“Lho, kok bagus sih Ren?” Tanya Dewi masih dengan kekagetannya.
“Bagus gimana maksudmu, Ren?” Tanya Dewi lagi. “Sadar nggak sih tadi pas ngomong?” Gantian Dian yang bertanya. Tak percaya dengan apa yang baru saja terucap dari mulut ini. “Maksudku, bagus dong! Aku kan jadi punya peluang besar buat membatalkan rencana mbah kakungku, buat ngejodohin aku dengan itu cowok.” Jelasku ke mereka, agar tak semakin salah paham. “Hehehe, kupikir, tipe cowok ideal versimu yang badboy gitu Ren.” Ujar Dian. “Enak aja!. Mikir dong, masak gue yang ting ting ini dapat yang tong tong sih.” Belaku. Disambut tawa mereka. “Hahahaha....” Tawa mereka serempak. Sepertinya mereka senang sekali mengejekku hari ini. Jadi agak menyesal nih, curhat sama mereka. Tapi kalau aku pendam sendiri di hati, alamat stress lah aku. Sambil panen jerawat. “Senang sekali ya, kalian hari ini.” “tertawa teruusss” “ Nggak apa apa lah itung itung ngumpulin pahala. Kan bikin orang bahagia, pahalanya gedhe.” Ujarku. “Udah, udah. Jangan ngambek, Ren. Kita cari solusinya bersama.” Seru Dewi. “Lagian nih ya, aku nggak ikhlas juga nih, kalau kamu dinikahin sama dia. Bayangin ya, seorang Rena, yang dari lahir mati matian jomblo, masa jodohnya cowok setia kayak Ferdian sih. Kan nggak adil bangetkan ya!” Ucap Dian. “Kok malah belain si Ferdian sih, nggak bestie lah si Dian ini.” Protesku. “Maksudku, si Ferdian itu setia, setiap tikungan ada ceweknya maksudnya.” Celetuk Dian. “Santi, tolong carikan bukti untukku ya! Please, San! Masa depanku ada di tanganmu ini.” Ucapku. Memohon pada Santi. “Oke! Aku usahain.” Jawab Santi singkat, usai menghela nafas panjang. “Terus terang ya Ren, aku juga nggak iklhas, kalau sampe kamu nikah sama si itu.” “Setahuku ya Ren, kamu itu adalah perempuan baik baik, jadi jodohnya juga harus laki laki yang baik baik juga. Ngerti!” “Yang namanya jodoh itu ya Ren, Laki laki baik baik dengan perempuan baik baik. Sedangkan lelaki pezina jodohnya dengan perempuan pezina juga.” Santi ngomong panjang lebar. “Kalau perempuan baik baik dapat jodoh pezina, mana maulah.” “Kalau pezina dapat yang baik baik berarti dia udah tobat. Ya kan, San.” Dewi menimpali. “Ya iyalah. Nih, ya, aku nggak pernah pacaran. Alhamdulillah nggak pernah mendekati zina. Tapi kok ya dijodohin sama pezina. Kalau tahu kayak gini, ya mending ngrusak diri aja. Ya nggak!.” Ucapku. “Heh! Ngaco! Kalau ngomong dipikir dulu. Jangan asal mangap! Ngerti!” Omel Dewi. “Ehh, kamu pikir ada yang mau sama cewek rusak? Udah dosanya numpuk segunung. Nggak laku lagi. Mikir akherat Ren. Jangan asal kalau bertindak.” Nasehat dari Dian. “Sebrengsek brengseknya cowok. Ketika milih pasangan serius, ya tetap milih perempuan baik baik. Mana ada laki laki yang mau anaknya dilahirkan dari perempuan rusak. Mereka pasti milih perempuan baik baik, buat jadi ibu anak anaknya, Ren.” Petuah dari Santi. “Iya. Betul sekali!” Celetuk Dian. “Gitu ya.” Seruku. Ketiga bestie di depanku ini tampak melongo. “Dewi, Santi! Apa menurut kalian, dijodohkan secara paksa itu menurunkan IQ seseorang?” Tanya Dian dengan serius. “Maksudmu apa?” Tanya Santi. “Maksudnya, apa karena dipaksa mbahnya nikah sama itu cowok, IQ nya Rena jadi jeblok? Karena seingatku nih ya, sewaktu kita sekolah dulu, Rena kan paling pintar di antara kita ini. Tiap semester juara 1 terus. Ya kan? Masa? Bisa bisanya dia berfikir ngawur kayak tadi” Omel Dewi. “Sorry guys! Hanya bercanda.” Seruku, sambil nyengir kuda. “Bercanda? Maksud lo?” Omel Dewi. “Hehehe... Biar nggak tegang lah. Di rumah suntuk, di sini mikir tegang, apa nggak stress aku nanti. Atau paling parahnya jadi gila.” Celetukku. “Sudah dibilangin, kalau ngomong jangan sembarangan. Masihhh saja. Ucapan adalah doa, Ren. Hati hati!” Peringat Santi padaku. “Iya. Iya! Maaf, ya!” Sesalku. “Tunggu deh Ren. Kok kayaknya kamu udah nunjukin tanda tanda stres deh!” Ujar Dewi. “Gimana nggak stress deh, Wi. Coba bayangin jadi aku sekali aja!” Ucapku. “Lho, kok malah jadi lagu!” Sambung Dewi. “Yang ini, nggak sedang lagi bercanda, Wi.” Ucapku. Dewi hanya nyengir saja, tanpa rasa bersalah sedikit pun kayaknya. “Oke! Sekarang serius kita!” Ujar Santi. “Kira kira nih Ren, ya! Apa kamu benar benar nggak bisa ngebujuk mbahmu sama ibumu itu?” Tanya Santi, katanya sih serius. “Kalau aku bisa ngebujuk mereka, nggak mungkinlah aku minta bantuan kalian buat cari solusi!” Jawabku kesal. “Oke! Berarti besar kemungkinan, pernikahanmu tetap dilaksanakan, dengan atau tanpa kesedianmu kan? Ada kemungkinan juga, sekarang mereka sudah mempersiapkan pernikahanmu kan? Jadi, kalau sepengetahuanmu, kapan tanggal pernikahanmu itu?” Tanya Santi. “Nggak tahu dan nggak mau tahu aku, tanggal yang sudah mereka sepakati.” Jawabku. “Tapi yang jelas, nggak lama lagi. Makanya, kalian harus cepat cepat cari buktinya.” Pintaku. “Enak tinggal nyuruh.” Celetuk Dian. Kulihat Dewi langsung memukul punggung Dian dengan tangannya lumayan keras. Mungkin Dewi takut aku tersinggung dengan ucapan Dian. “Ya kan, kamu tahu sendiri. Mbah kakung selalu mengawasiku.” “Ini aja ya, aku pulang nanti pasti dimarahi berjam jam. Takutnya sih abis ini aku bakal diawasi ketat. Jadi semakin susah buat keluar rumah.” Ungkapku. ‘Sepupu sepupu gantengmu itu, apa nggak ada satupun yang mau membantu, Ren?” Tanya Dian. “Sepertinya mereka udah kompromi sama mbah kakung buat ngejodohin aku deh. Nggak tahu aku. Disogok pakai apa mereka sama mbah kakung. Kalau nggak mobil baru pasti ya motor sport terbaru.” Ungkapku. “Kupikir para sepupumu itu benar benar sayang sama kamu, Ren. Ternyata, sayangnya hanya seharga mobil. Payahh!” Ucap Dewi. “Ya, mau gimana lagi,Wi. Tentang hati kan nggak kelihatan!” “Bilangnya sayang, ternyata...?” Ucapku. “Aku nggak mau menyakiti mbah kakung maupun ibu. Tapi, aku juga nggak mau, jika untuk membahagiakan mereka, aku harus mengorbankan diriku.” Curhatku. Aku tak bisa seperti lilin. Yang membakar habis dirinya untuk menerangi sekelilingnya. Aku ini hanya manusia biasa. Bukan manusia istimewa. Hanya manusia yang sangat umumnya. “Tenangkan dirimu,Ren! InshaAllah , kami bertiga akan selalu ada untukmu. Kita kan bestie!” Ucap Dian dengan bersemangat. “Kami