Share

Para Bestie..

Penulis: Wildeblume
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Selama mereka baik terhadapku, aku pun akan bersikap baik terhadap mereka. Itulah prinsipku. Keluargaku tak henti hentinya memuja muji cucu lelaki kakek Hutomo itu. Tak ada waktu tanpa mereka menyebutkan kebaikan lelaki yang katanya tampan rupawan itu. Kalau mereka terus terusan seperti ini, aku takut akhirnya akan terpengaruh juga. Suka karena terbiasa. Bukankah berita yang salah pun jika disiarkan berulang kali akan bisa dianggap benar oleh orang orang yang mendengarkannya?

Terdengar suara notif pesan masuk. Segera kuambil hp yang tergeletak di atas nakas samping ranjangku. Ternyata ada pesan masuk dari Dewi, sahabatku. Kami sudah berteman sejak SMP. Kami pun bersekolah di tempat yang sama saat SMA.

“Assalamualaikum, Rena sayang. Jalan yuk, Ren!. Dah lama nih kita nggak jalan jalan bareng.” Bunyi pesan dari Dewi.

“Waalaikumsalam. Kemana? Sama siapa aja?” Balasku.

“Kemana aja boleh lah!. Sama Santi, Dian... trus... aku dong.” “ Mau ya?” Pesan dari Dewi.

“Boleh lah! Jemput ya? Aku tunggu di pertigaan dekat rumah.” Balasku.

“Siappp!” Balasnya singkat.

Daripada di rumah suntuk + penat, mending jalan jalan sama para bestie aku. Gegas aku bersiap siap. Mandi dulu tentunya. Setelah siap, aku pun segera berangkat. Ku lihat ibu ada di taman samping rumah. Aku pun menghampirinya untuk berpamitan. Meskipun aku sedang jengkel dengannya. Ku cium tangannya dan gegas berlari pergi.

“Mau kemana Ren?” Tanya ibu setengah berteriak. Karena aku sudah sampai di depan pagar rumah.

“Jalan jalan bentar, buk. Sama Dewi.” Jawabku sambil berteriak. Aku tahu itu tak sopan, tapi aku harus buru buru menghilangkan jejak. Kalau sampai ketahuan mbah kakung, bisa bisa batal deh rencana jalan jalannya.

Masih bisa kudengar teriakan ibu yang menyuruhku kembali walaupun samar samar. Tapi aku tetap terus berlari ke pertigaan jalan tempatku janjian dengan Dewi tadi. Kemarahan mbah kakung? Itu urusan nanti. Yang jelas, sekarang aku akan pergi jalan jalan dengan teman temanku. Refreshing!!

Kulihat Dewi sudah menungguku di pertigaan jalan. Bukan hanya sendiri, tapi dengan Santi dan Dian yang berboncengan menggunakan motor milik Santi.

“Aman?” Tanya Santi melihatku datang dengan nafas tak beraturan. Teman temanku ini sudah tahu, jika mbah kakung tak memperbolehkanmu pergi sendiri tanpa ditemani sepupuku. Jadi setiap aku pergi dengan teman temanku ini, maka aku akan menyelinap dari mbah kakung.

Kami berempat jalan jalan keliling kota. Tanpa arah tujuan yang jelas. Setelah merasa lelah dan juga haus, kami pun mencari tempat nokrong yang nyaman untuk kami. Setelah sampai, kami pun menepikan motor kami. Memarkirkan di tempat yang tersedia. Lekas kami masuk dan memilih tempat duduk. Pelayan resto pun segera datang membawakan buku menu. Kami segera memesan minum dan makanan kesukaan kami di resto ini. Tempat ini, adalah tempat langganan kami untuk berkumpul.

Tak perlu menunggu lama. Pesanan kami pun terhidang lengkap di meja. Kami makan sambil bercanda dan bersenda gurau. Kadang kami pun sampai tertawa terbahak bahak. Mengundang perhatian para pengunjung yang lain. Inilah kami ketika kami sedang bersama.

“Mbah kakung mau menjodohkanku dengan cucu sahabatnya.” Aku mulai bercerita pada ketiga sahabatku ini.

“Serius?” Tanya Dian memastikan yang didengarnya.

“Buat apa aku bercanda?” Jawabku kemudian.

“Mbah mu itu kok otoriter sekali sih, Ren?” Ujar Santi.

“Sust. Jangan keras keras ngomongmu San!” Ucap Dewi seraya menaruh telunjuknya di depan mulut.

“Bisa saja di sini ada orang suruhannya mbahe Rena buat ngawasi.” Lanjut Dewi.

“Kebanyakan nonton film kamu ,Wi.” Ujar Dian.

“Kemungkinan itu bisa saja sih. Khan mbahnya Rena memang agak agak... gitulah!” Ujar Santi.

“Agak agak? Agak apa maksudnya?” Protesku.

“Agak aneh, Ren!” Jawab Santi.

“Jangan gitu dong San! Gimana pun juga, aku ini sayang banget sama mbah kakungku.” Protesku lagi.

“Ya kalau sayang, terima ajalah perjodohannya.” Jawab Dewi.

“Betul sekali.” Jawab Santi dan Dian serempak.

“Kasih solusi dong! Jangan malah bikin tambah pusing.” Ujarku.

“Oke, Oke! Kita mulai serius nih sekarang.” Kata Santi

“Lha, alasan kamu nolak apa?” Tanya Santi.

“Aku bilang, aku mau menikah dengan orang yang aku cintai. Bukan orang asing yang belum aku kenal sama sekali. Gitu.” Ungkapku pada ketiga sahabatku ini.

“Ha ha ha ha.....” Ketiga temanku tertawa serentak dan keras pula. Para pengunjung kafe yang lain pun menoleh ke arah kami. Pasti mereka mengira kami ini orang aneh dan tak ngerti adab di tempat umum seperti ini.

Lalu, mereka bertiga ini, apanya yang lucu coba, dari perkataanku tadi. Kenapa pula mereka kompak tertawa. Apa mereka menertawakanku? Bodohnya aku. Ya pastilah Ren, mereka menertawakanmu!!!

“Sudah puaskah kalian tertawanya?” Ketusku dengan muka yang cemberut pula.

“Sorry Ren. Sorry!” Ucap Dewi.

“Oke , mulai serius.”

“Lagian kamu Ren, kenapa harus pakai alasan itu coba. Kamu lupa ya Ren?” Ujar Dewi.

“Lupa apa?” Tanyaku benar benar tak tahu.

“Kamu itu jomblo dari lahir Rena! Gimana mau menikah dengan orang yang dicinta? Memangnya kamu punya pacar?” Ucapan Dewi sedang meledekku sepertinya. Aku pun menjawab pertanyaan Dewi dengan gelengan kepala.

“Nah, Itu dia! Kamu itu bukan cuman nggak punya pacar Rena! Kamu itu belum pernah punya pacar! Garis bawahi, Belum pernah! Ngerti!” Dewi ini sedang menerangkan padaku atau sedang memarahiku sih.

Ku jawab pertanyaan Dewi, atau lebih tepatnya pernyataan Dewi, dengan anggukan kepala.

“Jadi, kamu itu, sama aja ngasih alasan yang klise.” Lanjut Dewi.

“Dengan alasan seperti itu, jelas sajalah nggak bakal diterima sama keluargamu. Terutama mbahmu! Orang yang terobsesi menepati janji masa lalunya itu. Cinta akan datang karena terbiasa. Itu anggapan mereka.” Dewi menjelaskan.

“Terus, aku mesti gimana dong biar nggak jadi dijodohkan? Ini tuh sudah jamannya Industri 4.1, masa aku kembali ke jaman Datuk Maringgih sih!” Sesalku.

“Hahahaha...” Ketiga temanku tertawa.

“Ketawa, lagi!”

“Ketawa aja terus! Silahkan kalian tertawa sepuasnya, di atas penderitaanku.” Ucapku sewot.

“Maaf, Ren. Jangan ngambek dong. Habisnya, kamu pakai bawa bawa Datuk Maringgih segala.” Kata Dewi.

“Kabur aja simple.” Ucap Dian.

“Kabur, kalau sama pacar buat menghindari perjodohan, itu baru keren! Lha kalau sendirian sih kayak orang ilang, Ren!” Celetuk Santi.

“Ngasih ide mbok ya dipikirkan akibatnya. Kalau Rena kabur, trus penyakit jantung mbahnya beneran kumat gimana?” Ucap Santi. Tumben dia waras.

“Ya biarin aja. Orang mbahnya Rena juga seenaknya, nggak mikirin perasaan Rena kok.” Dian, sang pencetus ide, membela diri.

“Udahlah Ren, terima aja dulu. Ajak ketemuan. Siapa tahu dia emang jodohmu. Orang tuakan nggak mungkin tega nyakitin anaknya.” Nasehat dari Santi yang semakin waras.

“Kita berempat dari tadi ngomong panjang lebar kali tinggi plus ngalor ngidul. Tapi, ya Ren. Sebelum dilanjutkan pembicaraan penting kita ini, kenapa nggak lebih dulu kamu beritahu kita siapa yang dijodohkan dengan kamu itu? Barang kali salah satu di antara kami bertiga ini ada yang kenal. Kan lebih mudah kami ngasih kamu pertimbangan.” Terang Dewi.

“Lho! Memangnya aku tadi belum ngasih tahu kalian?” Tanyaku.

“Ya Allah, belum Ren. Kamu belum pikun kan Ren?” Tanya Santi.

“ Lelaki itu namanya Ferdian. Cucu dari Kakek Hutomo, pemilik peternakan sapi terbesar di Jateng, katanya!.” Jelasku kemudian, seusai permintaaan mereka.

“Wahh, kaya raya dong Ren!” Ucap Dian dengan nada takjub.

“Apes, kamu Ren! Benar benar apesss!” Ujar Santi.

“Apes gimana sih San? Jangan bikin aku jantungan deh!” Ucapku.

“Kalau benar dia si Ferdian yang aku kenal, maka, lelaki yang dijodohkan denganmu itu bukan laki laki baik baik. Dia itu playboy. Sering gonta ganti cewek. Bahkan rumor yang beredar belakangan ini, katanya, salah satu ceweknya sedang hamil.” Jawab Santi menjelaskan kepadaku.

“Bagus dong!”Celetukku.

Bab terkait

  • Bukan Siti Nurbaya   Mencari Solusi

    “Lho, kok bagus sih Ren?” Tanya Dewi masih dengan kekagetannya.“Bagus gimana maksudmu, Ren?” Tanya Dewi lagi.“Sadar nggak sih tadi pas ngomong?” Gantian Dian yang bertanya. Tak percaya dengan apa yang baru saja terucap dari mulut ini.“Maksudku, bagus dong! Aku kan jadi punya peluang besar buat membatalkan rencana mbah kakungku, buat ngejodohin aku dengan itu cowok.” Jelasku ke mereka, agar tak semakin salah paham.“Hehehe, kupikir, tipe cowok ideal versimu yang badboy gitu Ren.” Ujar Dian.“Enak aja!. Mikir dong, masak gue yang ting ting ini dapat yang tong tong sih.” Belaku. Disambut tawa mereka.“Hahahaha....” Tawa mereka serempak. Sepertinya mereka senang sekali mengejekku hari ini. Jadi agak menyesal nih, curhat sama mereka. Tapi kalau aku pendam sendiri di hati, alamat stress lah aku. Sambil panen jerawat.“Senang sekali ya, kalian hari ini.” “tertawa teruusss” “ Nggak apa apa lah itung itung ngumpulin pahala. Kan bikin orang bahagia, pahalanya gedhe.” Ujarku.“Udah, udah. Ja

  • Bukan Siti Nurbaya   Goodlooking?

