“Lho, kok bagus sih Ren?” Tanya Dewi masih dengan kekagetannya.
“Bagus gimana maksudmu, Ren?” Tanya Dewi lagi. “Sadar nggak sih tadi pas ngomong?” Gantian Dian yang bertanya. Tak percaya dengan apa yang baru saja terucap dari mulut ini. “Maksudku, bagus dong! Aku kan jadi punya peluang besar buat membatalkan rencana mbah kakungku, buat ngejodohin aku dengan itu cowok.” Jelasku ke mereka, agar tak semakin salah paham. “Hehehe, kupikir, tipe cowok ideal versimu yang badboy gitu Ren.” Ujar Dian. “Enak aja!. Mikir dong, masak gue yang ting ting ini dapat yang tong tong sih.” Belaku. Disambut tawa mereka. “Hahahaha....” Tawa mereka serempak. Sepertinya mereka senang sekali mengejekku hari ini. Jadi agak menyesal nih, curhat sama mereka. Tapi kalau aku pendam sendiri di hati, alamat stress lah aku. Sambil panen jerawat. “Senang sekali ya, kalian hari ini.” “tertawa teruusss” “ Nggak apa apa lah itung itung ngumpulin pahala. Kan bikin orang bahagia, pahalanya gedhe.” Ujarku. “Udah, udah. Jangan ngambek, Ren. Kita cari solusinya bersama.” Seru Dewi. “Lagian nih ya, aku nggak ikhlas juga nih, kalau kamu dinikahin sama dia. Bayangin ya, seorang Rena, yang dari lahir mati matian jomblo, masa jodohnya cowok setia kayak Ferdian sih. Kan nggak adil bangetkan ya!” Ucap Dian. “Kok malah belain si Ferdian sih, nggak bestie lah si Dian ini.” Protesku. “Maksudku, si Ferdian itu setia, setiap tikungan ada ceweknya maksudnya.” Celetuk Dian. “Santi, tolong carikan bukti untukku ya! Please, San! Masa depanku ada di tanganmu ini.” Ucapku. Memohon pada Santi. “Oke! Aku usahain.” Jawab Santi singkat, usai menghela nafas panjang. “Terus terang ya Ren, aku juga nggak iklhas, kalau sampe kamu nikah sama si itu.” “Setahuku ya Ren, kamu itu adalah perempuan baik baik, jadi jodohnya juga harus laki laki yang baik baik juga. Ngerti!” “Yang namanya jodoh itu ya Ren, Laki laki baik baik dengan perempuan baik baik. Sedangkan lelaki pezina jodohnya dengan perempuan pezina juga.” Santi ngomong panjang lebar. “Kalau perempuan baik baik dapat jodoh pezina, mana maulah.” “Kalau pezina dapat yang baik baik berarti dia udah tobat. Ya kan, San.” Dewi menimpali. “Ya iyalah. Nih, ya, aku nggak pernah pacaran. Alhamdulillah nggak pernah mendekati zina. Tapi kok ya dijodohin sama pezina. Kalau tahu kayak gini, ya mending ngrusak diri aja. Ya nggak!.” Ucapku. “Heh! Ngaco! Kalau ngomong dipikir dulu. Jangan asal mangap! Ngerti!” Omel Dewi. “Ehh, kamu pikir ada yang mau sama cewek rusak? Udah dosanya numpuk segunung. Nggak laku lagi. Mikir akherat Ren. Jangan asal kalau bertindak.” Nasehat dari Dian. “Sebrengsek brengseknya cowok. Ketika milih pasangan serius, ya tetap milih perempuan baik baik. Mana ada laki laki yang mau anaknya dilahirkan dari perempuan rusak. Mereka pasti milih perempuan baik baik, buat jadi ibu anak anaknya, Ren.” Petuah dari Santi. “Iya. Betul sekali!” Celetuk Dian. “Gitu ya.” Seruku. Ketiga bestie di depanku ini tampak melongo. “Dewi, Santi! Apa menurut kalian, dijodohkan secara paksa itu menurunkan IQ seseorang?” Tanya Dian dengan serius. “Maksudmu apa?” Tanya Santi. “Maksudnya, apa karena dipaksa mbahnya nikah sama itu cowok, IQ nya Rena jadi jeblok? Karena seingatku nih ya, sewaktu kita sekolah dulu, Rena kan paling pintar di antara kita ini. Tiap semester juara 1 terus. Ya kan? Masa? Bisa bisanya dia berfikir ngawur kayak tadi” Omel Dewi. “Sorry guys! Hanya bercanda.” Seruku, sambil nyengir kuda. “Bercanda? Maksud lo?” Omel Dewi. “Hehehe... Biar nggak tegang lah. Di rumah suntuk, di sini mikir tegang, apa nggak stress aku nanti. Atau paling parahnya jadi gila.” Celetukku. “Sudah dibilangin, kalau ngomong jangan sembarangan. Masihhh saja. Ucapan adalah doa, Ren. Hati hati!” Peringat Santi padaku. “Iya. Iya! Maaf, ya!” Sesalku. “Tunggu deh Ren. Kok kayaknya kamu udah nunjukin tanda tanda stres deh!” Ujar Dewi. “Gimana nggak stress deh, Wi. Coba bayangin jadi aku sekali aja!” Ucapku. “Lho, kok malah jadi lagu!” Sambung Dewi. “Yang ini, nggak sedang lagi bercanda, Wi.” Ucapku. Dewi hanya nyengir saja, tanpa rasa bersalah sedikit pun kayaknya. “Oke! Sekarang serius kita!” Ujar Santi. “Kira kira nih Ren, ya! Apa kamu benar benar nggak bisa ngebujuk mbahmu sama ibumu itu?” Tanya Santi, katanya sih serius. “Kalau aku bisa ngebujuk mereka, nggak mungkinlah aku minta bantuan kalian buat cari solusi!” Jawabku kesal. “Oke! Berarti besar kemungkinan, pernikahanmu tetap dilaksanakan, dengan atau tanpa kesedianmu kan? Ada kemungkinan juga, sekarang mereka sudah mempersiapkan pernikahanmu kan? Jadi, kalau sepengetahuanmu, kapan tanggal pernikahanmu itu?” Tanya Santi. “Nggak tahu dan nggak mau tahu aku, tanggal yang sudah mereka sepakati.” Jawabku. “Tapi yang jelas, nggak lama lagi. Makanya, kalian harus cepat cepat cari buktinya.” Pintaku. “Enak tinggal nyuruh.” Celetuk Dian. Kulihat Dewi langsung memukul punggung Dian dengan tangannya lumayan keras. Mungkin Dewi takut aku tersinggung dengan ucapan Dian. “Ya kan, kamu tahu sendiri. Mbah kakung selalu mengawasiku.” “Ini aja ya, aku pulang nanti pasti dimarahi berjam jam. Takutnya sih abis ini aku bakal diawasi ketat. Jadi semakin susah buat keluar rumah.” Ungkapku. ‘Sepupu sepupu gantengmu itu, apa nggak ada satupun yang mau membantu, Ren?” Tanya Dian. “Sepertinya mereka udah kompromi sama mbah kakung buat ngejodohin aku deh. Nggak tahu aku. Disogok pakai apa mereka sama mbah kakung. Kalau nggak mobil baru pasti ya motor sport terbaru.” Ungkapku. “Kupikir para sepupumu itu benar benar sayang sama kamu, Ren. Ternyata, sayangnya hanya seharga mobil. Payahh!” Ucap Dewi. “Ya, mau gimana lagi,Wi. Tentang hati kan nggak kelihatan!” “Bilangnya sayang, ternyata...?” Ucapku. “Aku nggak mau menyakiti mbah kakung maupun ibu. Tapi, aku juga nggak mau, jika untuk membahagiakan mereka, aku harus mengorbankan diriku.” Curhatku. Aku tak bisa seperti lilin. Yang membakar habis dirinya untuk menerangi sekelilingnya. Aku ini hanya manusia biasa. Bukan manusia istimewa. Hanya manusia yang sangat umumnya. “Tenangkan dirimu,Ren! InshaAllah , kami bertiga akan selalu ada untukmu. Kita kan bestie!” Ucap Dian dengan bersemangat. “Kami pasti akan berusaha sekuat tenaga kami untuk membantumu,Ren!” Ucap Dewi. “Jangan bersikap pesimis, Ren! Harus selalu optimis. Yakinlah, pasti selalu ada jalan!” Ucap Santi. “Jangan pernah menyesali hal hal baik