Share

Skakmatt!!

Author: Wildeblume
last update Last Updated: 2024-09-13 12:57:07

Meski rasanya sudah mustahil, tapi di dalam hati, aku masih terus berdoa, semoga Allah memberikanku keajaibanNya. Tak lelah ku lantunkan dzikir di dalam hati.

“Ya Allah, hamba mohon, selamatkanlah hamba dari lelaki yang sedang berhadapan dengan bapakku itu. Hamba mohon dengan sangat ya Allah.” Doaku dalam hati. Kurapalkan doa di hati terus menerus tak henti.

Aku terus menundukkan pandangan. Malas melihat suasana yang bagaikan sebuah kutukan ini. Namun, sesekali kuangkat wajah, melirik ke sekeliling. Dan sering kali, tanpa sengaja pandangan mataku bertemu dengan laki laki yang bernama lengkap Ferdian Hutomo itu. Ia pun mempersembahkan senyum termanisnya. Apa dia pikir aku akan terpesona? Bukannya terpesona aku malah semakin merasa jengkel. Setiap kali melihatnya, rasa jengkelku semakin bertambah.

Andai boleh, aku akan mengajukan syarat, tanding terlebih dahulu. Dia harus bisa mengalahkanku terlebih dahulu sebelum berhak mengucap akad. Aku yakin tak akan kalah. Aku adalah pemegang sabuk hitam taekwondo. Akan kubuat dia KO. Kalau perlu tak usah bangun lagi seterusnya. Ahh, kenapa pikiranku jadi melanglang buana kemana mana. Apakah ini tanda tanda aku mengalami gangguan jiwa?

Detik demi detik ini, berlalu dengan cepat. Namun terasa sangat berat kurasa. Diriku saat ini merasakan kecemasan yang sangat. Wajahku memucat. Dan riasan tebal di wajahku tak mampu menolong. Seolah darah enggan mengalir ke sana. Keringat dingin pun mulai keluar. Telapak tanganku yang terhiasi oleh hena tampak putih memucat. Telapak tangan dan jari tanganku teraba dingin, sedingin es. Aku merasakan ketegangan yang luar biasa. Kakiku terus bergerak gerak tanpa kumau. Dan kurasakan sensasi ingin segera ke kamar mandi untuk buang hajat. Aku khawatir aku akan pingsan.

Terlihat begitu kentara, diriku yang dilanda kecemasan dan ketegangan ini. Ibu lalu berusaha menggenggam tanganku. Mungkin beliau bermaksud menguatkanku. Tapi dengan segera ku tepis tangannya. Aku tak ingin ia menyentuhku. Aku marah padanya. Aku juga sangat kecewa padanya. Ia yang kuharapkan akan membelaku, ia yang kuharapkan akan melindungiku, justru dialah yang mengumpankanku. Apakah seperti ini rasanya telah sengaja diumpankan ke mulut buaya.

Wajarkan jika aku bilang beliau mengumpankanku? Tanpa sanggahan, tanpa menolak terlebih dahulu, dia ibuku, langsung mengiyakannya. Tanpa meminta pendapatku. Tanpa bertanya bagaimana perasaanku. Apa aku hanya dianggap benda mati? Apa ibu tak punya hati. Kenapa kalian semua menumbalkanku? Apalagi, akhirnya aku tahu, ternyata sebenarnya pernikahan orang tuaku dulu, tak mendapat restu dari mbah kakung. Karena mbah kakung sudah memutuskan untuk menikahkan ibuku dengan salah satu putra kakek Hutomo. Mbah kakung memberikan restu, setelah kedua orang tuaku itu berjanji, jika kelak anak mereka yang akan menggantikan ibu. Edaaann.... orang tua macam apa mereka. Bahkan sebelum aku mereka proses pun sudah mereka agun kan. Malang benar nasibku

Aku tak butuh ke sok pedulianmu bu. Tak kudapatkan lagi kehangatan dari genggaman tanganmu bu. Hatiku benar benar merasa sakit. Dan yang menorehkan rasa sakit itu adalah orang orang terdekatku. Orang orang yang kusayangi. Mungkin seperti inilah rasanya dikhianati. Kemarin aku merasa disayang sayang, sekarang mungkin waktunya aku dibuang. Mereka memanjakanku, sebagai bayaran dari mereka untukku. Karena aku telah membebaskan mereka dari perjanjian bullshit itu. Mereka ternyata tidak benar benar menyayangiku. Kasih sayang mereka selama ini palsu. Mereka berpura pura menyayangiku, untuk mengurangi perasaan bersalah mereka ketika akhirnya saat ini terjadi.

