Bukan hanya perempuan yang ingin di sayangi dan memerlukan sebuah perhatian, begitu pula seorang pria. Sedingin apapun Pria, hati nurani tak bisa di bohongi. Sedalam apapun ia menutupi perasaannya, Pria adalah manusia biasa. Naluri pria terkadang tidak mengetahui bagaimana perasaannya sendiri, hal ini yang membuatnya membisu. Zero, Pria muda yang terluka akan seorang wanita. Hingga membuatnya enggan dekat dengan seorang wanita. Bahkan karena emosinya ia pun terjebak dengan dunia penuh dosa. Maindset-nya mengatakan, 'Wanita hanya untuk bersenang-senang saja.' Tapi, setelah lama ia melakoni dunia hitamnya, ada suatu hal yang menarik perhatiannya. Sebuah kelembutan hati meluluhkan maindset-nya yang kukuh. Dalam sebuah kebohongan, ia menjalani dunia hitamnya di sertai dengan sebuah ikatan pernikahan. Pernikahan yang berjalan penuh dengan kebohongan itu membuatnya labil. Mau tahu cerita Zero seorang pemuas wanita bernafsu dunia? Ayo ikuti alurnya.
Lihat lebih banyakTelapak tangan besar itu semakin membuntal gagang pisau berujung tajam. Ia melinting kemeja putihnya, dan meregangkan dasi serta kancing di bagian leher teratasnya. Malam menunjukan jam 00.00. Suara riuh hewan malam diiringi deburan ombak di tepian pantai mahakan membuat gemuruh pendengarannya semakin mencekam. Tak ada satu kepalapun terlintas berlalu lalang di sekitarnya. Hanya ada dia, dan sebilah pisau yang akan ia mainkan malam itu. 'Andai ada pilihan lain, pasti aku akan menolak untuk jadi pembunuh. Tapi ... ini semua aku lakukan untuk sang guru.' riuh isi hatinya mempertegas langkahnya. Tak terasa tempat yang ia tuju sudah semakin dekat. Petakan rumah padat yang sudah sangat sepi aktivitas. Zero mengintip hunian terujung, lalu membungkus wajahnya dengan masker hitam. Sebelumnya ia cepat merogoh kantung celananya, mempertegas kisi-kisi yang di berikan oleh Steve.
Tak ada pilihan lagi untuk Zero selain melarikan diri sejauh mungkin. Emang pantang bagi laki-laki untuk melarikan diri dari kenyataan. Tapi rasanya kali itu bukanlah waktu yang tepat untuk menyambangi apartemennya. Deretan aparat berseragam coklat, dengan senjata laras panjang memagari apartemennya sangatlah ketat. Sambil merangkul anjing peliharaannya, Zero mengendap-endap menyelinap meliuk-liukkan badannya seperti cacing yang menempel di alas tembok hingga tubuhnya tak berbayang. "SSSttt! jangan berisik ya Echo!" bisik Zero di pinggir daun telinga anjingnya yang tipis dan lebar. Seperti sudah mengerti saja, Anjing itu hanya mendesah sambil menjulur-julurkan lidah sesuai perintah majikannya diam tak menggong-gong. Awan di Samboja, Kutai waktu itu sedang mendung-mendungnya. Langit seolah sedang menampung beratnya air yang akan di hempaskan malam nanti.&nb
"Paman ...?" Mata Ken seketika sumringah melihat keberadaan Zero yang tak di sangka-sangka sebelumnya. Anak berambut gimbal itu sontak memeluk Zero tanpa kata. Ia terlihat sangat nyaman berada di dalam pelukan Zero. Itu terlihat jelas di depan kelopak mata Anjani. Tak terasa bibir anjani melebar. Senyuman itu tak terelakan, untuk pertama kalinya ia melihat anak sematawayangnya nampak bahagia di dalam pelukan lelaki itu. Seolah Kenzie telah menemukan sebuah kasih sayang yang tak sempat ia dapatkan dari ayah sendiri. "Ken, Paman Zero nampaknya masih lelah, Lepaskan!" "Ibu ...tapi Ken masih rindu," rengeknya. "Tidak apa-apa, Paman juga kangen banget sama Ken. Lain kali kita main basket lagi yuk!" ajak Zero menggendong Kenzie dengan tubuh gempalnya. "Ayok ... siapa takut? Kali ini Ken bakalan jadi pemenangnya." &nb
Lari Zero semakin kencang hingga semua yang ada di hadapannya ia tubruk tak beraturan. Anjing kecilnya pun ikut berperan menarik Zero agar lari lebih cepat dan Fokus. Namun karena Anjing itu berukuran kecil ia berlari bisa menyelip kemana pun dia suka. Echo berlari menyelinap ke jalanan sempit sambil menyeret majikannya mencari arah. Karena polisi semakin penasaran dengan pelarian Zero yang tiba-tiba, akhirnya pengejaran terhadap Zero semakin diperketat. Beberapa lelaki bertubuh gagah memakai seragam itu memegangi pentungan perangkat untuk berjaga-jaga. Selain pentungan, jelas mereka memiliki senjata satu sama lain. Mereka simpan di bagian samping sabuk seragamnya. Lari tiga orang polisi pun tak kalah cepat dengan pelarian Zero. Melihat persimpangan, Zero merasa waktu yang tepat untuk mengecoh semua polisi.