yang telah kita lakukan. Jangan pernah berpikir untuk mengotori diri. Oke!” Nasehat dari Dewi. “Teruslah ingat, kamu nggak sendiri!”Ucap Dian. Aku mengangguk anggukkan kepala sejak tadi memberi jawaban atas motivasi motivasi yang mereka lontarkan. Aku bahagia dan bangga, memiliki teman seperti mereka bertiga. Selesai membahas masalahku. Kami masih betah berlama lama di resto ini. Obrolan ringan, mewarnai kami menghabiskan waktu. Meregangkan otak yang beberapa saat lalu tegang. Minuman kami sudah habis pun, kami masih betah berlama lama di sini. Belum berniat untuk angkat kaki. Kami pun memesan minuman lagi. Ditambah beberapa camilan untuk menemani obrolan. Obrolan kali ini, dipenuhi canda, tawa, guyonan. Bukan lagi membicarakan hal serius. Saatnya merefresh suasana hati yang tak baik. Ya, bersama teman temanku ini, adalah salah satu refreshingku. Setelah merasa puas, dan hari pun sudah sore, kami pun beranjak untuk pulang. Aku pun melangkahkan kaki ke meja kasir. Ya, tadi aku ngotot untuk mentraktir teman temanku. Awalnya sih mereka menolak. “Mbak, tolong tagihan untuk meja 35.” Pintaku pada kasir. “Meja no. 35, sudah dibayar mbak.” Jawab sang kasir. Aku kaget lalu menoleh ke arah 3 temanku yang berada di belakangku, sebagai isyarat menanyakan ‘siapa yang bayar?’. Ketiga temanku menggeleng bersamaan. Itu tandanya bukan salah satu dari mereka yang membayar. Lalu siapa? “Sudah dibayar mbak?” Tanyaku lagi untuk memastikan. “Tolong periksa lagi mbak, siapa tahu keliru.” Pintaku lagi. “Benar mbak, sudah dibayar.” “Oh iya, ini ada titipan dari yang bayar tadi, mbak. Hampir saja saya lupa.” Jawab kasir tersebut, seraya menyerahkan selembar kertas yang dilipat. Ketiga temanku pun mengerubungiku. Kubuka kertas itu, di dalamnya tertulis : “Senang bisa berjumpa denganmu lagi. Rena Hanindya”“Maaf mbak, yang bayarin kita siapa ya? Cewek apa cowok?” Tanya Dewi pada mbak kasir.“Iya, mbak, orangnya yang mana ya?” Tanya Dian penasaran.“Namanya siapa ya mbak?” Tanya Santi juga tak mau kalah.Mbak kasir terlihat bingung, diberondong pertanyaan oleh teman temanku.“Cowok, mbak. Orangnya baru saja pergi, mbak. Kalau namanya saya nggak tahu. Tadi dia hanya ninggalin kertas itu. Maaf ya mbak.” Terang sang kasir terlihat merasa bersalah.“Ga pa pa kok mbak. Ya udah deh, kami permisi dulu ya.” Ucapku.“Silahkan!” Jawab mbak kasir dengan ramah.Kami berempat pun segera berjalan ke parkiran dengan langkah cepat. Berharap orang yang membayari makan kami masih ada di sana. Selain untuk mengobati rasa penasaran juga untuk mengucapkan terima kasih. Sampai di parkiran kami berempat celingak celinguk ke kanan kiri mencari orang tersebut. Tapi, nyatanya tak ada orang di parkiran selain bapak tukang parkir dan kendaraan yang berjejer rapi. Sepertinya kami terlambat.*** Dewi mengantarkanku
“Kalau foto fotonya cuman kayak gitu, nggak bisa dijadikan bukti deh kayaknya.” Tulis Dian.“Iya, mbah kakung pasti nggak percaya.” Tulisku.“Kalau dapat dari upload –an medsos, ya cuma kayak kayak gitu lah.” Tulis Santi.“Ya iyalah. Masa di medsos upload foto mesum, ya nggak mungkinlah. Kecuali sudah agak error orangnya.” Tulis Dewi.“Gimana kalau kamu deketin Vina, San?” Tulis Dewi.“Kenapa harus aku coba?” Tulis Santi tidak terima.“Karena, dari kita berempat, cuman kamu yang nggak terlalu frontal membenci dia. Iya khan, Wi?” Tulis Dian.“Iya. Kalau kita bertiga khan, kalau ketemu dia, bawaannya pengen nonjok aja.” Tulis Dewi.“Lagian khan kamu sama Vina 1 tempat kerja.” Tulis Dewi lagi.“Oke deh! Demi kamu Ren, aku bakalan deketin Vina.” Tulis Santi.“Kalian emang best friend aku!” Tulisku senang.“Tok, tok, tok!” Terdengar suara ketukan pintu. Aku kemudian berjalan ke pintu dan membukanya. Ada ibu di depan pintu kamarku.“Ayo, kita makan dulu!” Ajak ibu.“Rena masih kenyang bu
Aku berlari ke kamar dan meluapkan segala rasa yang menghimpit di dada ini, dengan menangis sekencang kencangnya. Aku tak peduli meskipun suara tangisku ini terdengar oleh tetangga. Ku kesampingkan rasa maluku.Tak terasa, adzan Subuh telah terdengar berkumandang. Rupanya, semalam aku menangis sampai tertidur. Seusai menunaikan sholat Subuh, ku ambil hp yang tergeletak di atas nakas samping tempat tidurku. Pada saat bersamaan ada telepon masuk dari Santi. Segera kuangkat.“Assalamualaikum.” Ucapku.“Waalaikumsalam, Ren.” Jawabnya di seberang sana.“Ada apa San, jam segini telepon?” Tanyaku.Ya, ini baru sekitar jam 5 pagi. Tak biasanya dia menelepon sepagi ini.“Cuma mau mastiin, kalau kamu baik baik saja, Ren. Habisnya, pesanku nggak ada yang kamu balas .” Terang Santi. “Hari ini bisa ketemuan nggak?” Tanya Santi.“Aku nggak boleh keluar rumah lagi San. Sampai hari pernikahan katanya.” Jelasku.“Kita komunikasi lewat hp aja ya.” Tambahku.“Siap, Ren!” Jawabnya.“Kamu tenang aja, Re
“Buruan Ren!” Suruh ibu. Ia sedang menunggu di depan pintu kamarku.“Bentar bu.” Jawabku. Aku sengaja memperlambat aktivitas yang kulakukan.“Nanti kita terlambat. Kasihan kan. Kalau tante Vera dan Ferdian nunggu kelamaan!” Ucap ibu."Tante Vera siapa sih Bu?" Tanyaku pura pura lupa."Tante Vera itu mamanya Ferdian. Masa kamu lupa sih Ren?" Jawab ibu disabar sabarkan.Hari ini, ibu bilang akan mengajakku ke butik untuk fitting baju pengantin.“Gerak cepat sekali mereka! Baru kemarin aku menyatakan bersedia, sekarang langsung fitting baju pengantin.” Batinku.Wajah ibu terlihat sangat segar, cerah dan ceria. Padahal kemarin, wajahnya terlihat sangat pucat pasi. Membuatku, terus terang ketakutan. Aku takut terjadi sesuatu yang enggak enggak pada ibuku itu. Tapi, lihatlah dia sekarang! Senyum merekahnya terus terusan terpatri di bibirnya. Wajahnya terlihat berbinar. Apakah yang kemarin itu akting?“Ren, cepetan! Ngapain saja sih lama amat? Bukannya kamu itu nggak pernah make up –an?” Tan
Baru saja Dewi selesai bicara, ternyata mereka sudah datang. Terdiri dari 10 orang. 2 diantaranya adalah Santi dan Dian. Para sahabatku ini bukan hanya mendapatkan bukti foto dan video pengakuan Vina, tapi membawa langsung orangnya ke sini. Keren memang 3 sahabatku ini.Ketika rombongan orang itu semakin mendekat ke arah kami, kulihat wajah Ferdian juga semakin tegang dan tampak pucat. Bukan hanya dia, tapi juga dengan ibunya, tante Vera.“Siapa kalian semua?” Tanya kakek Hutomo.“Mereka adalah orang yang saya sebutkan tadi!” Ucap Dewi dengan lantang.Budhe Lastri mendekat ke arahku. Ada diantara aku dan ibu. Dan eyang uti, lagi lagi beliau menggenggam erat tanganku.Kudengar suara para tamu yang asyik berkasak kusuk.“Perkenalkan, ini adalah Vina, mbah Sastro! Wanita ini sedang hamil 5 bulan. Dan pria yang menghamilinya adalah cucu kakek Hutomo, yang anda bangga banggakan itu!” Jelas Santi.Hebat sekali para sahabatku hari ini. Biasanya, begitu bertemu muka dengan mbah kakung, nyali