    “Maaf mbak, yang bayarin kita siapa ya? Cewek apa cowok?” Tanya Dewi pada mbak kasir.“Iya, mbak, orangnya yang mana ya?” Tanya Dian penasaran.“Namanya siapa ya mbak?” Tanya Santi juga tak mau kalah.Mbak kasir terlihat bingung, diberondong pertanyaan oleh teman temanku.“Cowok, mbak. Orangnya baru saja pergi, mbak. Kalau namanya saya nggak tahu. Tadi dia hanya ninggalin kertas itu. Maaf ya mbak.” Terang sang kasir terlihat merasa bersalah.“Ga pa pa kok mbak. Ya udah deh, kami permisi dulu ya.” Ucapku.“Silahkan!” Jawab mbak kasir dengan ramah.Kami berempat pun segera berjalan ke parkiran dengan langkah cepat. Berharap orang yang membayari makan kami masih ada di sana. Selain untuk mengobati rasa penasaran juga untuk mengucapkan terima kasih. Sampai di parkiran kami berempat celingak celinguk ke kanan kiri mencari orang tersebut. Tapi, nyatanya tak ada orang di parkiran selain bapak tukang parkir dan kendaraan yang berjejer rapi. Sepertinya kami terlambat.*** Dewi mengantarkanku

  • Bukan Siti Nurbaya   Memalukan

    “Kalau foto fotonya cuman kayak gitu, nggak bisa dijadikan bukti deh kayaknya.” Tulis Dian.“Iya, mbah kakung pasti nggak percaya.” Tulisku.“Kalau dapat dari upload –an medsos, ya cuma kayak kayak gitu lah.” Tulis Santi.“Ya iyalah. Masa di medsos upload foto mesum, ya nggak mungkinlah. Kecuali sudah agak error orangnya.” Tulis Dewi.“Gimana kalau kamu deketin Vina, San?” Tulis Dewi.“Kenapa harus aku coba?” Tulis Santi tidak terima.“Karena, dari kita berempat, cuman kamu yang nggak terlalu frontal membenci dia. Iya khan, Wi?” Tulis Dian.“Iya. Kalau kita bertiga khan, kalau ketemu dia, bawaannya pengen nonjok aja.” Tulis Dewi.“Lagian khan kamu sama Vina 1 tempat kerja.” Tulis Dewi lagi.“Oke deh! Demi kamu Ren, aku bakalan deketin Vina.” Tulis Santi.“Kalian emang best friend aku!” Tulisku senang.“Tok, tok, tok!” Terdengar suara ketukan pintu. Aku kemudian berjalan ke pintu dan membukanya. Ada ibu di depan pintu kamarku.“Ayo, kita makan dulu!” Ajak ibu.“Rena masih kenyang bu

  • Bukan Siti Nurbaya   Menyesal?

    Aku berlari ke kamar dan meluapkan segala rasa yang menghimpit di dada ini, dengan menangis sekencang kencangnya. Aku tak peduli meskipun suara tangisku ini terdengar oleh tetangga. Ku kesampingkan rasa maluku.Tak terasa, adzan Subuh telah terdengar berkumandang. Rupanya, semalam aku menangis sampai tertidur. Seusai menunaikan sholat Subuh, ku ambil hp yang tergeletak di atas nakas samping tempat tidurku. Pada saat bersamaan ada telepon masuk dari Santi. Segera kuangkat.“Assalamualaikum.” Ucapku.“Waalaikumsalam, Ren.” Jawabnya di seberang sana.“Ada apa San, jam segini telepon?” Tanyaku.Ya, ini baru sekitar jam 5 pagi. Tak biasanya dia menelepon sepagi ini.“Cuma mau mastiin, kalau kamu baik baik saja, Ren. Habisnya, pesanku nggak ada yang kamu balas .” Terang Santi. “Hari ini bisa ketemuan nggak?” Tanya Santi.“Aku nggak boleh keluar rumah lagi San. Sampai hari pernikahan katanya.” Jelasku.“Kita komunikasi lewat hp aja ya.” Tambahku.“Siap, Ren!” Jawabnya.“Kamu tenang aja, Re