pasti akan berusaha sekuat tenaga kami untuk membantumu,Ren!” Ucap Dewi. “Jangan bersikap pesimis, Ren! Harus selalu optimis. Yakinlah, pasti selalu ada jalan!” Ucap Santi. “Jangan pernah menyesali hal hal baik yang telah kita lakukan. Jangan pernah berpikir untuk mengotori diri. Oke!” Nasehat dari Dewi. “Teruslah ingat, kamu nggak sendiri!”Ucap Dian. Aku mengangguk anggukkan kepala sejak tadi memberi jawaban atas motivasi motivasi yang mereka lontarkan. Aku bahagia dan bangga, memiliki teman seperti mereka bertiga. Selesai membahas masalahku. Kami masih betah berlama lama di resto ini. Obrolan ringan, mewarnai kami menghabiskan waktu. Meregangkan otak yang beberapa saat lalu tegang. Minuman kami sudah habis pun, kami masih betah berlama lama di sini. Belum berniat untuk angkat kaki. Kami pun memesan minuman lagi. Ditambah beberapa camilan untuk menemani obrolan. Obrolan kali ini, dipenuhi canda, tawa, guyonan. Bukan lagi membicarakan hal serius. Saatnya merefresh suasana hati yang tak baik. Ya, bersama teman temanku ini, adalah salah satu refreshingku. Setelah merasa puas, dan hari pun sudah sore, kami pun beranjak untuk pulang. Aku pun melangkahkan kaki ke meja kasir. Ya, tadi aku ngotot untuk mentraktir teman temanku. Awalnya sih mereka menolak. “Mbak, tolong tagihan untuk meja 35.” Pintaku pada kasir. “Meja no. 35, sudah dibayar mbak.” Jawab sang kasir. Aku kaget lalu menoleh ke arah 3 temanku yang berada di belakangku, sebagai isyarat menanyakan ‘siapa yang bayar?’. Ketiga temanku menggeleng bersamaan. Itu tandanya bukan salah satu dari mereka yang membayar. Lalu siapa? “Sudah dibayar mbak?” Tanyaku lagi untuk memastikan. “Tolong periksa lagi mbak, siapa tahu keliru.” Pintaku lagi. “Benar mbak, sudah dibayar.” “Oh iya, ini ada titipan dari yang bayar tadi, mbak. Hampir saja saya lupa.” Jawab kasir tersebut, seraya menyerahkan selembar kertas yang dilipat. Ketiga temanku pun mengerubungiku. Kubuka kertas itu, di dalamnya tertulis : “Senang bisa berjumpa denganmu lagi. Rena Hanindya”“Maaf mbak, yang bayarin kita siapa ya? Cewek apa cowok?” Tanya Dewi pada mbak kasir.“Iya, mbak, orangnya yang mana ya?” Tanya Dian penasaran.“Namanya siapa ya mbak?” Tanya Santi juga tak mau kalah.Mbak kasir terlihat bingung, diberondong pertanyaan oleh teman temanku.“Cowok, mbak. Orangnya baru saja pergi, mbak. Kalau namanya saya nggak tahu. Tadi dia hanya ninggalin kertas itu. Maaf ya mbak.” Terang sang kasir terlihat merasa bersalah.“Ga pa pa kok mbak. Ya udah deh, kami permisi dulu ya.” Ucapku.“Silahkan!” Jawab mbak kasir dengan ramah.Kami berempat pun segera berjalan ke parkiran dengan langkah cepat. Berharap orang yang membayari makan kami masih ada di sana. Selain untuk mengobati rasa penasaran juga untuk mengucapkan terima kasih. Sampai di parkiran kami berempat celingak celinguk ke kanan kiri mencari orang tersebut. Tapi, nyatanya tak ada orang di parkiran selain bapak tukang parkir dan kendaraan yang berjejer rapi. Sepertinya kami terlambat.*** Dewi mengantarkanku
