Pagi itu, Zero bangun lebih awal dari pada biasanya.
Sesuatu membuatnya merasa sulit untuk memejamkan mata. Namun ia tak ingin berlarut-larut dalam kejadian semalam.
Ia bangkit dari ranjangnya dan membersihkan tubuhnya.
Jam dinding menunjukan angka 5.00 dini hari. ia merasa tidak punya kegiatan di pagi itu. Makanya ia menyibukan dirinya di area dapur dalam apartemennya.
Ia menarik sebuah roti sobek dalam kulkas, lalu ia memanaskan buntalan roti di atas teplon milik ibunya. Dalam semua pergerakannya di atas kompor, ia menatap api dengan tatapan kosong. Zero masih ingat detik-detik dimana dia selalu di siapkan sarapan pagi oleh ibunya.
Gara-gara kelakuan ayahnya yang selalu bermain dengan banyak wanita, membuat sang Ibu menghempaskan nyawanya sia-sia dengan cara bunuh diri.
Itu sebabnya dia sangat dingin terhadap wanita.
Prak!
Tak sengaja teplon panas berisi buntalan roti yang telah di panggang terjatuh kelantai akibat lamunannya.
"Aw!" Zero terbangun dari lamunannya dan segera mematikan kompor berjaga-jaga agar tidak terjadi apapun dengan api itu.
Tapi Roti yang tengah sampai di atas lantai tak terselamatkan. Dengan sesak hati pagi itu hanya sarapan dengan setenggak kopi panas yang sudah terseduh otomatis dalam dispenser yang sangat canggih.
Srrrppptt! glek! ach!
Ia sangat menikmati semua inci kopi yang mengalir dalam tenggorokannya.
Bayangannya tentang sang ibu menjadi cambuk berat untuknya agar melanjutkan hidup semakin semangat.
Zero menyimpan kopinya di samping televisi dan menarik sepatu sportnya hendak berolah raga.
Ia pun sudah siap mengenakan kaos bernuansa hitam berpadu padan dengan celana boxer kesukaannya.
Zero yang melupakan kopinya hendak melakukan pemanasan di depan pintu sebelum keluar dari apartemennya.
plok! plok! plok!
Sepatu yang ia pakai bersuara beriringan menandakan semangatnya sedang menggebu. Dirasa pemanasan telah selesai, ia menarik handuk kecil lalu barulah ia keluar dari apartemennya dan tak lupa lagi mengunci kediamannya agar tetap aman.
Hampir beberapa keliling ia berlari mengitari taman kota, dan keringat pun sudah sangat membasahi dadanya.
Matahari pagi itu sudah tidak bersembunyi lagi. Penampakannya menyinari setiap tetes keringat yang mengalir di pipi Zero.
"Huft! lumayan. Buat kebugaran badanku, kurasa ini sudah cukup. istirahat dulu ah ...."
Zero membeli sebuah air mineral de pinggiran taman samping jalanan kota.
Ia menenggak air itu dengan menyemburkan sebagiannya ke seluruh wajahnya.
Lepas ia mendinginkan badan, tak sengaja ia melihat seorang anak kecil berlari-lari mengejar bola yang menggelinding semakin menjauh, sampai-sampai bola itu hampir melaju ke arah jalan kota.
"Awas!" teriak Zero melempar botol air minumnya, dengan reflek ia berlari sekencangnya mengikuti anak itu ke tengah jalan.
Gerak cepat ia memeluk anak itu dan mengangkat tubuhnya setengah melayang ia memberikan sebuah perlindungan agar anak laki-laki itu tidak cedera.
Zero meloncat sekuat tenaga menghindari truk besar yang hampir menabrak tubuh polos si kecil.
Ngiiiengggg! Brak!
Truk itu pun terhenti dengan keadaan menyusut di tengah rerimbunan pohon taman. Dan untungnya tak ada satu pun korban dalam bencana itu.
"Hiks, heuh'euh...," anak itu menangis saking kagetnya.
"Sttt! anak lelaki tidak boleh cengeng! itu hanya hal kecil dan sudah terlewati, jangan nagis lagi ya!" Zero tak mengerti cara meredakan tangisan anak seusia dia.
Tapi ia melihat ada penjual es krim melewatinya.
"Bang! Es krimnya satu!" pinta Zero.
