Share

Bukan Siti Nurbaya
Bukan Siti Nurbaya
Penulis: Wildeblume

Tampan sih, tapi

“Maaf mbak! Apa masih lama ya?” Tanya ibu ke MUA cantik yang sedang mendandaniku.

“Sebentar lagi, buk.” Jawab sang MUA dengan sopan.

“Ya, sudah. Tolong dipercepat ya mbak.” Perintah ibu.

“Baik bu.” Jawab sang MUA singkat.

Ibu kemudian duduk di kursi tak jauh dariku. Menghadap ke arahku. Dan beliau terus memandangku.

“Kok cemberut sih Ren? Masa calon pengantin kok mukanya ditekuk gitu. Ayune kelong lho nduk. ( Cantiknya berkurang lho nduk ).” Ujar ibu.

“Terus maksud ibu, aku harus joget joget? Jingkrak jingkrak? Atau sekalian salto? “ Ucapku ketus.

“Lho, kok gitu sih nduk jawabannya. Ibu kan ngomong baik baik.” Ucap ibu dengan lembut. Padahal aku tahu, ibu pasti jengkel mendengarku berkata seperti itu.

“Ibu itu tahu yang sebenarnya seperti apa. Tapi malah pura pura, seolah olah tak tahu gitu.” Ucapku dengan kesal. Saking merasa jengkel. Dadaku pun sekarang terasa sesak seperti ada beban yang berat yang sedang menimpanya. Mataku sudah berkaca kaca sejak tadi. Dan sekarang, butiran bening itu jatuh tak tertahankan.

“Aduh, mbak! Kok nangis sih? Make up nya rusak ini.” Kata sang MUA. Ia terlihat sedikit kesal. Ia kemudian menegur ibu,

“Ibu, maaf, kalau hanya bikin suasana hati calon pengantinnya jadi buruk, tolong ibu tunggu di luar saja ya.” Ucap sang MUA dengan hati hati, sepertinya takut menyinggung perasaan ibu. Bisa gagal bayaran nanti.

“Ya sudah. Saya akan tunggu di luar saja. Tolong segera diselesaikan ya, mbak.” Jawab ibu. Dan beliau segera beranjak dari kursi dan memulai langkah berjalan ke luar.

“Terima kasih bu.” Jawab sang MUA lega.

***

Terdengar suara derap langkah kaki beberapa orang, yang tengah berjalan ke arah ruangan kami berada.Pintu terbuka dan masuk beberapa orang. Ternyata mereka adalah eyang uti ku dari Solo. Nenekku, yang merupakan ibu kandung dari bapak. Beserta pakdhe, budhe dan sepupu sepupuku. Mereka lalu mendekat ke arahku. Kedatangan mereka membuat tangisku menjadi. Bahkan eyang uti langsung merangkulku ketika melihatku menangis. Memelukku dengan sangat erat. Budhe Lastri, kakak tertua bapakku juga langsung mengambil tisu di dalam tasnya. Kemudian menyerahkan ke eyang uti. Eyang lalu mengurai pelukannya dan beliau segera mengelap bulir bulir air mata yang mengalir di pipiku dengan hati hati.

Aku melihat ke arah eyang, budhe, pakdhe, dan sepupuku secara bergantian. Dapat kuduga, sepertinya para sepupuku tadi sudah menyiapkan berbagai macam bullyan untukku. Tapi terpaksa mereka telan kembali. Setelah melihat keadaanku yang kacau ini, mereka menjadi iba padaku.

Eyang kembali memelukku. Sambil memelukku, eyang terus menerus mengusap usap punggungku. Berusaha menenangkanku.

“Sudah, berhenti nangis nduk, cah ayu!”

“Nanti ayune ilang.” Bujuk eyang padaku. Tapi bukannya diam, berhenti menangis, isak tangisku malah semakin kencang.

“Rena nggak mau, eyang! Rena nggak mau menikah dengan lelaki itu. Rena nggak cinta, eyang! Rena mau menikah dengan lelaki yang Rena cinta.” Ucapku sambil terisak.

“Dia bukan lelaki yang baik, eyang!” Lanjutku.

“Eyang, tolong Rena ya!” Ucapku menghiba.

“Rena, kakek dan ibumu, pasti memilihkan lelaki yang baik untukmu. Tidak mungkin mereka tega menjerumuskanmu, nduk.” Nasehat eyang padaku. Terdengar klise di telingaku. Kemudian beliau mengurai lagi pelukannya padaku. Beliau menatap mataku lekat sambil memegang kedua bahuku.

“Nduk, ndak ada orang tua yang akan rela menjerumuskan putrinya. Apalagi seorang ibu, nduk. Orang yang telah mengandungmu 9 bulan lamanya, melahirkanmu dengan bertaruh nyawa, dan merawatmu dengan kasih sayang sampai kamu sebesar ini.” Terang eyang dengan sangat lembut.

Aku, sampai sebesar ini, di usiaku yang ke 24 tahun, aku belum pernah mendengar, sekalipun, eyang membentak atau mengangkat suaranya ketika berbicara. Ia lebih memilih diam jika sedang emosi.