“Kalau foto fotonya cuman kayak gitu, nggak bisa dijadikan bukti deh kayaknya.” Tulis Dian.“Iya, mbah kakung pasti nggak percaya.” Tulisku.“Kalau dapat dari upload –an medsos, ya cuma kayak kayak gitu lah.” Tulis Santi.“Ya iyalah. Masa di medsos upload foto mesum, ya nggak mungkinlah. Kecuali sudah agak error orangnya.” Tulis Dewi.“Gimana kalau kamu deketin Vina, San?” Tulis Dewi.“Kenapa harus aku coba?” Tulis Santi tidak terima.“Karena, dari kita berempat, cuman kamu yang nggak terlalu frontal membenci dia. Iya khan, Wi?” Tulis Dian.“Iya. Kalau kita bertiga khan, kalau ketemu dia, bawaannya pengen nonjok aja.” Tulis Dewi.“Lagian khan kamu sama Vina 1 tempat kerja.” Tulis Dewi lagi.“Oke deh! Demi kamu Ren, aku bakalan deketin Vina.” Tulis Santi.“Kalian emang best friend aku!” Tulisku senang.“Tok, tok, tok!” Terdengar suara ketukan pintu. Aku kemudian berjalan ke pintu dan membukanya. Ada ibu di depan pintu kamarku.“Ayo, kita makan dulu!” Ajak ibu.“Rena masih kenyang bu
Aku berlari ke kamar dan meluapkan segala rasa yang menghimpit di dada ini, dengan menangis sekencang kencangnya. Aku tak peduli meskipun suara tangisku ini terdengar oleh tetangga. Ku kesampingkan rasa maluku.Tak terasa, adzan Subuh telah terdengar berkumandang. Rupanya, semalam aku menangis sampai tertidur. Seusai menunaikan sholat Subuh, ku ambil hp yang tergeletak di atas nakas samping tempat tidurku. Pada saat bersamaan ada telepon masuk dari Santi. Segera kuangkat.“Assalamualaikum.” Ucapku.“Waalaikumsalam, Ren.” Jawabnya di seberang sana.“Ada apa San, jam segini telepon?” Tanyaku.Ya, ini baru sekitar jam 5 pagi. Tak biasanya dia menelepon sepagi ini.“Cuma mau mastiin, kalau kamu baik baik saja, Ren. Habisnya, pesanku nggak ada yang kamu balas .” Terang Santi. “Hari ini bisa ketemuan nggak?” Tanya Santi.“Aku nggak boleh keluar rumah lagi San. Sampai hari pernikahan katanya.” Jelasku.“Kita komunikasi lewat hp aja ya.” Tambahku.“Siap, Ren!” Jawabnya.“Kamu tenang aja, Re
“Buruan Ren!” Suruh ibu. Ia sedang menunggu di depan pintu kamarku.“Bentar bu.” Jawabku. Aku sengaja memperlambat aktivitas yang kulakukan.“Nanti kita terlambat. Kasihan kan. Kalau tante Vera dan Ferdian nunggu kelamaan!” Ucap ibu."Tante Vera siapa sih Bu?" Tanyaku pura pura lupa."Tante Vera itu mamanya Ferdian. Masa kamu lupa sih Ren?" Jawab ibu disabar sabarkan.Hari ini, ibu bilang akan mengajakku ke butik untuk fitting baju pengantin.“Gerak cepat sekali mereka! Baru kemarin aku menyatakan bersedia, sekarang langsung fitting baju pengantin.” Batinku.Wajah ibu terlihat sangat segar, cerah dan ceria. Padahal kemarin, wajahnya terlihat sangat pucat pasi. Membuatku, terus terang ketakutan. Aku takut terjadi sesuatu yang enggak enggak pada ibuku itu. Tapi, lihatlah dia sekarang! Senyum merekahnya terus terusan terpatri di bibirnya. Wajahnya terlihat berbinar. Apakah yang kemarin itu akting?“Ren, cepetan! Ngapain saja sih lama amat? Bukannya kamu itu nggak pernah make up –an?” Tan
