalukan dirinya sendiri. Rendra kemudian menyenggol lenganku, memberikanku kode agar segera menyalami mbah kakung. Dan aku pun melakukannya. Kucium punggung tangan kanan mbah kakung. Dan tanpa kuduga, beliau langsung menarik lembut tanganku dan memelukku. Mendekap erat tubuh ini. Kurasakan kehangatan yang selal
Aku mengalami morning sickness yang parah di pagi hari saja. Selebihnya, aku baik baik saja. Kecuali aku mendapati aroma dan bau bau yang tak kusukai, aku akan langsung mual dan muntah.Pagi ini, sholat Subuhku sedikit tertunda karena aku yang terus terusan muntah. Tenggorokanku terasa sakit. Perutku juga. Aku tak berhenti muntah meski seluruh isi perut telah kumuntahkan. Sampai terasa pahit tenggorokanku. Sudah sekitar setengah jam aku menghuni kamar mandi. Rendra terus menemaniku sambil memijat mijat lembut punggungku. Tak lupa juga mengoleskan minyak kayu putih. Rendra bahkan mengurungkan niatnya untuk sholat Subuh ke masjid karena tak tega untuk meninggalkanku.“Eyang boleh masuk?” Ujar eyang uti setelah mengetuk pintu kamarku yang sedikit terbuka.“Silahkan eyang!” Sahut Rendra setengah berteriak karena jarak kami tak dekat. Agar eyang bisa mendengarnya. Eyang kemudian masuk ke kamarku dan menghampiri kami yang tengah di kamar mandi. Mengulurkan segel
Alhamdulillah! Semua berjalan sesuai rencana. Semalam, aku dan mbak Ria, lembur sampai jam 11 malam untuk menyelesaikan gaun ibu. Rendra menungguku ditemani mas Damar, duduk di depan pabrik sambil menikmati kopi.Pagi ini, sekali lagi kuperiksa gaun untuk ibuku ini. Untuk memastikan tak ada yang kurang. Gaun ini sudah ‘sempurna’ seperti yang kumau. Kuminta Rendra untuk memotretku bersama gaun ini, yang kupasangkan pada salah satu manekin yang ada di butik. Meski sebenarnya, tanpa kuminta pun Rendra sudah jeprat jepret tanpa jeda sejak tadi.Mbak Dita datang, tepat saat gaun ibu selesai kupacking. Alhamdulillah! Lega rasanya. Aku tak mau membuat orang yang akan kumintai tolong itu menunggu. Setelah berbincang beberapa saat, mbak Dita berangkat membawa hadiahku untuk ibu.“Akhirnya! Selesai juga.” Sorak Nindy.“Yang ngerjain aku. Yang capek juga aku. Kenapa kamu yang sorak sorak tak jelas gitu? Ora Cetho!” Seruku.“Tahu nggak Rena? Aku tuh
Kubaca nama pengirimnya, ternyata ibu. Kubuka amplop itu perlahan. Ingin tahu apa isinya. Ternyata undangan pernikahan ibu dan om Hidayat. Bukan hanya 1 buah. Tapi ada beberapa. Untukku, untuk bapak, dan untuk tante Fatma. Ada juga secarik kertas dalam amplop coklat itu. Segera kubuka lipatan kertas itu dan kubaca isinya. Hanya beberapa baris kalimat. Ibu memang orang yang tak suka berbasa basi.“Rena, berikan 2 undangan yang lainnya untuk bapakmu dan tante Fatma. Ibu tak memaksamu untuk datang. Datang atau pun tidak itu adalah hakmu.”Kuhela nafas setelah membaca tulisan tangan ibu.“Rena pasti datang bu. Menyaksikan pernikahan kedua ibu. Meski sebenarnya bukan pernikahan yang ibu harapkan, tapi Rena berharap lelaki itu mampu membahagiakan ibu.” Batinku. Rendra yang berada di samping kananku, mengelus lembut punggungku.“Bi, menurutmu, kita akan beri hadiah apa untuk pernikahan ibu?” Tanyaku sambil menatap pria di sampingku ini.“Apa ya
“Astaghfirullahaladzim!” Seruku sambil tangan kiri memegang dada.Ya ampun, bagaimana bisa aku seceroboh ini. Harusnya kupastikan dulu siapa yang menelpon sebelum marah marah.“Assalamualaikum” Sapa seseorang di seberang sana.“Waalaikumsalam. Maaf bunda.” Sesalku. Ditanggapi dengan kekehan dari wanita yang telah melahirkan suamiku itu.“Ada apa?” Tanya bunda padaku.“Nggak ada apa apa kok bun. Rena pikir tadi mas Rendra yang telpon.” Ucapku.“Rendra pasti gangguin kamu ya.” Tebak bunda. Aku pun menceritakan ulah putranya itu pada bunda. Beliau hanya tertawa menanggapi ceritaku.“Matikan saja ponselmu, nduk.” Usul bunda. “Kalau dimatikan, bisa panjang urusannya, Bun.” Sahutku.“Oh iya, ada apa perlu apa bunda telpon Rena?” Tanyaku penasaran. Biasanya, meskipun ingin berbicara denganku, bunda selalu menghubungi ke nomor putranya.“Tadi bunda telpon Rendra nggak diangkat. Mungkin sedang sibuk. J
Seperti hari hari sebelumnya, aku duduk manis menunggui suamiku yang sibuk mencari uang.“Kenapa?” Tanya mas Adi yang hendak melintas. Ia menghentikan sejenak langkahnya di depanku.“Apanya?” Bukannya menjawab aku malah balik bertanya.“Kok lesu? Wajah kamu juga kelihatan agak pucat.” Ucap mas Adi.“Kebanyakan begadang sama si bos itu.” Seloroh mas Doni yang baru saja lewat. Mas Doni memang selalu mencari gara gara saja denganku.“Heem. Dari tadi Rena diam aja. Biasanya khan petakilan.” Mas Edwin ikut memberikan komentarnya. Atau sebenarnya malah nyinyiran.“Kalian ngapain kumpul di situ. Kerja! Kerja!” Teriak Rendra sambil melihat ke arah kami. Tak lupa sambil berkacak pinggang. “Kayaknya Rena sakit nih bos.” Ujar mas Adi. Rendra bergegas menghampiriku.“Kenapa?” Tanyanya mengulang pertanyaan awal mas Adi.“Perutku nyeri beberapa hari ini. Kepalaku juga terasa agak pusing” Jawabku jujur. Rendra kemud
Pagi ini, kami sarapan bubur ayam tak jauh dari apartemen. Setelahnya, kami berangkat ke studio. Pekerjaan Rendra menumpuk, karena beberapa minggu ditunda. Hari ini, ia pasti akan sangat sibuk.“Bukannya kita mau belanja?” Tanyaku ketika kami sampai di depan studio.“Kita belanja sepulang kerja nanti ya.” Ucap Rendra kemudian turun dari mobil. Tak lama kemudian dia sudah membukakan pintu untukku.“Aku di sini ngapain?” Gumamku lirih, tapi masih terdengar Rendra.“Menemani suami.” Sahut Rendra kemudian menggandeng tanganku masuk.“Selamat ya bos, mbak Rena. Semoga samawa!” Ucap para karyawan butik bergantian, sambil menyalami kami.*** Sudah 3 jam aku di studio ini. Duduk di sofa ini sambil ngemil dan main hp. Sesekali aku mengganggu Rendra yang tengah fokus dengan laptop di depannya. Bukannya marah, ia malah terkekeh setiap kali aku mengganggunya. Saat ini, aku tengah memeluk suamiku itu dari belakang. Seraya mengecup p
“Oh, ini mama Rayyan? Apa kabar bu?” Ucap bu guru itu dengan ramah.“Alhamdulillah baik bu. Saya harap ibu guru juga baik.” Sahutku.“Terima kasih.” Ucap bu guru yang bername tag ‘Nurul’ itu. Kemudian tak lama menyusul seorang guru lagi bername tag ‘ Laras’. Mereka berdua yang mengampu di kelas Rayyan.“Sejak tadi pagi, Rayyan antusias sekali menceritakan tentang mamanya. Hari ini, Rayyan terlihat sangat ceria dan bersemangat sekali bu.” Ucap bu guru Nurul.Entah hanya perasaanku atau memang benar, kulihat guru Rayyan yang bernama Laras itu tampak memandangku tak bersahabat. Setelah berbincang beberapa saat tentang perkembangan Rayyan di sekolah, kami pun berpamitan.*** “Bi, bu Laras tadi cantik ya!” Sindirku.“Rena Hanindya yang tercantik!” Sahut Rendra membuatku tersipu.“Iya, mamaku yang paling cantik!” Celetuk Rayyan yang duduk di pangkuanku. Dua lelakiku ini memang ‘duo ahli ngegombal’. Rendra mengacungka
“Tante akan jujur padamu Rena. Bohong jika tante bilang sudah tak memiliki rasa untuk bapakmu. Meski jauh di sudut hati tante, rasa itu masih ada.” Ucap tante Fatma.“Tapi, bukanlah keputusan yang bijak, jika kami bersama lagi saat ini. Sama seperti ibu dan bapakmu dulu, pernikahan tante dan mantan suami tante juga tak didasari rasa cinta pada awalnya. Tapi, bertahun tahun bersama, menjadikan tante untuk belajar menerima takdir yang telah Allah gariskan. Belajar mencintai lelaki jodoh pilihan Allah. Kenyataan harus tetap kita terima meski terpaksa. Karena tak akan ada gunanya memberontak pada takdir yang telah Allah persiapkan.” Ucap tante Fatma.“Adalah sebuah kesalahan jika ibumu berfikir jika bapakmu tak pernah mencintainya. Sama seperti tante, tante yakin bapakmu juga telah belajar menerima takdir dan belajar untuk mencintai ibumu. Waktu demi waktu dilalui bersama, rasa sayang dan cinta pastilah mampu tumbuh. Meski rasa itu tak semenggebu gebu seperti kisah cin