***

Masih terngiang jelas di telingaku, bagaimana omongan yang dilontarkan ibuku waktu itu, ketika aku menolak mentah mentah tawaran atau lebih tepatnya perintah dari mbah kakung. Ketika mbah kakung langsung ambruk dan jatuh, semua orang panik. Aku yang masih dengan akal yang utuh, tahu bahwa beliau sedang berpura pura. Bagaimana mungkin seorang mbah Sastro Dimejo yang hobi marah marah dan suka sekali bikin orang marah itu, sedemikian mudah tumbang karena penolakanku. Aku pun hanya terdiam di tempatku semula. Ketika yang lainnya panik dan kalang kabut.

Mungkin waktu itu mbah kakung berharap aku segera berlari menghampirinya, langsung memeluknya erat sambil menangis meraung raung dan meminta maaf. Tapi sorry mbah! Bukannya aku tidak peduli. Tapi aku tahu mbah, anda sedang bersandiwara.

Anda tahu mbah? Darah yang mengalir di dalam tubuhku ini , ada bagian dari darahmu. Anda tak bisa membohongi aku dengan mudah, cucu yang paling dekat denganmu. Cucu yang paling sering bersamamu. Cucu yang pernah merasa paling engkau sayangi.

“Dasar anak tidak tahu diri. Beraninya kamu membantah ucapan mbah kung. Jika sampai terjadi sesuatu dengan mbahmu, seumur hidup ibu tidak akan pernah memaafkanmu. Kamu benar benar tidak tahu terimakasih Rena!” Teriak ibu kala itu, sambil jari telunjuknya ia tunjuk tunjukan ke arah mukaku.

“Cukup Ratih. Jangan bicara seperti itu ke anak kita. Mas mohon.” Akhirnya keluar juga perkataan dari bapak.

“Ayo, pak! Bela Rena. Rena mohon pak!” ucapku dalam hati, sangat berharap semoga bapakku mengeluarkan pembelaan untukku. Tapi nyatanya, tak ada satu kata pun yang terdengar olehku. Beliau sibuk menenangkan istri tercintanya yang sedang kalap. Aku rasa bapakku itu masih bucin akut, meski sudah tua.

Tanpa membuang banyak waktu, semua orang, kecuali aku, gegas membawa mbah kakung ke rumah sakit. Terlihat jelas, raut kekhawatiran di wajah mereka semua. Aku? Aku tetap tinggal di rumah. Aku tak mau terjebak dalam permainan drama mbah kakung.

***

Esok harinya, sepupu lelaki tertuaku menelpon. Dia bilang mbah kakung sudah sadar dan mencariku. Dia memintaku untuk segera ke rumah sakit. Sebenarnya aku sangat malas untuk pergi ke rumah sakit. Tapi apa mau dikata, mereka terus menelponku tanpa henti, secara bergantian. Mereka semua, kecuali ibu dan bapakku. Aku tahu, pasti ibu melarang bapak untuk menelponku. Aku sering merasa cemburu pada ibu, karena bapak selalu lebih memilihnya dibanding aku.

Sesampai di rumah sakit, aku disambut dengan drama tangisan sinetron, benar benar menjiwai mereka semua. Tapi sayang, masih kurang alami. Aku benar benar tak habis pikir, bahkan para sepupu laki lakiku yang sangat gagah dengan perut six pack itu, mau maunya disuruh pura pura nangis. Aku bisa bilang begini, bukan karena aku masa bodo atau kurang ajar, tapi karena aku memang benar benar mengenal mereka semuanya dengan sangat baik. Apakah para sepupuku yang gagah itu, takluk dengan iming iming mobil baru atau dengan motor sport keluaran terbaru?

Sebelum salah satu dari mereka sempat buka suara, aku sudah lebih dulu membalikkan badan dan melangkah keluar dengan langkah yang sangat lebar. Tak ku pedulikan panggilan mereka untukku kembali. Setelah itu, aku tak pernah datang lagi ke rumah sakit.

3 hari tidur di ranjang rumah sakit, mungkin mbah kakung sudah bosan, jadi meminta pulang. Kupikir, setelah pulang dari rumah sakit, mereka akan memperlakukanku sebagai makhluk tak kasat mata, tapi ternyata tidak. Mereka malah bersikap seperti biasa.

Apa mereka menyerah? Tentu saja tidak!

Tapi mereka memilih membujukku perlahan. Mungkin mereka takut aku melarikan diri. Mereka tahu pasti, aku ini sangat keras kepala dan pemberontak.

“Cucu kakek Hutomo itu ganteng, putih, tinggi gagah, lho Ren!”

“Pekerjaannya juga mapan. Bahkan nanti setelah kalian menikah, kakek Hutomo katanya akan memberikan peternakan sapi perahnya ke kamu.”

“Nanti kalian juga akan langsung tinggal sendiri. Soalnya kakek Hutomo sudah membelikan rumah yang mewah buat kalian tinggali.”

“Kamu nggak perlu takut akan dijahati mertuamu atau iparmu, seperti di sinetron sinetron itu Ren.” Puja puji ibuku pada calon mantu pilihannya.

“Mertua dan ipar jahat?” Tanyaku.

“Cuman misal aja, Ren.” Jawab ibu.

“Bukannya yang jahat itu kalian?” Sindirku pada Ibu,kakek dan bapak yang sedang berada di ruang tamu bersamaku. SKAKMAT......

Related chapters

  • Bukan Siti Nurbaya   Para Bestie..

    Selama mereka baik terhadapku, aku pun akan bersikap baik terhadap mereka. Itulah prinsipku. Keluargaku tak henti hentinya memuja muji cucu lelaki kakek Hutomo itu. Tak ada waktu tanpa mereka menyebutkan kebaikan lelaki yang katanya tampan rupawan itu. Kalau mereka terus terusan seperti ini, aku takut akhirnya akan terpengaruh juga. Suka karena terbiasa. Bukankah berita yang salah pun jika disiarkan berulang kali akan bisa dianggap benar oleh orang orang yang mendengarkannya?Terdengar suara notif pesan masuk. Segera kuambil hp yang tergeletak di atas nakas samping ranjangku. Ternyata ada pesan masuk dari Dewi, sahabatku. Kami sudah berteman sejak SMP. Kami pun bersekolah di tempat yang sama saat SMA.“Assalamualaikum, Rena sayang. Jalan yuk, Ren!. Dah lama nih kita nggak jalan jalan bareng.” Bunyi pesan dari Dewi.“Waalaikumsalam. Kemana? Sama siapa aja?” Balasku.“Kemana aja boleh lah!. Sama Santi, Dian... trus... aku dong.” “ Mau ya?” Pesan dari Dewi.“Boleh lah! Jemput ya? Aku tu

    Last Updated : 2024-09-13
  • Bukan Siti Nurbaya   Mencari Solusi

    “Lho, kok bagus sih Ren?” Tanya Dewi masih dengan kekagetannya.“Bagus gimana maksudmu, Ren?” Tanya Dewi lagi.“Sadar nggak sih tadi pas ngomong?” Gantian Dian yang bertanya. Tak percaya dengan apa yang baru saja terucap dari mulut ini.“Maksudku, bagus dong! Aku kan jadi punya peluang besar buat membatalkan rencana mbah kakungku, buat ngejodohin aku dengan itu cowok.” Jelasku ke mereka, agar tak semakin salah paham.“Hehehe, kupikir, tipe cowok ideal versimu yang badboy gitu Ren.” Ujar Dian.“Enak aja!. Mikir dong, masak gue yang ting ting ini dapat yang tong tong sih.” Belaku. Disambut tawa mereka.“Hahahaha....” Tawa mereka serempak. Sepertinya mereka senang sekali mengejekku hari ini. Jadi agak menyesal nih, curhat sama mereka. Tapi kalau aku pendam sendiri di hati, alamat stress lah aku. Sambil panen jerawat.“Senang sekali ya, kalian hari ini.” “tertawa teruusss” “ Nggak apa apa lah itung itung ngumpulin pahala. Kan bikin orang bahagia, pahalanya gedhe.” Ujarku.“Udah, udah. Ja