Baru saja Dewi selesai bicara, ternyata mereka sudah datang. Terdiri dari 10 orang. 2 diantaranya adalah Santi dan Dian. Para sahabatku ini bukan hanya mendapatkan bukti foto dan video pengakuan Vina, tapi membawa langsung orangnya ke sini. Keren memang 3 sahabatku ini.Ketika rombongan orang itu semakin mendekat ke arah kami, kulihat wajah Ferdian juga semakin tegang dan tampak pucat. Bukan hanya dia, tapi juga dengan ibunya, tante Vera.“Siapa kalian semua?” Tanya kakek Hutomo.“Mereka adalah orang yang saya sebutkan tadi!” Ucap Dewi dengan lantang.Budhe Lastri mendekat ke arahku. Ada diantara aku dan ibu. Dan eyang uti, lagi lagi beliau menggenggam erat tanganku.Kudengar suara para tamu yang asyik berkasak kusuk.“Perkenalkan, ini adalah Vina, mbah Sastro! Wanita ini sedang hamil 5 bulan. Dan pria yang menghamilinya adalah cucu kakek Hutomo, yang anda bangga banggakan itu!” Jelas Santi.Hebat sekali para sahabatku hari ini. Biasanya, begitu bertemu muka dengan mbah kakung, nyali
Di dalam mobil, hanya ada keheningan. Tak ada satu pun yang berniat bicara. Semua sibuk dengan pikirannya masing masing. Termasuk Rena. Setelah melaju beberapa saat,“Kruk, kruk, kruk.” Bunyi yang berasal dari perutku, membuyarkan keheningan di dalam mobil ini. Eyang tersenyum menoleh menatapku membuatku merasa malu. Pastilah wajahku pun telah memerah.“Lapar? Rena tadi belum makan?” Tanya Eyang padaku.“Belum eyang.” Jawabku.“Sejak kapan?” Tanya eyang lagi. Yang lainnya hanya menyimak.“Kemarin sore.” Jawabku singkat.Tanpa mengucapkan apapun, pak dhe langsung membelokkan mobil ke rumah makan dan memarkirkannya. Baru setelahnya bertanya padaku,“Kita makan di sini saja ya Ren?” Tanya pak dhe.“Iya. Ibu juga lapar ini, Ram!” Eyang yang menjawab.“Sama. Aku juga lapar mas. Tadi belum sempat icip icip hidangannya.” Ucap budhe Lastri.“Kami juga lapar, pak dhe. Bukan cuma Rena!” Protes Nindy.Semua penumpang, rombongan kami bukan hanya mobil yang kutumpangi telah turun, kecuali aku. Bah
Saat aku membuka mata, ternyata aku sudah tak berada di dalam mobil lagi. Kulihat ke sekelilingku. Memindai satu persatu isi ruangan ini. Sepertinya ini adalah sebuah kamar tidur. Tapi kurasa ini bukanlah salah satu kamar tidur di rumah eyang uti. Aku segera bangun dari ranjang dan berjalan menuju pintu kamar. Begitu pintu kamar terbuka, bisa kudengar suara beberapa orang tengah mengobrol. Aku pun berjalan ke arah sumber suara itu. Kulihat eyang, pak dhe Ramdan dan istrinya bu dhe Narti, juga mas Damar sedang duduk di ruang keluarga. Mereka tak mengacuhkan televisi yang sedang menyala. Tampaknya obrolan mereka lebih menarik dari siaran di televisi. Sepertinya mereka sedang asyik memperbincangkan sesuatu. Sampai sampai, mereka tak menyadari kedatanganku.“Eyang!” Panggilku.“Sudah bangun tho? Sini nduk!” Ucap eyang sambil menepuk kursi kosong di sampingnya. Aku pun menghampiri eyang dan duduk di kursi yang beliau tepuk tadi.“Kok Rena nggak dibangunin sih tadi?” Protesku.“Kamu tidu