Mungkin, watak inilah yang menurun ke bapak. Harusnya aku bersyukur kan? Tapi karena sifat itu, aku jadi merasa bapak kurang tegas kepada ibu. Apalagi pada mbah kakung. Harusnya, bapak lebih tegas lagi untuk membelaku. Sedangkan ibu, beliau selalu saja menuruti keinginan mbah kakung. Katanya ‘asal tidak melanggar perintah agama’. Tapi kenapa aku yang dikorbankan? Ini benar benar tidak adil.

***

Sebelum ini, kupikir aku adalah orang yang mempunyai banyak keberuntungan. Aku adalah cucu perempuan satu satunya bagi mbah Sastro Dimejo. Dari lahir aku selalu dimanjakan. Bukan hanya oleh orang tuaku atau mbah kakungku. Tapi oleh semua anggota keluarga besar Sastro Dimejo. Apapun yang kuinginkan dipenuhi. Bahkan, jika bapak atau ibu ada yang memarahiku, pasti mbah kakung akan ganti memarahi mereka.

Kemana mana aku pasti ditemani oleh salah seorang sepupuku. Karena mbah kakung tak pernah mengijinkanku untuk pergi sendirian. Dan sekarang aku baru sadar, itu bukanlah bukti kasih sayang mereka. Melainkan untuk mengawasiku. Untuk membatasi pergaulanku. Mereka telah menyiapkan takdir yang dipaksakan untuk kujalani. Aku tumbuh menjadi gadis yang tomboy, karena hari hari kuhabiskan dengan bermain dengan para sepupuku yang semua lelaki itu. Hobi yang kugemari bukan menari, menyanyi, ,memasak atau hal hal yang berbau feminim lainnya. Tapi hobiku berkuda, bela diri dan lain lainnya, yang biasa diikuti para sepupu laki lakiku.

Sifat manjaku semakin menjadi, karena di satu sisi yang lain, keluarga besar dari bapakku juga tak kalah memanjakanku.

Dalam anganku, aku selalu yakin bahwa aku pasti akan terus diliputi keberuntungan. Tapi nyatanya, dewi fortuna sudah meninggalkanku.

***

Hari itu, mbah kakung meminta semua anggota keluarga Sastro Dimejo, yang tak lain adalah para anak, menantu dan cucunya untuk berkumpul. Mbah kakung kemudian mengutarakan keperluannya mengumpulkan semua anggota keluarga, yang tak lain dan tak bukan adalah tentang perjanjian mbah kakung dengan sahabat karibnya di masa lalu untuk berbesanan. Karena dua anak perempuannya dahulu menolak, maka sekarang, akulah yang harus menggantikannya. Ya! Karena aku adalah cucu perempuan satu satunya. Mbah kakung menjodohkanku dengan cucu dari sahabatnya itu.

“Ha ha ha ha ha.” Tawaku dengan sangat keras. Waktu itu aku berpikir bahwa mbah kakung hanya bercanda. Tapi kenyataannya adalah mbah kakung sedang tidak main main dan tidak menerima penolakan. Dulu, jadi cucu perempuan satu satunya kuanggap sebuah keberuntungan. Sekarang seperti sebuah kutukan.

Lalu, apakah kalian pikir aku akan menerimanya begitu saja? Salah! Tentu saja aku memberontak sekuat logika. Tapi, mbah kakung malah sampai berakting ‘terkena serangan jantung segala’. Bahkan sempat dilarikan ke rumah sakit.

Saat itu, semua anggota keluarga langsung memberikanku tatapan tajam yang menghujam.

Mereka bilang, “kalau sampai terjadi sesuatu dengan mbah kakung, maka akulah penyebabnya. Akulah yang bersalah.”

***

Puas berdiam di dunia lamunan, akupun kembali ke dunia nyata. Riasanku sudah selesai diperbaiki. Keluargaku menyuruh sang MUA untuk secepatnya mempersiapkanku. Karena acara akad nikah akan segera dimulai.

Dari tadi, sebentar sebentar ku tengok hpku. Berharap ada kabar baik yang dikirimkan Santi. Tapi nyatanya NIHIL. Tak ada sebuah pesan pun darinya.

Ibu dan eyang uti, masing masing berada di sampingku, kiri dan kanan. Mereka menggandeng erat lenganku. Menuntunku menuju tempat yang telah di persiapkan. Terdengar berbagai pujian yang dilontarkan para tamu undangan untukku. Namun, semua itu sama sekali tak membuatku bahagia apalagi sampai berbunga bunga. Saat ini, hatiku benar benar sedih, kecewa, kesal campur aduk menjadi satu. Rasanya dadaku ingin meledak, menahan semua rasa dan amarah ini. Rasanya aku ingin menangis sekeras kerasnya. Namun, kutahan sekuat tenaga. Ku lihat ke arah lelaki yang sebentar lagi akan mengikrarkan ijab qobul itu. Dia tak berkedip menatapku, seolah tatapannya terkunci oleh kecantikan ku. Tampan sih, tapi memuakkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status