Tak menunggu lama ia menyodorkan satu corong es krim pada anak laki-laki itu.
"Dengan siapa kamu kemari?"
Anak itu menggelengkan kepalanya.
"Dimana rumahmu?"
Ia menunjuk gedung sebrang apartemennya.
"Itu?"
Anak itu menganggukkan kepalanya sambil melumuri lidahnya dengan es krim pemberian dari Zero.
"Oh, kalau itu sih dekat sekali dengan rumah kakak, kita pulang bareng-bareng yuk!" ajak Zero mengusap keringat di atas dahinya.
Nampak terlihat sangat akrab mereka saling bergandengan berjalan bersama. Ia merasa pernah bertemu sebelumnya dengan anak itu. Tapi ... entahlah. perjalanan mereka semakin jauh dari taman pun seolah tidak menyisakan sedikit pencerahan.
Hanya ada kenyamanan antara keduanya saat mereka sedang saling bergandengan.
Ketika perjalanan mereka hampir sampai di depan apartemen Zero, ia sangat terkejut dengan beberapa lelaki bertubuh besar dan kekar sedang menggulung perempuan di pinggiran jalan.
Zero sangat kenal dengan salah seorang dari lelaki berotot itu. Ia rasa bukan waktu yang tepat untuk menyambangi kerusuhan itu karena dirinya sedang bersama dengan anak kecil.
Ia celingukan cari selot untuk mengelak. Tapi parahnya anak lelaki yang sedari tadi bergenggaman tangan dengannya melepas cengkraman Zero.
"Ibu ...!" teriak anak lelaki itu berlari ke arah wanita yang sedang di pukuli para preman itu.
"Ibu?" herannya Zero.
Situasi yang sangat menyulitkannya. Membantu pun ia tak bisa.
Kalau sampai preman-preman itu di hadang oleh Zero maka masalahnya dengan Bos Dady akan semakin rumit.
Tapi melihat drama yang sangat menyedihkan di depan matanya, antara Ibu dan anak lelaki itu membuatnya sedikit tergugah.
"Wanita itu?" matanya semakin membelalak ketika wanita itu di jambak oleh para berandalan dan menampakan wajahnya semakin gamlang.
Wanita yang semalam ia bayang-bayangkan ternyata ibu dari anak lelaki itu.
Ia belum sempat mengucap rasa terimakasihnya, karena telah menyelamatkan nenek-nenek yang hampir saja ia tabrak kemarin sore.
Ia juga melihat sesuatu yang tersirat dari tatapan wanita itu. Tapi sayangnya detik itu ia tak bisa balik menolongnya. ia seolah terbatas oleh sebuah dinding tak kasat mata.
Zero bersembunyi di balik dinding gedung yang sangat kokoh hingga tubuhnya tak menampakan bayangan dari cahaya matahari yang ada.
"Maaf!" bisik hatinya dengan mata sedikit menyesal.
Ia berjalan perlahan menjauh karena tak tega melihat keduanya tersakiti. Zero berpura-pura tidka mendengar teriakan minta tolong di pinggiran jalan yang cukup sepi.
Batinnya merasa terpukul padahal kenal pun tak pernah dengan mereka.
Zero hanya bisa menelan air liurnya dan perlahan memejamkan matanya hingga cahaya matahari terlihat redup di pelupuk matanya.
'Kring ...!'
Handphone yang belum sempat di ganti masih bisa berdering walau cukup lemah.
"Hallo?" jawabnya lemah pula.
"Jangan lupa nanti malam jadwalmu! pagi dan siang sudah padat!" suara padat itu cukup menekan perasaannya.
"Baik Bos!" berat hati pun ia teteap berusaha profesional dengan pekerjaan haramnya.
Lepas menutup telponnya, Zero hendak akan melanjutkan langkahnya, suara teriakan pun terdengar sudah sepi. Ia berusaha berlari dari kenyataan dan tetap dalam dunia mayanya.
Tapi ketika kaki yang tertatih hendak melangkah, suara kecil itu datang hampir seperti ada di daun telinganya.
"Paman! tolong aku!" suara kecil itu semakin dekat saja.
Zero tak bisa menutup kenyataan itu. ia menguatkan hati untuk menoleh.
"Kamu?"
Bruk!
Dengan kuat anak lelaki itu memeluk erat Zero seperti sedang ketakutan sekali.
***
Penasaran 'kan? baca selanjutnya ya!