Anak kecil itu dengan jari telunjuknya terus menunjukku. Aku dan Rini dibuat heran oleh tingkahnya itu.“Mama!” Ucapnya lagi. Kali ini sambil menunjukku. Aku pun semakin bingung dengan tingkah anak ini. Begitu pun Rini.“Ini mama kamu?” Tanya Rini ke anak tersebut seraya menunjukku. Aku pun menepis tangannya yang mengarah padaku. Jengkel rasanya. Bagaimana mungkin dia bisa menanyakan itu. Bagaimana mungkin aku punya anak? Jelas jelas aku belum pernah menikah. Ehh, gagal nikah pula. Anehnya anak itu mengangguk dengan yakin.“Ternyata anakmu Ren!” Pekik Rini tertahan.“Ngaco kamu Rin!” Ucapku seraya memukul bahu Rini. Anak kecil itu memandang kami dengan senyum mengembang yang terus terpatri di bibirnya. Dan akhirnya tawa Rini pun meledak. Kami sampai menjadi perhatian para pengunjung. Sadar tawanya mengundang perhatian, Rini pun langsung membekap mulutnya dengan tangan.“Kamu ajak ke depan sana, Rin! Ke dekat meja kasir. Pasti orang tuanya kebingungan nyari nih anak.” Ucapku. Rini pu
“Assalamualaikum, mbah” Rendra menyapa begitu kami telah sampai di hadapan mbah kakung. Sedangkan aku masih setia terdiam. Aku tak tahu, haruskah aku mengeluarkan kata? Atau aku lebih baik terus terdiam saja. Rendra mengulurkan tangannya, mengajak berjabat tangan dengan mbah kakung.“Waalaikumsalam” Jawab mbah kakung sambil menerima uluran tangan Rendra. Dan Rendra pun kemudian mencium punggung tangan mbah kakung. Tak seperti yang terlintas di benak ini. Kupikir, mbah kakung akan menepis uluran tangan suamiku itu. Tapi ternyata tidak. Apa mungkin karena saat ini, kami sedang berada di tengah tengah banyak orang? Ya. Pasti karena itu. Mbah kakung pasti tak ingin mempermalukan dirinya sendiri. Rendra kemudian menyenggol lenganku, memberikanku kode agar segera menyalami mbah kakung. Dan aku pun melakukannya. Kucium punggung tangan kanan mbah kakung. Dan tanpa kuduga, beliau langsung menarik lembut tanganku dan memelukku. Mendekap erat tubuh ini. Kurasakan kehangatan yang selal
Aku mengalami morning sickness yang parah di pagi hari saja. Selebihnya, aku baik baik saja. Kecuali aku mendapati aroma dan bau bau yang tak kusukai, aku akan langsung mual dan muntah.Pagi ini, sholat Subuhku sedikit tertunda karena aku yang terus terusan muntah. Tenggorokanku terasa sakit. Perutku juga. Aku tak berhenti muntah meski seluruh isi perut telah kumuntahkan. Sampai terasa pahit tenggorokanku. Sudah sekitar setengah jam aku menghuni kamar mandi. Rendra terus menemaniku sambil memijat mijat lembut punggungku. Tak lupa juga mengoleskan minyak kayu putih. Rendra bahkan mengurungkan niatnya untuk sholat Subuh ke masjid karena tak tega untuk meninggalkanku.“Eyang boleh masuk?” Ujar eyang uti setelah mengetuk pintu kamarku yang sedikit terbuka.“Silahkan eyang!” Sahut Rendra setengah berteriak karena jarak kami tak dekat. Agar eyang bisa mendengarnya. Eyang kemudian masuk ke kamarku dan menghampiri kami yang tengah di kamar mandi. Mengulurkan segel
Alhamdulillah! Semua berjalan sesuai rencana. Semalam, aku dan mbak Ria, lembur sampai jam 11 malam untuk menyelesaikan gaun ibu. Rendra menungguku ditemani mas Damar, duduk di depan pabrik sambil menikmati kopi.Pagi ini, sekali lagi kuperiksa gaun untuk ibuku ini. Untuk memastikan tak ada yang kurang. Gaun ini sudah ‘sempurna’ seperti yang kumau. Kuminta Rendra untuk memotretku bersama gaun ini, yang kupasangkan pada salah satu manekin yang ada di butik. Meski sebenarnya, tanpa kuminta pun Rendra sudah jeprat jepret tanpa jeda sejak tadi.Mbak Dita datang, tepat saat gaun ibu selesai kupacking. Alhamdulillah! Lega rasanya. Aku tak mau membuat orang yang akan kumintai tolong itu menunggu. Setelah berbincang beberapa saat, mbak Dita berangkat membawa hadiahku untuk ibu.“Akhirnya! Selesai juga.” Sorak Nindy.“Yang ngerjain aku. Yang capek juga aku. Kenapa kamu yang sorak sorak tak jelas gitu? Ora Cetho!” Seruku.“Tahu nggak Rena? Aku tuh
Kubaca nama pengirimnya, ternyata ibu. Kubuka amplop itu perlahan. Ingin tahu apa isinya. Ternyata undangan pernikahan ibu dan om Hidayat. Bukan hanya 1 buah. Tapi ada beberapa. Untukku, untuk bapak, dan untuk tante Fatma. Ada juga secarik kertas dalam amplop coklat itu. Segera kubuka lipatan kertas itu dan kubaca isinya. Hanya beberapa baris kalimat. Ibu memang orang yang tak suka berbasa basi.“Rena, berikan 2 undangan yang lainnya untuk bapakmu dan tante Fatma. Ibu tak memaksamu untuk datang. Datang atau pun tidak itu adalah hakmu.”Kuhela nafas setelah membaca tulisan tangan ibu.“Rena pasti datang bu. Menyaksikan pernikahan kedua ibu. Meski sebenarnya bukan pernikahan yang ibu harapkan, tapi Rena berharap lelaki itu mampu membahagiakan ibu.” Batinku. Rendra yang berada di samping kananku, mengelus lembut punggungku.“Bi, menurutmu, kita akan beri hadiah apa untuk pernikahan ibu?” Tanyaku sambil menatap pria di sampingku ini.“Apa ya
“Astaghfirullahaladzim!” Seruku sambil tangan kiri memegang dada.Ya ampun, bagaimana bisa aku seceroboh ini. Harusnya kupastikan dulu siapa yang menelpon sebelum marah marah.“Assalamualaikum” Sapa seseorang di seberang sana.“Waalaikumsalam. Maaf bunda.” Sesalku. Ditanggapi dengan kekehan dari wanita yang telah melahirkan suamiku itu.“Ada apa?” Tanya bunda padaku.“Nggak ada apa apa kok bun. Rena pikir tadi mas Rendra yang telpon.” Ucapku.“Rendra pasti gangguin kamu ya.” Tebak bunda. Aku pun menceritakan ulah putranya itu pada bunda. Beliau hanya tertawa menanggapi ceritaku.“Matikan saja ponselmu, nduk.” Usul bunda. “Kalau dimatikan, bisa panjang urusannya, Bun.” Sahutku.“Oh iya, ada apa perlu apa bunda telpon Rena?” Tanyaku penasaran. Biasanya, meskipun ingin berbicara denganku, bunda selalu menghubungi ke nomor putranya.“Tadi bunda telpon Rendra nggak diangkat. Mungkin sedang sibuk. J
Seperti hari hari sebelumnya, aku duduk manis menunggui suamiku yang sibuk mencari uang.“Kenapa?” Tanya mas Adi yang hendak melintas. Ia menghentikan sejenak langkahnya di depanku.“Apanya?” Bukannya menjawab aku malah balik bertanya.“Kok lesu? Wajah kamu juga kelihatan agak pucat.” Ucap mas Adi.“Kebanyakan begadang sama si bos itu.” Seloroh mas Doni yang baru saja lewat. Mas Doni memang selalu mencari gara gara saja denganku.“Heem. Dari tadi Rena diam aja. Biasanya khan petakilan.” Mas Edwin ikut memberikan komentarnya. Atau sebenarnya malah nyinyiran.“Kalian ngapain kumpul di situ. Kerja! Kerja!” Teriak Rendra sambil melihat ke arah kami. Tak lupa sambil berkacak pinggang. “Kayaknya Rena sakit nih bos.” Ujar mas Adi. Rendra bergegas menghampiriku.“Kenapa?” Tanyanya mengulang pertanyaan awal mas Adi.“Perutku nyeri beberapa hari ini. Kepalaku juga terasa agak pusing” Jawabku jujur. Rendra kemud