Di dalam mobil, hanya ada keheningan. Tak ada satu pun yang berniat bicara. Semua sibuk dengan pikirannya masing masing. Termasuk Rena. Setelah melaju beberapa saat,“Kruk, kruk, kruk.” Bunyi yang berasal dari perutku, membuyarkan keheningan di dalam mobil ini. Eyang tersenyum menoleh menatapku membuatku merasa malu. Pastilah wajahku pun telah memerah.“Lapar? Rena tadi belum makan?” Tanya Eyang padaku.“Belum eyang.” Jawabku.“Sejak kapan?” Tanya eyang lagi. Yang lainnya hanya menyimak.“Kemarin sore.” Jawabku singkat.Tanpa mengucapkan apapun, pak dhe langsung membelokkan mobil ke rumah makan dan memarkirkannya. Baru setelahnya bertanya padaku,“Kita makan di sini saja ya Ren?” Tanya pak dhe.“Iya. Ibu juga lapar ini, Ram!” Eyang yang menjawab.“Sama. Aku juga lapar mas. Tadi belum sempat icip icip hidangannya.” Ucap budhe Lastri.“Kami juga lapar, pak dhe. Bukan cuma Rena!” Protes Nindy.Semua penumpang, rombongan kami bukan hanya mobil yang kutumpangi telah turun, kecuali aku. Bah
Saat aku membuka mata, ternyata aku sudah tak berada di dalam mobil lagi. Kulihat ke sekelilingku. Memindai satu persatu isi ruangan ini. Sepertinya ini adalah sebuah kamar tidur. Tapi kurasa ini bukanlah salah satu kamar tidur di rumah eyang uti. Aku segera bangun dari ranjang dan berjalan menuju pintu kamar. Begitu pintu kamar terbuka, bisa kudengar suara beberapa orang tengah mengobrol. Aku pun berjalan ke arah sumber suara itu. Kulihat eyang, pak dhe Ramdan dan istrinya bu dhe Narti, juga mas Damar sedang duduk di ruang keluarga. Mereka tak mengacuhkan televisi yang sedang menyala. Tampaknya obrolan mereka lebih menarik dari siaran di televisi. Sepertinya mereka sedang asyik memperbincangkan sesuatu. Sampai sampai, mereka tak menyadari kedatanganku.“Eyang!” Panggilku.“Sudah bangun tho? Sini nduk!” Ucap eyang sambil menepuk kursi kosong di sampingnya. Aku pun menghampiri eyang dan duduk di kursi yang beliau tepuk tadi.“Kok Rena nggak dibangunin sih tadi?” Protesku.“Kamu tidu
Anak kecil itu dengan jari telunjuknya terus menunjukku. Aku dan Rini dibuat heran oleh tingkahnya itu.“Mama!” Ucapnya lagi. Kali ini sambil menunjukku. Aku pun semakin bingung dengan tingkah anak ini. Begitu pun Rini.“Ini mama kamu?” Tanya Rini ke anak tersebut seraya menunjukku. Aku pun menepis tangannya yang mengarah padaku. Jengkel rasanya. Bagaimana mungkin dia bisa menanyakan itu. Bagaimana mungkin aku punya anak? Jelas jelas aku belum pernah menikah. Ehh, gagal nikah pula. Anehnya anak itu mengangguk dengan yakin.“Ternyata anakmu Ren!” Pekik Rini tertahan.“Ngaco kamu Rin!” Ucapku seraya memukul bahu Rini. Anak kecil itu memandang kami dengan senyum mengembang yang terus terpatri di bibirnya. Dan akhirnya tawa Rini pun meledak. Kami sampai menjadi perhatian para pengunjung. Sadar tawanya mengundang perhatian, Rini pun langsung membekap mulutnya dengan tangan.“Kamu ajak ke depan sana, Rin! Ke dekat meja kasir. Pasti orang tuanya kebingungan nyari nih anak.” Ucapku. Rini pu