    Last Updated : 2024-09-13
  • Bukan Siti Nurbaya   Goodlooking?

    “Maaf mbak, yang bayarin kita siapa ya? Cewek apa cowok?” Tanya Dewi pada mbak kasir.“Iya, mbak, orangnya yang mana ya?” Tanya Dian penasaran.“Namanya siapa ya mbak?” Tanya Santi juga tak mau kalah.Mbak kasir terlihat bingung, diberondong pertanyaan oleh teman temanku.“Cowok, mbak. Orangnya baru saja pergi, mbak. Kalau namanya saya nggak tahu. Tadi dia hanya ninggalin kertas itu. Maaf ya mbak.” Terang sang kasir terlihat merasa bersalah.“Ga pa pa kok mbak. Ya udah deh, kami permisi dulu ya.” Ucapku.“Silahkan!” Jawab mbak kasir dengan ramah.Kami berempat pun segera berjalan ke parkiran dengan langkah cepat. Berharap orang yang membayari makan kami masih ada di sana. Selain untuk mengobati rasa penasaran juga untuk mengucapkan terima kasih. Sampai di parkiran kami berempat celingak celinguk ke kanan kiri mencari orang tersebut. Tapi, nyatanya tak ada orang di parkiran selain bapak tukang parkir dan kendaraan yang berjejer rapi. Sepertinya kami terlambat.*** Dewi mengantarkanku

    Last Updated : 2024-09-13
  • Bukan Siti Nurbaya   Memalukan

    “Kalau foto fotonya cuman kayak gitu, nggak bisa dijadikan bukti deh kayaknya.” Tulis Dian.“Iya, mbah kakung pasti nggak percaya.” Tulisku.“Kalau dapat dari upload –an medsos, ya cuma kayak kayak gitu lah.” Tulis Santi.“Ya iyalah. Masa di medsos upload foto mesum, ya nggak mungkinlah. Kecuali sudah agak error orangnya.” Tulis Dewi.“Gimana kalau kamu deketin Vina, San?” Tulis Dewi.“Kenapa harus aku coba?” Tulis Santi tidak terima.“Karena, dari kita berempat, cuman kamu yang nggak terlalu frontal membenci dia. Iya khan, Wi?” Tulis Dian.“Iya. Kalau kita bertiga khan, kalau ketemu dia, bawaannya pengen nonjok aja.” Tulis Dewi.“Lagian khan kamu sama Vina 1 tempat kerja.” Tulis Dewi lagi.“Oke deh! Demi kamu Ren, aku bakalan deketin Vina.” Tulis Santi.“Kalian emang best friend aku!” Tulisku senang.“Tok, tok, tok!” Terdengar suara ketukan pintu. Aku kemudian berjalan ke pintu dan membukanya. Ada ibu di depan pintu kamarku.“Ayo, kita makan dulu!” Ajak ibu.“Rena masih kenyang bu

    Last Updated : 2024-09-13
  • Bukan Siti Nurbaya   Menyesal?

    Aku berlari ke kamar dan meluapkan segala rasa yang menghimpit di dada ini, dengan menangis sekencang kencangnya. Aku tak peduli meskipun suara tangisku ini terdengar oleh tetangga. Ku kesampingkan rasa maluku.Tak terasa, adzan Subuh telah terdengar berkumandang. Rupanya, semalam aku menangis sampai tertidur. Seusai menunaikan sholat Subuh, ku ambil hp yang tergeletak di atas nakas samping tempat tidurku. Pada saat bersamaan ada telepon masuk dari Santi. Segera kuangkat.“Assalamualaikum.” Ucapku.“Waalaikumsalam, Ren.” Jawabnya di seberang sana.“Ada apa San, jam segini telepon?” Tanyaku.Ya, ini baru sekitar jam 5 pagi. Tak biasanya dia menelepon sepagi ini.“Cuma mau mastiin, kalau kamu baik baik saja, Ren. Habisnya, pesanku nggak ada yang kamu balas .” Terang Santi. “Hari ini bisa ketemuan nggak?” Tanya Santi.“Aku nggak boleh keluar rumah lagi San. Sampai hari pernikahan katanya.” Jelasku.“Kita komunikasi lewat hp aja ya.” Tambahku.“Siap, Ren!” Jawabnya.“Kamu tenang aja, Re

    Last Updated : 2024-09-26
  • Bukan Siti Nurbaya   Tegang

    “Buruan Ren!” Suruh ibu. Ia sedang menunggu di depan pintu kamarku.“Bentar bu.” Jawabku. Aku sengaja memperlambat aktivitas yang kulakukan.“Nanti kita terlambat. Kasihan kan. Kalau tante Vera dan Ferdian nunggu kelamaan!” Ucap ibu."Tante Vera siapa sih Bu?" Tanyaku pura pura lupa."Tante Vera itu mamanya Ferdian. Masa kamu lupa sih Ren?" Jawab ibu disabar sabarkan.Hari ini, ibu bilang akan mengajakku ke butik untuk fitting baju pengantin.“Gerak cepat sekali mereka! Baru kemarin aku menyatakan bersedia, sekarang langsung fitting baju pengantin.” Batinku.Wajah ibu terlihat sangat segar, cerah dan ceria. Padahal kemarin, wajahnya terlihat sangat pucat pasi. Membuatku, terus terang ketakutan. Aku takut terjadi sesuatu yang enggak enggak pada ibuku itu. Tapi, lihatlah dia sekarang! Senyum merekahnya terus terusan terpatri di bibirnya. Wajahnya terlihat berbinar. Apakah yang kemarin itu akting?“Ren, cepetan! Ngapain saja sih lama amat? Bukannya kamu itu nggak pernah make up –an?” Tan

    Last Updated : 2024-09-26
  • Bukan Siti Nurbaya   Kacau

    Baru saja Dewi selesai bicara, ternyata mereka sudah datang. Terdiri dari 10 orang. 2 diantaranya adalah Santi dan Dian. Para sahabatku ini bukan hanya mendapatkan bukti foto dan video pengakuan Vina, tapi membawa langsung orangnya ke sini. Keren memang 3 sahabatku ini.Ketika rombongan orang itu semakin mendekat ke arah kami, kulihat wajah Ferdian juga semakin tegang dan tampak pucat. Bukan hanya dia, tapi juga dengan ibunya, tante Vera.“Siapa kalian semua?” Tanya kakek Hutomo.“Mereka adalah orang yang saya sebutkan tadi!” Ucap Dewi dengan lantang.Budhe Lastri mendekat ke arahku. Ada diantara aku dan ibu. Dan eyang uti, lagi lagi beliau menggenggam erat tanganku.Kudengar suara para tamu yang asyik berkasak kusuk.“Perkenalkan, ini adalah Vina, mbah Sastro! Wanita ini sedang hamil 5 bulan. Dan pria yang menghamilinya adalah cucu kakek Hutomo, yang anda bangga banggakan itu!” Jelas Santi.Hebat sekali para sahabatku hari ini. Biasanya, begitu bertemu muka dengan mbah kakung, nyali