  • Bukan Siti Nurbaya   Tegang

    “Buruan Ren!” Suruh ibu. Ia sedang menunggu di depan pintu kamarku.“Bentar bu.” Jawabku. Aku sengaja memperlambat aktivitas yang kulakukan.“Nanti kita terlambat. Kasihan kan. Kalau tante Vera dan Ferdian nunggu kelamaan!” Ucap ibu."Tante Vera siapa sih Bu?" Tanyaku pura pura lupa."Tante Vera itu mamanya Ferdian. Masa kamu lupa sih Ren?" Jawab ibu disabar sabarkan.Hari ini, ibu bilang akan mengajakku ke butik untuk fitting baju pengantin.“Gerak cepat sekali mereka! Baru kemarin aku menyatakan bersedia, sekarang langsung fitting baju pengantin.” Batinku.Wajah ibu terlihat sangat segar, cerah dan ceria. Padahal kemarin, wajahnya terlihat sangat pucat pasi. Membuatku, terus terang ketakutan. Aku takut terjadi sesuatu yang enggak enggak pada ibuku itu. Tapi, lihatlah dia sekarang! Senyum merekahnya terus terusan terpatri di bibirnya. Wajahnya terlihat berbinar. Apakah yang kemarin itu akting?“Ren, cepetan! Ngapain saja sih lama amat? Bukannya kamu itu nggak pernah make up –an?” Tan

  • Bukan Siti Nurbaya   Kacau

    Baru saja Dewi selesai bicara, ternyata mereka sudah datang. Terdiri dari 10 orang. 2 diantaranya adalah Santi dan Dian. Para sahabatku ini bukan hanya mendapatkan bukti foto dan video pengakuan Vina, tapi membawa langsung orangnya ke sini. Keren memang 3 sahabatku ini.Ketika rombongan orang itu semakin mendekat ke arah kami, kulihat wajah Ferdian juga semakin tegang dan tampak pucat. Bukan hanya dia, tapi juga dengan ibunya, tante Vera.“Siapa kalian semua?” Tanya kakek Hutomo.“Mereka adalah orang yang saya sebutkan tadi!” Ucap Dewi dengan lantang.Budhe Lastri mendekat ke arahku. Ada diantara aku dan ibu. Dan eyang uti, lagi lagi beliau menggenggam erat tanganku.Kudengar suara para tamu yang asyik berkasak kusuk.“Perkenalkan, ini adalah Vina, mbah Sastro! Wanita ini sedang hamil 5 bulan. Dan pria yang menghamilinya adalah cucu kakek Hutomo, yang anda bangga banggakan itu!” Jelas Santi.Hebat sekali para sahabatku hari ini. Biasanya, begitu bertemu muka dengan mbah kakung, nyali

  • Bukan Siti Nurbaya   Cerdas

    Di dalam mobil, hanya ada keheningan. Tak ada satu pun yang berniat bicara. Semua sibuk dengan pikirannya masing masing. Termasuk Rena. Setelah melaju beberapa saat,“Kruk, kruk, kruk.” Bunyi yang berasal dari perutku, membuyarkan keheningan di dalam mobil ini. Eyang tersenyum menoleh menatapku membuatku merasa malu. Pastilah wajahku pun telah memerah.“Lapar? Rena tadi belum makan?” Tanya Eyang padaku.“Belum eyang.” Jawabku.“Sejak kapan?” Tanya eyang lagi. Yang lainnya hanya menyimak.“Kemarin sore.” Jawabku singkat.Tanpa mengucapkan apapun, pak dhe langsung membelokkan mobil ke rumah makan dan memarkirkannya. Baru setelahnya bertanya padaku,“Kita makan di sini saja ya Ren?” Tanya pak dhe.“Iya. Ibu juga lapar ini, Ram!” Eyang yang menjawab.“Sama. Aku juga lapar mas. Tadi belum sempat icip icip hidangannya.” Ucap budhe Lastri.“Kami juga lapar, pak dhe. Bukan cuma Rena!” Protes Nindy.Semua penumpang, rombongan kami bukan hanya mobil yang kutumpangi telah turun, kecuali aku. Bah

  • Bukan Siti Nurbaya   Langkah Baru

    Saat aku membuka mata, ternyata aku sudah tak berada di dalam mobil lagi. Kulihat ke sekelilingku. Memindai satu persatu isi ruangan ini. Sepertinya ini adalah sebuah kamar tidur. Tapi kurasa ini bukanlah salah satu kamar tidur di rumah eyang uti. Aku segera bangun dari ranjang dan berjalan menuju pintu kamar. Begitu pintu kamar terbuka, bisa kudengar suara beberapa orang tengah mengobrol. Aku pun berjalan ke arah sumber suara itu. Kulihat eyang, pak dhe Ramdan dan istrinya bu dhe Narti, juga mas Damar sedang duduk di ruang keluarga. Mereka tak mengacuhkan televisi yang sedang menyala. Tampaknya obrolan mereka lebih menarik dari siaran di televisi. Sepertinya mereka sedang asyik memperbincangkan sesuatu. Sampai sampai, mereka tak menyadari kedatanganku.“Eyang!” Panggilku.“Sudah bangun tho? Sini nduk!” Ucap eyang sambil menepuk kursi kosong di sampingnya. Aku pun menghampiri eyang dan duduk di kursi yang beliau tepuk tadi.“Kok Rena nggak dibangunin sih tadi?” Protesku.“Kamu tidu

Bab terbaru

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 66

    “Dasar b o d o h! Bagaimana kamu bisa menyerahkan segalanya pada wanita ini Rendra! Buat apa aku mengejar lelaki miskin!” Teriak Cindy. Aku pun langsung ber high five dengan Risa. Puas sekali kail pancingku tersangkut dengan mudahnya.“Ha ha ha... Kau sangat percaya sekali dengan ucapanku ya?” Puas ku menertawakan wanita itu.“Rendra, aku tadi tidak bermaksud menghinamu. Aku hanya sedang berusaha untuk menyadarkanmu. Betapa liciknya wanita yang telah kamu nikahi itu. Kamu tahu khan, kalau papi mami aku tuh sudah kaya raya jauh sebelum aku lahir. Jadi, buat apa aku ngincar hartamu. Iya khan?” Mendadak ucapan Cindy berubah lembut, setelah menyadari ia hanya kubohongi.“Rendra, tolong. Aku benar benar sakit karena ulah istrimu itu. Tolong aku Rendra, atau aku akan melaporkan perbuatan istrimu ke polisi.” Cindy benar pintar sekali playing victim. Jengkel aku dibuatnya. Risa memberikanku kode dengan kedip kedipan matanya. Tapi aku tak mengerti apa maksudnya.

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 65

    “Bugh! Brakk!” Kutendang wanita itu hingga terpelanting jauh dari posisinya semula. Ia terjatuh menimpa meja. Ahh, pasti sakit sekali rasanya. Apalagi bagi wanita manja seperti dia. Aku memang telah merasa jengkel dengan wanita itu sejak kedatangannya. Semua ucapannya hanyalah meremehkanku. Untunglah Rendra menyuruhku pergi dari meja itu dengan alasan untuk menemani Rayyan. Kukira aku telah terselamatkan dari luapan emosiku sendiri. Ehh, ternyata wanita itu belum merasa cukup membully ku dengan ucapan. Ia tampak berdiri tak lama begitu aku beranjak dari kursi yang kududuki. Ia mengikutiku dengan tangan kanannya menggenggam sebuah pisau yang hendak dia gunakan makan tadi. Tak bisa kubayangkan andai wanita itu berhasil melukaiku. Pisau yang tak tajam itu akan merobek kulitku dengan sangat menyakitkan. Bahkan ikan saja dipotong dengan pisau yang setajam mungkin saat akan dimasak, agar tidak menyakiti ikan itu. Lha ini wanita, mempunyai niat buruk untuk melukaiku dengan pisau makan yang t

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 64

    “Hanya acara makan makan saja. Sama para tetangga. Biar mereka tahu, kalau kita ini sudah menikah. Biar tak ada fitnah.” Jelas Rendra.“Dimana? Pakai pakaian kayak tadi pagi?” Ucapku was was. Aku yang tomboi, tentulah merasa tersiksa harus memakai pakaian super ribet tadi.“Di resto Angsana. Kita pakai baju biasa saja kok. Hanya makan makan sama perkenalan. Nggak pakai acara neko neko.” Terang Rendra lagi. Aku pun bisa menghela nafas lega setelah mendengarnya. Sedangkan Rendra, ia tampak tersenyum ketika mendengarku menghela nafas.*** Pagi ini, setelah menunaikan sholat Subuh, aku kembali membaringkan tubuhku di samping Rayyan. Bocah itu masih terlelap. Ia tampak sangat nyenyak dalam tidurnya.“Assalamualaikum” Baru saja memejamkan mata hendak tidur lagi, terdengar suara salam.“Waalaikumsalam” Sahutku dengan kaget.“Kenapa?” Tanya Rendra heran.“Hanya belum terbiasa.” Jawabku tak enak. Rendra berjalan mengh

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 63

    “Mau beli apa?” Tanya Rendra kemudian. Aku berjalan mencari letak es krim. Rendra terus mengekoriku di belakang. Karena tak mungkin ia menggandengku, ruang kosong yang tersedia cukup sempit. Kubuka tempat penyimpanan es krim. Ku ambil semua es krim dengan rasa durian. Aku juga membeli cooling box untuk menyimpannya. Cukup banyak es krim yang kubeli. Cukuplah untuk dibagi rata semua yang ada di rumah eyang.“Es krim durian?” Ucap Rendra heran.“Sama sama durian khan?” Sahutku.“Terserah kamu sajalah sayang.” Ucap Rendra pasrah.“Kita cari makan dulu ya, sayang.” Rendra menawarkan.“Nggak usah. Di rumah lagi bakar ikan. Kita makan di rumah aja ya. Kalau kelamaan, nanti es krimnya cair.” Ucapku.*** Akhirnya, aku dan Rendra sampai rumah eyang juga. Setelah memarkirkan mobil kami langsung masuk ke tempat dimana orang orang masih berkumpul. Halaman luas yang tadi pagi penuh dengan kursi kursi dan meja sekarang berganti karp

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 62

    “Assalamualaikum.” Ucapanku membuat Rendra menatapku penuh tanya. Dari tatapannya kuketahui ia sedang penasaran dengan siapa yang menghubungiku. Aku pun kemudian menunjukkan layar ponselku, agar ia tahu nama orang yang menghubungiku. Setelah beberapa saat berbincang, aku pun mematikan panggilan. Setelahnya, kucari nama kontak mas Damar. Dan menelponnya.“Apa?” Sahut mas Damar begitu panggilan terhubung. “Assalamualaikum.” Ucapku tanpa memedulikan ucapan mas Damar tadi.“Waalaikumsalam.” Jawab mas Damar dengan ketus.“Tadinya aku mau memberikan info yang pastinya bakal bikin mas Damar berbunga. Tapi nggak jadi sajalah. Dengar suara mas aja, aku udah bad mood.” Seruku. Tanpa banyak bertanya, Rendra hanya terus memandangiku dan mendengarkan obrolanku di ponsel.“Ini udah jam berapa! Capek kami menunggu kalian pulang.” Gerutu mas Damar.“Udah jam 11 malam, emang kenapa? Orang aku perginya sama suami sendiri. Bukan suami orang. Lagia

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 61

    Aku keluar untuk memastikan keberadaan Rendra. Kulihat ke kiri dan ke kanan. Tapi tak kudapati keberadaan suamiku itu. Menyebalkan! Atau yang sebenarnya adalah ia memberikanku waktu untuk membaca dengan baik baik dan teliti setiap tulisannya di album itu? Ya, sepertinya memang begitu.Aku duduk di bangku depan glamping sendirian. Para pengunjung di sini kebanyakan datang bersama dengan keluarga dan pasangan. Rasanya aneh, saat hanya aku sendiri yang sendirian. Beberapa saat kemudian, kulihat Rendra berjalan mendekat ke arahku sambil menjinjing beberapa kantong plastik di tangan kiri dan kanan.“Darimana? Katanya sebentar!” Protesku begitu ia sampai. Ia tak menjawab. Hanya menunjukkan kedua tangannya yang penuh barang belanjaan. Ia kemudian duduk di sampingku setelah meletakkan kantong plastik di meja. Kemudian menyodorkan sebungkus camilan padaku. Tapi, ia membukanya terlebih dulu sebelum menyerahkan padaku.“Sudah selesai?” Tanya Rendra. Ia pasti menanyak