"Wih ... sudah belaga kuat ya? kamu pikir dengan membengkokan sendok, aku jadi takut?" pekik Steve. Tubuhnya perlahan bangit dari meja makan, satu sisi bibirnya terangkat sinis. Mata bulatnya menyipit melirik naik turun di samping Anjani. Ia melangkah dengan santai tak bergeming sedikit pun. "Sekali lagi kamu bilang ingin cerai, kamu bakal menyesal! bersyukur kamu tidak aku buang, semua itu berkat Kenzie." Tegas Steve. Tubuh Anjani bergetar saat Steve mendekatinya dengan penuh ancaman. Ia membuat sebuah pertahanan dengan menyiapkan kepalan tangan dan mengumpulkan kekuatannya. "Kalau kita bercerai, jangan harap kamu bisa melihat Kenzie lagi!" Lanjut Ancam sambil mencubit sisi dangu istrinya genit, dan pergi meninggalkan Anjani. Dengan semua kata-kata yang di ucapkan oleh suaminya, Anjani merasa sangat terancam. Ia hidup bersama pasangannya bukan satu atau dua hari saja.
Pada detik yang sama, di bawah rembulan malam. Zero masih berdiri tegak sambil menutup mata dan sekujur tubuhnya terasa kaku. Sisa keringat bekas bermain bola itu masih membuat tubuhnya basah. Kemeja yang ia kenakan terlihat mencetak dada karena keringat yang menempel. Satu rasa yang paling menggetarkan hati adalah sebuah desahan yang semakin jelas di telinganya. Dada Zero terasa semakin memanas seolah terpompa kencang. Bagian ujung jari kaki yang mencengkram alas sepatu menandakan dia sedang berada dalam sebuah ketegangan. Zero mempertahankan matanya tertutup dan merasakan gairah dari rabaan yang menggerayangi tubuhnya. Ia mulai pasrah setelah merasa ada sedikit sejuk dan basah menjilati telinganya. Ia merasa melayang di angkat keudara, dan ada yang bangkit dari nalurinya yang semakin bergelora. Setelah beberapa detik terasa lama, pikirannya mulai sadar
"Kamu di sini?" tanya Zero dingin. Matanya berkeling liar seolah tak ingin fokus memandangi Anjani. Ia berusaha menyembunyikan rasa perdulinya sambil memasukan kedua tangan kedalam kantung celananya. Anjani senyum manisdan mengangguk pelan. Kantong kresek hitam yang di pegang Anjani jadi jawaban pertanyaan Zero. Makanya ia tak mengajukan pertanyaan lainnya. Dalam suasana kaku, Ken menarik-narik ujung baju yang di kenakan oleh oleh Zero sambil bertingkah manja. "Paman ... Ayo kita main!" "Hust! Kenzie ...!" mata Anjani membulat memberi peringatan pada anak sematawayangnya. "Tidak apa-apa, ayo kita main di sana!" ajak Zero pada Ken. Keduanya berjalan sambil bergenggam tangan mengarah ke sebuah lapangan sepak bola yang lenglang karena malam sudah mulai larut. Sedangkan Anjani
Jari jemari Zero yang sangat besar meremas terus perutnya terus menahan sangat sakit. Kepala menunduk masih mengkhawatirkan keadaan bagian perutnya yang terkena tinju.Secara bersamaan Bos Dady berjalan di iringi pengawalnya, menghampiri Zero yang masih duduk mengumpulkan kekuatan."Itu pelajaran buat kamu yang selalu datang terlambat!" sergah Bos Dady dengan mata tajamnya.Monik yang selalu bertingkah seperti perempuan seketika memperlihatkan kejantanannya.Ia melempar tas make up-nya lalu segera mungkin menggopoh Zero sang sahabat, dengan detak jantung yang ikut-ikutan berdetak kencang."Gak gini juga dong bos? Zero 'kan belum sembuh seutuhnya, aku melihat sendiri dia berusaha on time ko' bos," bela Monik dengan suara lelaki yang sangat bulat.Seketika mata tajam Bos Dady mendarat di wajah Monik. Ia melotot dengan penuh kebencian, bahkan tangannya kembali mengepal hendak
"Ingat! lelaki tidak boleh cengeng!" ucap Zero menguatkan anak itu dengan mata yang berkaca-kaca.Zero merasa dirinya sedang senasib dengan anak itu."Siapa nama kamu Nak?" tanya Zero berbisik dengan tangan masih memeluk lelaki kecil itu."Ken!" teriak Anjani mewakili jawaban anak kecil itu. "Kenzie namanya."Anjani berjalan mendekat ke arah Zero dan anak itu dengan langkah yang terpingkal-pingkal.Perlahan Zero pun berdiri nanar melihat wajah Anjani yang sangat lebam."Kamu baik-baik saja?" tanya Zero kaku."Entahlah, aku sudah tidak tahu bagaimana rasanya baik-baik saja,""Maafkan aku!" Zero pun mulai membantu Anjani memapah langkahnya hingga sampailah di apartemennya."Tidah usah meminta maaf!" balas Anjani singkat.Sepanjang perjalanan menuju apartemen Anjani, Anak kecil i
Lelaki setengah baya, dengan janggut tebalnya tak pernah jauh dari cerutu berbahan kayu.Ia sedang bercengkrama dengan beberapa lelaki muda berusia kisaran 18 sampai 20 tahunan.Sebut saja dia Bos Dady.Ada yang tertawa, ada yang memijat jari jemari kaki, dan ada juga yang memijat di area punggungnya. Mereka saling bercanda ria, seolah tak ada setitik pun masalah yang menggelayuti kehidupan nyata mereka.Ketika mereka sedang saling bersahutan melempar candaan, seketika itu tawa mereka terhenti. Tatapan mereka bersarang kompak di salah satu handphone yang di letakan berjejer di lantai berkarpet merah.Zero Brijen, salah satu lelaki kepercayaan dari Si Dady, langsung meraih handphone itu."Ini Bos!" ia menyerahkan handphone yang terus berdering nyaring.Bos Dady tersenyum memicingkan bibirnya, seolah sedang berterimakasih karena tanpa di suruh pun, Zero cukup ce
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen