“Maaf mbak! Apa masih lama ya?” Tanya ibu ke MUA cantik yang sedang mendandaniku.
“Sebentar lagi, buk.” Jawab sang MUA dengan sopan. “Ya, sudah. Tolong dipercepat ya mbak.” Perintah ibu. “Baik bu.” Jawab sang MUA singkat. Ibu kemudian duduk di kursi tak jauh dariku. Menghadap ke arahku. Dan beliau terus memandangku. “Kok cemberut sih Ren? Masa calon pengantin kok mukanya ditekuk gitu. Ayune kelong lho nduk. ( Cantiknya berkurang lho nduk ).” Ujar ibu. “Terus maksud ibu, aku harus joget joget? Jingkrak jingkrak? Atau sekalian salto? “ Ucapku ketus. “Lho, kok gitu sih nduk jawabannya. Ibu kan ngomong baik baik.” Ucap ibu dengan lembut. Padahal aku tahu, ibu pasti jengkel mendengarku berkata seperti itu. “Ibu itu tahu yang sebenarnya seperti apa. Tapi malah pura pura, seolah olah tak tahu gitu.” Ucapku dengan kesal. Saking merasa jengkel. Dadaku pun sekarang terasa sesak seperti ada beban yang berat yang sedang menimpanya. Mataku sudah berkaca kaca sejak tadi. Dan sekarang, butiran bening itu jatuh tak tertahankan. “Aduh, mbak! Kok nangis sih? Make up nya rusak ini.” Kata sang MUA. Ia terlihat sedikit kesal. Ia kemudian menegur ibu, “Ibu, maaf, kalau hanya bikin suasana hati calon pengantinnya jadi buruk, tolong ibu tunggu di luar saja ya.” Ucap sang MUA dengan hati hati, sepertinya takut menyinggung perasaan ibu. Bisa gagal bayaran nanti. “Ya sudah. Saya akan tunggu di luar saja. Tolong segera diselesaikan ya, mbak.” Jawab ibu. Dan beliau segera beranjak dari kursi dan memulai langkah berjalan ke luar. “Terima kasih bu.” Jawab sang MUA lega. *** Terdengar suara derap langkah kaki beberapa orang, yang tengah berjalan ke arah ruangan kami berada.Pintu terbuka dan masuk beberapa orang. Ternyata mereka adalah eyang uti ku dari Solo. Nenekku, yang merupakan ibu kandung dari bapak. Beserta pakdhe, budhe dan sepupu sepupuku. Mereka lalu mendekat ke arahku. Kedatangan mereka membuat tangisku menjadi. Bahkan eyang uti langsung merangkulku ketika melihatku menangis. Memelukku dengan sangat erat. Budhe Lastri, kakak tertua bapakku juga langsung mengambil tisu di dalam tasnya. Kemudian menyerahkan ke eyang uti. Eyang lalu mengurai pelukannya dan beliau segera mengelap bulir bulir air mata yang mengalir di pipiku dengan hati hati. Aku melihat ke arah eyang, budhe, pakdhe, dan sepupuku secara bergantian. Dapat kuduga, sepertinya para sepupuku tadi sudah menyiapkan berbagai macam bullyan untukku. Tapi terpaksa mereka telan kembali. Setelah melihat keadaanku yang kacau ini, mereka menjadi iba padaku. Eyang kembali memelukku. Sambil memelukku, eyang terus menerus mengusap usap punggungku. Berusaha menenangkanku. “Sudah, berhenti nangis nduk, cah ayu!” “Nanti ayune ilang.” Bujuk eyang padaku. Tapi bukannya diam, berhenti menangis, isak tangisku malah semakin kencang. “Rena nggak mau, eyang! Rena nggak mau menikah dengan lelaki itu. Rena nggak cinta, eyang! Rena mau menikah dengan lelaki yang Rena cinta.” Ucapku sambil terisak. “Dia bukan lelaki yang baik, eyang!” Lanjutku. “Eyang, tolong Rena ya!” Ucapku menghiba. “Rena, kakek dan ibumu, pasti memilihkan lelaki yang baik untukmu. Tidak mungkin mereka tega menjerumuskanmu, nduk.” Nasehat eyang padaku. Terdengar klise di telingaku. Kemudian beliau mengurai lagi pelukannya padaku. Beliau menatap mataku lekat sambil memegang kedua bahuku. “Nduk, ndak ada orang tua yang akan rela menjerumuskan putrinya. Apalagi seorang ibu, nduk. Orang yang telah mengandungmu 9 bulan lamanya, melahirkanmu dengan bertaruh nyawa, dan merawatmu dengan kasih sayang sampai kamu sebesar ini.” Terang eyang dengan sangat lembut. Aku, sampai sebesar ini, di usiaku yang ke 24 tahun, aku belum pernah mendengar, sekalipun, eyang membentak atau mengangkat suaranya ketika berbicara. Ia lebih memilih diam jika sedang emosi. Mungkin, watak inilah yang menurun ke bapak. Harusnya aku bersyukur kan? Tapi karena sifat itu, aku jadi merasa bapak kurang tegas kepada ibu. Apalagi pada mbah kakung. Harusnya, bapak lebih tegas lagi untuk membelaku. Sedangkan ibu, beliau selalu saja menuruti keinginan mbah kakung. Katanya ‘asal tidak melanggar perintah agama’. Tapi kenapa aku yang dikorbankan? Ini benar benar tidak adil. *** Sebelum ini, kupikir aku adalah orang yang mempunyai banyak keberuntungan. Aku adalah cucu perempuan satu satunya bagi mbah Sastro Dimejo. Dari lahir aku selalu dimanjakan. Bukan hanya oleh orang tuaku atau mbah kakungku. Tapi oleh semua anggota keluarga besar Sastro Dimejo. Apapun yang kuinginkan dipenuhi. Bahkan, jika bapak atau ibu ada yang memarahiku, pasti mbah kakung akan ganti memarahi mereka. Kemana mana aku pasti ditemani oleh salah seorang sepupuku. Karena mbah kakung tak pernah mengijinkanku untuk pergi sendirian. Dan sekarang aku baru sadar, itu bukanlah bukti kasih sayang mereka. Melainkan untuk mengawasiku. Untuk membatasi pergaulanku. Mereka telah menyiapkan takdir yang dipaksakan untuk kujalani. Aku tumbuh menjadi gadis yang tomboy, karena hari hari kuhabiskan dengan bermain dengan para sepupuku yang semua lelaki itu. Hobi yang kugemari bukan menari, menyanyi, ,memasak atau hal hal yang berbau feminim lainnya. Tapi hobiku berkuda, bela diri dan lain lainnya, yang biasa diikuti para sepupu laki lakiku. Sifat manjaku semakin menjadi, karena di satu sisi yang lain, keluarga besar dari bapakku juga tak kalah memanjakanku. Dalam anganku, aku selalu yakin bahwa aku pasti akan terus diliputi keberuntungan. Tapi nyatanya, dewi fortuna sudah meninggalkanku. *** Hari itu, mbah kakung meminta semua anggota keluarga Sastro Dimejo, yang tak lain adalah para anak, menantu dan cucunya untuk berkumpul. Mbah kakung kemudian mengutarakan keperluannya mengumpulkan semua anggota keluarga, yang tak lain dan tak bukan adalah tentang perjanjian mbah kakung dengan sahabat karibnya di masa lalu untuk berbesanan. Karena dua anak perempuannya dahulu menolak, maka sekarang, akulah yang harus menggantikannya. Ya! Karena aku adalah cucu perempuan satu satunya. Mbah kakung menjodohkanku dengan cucu dari sahabatnya itu. “Ha ha ha ha ha.” Tawaku dengan sangat keras. Waktu itu aku berpikir bahwa mbah kakung hanya bercanda. Tapi kenyataannya adalah mbah kakung sedang tidak main main dan tidak menerima penolakan. Dulu, jadi cucu perempuan satu satunya kuanggap sebuah keberuntungan. Sekarang