    Last Updated : 2024-09-27
  • Bukan Siti Nurbaya   Cerdas

    Di dalam mobil, hanya ada keheningan. Tak ada satu pun yang berniat bicara. Semua sibuk dengan pikirannya masing masing. Termasuk Rena. Setelah melaju beberapa saat,“Kruk, kruk, kruk.” Bunyi yang berasal dari perutku, membuyarkan keheningan di dalam mobil ini. Eyang tersenyum menoleh menatapku membuatku merasa malu. Pastilah wajahku pun telah memerah.“Lapar? Rena tadi belum makan?” Tanya Eyang padaku.“Belum eyang.” Jawabku.“Sejak kapan?” Tanya eyang lagi. Yang lainnya hanya menyimak.“Kemarin sore.” Jawabku singkat.Tanpa mengucapkan apapun, pak dhe langsung membelokkan mobil ke rumah makan dan memarkirkannya. Baru setelahnya bertanya padaku,“Kita makan di sini saja ya Ren?” Tanya pak dhe.“Iya. Ibu juga lapar ini, Ram!” Eyang yang menjawab.“Sama. Aku juga lapar mas. Tadi belum sempat icip icip hidangannya.” Ucap budhe Lastri.“Kami juga lapar, pak dhe. Bukan cuma Rena!” Protes Nindy.Semua penumpang, rombongan kami bukan hanya mobil yang kutumpangi telah turun, kecuali aku. Bah

    Last Updated : 2024-09-28

Latest chapter

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 77

    “Assalamualaikum, mbah” Rendra menyapa begitu kami telah sampai di hadapan mbah kakung. Sedangkan aku masih setia terdiam. Aku tak tahu, haruskah aku mengeluarkan kata? Atau aku lebih baik terus terdiam saja. Rendra mengulurkan tangannya, mengajak berjabat tangan dengan mbah kakung.“Waalaikumsalam” Jawab mbah kakung sambil menerima uluran tangan Rendra. Dan Rendra pun kemudian mencium punggung tangan mbah kakung. Tak seperti yang terlintas di benak ini. Kupikir, mbah kakung akan menepis uluran tangan suamiku itu. Tapi ternyata tidak. Apa mungkin karena saat ini, kami sedang berada di tengah tengah banyak orang? Ya. Pasti karena itu. Mbah kakung pasti tak ingin mempermalukan dirinya sendiri. Rendra kemudian menyenggol lenganku, memberikanku kode agar segera menyalami mbah kakung. Dan aku pun melakukannya. Kucium punggung tangan kanan mbah kakung. Dan tanpa kuduga, beliau langsung menarik lembut tanganku dan memelukku. Mendekap erat tubuh ini. Kurasakan kehangatan yang selal

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 76

    Aku mengalami morning sickness yang parah di pagi hari saja. Selebihnya, aku baik baik saja. Kecuali aku mendapati aroma dan bau bau yang tak kusukai, aku akan langsung mual dan muntah.Pagi ini, sholat Subuhku sedikit tertunda karena aku yang terus terusan muntah. Tenggorokanku terasa sakit. Perutku juga. Aku tak berhenti muntah meski seluruh isi perut telah kumuntahkan. Sampai terasa pahit tenggorokanku. Sudah sekitar setengah jam aku menghuni kamar mandi. Rendra terus menemaniku sambil memijat mijat lembut punggungku. Tak lupa juga mengoleskan minyak kayu putih. Rendra bahkan mengurungkan niatnya untuk sholat Subuh ke masjid karena tak tega untuk meninggalkanku.“Eyang boleh masuk?” Ujar eyang uti setelah mengetuk pintu kamarku yang sedikit terbuka.“Silahkan eyang!” Sahut Rendra setengah berteriak karena jarak kami tak dekat. Agar eyang bisa mendengarnya. Eyang kemudian masuk ke kamarku dan menghampiri kami yang tengah di kamar mandi. Mengulurkan segel

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 75

    Alhamdulillah! Semua berjalan sesuai rencana. Semalam, aku dan mbak Ria, lembur sampai jam 11 malam untuk menyelesaikan gaun ibu. Rendra menungguku ditemani mas Damar, duduk di depan pabrik sambil menikmati kopi.Pagi ini, sekali lagi kuperiksa gaun untuk ibuku ini. Untuk memastikan tak ada yang kurang. Gaun ini sudah ‘sempurna’ seperti yang kumau. Kuminta Rendra untuk memotretku bersama gaun ini, yang kupasangkan pada salah satu manekin yang ada di butik. Meski sebenarnya, tanpa kuminta pun Rendra sudah jeprat jepret tanpa jeda sejak tadi.Mbak Dita datang, tepat saat gaun ibu selesai kupacking. Alhamdulillah! Lega rasanya. Aku tak mau membuat orang yang akan kumintai tolong itu menunggu. Setelah berbincang beberapa saat, mbak Dita berangkat membawa hadiahku untuk ibu.“Akhirnya! Selesai juga.” Sorak Nindy.“Yang ngerjain aku. Yang capek juga aku. Kenapa kamu yang sorak sorak tak jelas gitu? Ora Cetho!” Seruku.“Tahu nggak Rena? Aku tuh

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 74

    Kubaca nama pengirimnya, ternyata ibu. Kubuka amplop itu perlahan. Ingin tahu apa isinya. Ternyata undangan pernikahan ibu dan om Hidayat. Bukan hanya 1 buah. Tapi ada beberapa. Untukku, untuk bapak, dan untuk tante Fatma. Ada juga secarik kertas dalam amplop coklat itu. Segera kubuka lipatan kertas itu dan kubaca isinya. Hanya beberapa baris kalimat. Ibu memang orang yang tak suka berbasa basi.“Rena, berikan 2 undangan yang lainnya untuk bapakmu dan tante Fatma. Ibu tak memaksamu untuk datang. Datang atau pun tidak itu adalah hakmu.”Kuhela nafas setelah membaca tulisan tangan ibu.“Rena pasti datang bu. Menyaksikan pernikahan kedua ibu. Meski sebenarnya bukan pernikahan yang ibu harapkan, tapi Rena berharap lelaki itu mampu membahagiakan ibu.” Batinku. Rendra yang berada di samping kananku, mengelus lembut punggungku.“Bi, menurutmu, kita akan beri hadiah apa untuk pernikahan ibu?” Tanyaku sambil menatap pria di sampingku ini.“Apa ya

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 73

    “Astaghfirullahaladzim!” Seruku sambil tangan kiri memegang dada.Ya ampun, bagaimana bisa aku seceroboh ini. Harusnya kupastikan dulu siapa yang menelpon sebelum marah marah.“Assalamualaikum” Sapa seseorang di seberang sana.“Waalaikumsalam. Maaf bunda.” Sesalku. Ditanggapi dengan kekehan dari wanita yang telah melahirkan suamiku itu.“Ada apa?” Tanya bunda padaku.“Nggak ada apa apa kok bun. Rena pikir tadi mas Rendra yang telpon.” Ucapku.“Rendra pasti gangguin kamu ya.” Tebak bunda. Aku pun menceritakan ulah putranya itu pada bunda. Beliau hanya tertawa menanggapi ceritaku.“Matikan saja ponselmu, nduk.” Usul bunda. “Kalau dimatikan, bisa panjang urusannya, Bun.” Sahutku.“Oh iya, ada apa perlu apa bunda telpon Rena?” Tanyaku penasaran. Biasanya, meskipun ingin berbicara denganku, bunda selalu menghubungi ke nomor putranya.“Tadi bunda telpon Rendra nggak diangkat. Mungkin sedang sibuk. J

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 72

    Seperti hari hari sebelumnya, aku duduk manis menunggui suamiku yang sibuk mencari uang.“Kenapa?” Tanya mas Adi yang hendak melintas. Ia menghentikan sejenak langkahnya di depanku.“Apanya?” Bukannya menjawab aku malah balik bertanya.“Kok lesu? Wajah kamu juga kelihatan agak pucat.” Ucap mas Adi.“Kebanyakan begadang sama si bos itu.” Seloroh mas Doni yang baru saja lewat. Mas Doni memang selalu mencari gara gara saja denganku.“Heem. Dari tadi Rena diam aja. Biasanya khan petakilan.” Mas Edwin ikut memberikan komentarnya. Atau sebenarnya malah nyinyiran.“Kalian ngapain kumpul di situ. Kerja! Kerja!” Teriak Rendra sambil melihat ke arah kami. Tak lupa sambil berkacak pinggang. “Kayaknya Rena sakit nih bos.” Ujar mas Adi. Rendra bergegas menghampiriku.“Kenapa?” Tanyanya mengulang pertanyaan awal mas Adi.“Perutku nyeri beberapa hari ini. Kepalaku juga terasa agak pusing” Jawabku jujur. Rendra kemud

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 71

    Pagi ini, kami sarapan bubur ayam tak jauh dari apartemen. Setelahnya, kami berangkat ke studio. Pekerjaan Rendra menumpuk, karena beberapa minggu ditunda. Hari ini, ia pasti akan sangat sibuk.“Bukannya kita mau belanja?” Tanyaku ketika kami sampai di depan studio.“Kita belanja sepulang kerja nanti ya.” Ucap Rendra kemudian turun dari mobil. Tak lama kemudian dia sudah membukakan pintu untukku.“Aku di sini ngapain?” Gumamku lirih, tapi masih terdengar Rendra.“Menemani suami.” Sahut Rendra kemudian menggandeng tanganku masuk.“Selamat ya bos, mbak Rena. Semoga samawa!” Ucap para karyawan butik bergantian, sambil menyalami kami.*** Sudah 3 jam aku di studio ini. Duduk di sofa ini sambil ngemil dan main hp. Sesekali aku mengganggu Rendra yang tengah fokus dengan laptop di depannya. Bukannya marah, ia malah terkekeh setiap kali aku mengganggunya. Saat ini, aku tengah memeluk suamiku itu dari belakang. Seraya mengecup p

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 70

    “Oh, ini mama Rayyan? Apa kabar bu?” Ucap bu guru itu dengan ramah.“Alhamdulillah baik bu. Saya harap ibu guru juga baik.” Sahutku.“Terima kasih.” Ucap bu guru yang bername tag ‘Nurul’ itu. Kemudian tak lama menyusul seorang guru lagi bername tag ‘ Laras’. Mereka berdua yang mengampu di kelas Rayyan.“Sejak tadi pagi, Rayyan antusias sekali menceritakan tentang mamanya. Hari ini, Rayyan terlihat sangat ceria dan bersemangat sekali bu.” Ucap bu guru Nurul.Entah hanya perasaanku atau memang benar, kulihat guru Rayyan yang bernama Laras itu tampak memandangku tak bersahabat. Setelah berbincang beberapa saat tentang perkembangan Rayyan di sekolah, kami pun berpamitan.*** “Bi, bu Laras tadi cantik ya!” Sindirku.“Rena Hanindya yang tercantik!” Sahut Rendra membuatku tersipu.“Iya, mamaku yang paling cantik!” Celetuk Rayyan yang duduk di pangkuanku. Dua lelakiku ini memang ‘duo ahli ngegombal’. Rendra mengacungka

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 69

    “Tante akan jujur padamu Rena. Bohong jika tante bilang sudah tak memiliki rasa untuk bapakmu. Meski jauh di sudut hati tante, rasa itu masih ada.” Ucap tante Fatma.“Tapi, bukanlah keputusan yang bijak, jika kami bersama lagi saat ini. Sama seperti ibu dan bapakmu dulu, pernikahan tante dan mantan suami tante juga tak didasari rasa cinta pada awalnya. Tapi, bertahun tahun bersama, menjadikan tante untuk belajar menerima takdir yang telah Allah gariskan. Belajar mencintai lelaki jodoh pilihan Allah. Kenyataan harus tetap kita terima meski terpaksa. Karena tak akan ada gunanya memberontak pada takdir yang telah Allah persiapkan.” Ucap tante Fatma.“Adalah sebuah kesalahan jika ibumu berfikir jika bapakmu tak pernah mencintainya. Sama seperti tante, tante yakin bapakmu juga telah belajar menerima takdir dan belajar untuk mencintai ibumu. Waktu demi waktu dilalui bersama, rasa sayang dan cinta pastilah mampu tumbuh. Meski rasa itu tak semenggebu gebu seperti kisah cin

DMCA.com Protection Status