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 60

    Kulihat halaman demi halaman album itu dengan seksama. Di dekat setiap foto yang tersimpan, selalu ada tulisan tangan Rendra. Kalimat kalimat yang menggambarkan isi hatinya, yang kutahu ditujukan padaku, atau setidaknya hanya keterangan hari dan tanggal foto itu diambil. Di halaman ke 20, kulihat foto diriku saat study tour. Seingatku, foto ini dulu ada di album foto kecil yang ia tunjukkan di kelas, seminggu sepulang kami dari acara study tour itu. Di dalam album foto itu, ada foto foto teman teman sekelas kami. "Demi mendapatkan foto ini, aku foto semua teman sekelas satu per satu hanya agar mereka tak mencurigaiku yang terlihat selalu fokus mengambil gambarnya. Saat kutunjukkan gambar ini di kelas, Rena memuji hasil jepretanku. Dia bilang hasil jepretanku keren. Ia mengatakan kalau aku berbakat menjadi seorang fotografer. Hati ini benar benar berbunga. Pujian Rena, membuatku memutuskan menjadikan fotografer, sebagai bagian dari cita citaku. Aku harus bisa menja

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 59

    “Tunggu dulu!” Cegahku.“Ada apa?” Tanya Rendra.“Coba lihat!” Aku menunjuk diri sendiri kemudian beralih menunjuknya.“Style kita terlalu jauh beda. Nggak sepadan. Aku kayak lagi jalan sama om om, kalau bajumu kayak gini. Ganti!” Gerutuku. Penampilan Rendra tak jauh beda dari waktu acara akad tadi. Meski tanpa jas, ia masih mengenakan kemeja putih formal dan celana bahan tadi pagi. Dasi juga masih melingkar di lehernya, meski tak serapi tadi. Sedangkan aku, memakai celana overall bahan jeans kupadukan dengan kaus lengan panjang.“Kita ke rumah pak dhe dulu ya. Baju gantiku ada di rumah pak dhe.” Ucap Rendra.“Kelamaan” Ucapku. Rendra terlihat heran tapi tak menyangkal ucapanku. Pasti dia heran, bagaimana mungkin aku bisa mengatakan ‘kelamaan’, padahal rumah pak dhe hanya berselang 2 rumah dari tempat ini. Aku tak peduli.Berjalan mendekatinya, mengikis jarak antara aku dan Rendra. Kulepas dasi yang melingkar di lehernya. Ia hanya diam dan terus menatapku lekat. Kulepas 2 kancing atas

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 58

    “Ada apa ya mas? Kenapa bunda nangis? Rendra mana tak cari cari nggak ada?” Cecarku setelah mas Alif menoleh karena tepukan tanganku di bahunya. “Rena, kamu mandi apa tidur sih?” Sindir Nindy yang berdiri tak jauh dari tempat mas Alif berdiri.“Mandi. Trus ketiduran!” Ucapku tanpa merasa bersalah.“Rena!” Bunda memanggil namaku begitu melihat aku ada tak jauh dari beliau. Bunda pun langsung menghapus air matanya dan bangkit, kemudian mendekatiku. Tanpa kuduga bunda langsung bersimpuh di hadapanku. Membuatku dan semua orang kaget. Aku pun langsung menjatuhkan diriku di hadapan bunda. Duduk sambil menatapnya lekat. Walau aku belum tahu apa yang terjadi, feelingku ini ada kaitannya dengan Rendra. Ya, seorang ibu yang sebenarnya akan mampu melakukan apapun demi anaknya. Tak peduli tentang harga diri ataupun gengsi. Tak seperti ibuku. Sering kali terbersit di pikiranku, ‘benarkah aku anaknya?’.“Rena, bunda minta tolong. Tolong telepon Rendra. Kami s

DMCA.com Protection Status