"Ingat! lelaki tidak boleh cengeng!" ucap Zero menguatkan anak itu dengan mata yang berkaca-kaca.Zero merasa dirinya sedang senasib dengan anak itu."Siapa nama kamu Nak?" tanya Zero berbisik dengan tangan masih memeluk lelaki kecil itu."Ken!" teriak Anjani mewakili jawaban anak kecil itu. "Kenzie namanya."Anjani berjalan mendekat ke arah Zero dan anak itu dengan langkah yang terpingkal-pingkal.Perlahan Zero pun berdiri nanar melihat wajah Anjani yang sangat lebam."Kamu baik-baik saja?" tanya Zero kaku."Entahlah, aku sudah tidak tahu bagaimana rasanya baik-baik saja,""Maafkan aku!" Zero pun mulai membantu Anjani memapah langkahnya hingga sampailah di apartemennya."Tidah usah meminta maaf!" balas Anjani singkat.Sepanjang perjalanan menuju apartemen Anjani, Anak kecil i
Jari jemari Zero yang sangat besar meremas terus perutnya terus menahan sangat sakit. Kepala menunduk masih mengkhawatirkan keadaan bagian perutnya yang terkena tinju.Secara bersamaan Bos Dady berjalan di iringi pengawalnya, menghampiri Zero yang masih duduk mengumpulkan kekuatan."Itu pelajaran buat kamu yang selalu datang terlambat!" sergah Bos Dady dengan mata tajamnya.Monik yang selalu bertingkah seperti perempuan seketika memperlihatkan kejantanannya.Ia melempar tas make up-nya lalu segera mungkin menggopoh Zero sang sahabat, dengan detak jantung yang ikut-ikutan berdetak kencang."Gak gini juga dong bos? Zero 'kan belum sembuh seutuhnya, aku melihat sendiri dia berusaha on time ko' bos," bela Monik dengan suara lelaki yang sangat bulat.Seketika mata tajam Bos Dady mendarat di wajah Monik. Ia melotot dengan penuh kebencian, bahkan tangannya kembali mengepal hendak
"Kamu di sini?" tanya Zero dingin. Matanya berkeling liar seolah tak ingin fokus memandangi Anjani. Ia berusaha menyembunyikan rasa perdulinya sambil memasukan kedua tangan kedalam kantung celananya. Anjani senyum manisdan mengangguk pelan. Kantong kresek hitam yang di pegang Anjani jadi jawaban pertanyaan Zero. Makanya ia tak mengajukan pertanyaan lainnya. Dalam suasana kaku, Ken menarik-narik ujung baju yang di kenakan oleh oleh Zero sambil bertingkah manja. "Paman ... Ayo kita main!" "Hust! Kenzie ...!" mata Anjani membulat memberi peringatan pada anak sematawayangnya. "Tidak apa-apa, ayo kita main di sana!" ajak Zero pada Ken. Keduanya berjalan sambil bergenggam tangan mengarah ke sebuah lapangan sepak bola yang lenglang karena malam sudah mulai larut. Sedangkan Anjani
Pada detik yang sama, di bawah rembulan malam. Zero masih berdiri tegak sambil menutup mata dan sekujur tubuhnya terasa kaku. Sisa keringat bekas bermain bola itu masih membuat tubuhnya basah. Kemeja yang ia kenakan terlihat mencetak dada karena keringat yang menempel. Satu rasa yang paling menggetarkan hati adalah sebuah desahan yang semakin jelas di telinganya. Dada Zero terasa semakin memanas seolah terpompa kencang. Bagian ujung jari kaki yang mencengkram alas sepatu menandakan dia sedang berada dalam sebuah ketegangan. Zero mempertahankan matanya tertutup dan merasakan gairah dari rabaan yang menggerayangi tubuhnya. Ia mulai pasrah setelah merasa ada sedikit sejuk dan basah menjilati telinganya. Ia merasa melayang di angkat keudara, dan ada yang bangkit dari nalurinya yang semakin bergelora. Setelah beberapa detik terasa lama, pikirannya mulai sadar
"Wih ... sudah belaga kuat ya? kamu pikir dengan membengkokan sendok, aku jadi takut?" pekik Steve. Tubuhnya perlahan bangit dari meja makan, satu sisi bibirnya terangkat sinis. Mata bulatnya menyipit melirik naik turun di samping Anjani. Ia melangkah dengan santai tak bergeming sedikit pun. "Sekali lagi kamu bilang ingin cerai, kamu bakal menyesal! bersyukur kamu tidak aku buang, semua itu berkat Kenzie." Tegas Steve. Tubuh Anjani bergetar saat Steve mendekatinya dengan penuh ancaman. Ia membuat sebuah pertahanan dengan menyiapkan kepalan tangan dan mengumpulkan kekuatannya. "Kalau kita bercerai, jangan harap kamu bisa melihat Kenzie lagi!" Lanjut Ancam sambil mencubit sisi dangu istrinya genit, dan pergi meninggalkan Anjani. Dengan semua kata-kata yang di ucapkan oleh suaminya, Anjani merasa sangat terancam. Ia hidup bersama pasangannya bukan satu atau dua hari saja.
