“Apa?!”
Baik itu Kumala maupun Aruna, keduanya sama-sama terkejut mendengar ucapan Baskara.
Aruna ingin membantah, tetapi Baskara semakin mengeratkan tangannya pada Aruna, seakan tidak membiarkan gadis itu mengucap kata apapun.
“Kamu bercanda ‘kan, Baskara?” tanya Kumala dengan penuh ketidakpercayaan.
Baskara tersenyum singkat pada Aruna untuk menunjukkan keseriusannya di hadapan sang ibu. “Aku serius, Ma. Aku akan menikahi Aruna.”
Aruna semakin panik. Ia ingin memberontak, tetapi rasanya sangat sulit karena Baskara terus menekannya. Akhirnya, Aruna hanya bisa menahan kekesalannya dalam diam.
“Tapi dia karyawanmu?! Kamu seharusnya menikah dengan wanita yang setara denganmu, bukan dengan pegawai rendahan seperti dia ini!” hardik Kumala.
“Ma!” sentak Baskara, ia maju satu langkah, dan melepas rengkuhannya pada pinggang Aruna. “Aku tidak mau mendengar Mama berbicara jelek tentang Aruna.”
Tatapan Kumala beralih pada Aruna. Seketika Aruna merasa dilecehkan hanya dengan ditatap oleh wanita itu. Kumala menatapnya dari atas ke bawah dengan tatapan merendahkan, seakan dirinya makhluk hina, bukan manusia.
Namun, Aruna hanya berani menunduk, tidak berani menatap balik ke arah Kumala, apalagi menyela percakapan antara kedua orang di hadapannya. Jelas ia tidak punya kuasa apa pun di sini.
Kumala bergerak menuju Aruna dan menatap gadis itu tajam. “Apa yang membuat kamu berpikir kamu pantas untuk anak saya?”
Bibir Aruna kelu, tidak sanggup untuk menjawab, juga tidak tahu harus menjawab apa. Ribuan kata berputar dalam kepalanya, namun tidak ada satupun yang berhasil terucap.
Sepertinya Baskara melihat kegugupan Aruna. Pria itu berjalan kembali ke dekat Aruna dan menjawab pertanyaan ibunya. “Karena Aruna mengandung anakku.”
Apa?!
Aruna dan Kumala kembali memandang Baskara dengan tatapan membelalak tidak percaya. Aruna mengumpat dalam hati.
Baskara sudah tidak waras! Kegilaan apa lagi ini?!
“Hamil?!” ulang Kumala dengan penuh penekanan dan keterkejutan.
Namun Baskara dengan tenang kembali menjelaskan. “Aku telah menghamili Aruna, maka dari itu aku harus bertanggungjawab dan akan menikahinya.”
“T-tapi…kamu seharusnya menikah dengan wanita yang Mama dan Papa pilihkan!” bentak Kumala masih tidak percaya.
Baskara menggeleng. “Tidak. Aku akan tetap menikahi Aruna.”
Kumala kembali menatap Aruna dengan tatapan tajam. Wanita itu melangkah dan mendorong Aruna hingga tubuh sang gadis terhuyung. “Kamu mau memanfaatkan Baskara, ‘kan?! Kamu menjebaknya, ‘kan?!”
Dilanda bingung, Aruna menggeleng. Air mata sudah memenuhi kelopaknya, satu gerakan saja maka cairan bening itu akan meluncur. Namun Aruna menahannya. Ia tidak mau menangis di hadapan orang-orang yang merendahkannya seperti ini.
Lagipula, siapa yang dijebak di sini? Harusnya Aruna yang memprotes karena Baskara melibatkannya dalam situasi-situasi gila.
“Gugurkan saja!” perintah Kumala.
“Tidak!” tegas Baskara. Ia maju selangkah, berdiri lebih tegak untuk mengintimidasi ibunya sendiri. “Ini adalah anakku, juga keturunan Mama. Apa Mama tega membunuh cucu Mama sendiri?”
Kumala bungkam. Jelas sebenarnya ia juga tidak bisa melakukan itu karena akan mencoreng nama keluarganya, tetapi ia tidak rela jika mendapat keturunan dari kalangan bawah.