“Heh! Kalian sejak awal memang berniat mempermainkan pernikahan.” Ucap Pak dhe tampak tak suka.“Maaf mas Ramdan, tolong jangan salah paham. Hubungan saya dan mas Rahmat hanyalah masa lalu. Saya kembali ke Solo, selain karena permintaan kedua kakak saya, saya juga ingin Ratih tahu, sudah sejak dulu saya memaafkannya. Sejak saya tahu ia hamil Rena, saya sudah mengiklhaskan hubungan saya dengan mas Rahmat. Saya benar benar tulus berdoa untuk kebahagian Ratih dan mas Rahmat. Saya pikir, mungkin saya dan mas Rahmat memanglah tidak berjodoh.” Tante Fatma mencoba untuk menjelaskan.“Jika ibu memang hanya berpura pura bersikap jahat pada saya dan bapak, mengapa ibu tidak peduli dengan pernikahan saya. Mengapa ibu tidak datang, meski hanya sepintas lalu? Saya benar benar berharap ibu datang, meski ia datang sambil melontarkan kata kata yang menyakitkan, tante. Tapi nyatanya, jangankan datang, ibu bahkan tidak membalas satu pun pesan meski saya berkali kali mencoba menghub
“Rendra, tolong anterin pulang ya?” Pintaku.“Ada apa?” Tanya Rendra heran.“Pulang kemana to nduk? Inikan juga rumahmu.” Sahut ayah yang ikut mendengar pembicaraanku dan Rendra.“Maksud Rena, anterin ke rumah eyang, ayah.” Jelasku.“Mas Damar, minta aku pulang. Katanya ada hal penting yang harus dibicarakan.” Lanjutku.“Ya udah, ganti baju dulu. Jangan lupa bawa jaket.” Ucap Rendra. “Rendra, kamu nggak ganti baju?” Tanyaku.“Tolong bawain jaketku yang di kamar.” Jawab Rendra. Aku pun mengangguk.*** Selama dalam perjalanan, aku hanya terdiam. Penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Kepalaku sibuk menerka nerka berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi.“Assalamualaikum” Ucapku bersamaan dengan Rendra.“Waalaikumsalam. Masuk nduk.” Ucap orang orang yang berada di ruang tamu rumah pak dhe Ramdan. Anak dan cucu eyang tengah berkumpul di ruang tamu ini. Ada satu orang yang tak kukenali ada di antara mereka.“Duduk sini.” Ucap bapak. Setelah menyalami mereka semua, aku dan Rendra dud
“Dasar b o d o h! Bagaimana kamu bisa menyerahkan segalanya pada wanita ini Rendra! Buat apa aku mengejar lelaki miskin!” Teriak Cindy. Aku pun langsung ber high five dengan Risa. Puas sekali kail pancingku tersangkut dengan mudahnya.“Ha ha ha... Kau sangat percaya sekali dengan ucapanku ya?” Puas ku menertawakan wanita itu.“Rendra, aku tadi tidak bermaksud menghinamu. Aku hanya sedang berusaha untuk menyadarkanmu. Betapa liciknya wanita yang telah kamu nikahi itu. Kamu tahu khan, kalau papi mami aku tuh sudah kaya raya jauh sebelum aku lahir. Jadi, buat apa aku ngincar hartamu. Iya khan?” Mendadak ucapan Cindy berubah lembut, setelah menyadari ia hanya kubohongi.“Rendra, tolong. Aku benar benar sakit karena ulah istrimu itu. Tolong aku Rendra, atau aku akan melaporkan perbuatan istrimu ke polisi.” Cindy benar pintar sekali playing victim. Jengkel aku dibuatnya. Risa memberikanku kode dengan kedip kedipan matanya. Tapi aku tak mengerti apa maksudnya.
“Bugh! Brakk!” Kutendang wanita itu hingga terpelanting jauh dari posisinya semula. Ia terjatuh menimpa meja. Ahh, pasti sakit sekali rasanya. Apalagi bagi wanita manja seperti dia. Aku memang telah merasa jengkel dengan wanita itu sejak kedatangannya. Semua ucapannya hanyalah meremehkanku. Untunglah Rendra menyuruhku pergi dari meja itu dengan alasan untuk menemani Rayyan. Kukira aku telah terselamatkan dari luapan emosiku sendiri. Ehh, ternyata wanita itu belum merasa cukup membully ku dengan ucapan. Ia tampak berdiri tak lama begitu aku beranjak dari kursi yang kududuki. Ia mengikutiku dengan tangan kanannya menggenggam sebuah pisau yang hendak dia gunakan makan tadi. Tak bisa kubayangkan andai wanita itu berhasil melukaiku. Pisau yang tak tajam itu akan merobek kulitku dengan sangat menyakitkan. Bahkan ikan saja dipotong dengan pisau yang setajam mungkin saat akan dimasak, agar tidak menyakiti ikan itu. Lha ini wanita, mempunyai niat buruk untuk melukaiku dengan pisau makan yang t
“Hanya acara makan makan saja. Sama para tetangga. Biar mereka tahu, kalau kita ini sudah menikah. Biar tak ada fitnah.” Jelas Rendra.“Dimana? Pakai pakaian kayak tadi pagi?” Ucapku was was. Aku yang tomboi, tentulah merasa tersiksa harus memakai pakaian super ribet tadi.“Di resto Angsana. Kita pakai baju biasa saja kok. Hanya makan makan sama perkenalan. Nggak pakai acara neko neko.” Terang Rendra lagi. Aku pun bisa menghela nafas lega setelah mendengarnya. Sedangkan Rendra, ia tampak tersenyum ketika mendengarku menghela nafas.*** Pagi ini, setelah menunaikan sholat Subuh, aku kembali membaringkan tubuhku di samping Rayyan. Bocah itu masih terlelap. Ia tampak sangat nyenyak dalam tidurnya.“Assalamualaikum” Baru saja memejamkan mata hendak tidur lagi, terdengar suara salam.“Waalaikumsalam” Sahutku dengan kaget.“Kenapa?” Tanya Rendra heran.“Hanya belum terbiasa.” Jawabku tak enak. Rendra berjalan mengh
“Mau beli apa?” Tanya Rendra kemudian. Aku berjalan mencari letak es krim. Rendra terus mengekoriku di belakang. Karena tak mungkin ia menggandengku, ruang kosong yang tersedia cukup sempit. Kubuka tempat penyimpanan es krim. Ku ambil semua es krim dengan rasa durian. Aku juga membeli cooling box untuk menyimpannya. Cukup banyak es krim yang kubeli. Cukuplah untuk dibagi rata semua yang ada di rumah eyang.“Es krim durian?” Ucap Rendra heran.“Sama sama durian khan?” Sahutku.“Terserah kamu sajalah sayang.” Ucap Rendra pasrah.“Kita cari makan dulu ya, sayang.” Rendra menawarkan.“Nggak usah. Di rumah lagi bakar ikan. Kita makan di rumah aja ya. Kalau kelamaan, nanti es krimnya cair.” Ucapku.*** Akhirnya, aku dan Rendra sampai rumah eyang juga. Setelah memarkirkan mobil kami langsung masuk ke tempat dimana orang orang masih berkumpul. Halaman luas yang tadi pagi penuh dengan kursi kursi dan meja sekarang berganti karp
“Assalamualaikum.” Ucapanku membuat Rendra menatapku penuh tanya. Dari tatapannya kuketahui ia sedang penasaran dengan siapa yang menghubungiku. Aku pun kemudian menunjukkan layar ponselku, agar ia tahu nama orang yang menghubungiku. Setelah beberapa saat berbincang, aku pun mematikan panggilan. Setelahnya, kucari nama kontak mas Damar. Dan menelponnya.“Apa?” Sahut mas Damar begitu panggilan terhubung. “Assalamualaikum.” Ucapku tanpa memedulikan ucapan mas Damar tadi.“Waalaikumsalam.” Jawab mas Damar dengan ketus.“Tadinya aku mau memberikan info yang pastinya bakal bikin mas Damar berbunga. Tapi nggak jadi sajalah. Dengar suara mas aja, aku udah bad mood.” Seruku. Tanpa banyak bertanya, Rendra hanya terus memandangiku dan mendengarkan obrolanku di ponsel.“Ini udah jam berapa! Capek kami menunggu kalian pulang.” Gerutu mas Damar.“Udah jam 11 malam, emang kenapa? Orang aku perginya sama suami sendiri. Bukan suami orang. Lagia
Aku keluar untuk memastikan keberadaan Rendra. Kulihat ke kiri dan ke kanan. Tapi tak kudapati keberadaan suamiku itu. Menyebalkan! Atau yang sebenarnya adalah ia memberikanku waktu untuk membaca dengan baik baik dan teliti setiap tulisannya di album itu? Ya, sepertinya memang begitu.Aku duduk di bangku depan glamping sendirian. Para pengunjung di sini kebanyakan datang bersama dengan keluarga dan pasangan. Rasanya aneh, saat hanya aku sendiri yang sendirian. Beberapa saat kemudian, kulihat Rendra berjalan mendekat ke arahku sambil menjinjing beberapa kantong plastik di tangan kiri dan kanan.“Darimana? Katanya sebentar!” Protesku begitu ia sampai. Ia tak menjawab. Hanya menunjukkan kedua tangannya yang penuh barang belanjaan. Ia kemudian duduk di sampingku setelah meletakkan kantong plastik di meja. Kemudian menyodorkan sebungkus camilan padaku. Tapi, ia membukanya terlebih dulu sebelum menyerahkan padaku.“Sudah selesai?” Tanya Rendra. Ia pasti menanyak
Kulihat halaman demi halaman album itu dengan seksama. Di dekat setiap foto yang tersimpan, selalu ada tulisan tangan Rendra. Kalimat kalimat yang menggambarkan isi hatinya, yang kutahu ditujukan padaku, atau setidaknya hanya keterangan hari dan tanggal foto itu diambil. Di halaman ke 20, kulihat foto diriku saat study tour. Seingatku, foto ini dulu ada di album foto kecil yang ia tunjukkan di kelas, seminggu sepulang kami dari acara study tour itu. Di dalam album foto itu, ada foto foto teman teman sekelas kami. "Demi mendapatkan foto ini, aku foto semua teman sekelas satu per satu hanya agar mereka tak mencurigaiku yang terlihat selalu fokus mengambil gambarnya. Saat kutunjukkan gambar ini di kelas, Rena memuji hasil jepretanku. Dia bilang hasil jepretanku keren. Ia mengatakan kalau aku berbakat menjadi seorang fotografer. Hati ini benar benar berbunga. Pujian Rena, membuatku memutuskan menjadikan fotografer, sebagai bagian dari cita citaku. Aku harus bisa menja