Lari Zero semakin kencang hingga semua yang ada di hadapannya ia tubruk tak beraturan. Anjing kecilnya pun ikut berperan menarik Zero agar lari lebih cepat dan Fokus. Namun karena Anjing itu berukuran kecil ia berlari bisa menyelip kemana pun dia suka. Echo berlari menyelinap ke jalanan sempit sambil menyeret majikannya mencari arah. Karena polisi semakin penasaran dengan pelarian Zero yang tiba-tiba, akhirnya pengejaran terhadap Zero semakin diperketat. Beberapa lelaki bertubuh gagah memakai seragam itu memegangi pentungan perangkat untuk berjaga-jaga. Selain pentungan, jelas mereka memiliki senjata satu sama lain. Mereka simpan di bagian samping sabuk seragamnya. Lari tiga orang polisi pun tak kalah cepat dengan pelarian Zero. Melihat persimpangan, Zero merasa waktu yang tepat untuk mengecoh semua polisi.
"Paman ...?" Mata Ken seketika sumringah melihat keberadaan Zero yang tak di sangka-sangka sebelumnya. Anak berambut gimbal itu sontak memeluk Zero tanpa kata. Ia terlihat sangat nyaman berada di dalam pelukan Zero. Itu terlihat jelas di depan kelopak mata Anjani. Tak terasa bibir anjani melebar. Senyuman itu tak terelakan, untuk pertama kalinya ia melihat anak sematawayangnya nampak bahagia di dalam pelukan lelaki itu. Seolah Kenzie telah menemukan sebuah kasih sayang yang tak sempat ia dapatkan dari ayah sendiri. "Ken, Paman Zero nampaknya masih lelah, Lepaskan!" "Ibu ...tapi Ken masih rindu," rengeknya. "Tidak apa-apa, Paman juga kangen banget sama Ken. Lain kali kita main basket lagi yuk!" ajak Zero menggendong Kenzie dengan tubuh gempalnya. "Ayok ... siapa takut? Kali ini Ken bakalan jadi pemenangnya." &nb
Tak ada pilihan lagi untuk Zero selain melarikan diri sejauh mungkin. Emang pantang bagi laki-laki untuk melarikan diri dari kenyataan. Tapi rasanya kali itu bukanlah waktu yang tepat untuk menyambangi apartemennya. Deretan aparat berseragam coklat, dengan senjata laras panjang memagari apartemennya sangatlah ketat. Sambil merangkul anjing peliharaannya, Zero mengendap-endap menyelinap meliuk-liukkan badannya seperti cacing yang menempel di alas tembok hingga tubuhnya tak berbayang. "SSSttt! jangan berisik ya Echo!" bisik Zero di pinggir daun telinga anjingnya yang tipis dan lebar. Seperti sudah mengerti saja, Anjing itu hanya mendesah sambil menjulur-julurkan lidah sesuai perintah majikannya diam tak menggong-gong. Awan di Samboja, Kutai waktu itu sedang mendung-mendungnya. Langit seolah sedang menampung beratnya air yang akan di hempaskan malam nanti.&nb
Telapak tangan besar itu semakin membuntal gagang pisau berujung tajam. Ia melinting kemeja putihnya, dan meregangkan dasi serta kancing di bagian leher teratasnya. Malam menunjukan jam 00.00. Suara riuh hewan malam diiringi deburan ombak di tepian pantai mahakan membuat gemuruh pendengarannya semakin mencekam. Tak ada satu kepalapun terlintas berlalu lalang di sekitarnya. Hanya ada dia, dan sebilah pisau yang akan ia mainkan malam itu. 'Andai ada pilihan lain, pasti aku akan menolak untuk jadi pembunuh. Tapi ... ini semua aku lakukan untuk sang guru.' riuh isi hatinya mempertegas langkahnya. Tak terasa tempat yang ia tuju sudah semakin dekat. Petakan rumah padat yang sudah sangat sepi aktivitas. Zero mengintip hunian terujung, lalu membungkus wajahnya dengan masker hitam. Sebelumnya ia cepat merogoh kantung celananya, mempertegas kisi-kisi yang di berikan oleh Steve.