“Sekali saja Mama dan Papa ikut campur dengan hubunganku dan Aruna, aku tidak akan segan bertindak,” kata Baskara lagi dengan penuh penekanan dan peringatan.
Untungnya percakapan terputus oleh panggilan mendadak yang mengharuskan ibu Baskara segera pergi. Segera saja Aruna mengambil kesempatan itu untuk segera keluar dari ruangan Baskara. Namun pria itu masih saja menahannya.
“Pak Baskara, lepas!” tolak Aruna. “Saya harus memberitahu yang sebenarnya pada ibu Anda!”
“Silakan kalau kamu mau kehilangan pekerjaanmu,” ucap Baskara tanpa rasa bersalah.
Aruna menggertakkan giginya. Ia tidak bisa kehilangan pekerjaan ini.
“Lagipula sudah terlambat. Kita tetap akan menikah,” ucap Baskara lagi.
Melepaskan paksa pegangan Baskara di tangannya, Aruna meledak. “Pak Baskara tidak waras?! Saya tidak bisa menerima permintaan gila ini!”
“Sudah pernah aku katakan Aruna. Aku tidak suka penolakan,” kata Baskara tenang.
Belum sempat Aruna mengeluarkan kata-kata lagi, ponsel yang ada di sakunya tiba-tiba bergetar. Aruna melirik layar, dahinya mengernyit melihat nama yang muncul. Itu adalah adiknya.
Perasaan tidak enak langsung menyeruak di dadanya. Dengan cepat, ia mengangkat telepon itu.
Setelah panggilan telepon terputus, Aruna terdiam. Ucapan seorang dokter yang menyatakan bahwa ibunya harus segera dioperasi karena adanya sel kanker di otaknya, terus terngiang di kepalanya. Dua hari yang lalu, ibunya sempat jatuh dan dilarikan ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan. Sekarang, hasil pemeriksaan itu telah keluar.
Biaya operasi itu tidak ditanggung asuransi, lalu dari mana Aruna bisa mendapat uang ratusan juta untuk operasi ibunya dalam waktu dua hari?
“Bagaimana, Aruna?” tanya Baskara yang sedikit merasa aneh karena Aruna mendadak diam.
Mendengar itu, lamunan Aruna buyar. Ia menatap Baskara dan kembali mengingat tawaran pernikahan itu.
Apa mungkin ini bisa menjadi jalan keluar?
Sejenak Aruna kembali merasa bimbang. Meskipun ia telah tidur dengan Baskara, tetapi itu juga karena kesalahannya sendiri. Ia tidak bisa menikah dengan pria itu dan ikut masuk dalam kehidupan keluarga kaya raya. Jelas ia mungkin akan menjadi bulan-bulanan di sana karena berasal dari keluarga berbeda. Hidupnya tidak akan bisa tentram setelah itu.
Namun, bagaimana Aruna harus mencari uang sebanyak itu?
Ayah Aruna entah ada di mana, tidak pernah lagi menghubungi mereka. Di keluarganya, hanya ia yang bisa diandalkan.
“Kalau saya menikah dengan Bapak, apa yang akan saya dapatkan?” tanya Aruna tiba-tiba, seolah alam bawah sadarnya yang bergerak sendiri.
“Apa pun yang kamu mau. Uang, rumah, mobil, terserah kamu,” jawab Baskara tanpa rasa curiga.
“Boleh saya minta uang 200 juta?” tanya Aruna lagi.
Baskara mengerutkan dahinya, merasa aneh dengan sikap Aruna yang mendadak berubah. Namun, ia tidak begitu peduli, selama Aruna mau menikah dengannya.
“Boleh saja,” jawab Baskara.
“Kalau begitu, saya mau menikah dengan Bapak.”
Baskara tersenyum puas mendengar ucapan Aruna. “Oke, kita menikah sekarang. Kamu bawa kartu identitasmu, kan?”
Aruna menganga, tidak menduga bahwa itu akan terjadi hari ini. “Bawa, Pak. Tapi, ini terlalu cepat, Pak.”