Pagi ini, kami sarapan bubur ayam tak jauh dari apartemen. Setelahnya, kami berangkat ke studio. Pekerjaan Rendra menumpuk, karena beberapa minggu ditunda. Hari ini, ia pasti akan sangat sibuk.“Bukannya kita mau belanja?” Tanyaku ketika kami sampai di depan studio.“Kita belanja sepulang kerja nanti ya.” Ucap Rendra kemudian turun dari mobil. Tak lama kemudian dia sudah membukakan pintu untukku.“Aku di sini ngapain?” Gumamku lirih, tapi masih terdengar Rendra.“Menemani suami.” Sahut Rendra kemudian menggandeng tanganku masuk.“Selamat ya bos, mbak Rena. Semoga samawa!” Ucap para karyawan butik bergantian, sambil menyalami kami.*** Sudah 3 jam aku di studio ini. Duduk di sofa ini sambil ngemil dan main hp. Sesekali aku mengganggu Rendra yang tengah fokus dengan laptop di depannya. Bukannya marah, ia malah terkekeh setiap kali aku mengganggunya. Saat ini, aku tengah memeluk suamiku itu dari belakang. Seraya mengecup p
“Oh, ini mama Rayyan? Apa kabar bu?” Ucap bu guru itu dengan ramah.“Alhamdulillah baik bu. Saya harap ibu guru juga baik.” Sahutku.“Terima kasih.” Ucap bu guru yang bername tag ‘Nurul’ itu. Kemudian tak lama menyusul seorang guru lagi bername tag ‘ Laras’. Mereka berdua yang mengampu di kelas Rayyan.“Sejak tadi pagi, Rayyan antusias sekali menceritakan tentang mamanya. Hari ini, Rayyan terlihat sangat ceria dan bersemangat sekali bu.” Ucap bu guru Nurul.Entah hanya perasaanku atau memang benar, kulihat guru Rayyan yang bernama Laras itu tampak memandangku tak bersahabat. Setelah berbincang beberapa saat tentang perkembangan Rayyan di sekolah, kami pun berpamitan.*** “Bi, bu Laras tadi cantik ya!” Sindirku.“Rena Hanindya yang tercantik!” Sahut Rendra membuatku tersipu.“Iya, mamaku yang paling cantik!” Celetuk Rayyan yang duduk di pangkuanku. Dua lelakiku ini memang ‘duo ahli ngegombal’. Rendra mengacungka
“Tante akan jujur padamu Rena. Bohong jika tante bilang sudah tak memiliki rasa untuk bapakmu. Meski jauh di sudut hati tante, rasa itu masih ada.” Ucap tante Fatma.“Tapi, bukanlah keputusan yang bijak, jika kami bersama lagi saat ini. Sama seperti ibu dan bapakmu dulu, pernikahan tante dan mantan suami tante juga tak didasari rasa cinta pada awalnya. Tapi, bertahun tahun bersama, menjadikan tante untuk belajar menerima takdir yang telah Allah gariskan. Belajar mencintai lelaki jodoh pilihan Allah. Kenyataan harus tetap kita terima meski terpaksa. Karena tak akan ada gunanya memberontak pada takdir yang telah Allah persiapkan.” Ucap tante Fatma.“Adalah sebuah kesalahan jika ibumu berfikir jika bapakmu tak pernah mencintainya. Sama seperti tante, tante yakin bapakmu juga telah belajar menerima takdir dan belajar untuk mencintai ibumu. Waktu demi waktu dilalui bersama, rasa sayang dan cinta pastilah mampu tumbuh. Meski rasa itu tak semenggebu gebu seperti kisah cin