Tak ada pilihan lagi untuk Zero selain melarikan diri sejauh mungkin. Emang pantang bagi laki-laki untuk melarikan diri dari kenyataan. Tapi rasanya kali itu bukanlah waktu yang tepat untuk menyambangi apartemennya. Deretan aparat berseragam coklat, dengan senjata laras panjang memagari apartemennya sangatlah ketat. Sambil merangkul anjing peliharaannya, Zero mengendap-endap menyelinap meliuk-liukkan badannya seperti cacing yang menempel di alas tembok hingga tubuhnya tak berbayang. "SSSttt! jangan berisik ya Echo!" bisik Zero di pinggir daun telinga anjingnya yang tipis dan lebar. Seperti sudah mengerti saja, Anjing itu hanya mendesah sambil menjulur-julurkan lidah sesuai perintah majikannya diam tak menggong-gong. Awan di Samboja, Kutai waktu itu sedang mendung-mendungnya. Langit seolah sedang menampung beratnya air yang akan di hempaskan malam nanti.&nb
"Paman ...?" Mata Ken seketika sumringah melihat keberadaan Zero yang tak di sangka-sangka sebelumnya. Anak berambut gimbal itu sontak memeluk Zero tanpa kata. Ia terlihat sangat nyaman berada di dalam pelukan Zero. Itu terlihat jelas di depan kelopak mata Anjani. Tak terasa bibir anjani melebar. Senyuman itu tak terelakan, untuk pertama kalinya ia melihat anak sematawayangnya nampak bahagia di dalam pelukan lelaki itu. Seolah Kenzie telah menemukan sebuah kasih sayang yang tak sempat ia dapatkan dari ayah sendiri. "Ken, Paman Zero nampaknya masih lelah, Lepaskan!" "Ibu ...tapi Ken masih rindu," rengeknya. "Tidak apa-apa, Paman juga kangen banget sama Ken. Lain kali kita main basket lagi yuk!" ajak Zero menggendong Kenzie dengan tubuh gempalnya. "Ayok ... siapa takut? Kali ini Ken bakalan jadi pemenangnya." &nb
Lari Zero semakin kencang hingga semua yang ada di hadapannya ia tubruk tak beraturan. Anjing kecilnya pun ikut berperan menarik Zero agar lari lebih cepat dan Fokus. Namun karena Anjing itu berukuran kecil ia berlari bisa menyelip kemana pun dia suka. Echo berlari menyelinap ke jalanan sempit sambil menyeret majikannya mencari arah. Karena polisi semakin penasaran dengan pelarian Zero yang tiba-tiba, akhirnya pengejaran terhadap Zero semakin diperketat. Beberapa lelaki bertubuh gagah memakai seragam itu memegangi pentungan perangkat untuk berjaga-jaga. Selain pentungan, jelas mereka memiliki senjata satu sama lain. Mereka simpan di bagian samping sabuk seragamnya. Lari tiga orang polisi pun tak kalah cepat dengan pelarian Zero. Melihat persimpangan, Zero merasa waktu yang tepat untuk mengecoh semua polisi.
"Wih ... sudah belaga kuat ya? kamu pikir dengan membengkokan sendok, aku jadi takut?" pekik Steve. Tubuhnya perlahan bangit dari meja makan, satu sisi bibirnya terangkat sinis. Mata bulatnya menyipit melirik naik turun di samping Anjani. Ia melangkah dengan santai tak bergeming sedikit pun. "Sekali lagi kamu bilang ingin cerai, kamu bakal menyesal! bersyukur kamu tidak aku buang, semua itu berkat Kenzie." Tegas Steve. Tubuh Anjani bergetar saat Steve mendekatinya dengan penuh ancaman. Ia membuat sebuah pertahanan dengan menyiapkan kepalan tangan dan mengumpulkan kekuatannya. "Kalau kita bercerai, jangan harap kamu bisa melihat Kenzie lagi!" Lanjut Ancam sambil mencubit sisi dangu istrinya genit, dan pergi meninggalkan Anjani. Dengan semua kata-kata yang di ucapkan oleh suaminya, Anjani merasa sangat terancam. Ia hidup bersama pasangannya bukan satu atau dua hari saja.