“Lebih cepat, lebih baik,” kata Baskara. Ia meraih jas yang sebelumnya ia letakkan di kursi kerja, lalu berjalan keluar ruangan dengan senyum penuh kemenangan. “Ayo, cepat.”
“Pak, tapi …” Aruna berjalan tergesa mengikuti langkah Baskara.
Aruna duduk diam di dalam mobil, menatap kosong ke luar jendela. Ia dan Baskara baru saja selesai mengurus pernikahan mereka di kantor catatan sipil.Pikiran Aruna masih belum bisa menerima kenyataan ini—dia kini adalah istri Baskara Adiwireja. Seharusnya, ia merasa lega karena ibunya bisa mendapatkan perawatan terbaik. Tapi tetap saja, ada perasaan lain yang mengganjal di hatinya.Baskara yang duduk di sebelahnya melirik sekilas.“Aku tahu semuanya di luar akal sehatmu,” katanya santai, seolah pernikahannya dengan Aruna hanya permainan atau bisnis. “Tapi cepat atau lambat, kamu harus beradaptasi. Sekarang kamu adalah istriku.”Aruna mendengus pelan, masih enggan berbicara. Tidak lama kemudian, mobil mereka berhenti di depan rumah utama keluarga Adiwireja. Rumah keluarga Adiwireja berdiri megah di atas lahan luas, mencerminkan status mereka sebagai salah satu keluarga konglomerat terkemuka di negeri ini. Bangunan bergaya klasik modern itu menjulang anggun dengan pilar-pilar tinggi ya
Aruna menatap bayangannya di cermin dengan perasaan campur aduk. Gaun malam berwarna merah berbahan satin mahal itu tampak begitu mewah di tubuhnya. Lekuk tubuh Aruna menonjol sempurna namun tidak berlebihan. Rambutnya ditata anggun, riasan di wajahnya mempertegas wajahnya tanpa berlebihan. Ia hampir tidak mengenali dirinya sendiri—seolah ini bukan Aruna yang biasanya.Namun, di balik semua keindahan itu, ada kegelisahan yang menyusup dalam hati Aruna. Ia tidak terbiasa dengan pakaian mahal, tidak terbiasa dengan kehidupan seperti ini. Apakah ia benar-benar pantas berada di sisi Baskara dalam acara malam ini? Bagaimana caranya ia bersikap di hadapan para orang kaya di sana?Kalimat tegas Baskara terngiang dalam kepala Aruna.“Jangan buat aku malu.”Aruna menarik napas dalam-dalam, mengenyahkan rasa gugup yang menyerang. Wajah dan tubuhnya mungkin siap untuk menghadiri acara penting malam ini, tapi tidak dengan hatinya. Ia hanya berharap semua berjalan dengan lancar dan ia tidak membua
Aruna berkali-kali menelan ludah saat langkahnya mengikuti Baskara memasuki salah satu ballroom hotel ternama di ibu kota. Ruangan itu memiliki langit-langit tinggi dan lampu kristal yang berkilauan. Dentingan gelas, suara obrolan rendah, dan alunan musik klasik mengisi udara, namun semua itu tidak mampu meredakan kegugupan Aruna.Tatapan para tamu yang berbalik ke arah mereka semakin membuat Aruna merasa kecil. Mereka semua pasti orang kaya dan penting. Berbagai bisikan mulai terdengar begitu Baskara dengan percaya diri memperkenalkannya.Tangan Baskara yang melingkari pinggang Aruna terasa hangat, tapi itu tidak cukup untuk meredakan kegugupannya. Apalagi saat mereka melewati beberapa tamu, Aruna bisa merasakan tatapan mereka menyelidik, penuh rasa ingin tahu.“Itu istrinya?” bisik seseorang.“Katanya sih karyawan di kantornya sendiri,” sahut yang lain.“Kudengar dia hamil duluan…” tamu yang lain menimpali.Semakin masuk ke dalam keramaian, semakin Aruna merasa ia tidak pantas berad
Melihat Aruna yang pucat dan gaunnya yang basah, Baskara membawa sang gadis meninggalkan tempat acara. Aruna hanya mengikuti langkah Baskara yang cepat tanpa suara meski kakinya terasa sakit dengan sepatu hak yang dipakainya.Sampai di parkiran, Baskara membukakan pintu penumpang untuk Aruna. Lagi, sang wanita hanya menurut tanpa suara, bagai raga yang kehilangan jiwanya.Di dalam mobil yang melaju di jalanan malam, suasana terasa begitu sunyi dan menegangkan. Aruna duduk dengan tangan mengepal di pangkuannya, mencoba menahan emosi yang sebenarnya berkecamuk. Gaunnya masih sedikit lembab, meninggalkan rasa dingin yang merayap di kulitnya.Baskara yang sejak tadi diam, akhirnya membuka suara. “Apa yang dia lakukan padamu?” tanya Baskara dingin, tapi Aruna bisa merasakan ketegangan di balik suaranya.Aruna tetap diam, menatap lurus ke luar jendela. Bayangan lampu-lampu kota memantul di kaca, tidak beraturan, terlihat kacau seperti pikirannya.Jika Aruna mengatakan yang sebenarnya, apa y
Aruna menatap amplop berisi surat pengunduran dirinya dengan perasaan berat. Ia menghela napas sebelum melangkah masuk ke kantor. Hari ini akan menjadi hari terakhirnya di sini. Dengan kekuatan Baskara sebagai pimpinan tertinggi yang kini menjadi suaminya, tentu saja Aruna bisa langsung berhenti bekerja hari itu juga. Setelah dari ruangan HR, Aruna segera menuju meja kerjanya untuk mengambil beberapa barang pribadinya. Baskara menyuruh Aruna untuk membiarkan orang lain untuk merapikan mejanya. Namun, Aruna ingin kembali ke mejanya untuk terakhir kali sambil mengucapkan perpisahan pada pekerjaan yang sudah tiga tahun digelutinya ini.Belum sempat Aruna duduk, Hani sudah berdiri di depannya dengan ekspresi kaget dan penuh rasa ingin tahu."Aruna! Jadi beneran, kamu nikah sama Pak Baskara?" Hani bertanya dengan suara setengah berbisik, tapi penuh desakan.Aruna terdiam sejenak sebelum mengangguk pelan. "Iya," jawabnya singkat."Dan… kamu hamil?" lanjut Hani, matanya melebar seolah tidak
Di sebuah rumah makan yang masih berada dalam gedung kantor Baskara, Aruna menikmati makanannya sambil tersenyum kecil, merasa nyaman dengan percakapan bersama Arga. Sepupu Baskara itu benar-benar ramah dan humoris, membuat suasana makan siang ini terasa lebih ringan meski pikirannya masih melayang ke kejadian di ruangan Baskara.Sepanjang jalan bahkan hingga ia makan, Aruna masih saja memikirkan obrolan Baskara dengan orang-orang di dalam kantornya. Apakah pria itu dalam masalah? Haruskah Aruna menolongnya? Tapi bagaimana?“Kamu pasti kesulitan menghadapi Baskara,” ujar Arga dengan nada bercanda, membuat lamunan Aruna buyar. “Dia memang selalu kaku dan menyebalkan sejak kecil.”Aruna terkekeh, mengenyahkan sejenak pikirannya tentang Baskara. “Kupikir hanya aku yang merasa begitu.”“Tenang saja, dia selalu bersikap seperti itu ke semua orang,” ujar Arga, entah membuat Aruna merasa lebih tenang atau malah semakin bertanya-tanya.Apa yang membuat Baskara bersikap dingin dan kaku kepada
Aruna sedang duduk bersila di atas ranjang, tenggelam dalam halaman buku yang sedang ia baca. Suasana kamar begitu tenang, hanya suara dentingan jam dan hembusan angin dari jendela yang terbuka sedikit. Setelah hari yang melelahkan, ia hanya ingin menikmati sedikit ketenangan.Namun, pintu kamar tiba-tiba terbuka tanpa ketukan.Baskara masuk dengan ekspresi datar, matanya langsung tertuju pada Aruna yang masih sibuk dengan bukunya. "Cepat bersiap. Oma mengundang makan malam," katanya dengan nada ketus, seakan menganggap perintahnya tidak bisa dibantah.Dengan enggan, ia bangkit dari tempat tidur. Namun, sebelum mengambil langkah, ia menatap Baskara. "Setidaknya ketuk pintu dulu sebelum masuk," cibirnya.Baskara terlihat tidak peduli dengan protes sang gadis. Pria itu melihat ke arah Aruna dari atas ke bawah lalu berkomentar sinis. “Ganti pakaianmu dengan sesuatu yang lebih pantas. Kamu ini bagian dari keluarga Adiwireja sekarang, berhenti memakai baju-baju lusuh seperti itu.”Kening A
Aruna menatap layar ponselnya yang masih tidak juga menyala. Ia sedang menunggu balasan dari Baskara. Sudah beberapa kali ia mencoba menghubungi Baskara, tapi pria itu tidak menjawab. Mungkin sibuk. Atau mungkin sengaja mengabaikannya.Menghela napas, Aruna akhirnya mengetik pesan singkat.Aruna: Aku pergi keluar sebentarTanpa menunggu balasan, ia segera mengambil tasnya dan meninggalkan apartemen. Ia tidak mau Baskara tahu tujuannya ke rumah sakit untuk mengecek keadaan ibunya. Jika pria itu tahu, Aruna takut Baskara akan semakin mengontrol hidupnya.Perjalanan ke rumah sakit terasa panjang meski hanya ditempuh dalam hitungan menit. Sesampainya di sana, Aruna langsung menuju kamar perawatan ibunya. Anindya yang menemani sang ibu tersenyum begitu melihat Aruna datang.“Ibu baru aja tidur,” bisik Anindya.Aruna mengangguk dan duduk di samping ranjang, memperhatikan wajah ibunya yang mulai terlihat lebih sehat dibanding terakhir kali ia melihatnya. Mungkin pengobatan ini memang membawa
Langit Lombok sore berwarna biru dengan semburat jingga yang mulai menjalar perlahan menyambut kedatangan keluarga Adiwireja ke vila mereka, termasuk Aruna di dalamnya. Angin pantai membawa aroma laut yang asin dan segar, menyapu wajah Aruna saat ia berdiri di ambang pintu vila keluarga Baskara.Vila itu berdiri tenang di tepi pantai, menghadap langsung ke laut lepas. Bangunannya berarsitektur klasik tropis dengan jendela lebar berbingkai kayu, dan balkon luas yang menghadap ombak. Suasana di dalam vila hening, hanya suara debur ombak dan desir angin yang mendominasi.Baskara meletakkan koper di sudut kamar, lalu menghampiri Aruna yang masih berdiri terpaku memandangi pemandangan luar dari balik tirai tipis yang melambai.“Ada apa?” tanya Baskara lembut, memeluk tubuh istrinya dari belakang.Aruna hanya menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Aku cuma... ini terlalu indah. Juga sangat nyaman.”Baskara tersenyum, mengecup pelan pelipis Aruna. “Aku tidak pernah menyadari keindahan tempat ini
Menjelang malam, Aruna akhirnya kembali ke apartemen. Begitu pintu dibuka, aroma khas apartemen yang familiar menyambutnya. Di ruang tengah, Baskara sedang duduk di sofa dengan laptop terbuka di pangkuannya, tapi langsung menoleh saat mendengar pintu terbuka.“Aku pulang,” ucap Aruna pelan, senyumnya tipis.Baskara mengangkat wajah. Mata pria itu berbinar begitu melihat Aruna masuk. Ia kemudian bangkit dan mendekat, menyambut Aruna dengan pelukan singkat. “Kamu kelihatan capek.”“Sedikit.” Aruna mengangguk. “Tadi habis dari rumah sekalian antar Anin pulang.”Mereka berdua lalu duduk di sofa, keheningan sejenak mengisi ruang.“Kamu sudah makan malam?” tanya Aruna.Baskara mengangguk. “Ya, aku makan lebih dulu karena kamu sudah makan dengan Anin. Tidak apa-apa?”“Ya, tidak apa-apa, Mas. Aku malah akan khawatir kalau kamu belum makan. Nanti kalau kamu sakit aku juga yang repot merawatmu,” ujar Aruna dengan senyum geli.Alis Baskara naik. “Maksudnya kamu tidak ikhlas merawatku kalau aku s