seperti sebuah kutukan. Lalu, apakah kalian pikir aku akan menerimanya begitu saja? Salah! Tentu saja aku memberontak sekuat logika. Tapi, mbah kakung malah sampai berakting ‘terkena serangan jantung segala’. Bahkan sempat dilarikan ke rumah sakit. Saat itu, semua anggota keluarga langsung memberikanku tatapan tajam yang menghujam. Mereka bilang, “kalau sampai terjadi sesuatu dengan mbah kakung, maka akulah penyebabnya. Akulah yang bersalah.” *** Puas berdiam di dunia lamunan, akupun kembali ke dunia nyata. Riasanku sudah selesai diperbaiki. Keluargaku menyuruh sang MUA untuk secepatnya mempersiapkanku. Karena acara akad nikah akan segera dimulai. Dari tadi, sebentar sebentar ku tengok hpku. Berharap ada kabar baik yang dikirimkan Santi. Tapi nyatanya NIHIL. Tak ada sebuah pesan pun darinya. Ibu dan eyang uti, masing masing berada di sampingku, kiri dan kanan. Mereka menggandeng erat lenganku. Menuntunku menuju tempat yang telah di persiapkan. Terdengar berbagai pujian yang dilontarkan para tamu undangan untukku. Namun, semua itu sama sekali tak membuatku bahagia apalagi sampai berbunga bunga. Saat ini, hatiku benar benar sedih, kecewa, kesal campur aduk menjadi satu. Rasanya dadaku ingin meledak, menahan semua rasa dan amarah ini. Rasanya aku ingin menangis sekeras kerasnya. Namun, kutahan sekuat tenaga. Ku lihat ke arah lelaki yang sebentar lagi akan mengikrarkan ijab qobul itu. Dia tak berkedip menatapku, seolah tatapannya terkunci oleh kecantikan ku. Tampan sih, tapi memuakkan.Meski rasanya sudah mustahil, tapi di dalam hati, aku masih terus berdoa, semoga Allah memberikanku keajaibanNya. Tak lelah ku lantunkan dzikir di dalam hati.“Ya Allah, hamba mohon, selamatkanlah hamba dari lelaki yang sedang berhadapan dengan bapakku itu. Hamba mohon dengan sangat ya Allah.” Doaku dalam hati. Kurapalkan doa di hati terus menerus tak henti.Aku terus menundukkan pandangan. Malas melihat suasana yang bagaikan sebuah kutukan ini. Namun, sesekali kuangkat wajah, melirik ke sekeliling. Dan sering kali, tanpa sengaja pandangan mataku bertemu dengan laki laki yang bernama lengkap Ferdian Hutomo itu. Ia pun mempersembahkan senyum termanisnya. Apa dia pikir aku akan terpesona? Bukannya terpesona aku malah semakin merasa jengkel. Setiap kali melihatnya, rasa jengkelku semakin bertambah. Andai boleh, aku akan mengajukan syarat, tanding terlebih dahulu. Dia harus bisa mengalahkanku terlebih dahulu sebelum berhak mengucap akad. Aku yakin tak akan kalah. Aku adalah pemegang sa
Selama mereka baik terhadapku, aku pun akan bersikap baik terhadap mereka. Itulah prinsipku. Keluargaku tak henti hentinya memuja muji cucu lelaki kakek Hutomo itu. Tak ada waktu tanpa mereka menyebutkan kebaikan lelaki yang katanya tampan rupawan itu. Kalau mereka terus terusan seperti ini, aku takut akhirnya akan terpengaruh juga. Suka karena terbiasa. Bukankah berita yang salah pun jika disiarkan berulang kali akan bisa dianggap benar oleh orang orang yang mendengarkannya?Terdengar suara notif pesan masuk. Segera kuambil hp yang tergeletak di atas nakas samping ranjangku. Ternyata ada pesan masuk dari Dewi, sahabatku. Kami sudah berteman sejak SMP. Kami pun bersekolah di tempat yang sama saat SMA.“Assalamualaikum, Rena sayang. Jalan yuk, Ren!. Dah lama nih kita nggak jalan jalan bareng.” Bunyi pesan dari Dewi.“Waalaikumsalam. Kemana? Sama siapa aja?” Balasku.“Kemana aja boleh lah!. Sama Santi, Dian... trus... aku dong.” “ Mau ya?” Pesan dari Dewi.“Boleh lah! Jemput ya? Aku tu
“Lho, kok bagus sih Ren?” Tanya Dewi masih dengan kekagetannya.“Bagus gimana maksudmu, Ren?” Tanya Dewi lagi.“Sadar nggak sih tadi pas ngomong?” Gantian Dian yang bertanya. Tak percaya dengan apa yang baru saja terucap dari mulut ini.“Maksudku, bagus dong! Aku kan jadi punya peluang besar buat membatalkan rencana mbah kakungku, buat ngejodohin aku dengan itu cowok.” Jelasku ke mereka, agar tak semakin salah paham.“Hehehe, kupikir, tipe cowok ideal versimu yang badboy gitu Ren.” Ujar Dian.“Enak aja!. Mikir dong, masak gue yang ting ting ini dapat yang tong tong sih.” Belaku. Disambut tawa mereka.“Hahahaha....” Tawa mereka serempak. Sepertinya mereka senang sekali mengejekku hari ini. Jadi agak menyesal nih, curhat sama mereka. Tapi kalau aku pendam sendiri di hati, alamat stress lah aku. Sambil panen jerawat.“Senang sekali ya, kalian hari ini.” “tertawa teruusss” “ Nggak apa apa lah itung itung ngumpulin pahala. Kan bikin orang bahagia, pahalanya gedhe.” Ujarku.“Udah, udah. Ja
“Maaf mbak, yang bayarin kita siapa ya? Cewek apa cowok?” Tanya Dewi pada mbak kasir.“Iya, mbak, orangnya yang mana ya?” Tanya Dian penasaran.“Namanya siapa ya mbak?” Tanya Santi juga tak mau kalah.Mbak kasir terlihat bingung, diberondong pertanyaan oleh teman temanku.“Cowok, mbak. Orangnya baru saja pergi, mbak. Kalau namanya saya nggak tahu. Tadi dia hanya ninggalin kertas itu. Maaf ya mbak.” Terang sang kasir terlihat merasa bersalah.“Ga pa pa kok mbak. Ya udah deh, kami permisi dulu ya.” Ucapku.“Silahkan!” Jawab mbak kasir dengan ramah.Kami berempat pun segera berjalan ke parkiran dengan langkah cepat. Berharap orang yang membayari makan kami masih ada di sana. Selain untuk mengobati rasa penasaran juga untuk mengucapkan terima kasih. Sampai di parkiran kami berempat celingak celinguk ke kanan kiri mencari orang tersebut. Tapi, nyatanya tak ada orang di parkiran selain bapak tukang parkir dan kendaraan yang berjejer rapi. Sepertinya kami terlambat.*** Dewi mengantarkanku
“Kalau foto fotonya cuman kayak gitu, nggak bisa dijadikan bukti deh kayaknya.” Tulis Dian.“Iya, mbah kakung pasti nggak percaya.” Tulisku.“Kalau dapat dari upload –an medsos, ya cuma kayak kayak gitu lah.” Tulis Santi.“Ya iyalah. Masa di medsos upload foto mesum, ya nggak mungkinlah. Kecuali sudah agak error orangnya.” Tulis Dewi.“Gimana kalau kamu deketin Vina, San?” Tulis Dewi.“Kenapa harus aku coba?” Tulis Santi tidak terima.“Karena, dari kita berempat, cuman kamu yang nggak terlalu frontal membenci dia. Iya khan, Wi?” Tulis Dian.“Iya. Kalau kita bertiga khan, kalau ketemu dia, bawaannya pengen nonjok aja.” Tulis Dewi.“Lagian khan kamu sama Vina 1 tempat kerja.” Tulis Dewi lagi.“Oke deh! Demi kamu Ren, aku bakalan deketin Vina.” Tulis Santi.“Kalian emang best friend aku!” Tulisku senang.“Tok, tok, tok!” Terdengar suara ketukan pintu. Aku kemudian berjalan ke pintu dan membukanya. Ada ibu di depan pintu kamarku.“Ayo, kita makan dulu!” Ajak ibu.“Rena masih kenyang bu
Aku berlari ke kamar dan meluapkan segala rasa yang menghimpit di dada ini, dengan menangis sekencang kencangnya. Aku tak peduli meskipun suara tangisku ini terdengar oleh tetangga. Ku kesampingkan rasa maluku.Tak terasa, adzan Subuh telah terdengar berkumandang. Rupanya, semalam aku menangis sampai tertidur. Seusai menunaikan sholat Subuh, ku ambil hp yang tergeletak di atas nakas samping tempat tidurku. Pada saat bersamaan ada telepon masuk dari Santi. Segera kuangkat.“Assalamualaikum.” Ucapku.“Waalaikumsalam, Ren.” Jawabnya di seberang sana.“Ada apa San, jam segini telepon?” Tanyaku.Ya, ini baru sekitar jam 5 pagi. Tak biasanya dia menelepon sepagi ini.“Cuma mau mastiin, kalau kamu baik baik saja, Ren. Habisnya, pesanku nggak ada yang kamu balas .” Terang Santi. “Hari ini bisa ketemuan nggak?” Tanya Santi.“Aku nggak boleh keluar rumah lagi San. Sampai hari pernikahan katanya.” Jelasku.“Kita komunikasi lewat hp aja ya.” Tambahku.“Siap, Ren!” Jawabnya.“Kamu tenang aja, Re
“Buruan Ren!” Suruh ibu. Ia sedang menunggu di depan pintu kamarku.“Bentar bu.” Jawabku. Aku sengaja memperlambat aktivitas yang kulakukan.“Nanti kita terlambat. Kasihan kan. Kalau tante Vera dan Ferdian nunggu kelamaan!” Ucap ibu."Tante Vera siapa sih Bu?" Tanyaku pura pura lupa."Tante Vera itu mamanya Ferdian. Masa kamu lupa sih Ren?" Jawab ibu disabar sabarkan.Hari ini, ibu bilang akan mengajakku ke butik untuk fitting baju pengantin.“Gerak cepat sekali mereka! Baru kemarin aku menyatakan bersedia, sekarang langsung fitting baju pengantin.” Batinku.Wajah ibu terlihat sangat segar, cerah dan ceria. Padahal kemarin, wajahnya terlihat sangat pucat pasi. Membuatku, terus terang ketakutan. Aku takut terjadi sesuatu yang enggak enggak pada ibuku itu. Tapi, lihatlah dia sekarang! Senyum merekahnya terus terusan terpatri di bibirnya. Wajahnya terlihat berbinar. Apakah yang kemarin itu akting?“Ren, cepetan! Ngapain saja sih lama amat? Bukannya kamu itu nggak pernah make up –an?” Tan
Baru saja Dewi selesai bicara, ternyata mereka sudah datang. Terdiri dari 10 orang. 2 diantaranya adalah Santi dan Dian. Para sahabatku ini bukan hanya mendapatkan bukti foto dan video pengakuan Vina, tapi membawa langsung orangnya ke sini. Keren memang 3 sahabatku ini.Ketika rombongan orang itu semakin mendekat ke arah kami, kulihat wajah Ferdian juga semakin tegang dan tampak pucat. Bukan hanya dia, tapi juga dengan ibunya, tante Vera.“Siapa kalian semua?” Tanya kakek Hutomo.“Mereka adalah orang yang saya sebutkan tadi!” Ucap Dewi dengan lantang.Budhe Lastri mendekat ke arahku. Ada diantara aku dan ibu. Dan eyang uti, lagi lagi beliau menggenggam erat tanganku.Kudengar suara para tamu yang asyik berkasak kusuk.“Perkenalkan, ini adalah Vina, mbah Sastro! Wanita ini sedang hamil 5 bulan. Dan pria yang menghamilinya adalah cucu kakek Hutomo, yang anda bangga banggakan itu!” Jelas Santi.Hebat sekali para sahabatku hari ini. Biasanya, begitu bertemu muka dengan mbah kakung, nyali