Aruna berdiri di depan rumah orang tuanya—rumah yang sudah lama sekali rasanya tidak ia kunjungi meski sebenarnya baru beberapa bulan saja. Banyaknya rentetan kejadian belakangan ini membuat kepergiannya dari rumah itu terasa sudah lama berlalu. Kini, Anindya yang tinggal di sana. Adiknya itu menolak untuk tinggal bersama Aruna dan memilih untuk tinggal sendirian di rumah orang tua mereka.Rumah itu menyimpan begitu banyak kenangan yang melekat dalam setiap dinding dan sudutnya. Udara senja terasa lebih berat ketika Aruna menatap pintu yang kini terbuka oleh Anindya.“Masuk aja, Kak. Mau istirahat dulu?” tanya Anindya sambil melepaskan sepatunya.Aruna mengangguk pelan dan mengikuti adiknya masuk. Saat melangkah melewati ruang tamu yang masih dipenuhi perabot lama, ada desir hangat sekaligus perih yang menghampiri dadanya. Ia merasa seperti kembali ke masa-masa kecil, masa saat semuanya masih utuh.Hidup keluarganya mungkin tidak bergelimang harta. Namun Aruna bisa ingat saat orang tu
Sambungan terputus begitu saja, menyisakan hening yang menekan telinga Aruna lebih keras dari suara apa pun. Ia masih mematung di kursinya, jari-jarinya menggenggam ponsel dengan kaku. Keringat dingin mulai membasahi tengkuknya, meski udara di restoran tidak panas.Tidak lama denting singkat terdengar. Satu notifikasi masuk.Aruna menunduk dengan detak jantung tidak karuan. Layar ponselnya kembali menyala. Kali ini bukan panggilan, melainkan sebuah pesan dari nomor tak dikenal.Tidak ada teks. Hanya satu file video.Dengan tangan gemetar, Aruna memutar video itu. Butuh waktu beberapa detik hingga gambar mulai bergerak. Seketika saja dunia Aruna seperti jungkir balik.Di layar, tampak seorang pria tua terbaring di atas ranjang besi, dalam sebuah ruangan yang tampak seperti fasilitas medis atau rumah sakit. Dindingnya kusam, pencahayaannya redup. Tidak ada tanda-tanda modernitas atau perawatan profesional. Hanya ranjang sederhana, alat infus menggantung yang tidak terpasang, dan tabung
Aruna baru saja selesai menyiapkan sarapan saat Baskara keluar dari kamar mandi, masih mengenakan handuk dan wajah yang masih terlihat was-was.Pagi ini gerak-gerik Baskara lebih sigap dan waspada, Aruna bisa merasakannya. Sejak Aruna membuka mata, ke mana pun matanya tertuju, pasti ada Baskara di sana. Seakan suaminya itu tidak mau jauh-jauh dari Aruna, ingin memastikan bahwa dirinya bisa terlihat dan terlindungi dalam jangkauan Baskara."Aku bisa kerja dari rumah hari ini," ujar Baskara akhirnya setelah kembali muncul dengan pakaian kerjanya. Sambil berjalan ke arah Aruna dan bergabung di meja makan, ia berkata lagi, "Atau lebih baik aku tidak pergi ke kantor saja dan menemani kamu di sini?"Aruna menoleh, menatap mata suaminya yang menunjukkan kecemasan. Bibirnya tersenyum lembut. Ditambah hatinya terasa hangat karena sangat merasakan usaha Baskara yang masih berusaha menjaganya sejak ia memberitahu tentang teror itu.“Tidak usah, Mas,” ucap Aruna lembut sambil menyiapkan sarapan u
Senja mulai merayap perlahan, menggantikan cahaya matahari yang tadi menghangatkan ruangan. Lampu-lampu apartemen menyala lembut saat pintu utama terbuka dan suara langkah kaki Baskara terdengar memasuki apartemen. Aruna, yang sedari tadi menunggu di ruang tamu dengan secangkir teh yang sudah dingin di tangan, segera berdiri dan menyambut sang suami seperti biasa.“Capek, ya?” tanya Aruna sambil mengambil jas yang dikenakan Baskara.Baskara tersenyum kecil, lalu mengecup kening istrinya. “Tidak juga. Aku hanya ingin cepat pulang dan bertemu kamu.”Aruna terkekeh pelan, meski nada tawanya terdengar hampa. Ia berusaha bersikap seperti biasa dengan menyiapkan minuman, bertanya soal pekerjaan, dan menemani Baskara makan malam. Tapi pikirannya tidak pernah benar-benar fokus. Matanya sering melirik ke arah pintu. Tangannya kadang gemetar ringan saat mengambil sendok atau gelas.Baskara menyadarinya, tapi belum berkomentar. Sampai akhirnya mereka duduk berdua di sofa setelah makan, dan pria
Pagi itu, cahaya matahari yang hangat menyusup masuk lewat celah tirai kamar, menyorot lembut ke arah tempat tidur yang masih berantakan. Di sisi ranjang, Aruna duduk bersandar dengan selimut membungkus tubuhnya, rambutnya sedikit kusut namun wajahnya berseri. Di hadapannya, Baskara tengah mengenakan jasnya, bersiap untuk berangkat kerja.“Kenapa kamu tidak membangunkanku? Aku belum menyiapkan sarapan karena terlambat bangun,” gerutu Aruna, suaranya masih serak karena baru bangun.Tidurnya terlalu nyenyak hingga ia tidak menyadari hari sudah pagi. Ia bahkan tidak menyadari gerak-gerik Baskara yang pasti mengeluarkan suara-suara saat bersiap-siap. Apa yang terjadi semalam benar-benar membuat Aruna lelah dan hatinya penuh hingga tidur lelap.Baskara menoleh, lalu tersenyum kecil. Aruna perlahan mulai terbiasa dengan senyum sang pria yang hanya muncul untuk dirinya. Ia melangkah mendekat dan duduk di tepi ranjang, tangannya menyentuh pipi istrinya dengan lembut.“Kamu tidur nyenyak sekal
Ciuman mereka tidak lagi sekadar sentuhan bibir. Ada hasrat yang tertahan terlalu lama, ada gairah yang meronta untuk dilepaskan. Baskara mendekap Aruna erat, seolah ingin menyatu, bukan hanya tubuhnya, tapi juga hati dan luka-luka yang selama ini mereka simpan dalam diam.Baskara menatap Aruna sejenak, seolah meminta izin, memastikan bahwa ini adalah keinginan mereka berdua. Saat Aruna mengangguk pelan, dengan mata yang berkaca, ia tahu tidak ada lagi yang perlu diragukan.Dengan satu gerakan lembut namun tegas, Baskara mengangkat Aruna ke dalam gendongannya dan membawanya ke kamar. Cahaya temaram lampu tidur menyinari kulit mereka, menciptakan bayang-bayang yang seolah ikut menyaksikan malam yang menjadi momen penting bagi dua insan itu.Begitu Aruna berada di atas ranjang, Baskara bergabung di sana. Tubuhnya bera
Wajah Baskara maju satu jengkal, menghapus jarak di antara mereka. Napasnya terdengar pelan, dalam, lalu mendadak ia menarik tubuh Aruna ke arahnya dan mencium bibir sang gadis. Ciumannya tidak tergesa, tapi cukup untuk membuat Aruna terhuyung karena tidak siap. Ada kegelisahan yang tersalur lewat sentuhan bibirnya.Aruna yang sempat terkejut perlahan mulai menerima pagutan suaminya. Hatinya ikut larut, meski kepala dan nalurinya tahu ada sesuatu yang disembunyikan Baskara di balik ciuman yang dimulai dengan spontan, dalam, sekaligus memabukkan itu.Ternyata apa yang Baskara inginkan belum selesai hanya sebatas ciuman. Pria itu menarik tubuh Aruna menjadi berada di atas tubuhnya. Dengan sedikit terkesiap Aruna mengikuti arahan Baskara. Gadis itu kini sudah ada di pangkuan Baskara dengan ciuman keduanya yang tidak terlepas.