Pada detik yang sama, di bawah rembulan malam. Zero masih berdiri tegak sambil menutup mata dan sekujur tubuhnya terasa kaku. Sisa keringat bekas bermain bola itu masih membuat tubuhnya basah. Kemeja yang ia kenakan terlihat mencetak dada karena keringat yang menempel. Satu rasa yang paling menggetarkan hati adalah sebuah desahan yang semakin jelas di telinganya. Dada Zero terasa semakin memanas seolah terpompa kencang. Bagian ujung jari kaki yang mencengkram alas sepatu menandakan dia sedang berada dalam sebuah ketegangan. Zero mempertahankan matanya tertutup dan merasakan gairah dari rabaan yang menggerayangi tubuhnya. Ia mulai pasrah setelah merasa ada sedikit sejuk dan basah menjilati telinganya. Ia merasa melayang di angkat keudara, dan ada yang bangkit dari nalurinya yang semakin bergelora. Setelah beberapa detik terasa lama, pikirannya mulai sadar
"Kamu di sini?" tanya Zero dingin. Matanya berkeling liar seolah tak ingin fokus memandangi Anjani. Ia berusaha menyembunyikan rasa perdulinya sambil memasukan kedua tangan kedalam kantung celananya. Anjani senyum manisdan mengangguk pelan. Kantong kresek hitam yang di pegang Anjani jadi jawaban pertanyaan Zero. Makanya ia tak mengajukan pertanyaan lainnya. Dalam suasana kaku, Ken menarik-narik ujung baju yang di kenakan oleh oleh Zero sambil bertingkah manja. "Paman ... Ayo kita main!" "Hust! Kenzie ...!" mata Anjani membulat memberi peringatan pada anak sematawayangnya. "Tidak apa-apa, ayo kita main di sana!" ajak Zero pada Ken. Keduanya berjalan sambil bergenggam tangan mengarah ke sebuah lapangan sepak bola yang lenglang karena malam sudah mulai larut. Sedangkan Anjani
Jari jemari Zero yang sangat besar meremas terus perutnya terus menahan sangat sakit. Kepala menunduk masih mengkhawatirkan keadaan bagian perutnya yang terkena tinju.Secara bersamaan Bos Dady berjalan di iringi pengawalnya, menghampiri Zero yang masih duduk mengumpulkan kekuatan."Itu pelajaran buat kamu yang selalu datang terlambat!" sergah Bos Dady dengan mata tajamnya.Monik yang selalu bertingkah seperti perempuan seketika memperlihatkan kejantanannya.Ia melempar tas make up-nya lalu segera mungkin menggopoh Zero sang sahabat, dengan detak jantung yang ikut-ikutan berdetak kencang."Gak gini juga dong bos? Zero 'kan belum sembuh seutuhnya, aku melihat sendiri dia berusaha on time ko' bos," bela Monik dengan suara lelaki yang sangat bulat.Seketika mata tajam Bos Dady mendarat di wajah Monik. Ia melotot dengan penuh kebencian, bahkan tangannya kembali mengepal hendak
"Ingat! lelaki tidak boleh cengeng!" ucap Zero menguatkan anak itu dengan mata yang berkaca-kaca.Zero merasa dirinya sedang senasib dengan anak itu."Siapa nama kamu Nak?" tanya Zero berbisik dengan tangan masih memeluk lelaki kecil itu."Ken!" teriak Anjani mewakili jawaban anak kecil itu. "Kenzie namanya."Anjani berjalan mendekat ke arah Zero dan anak itu dengan langkah yang terpingkal-pingkal.Perlahan Zero pun berdiri nanar melihat wajah Anjani yang sangat lebam."Kamu baik-baik saja?" tanya Zero kaku."Entahlah, aku sudah tidak tahu bagaimana rasanya baik-baik saja,""Maafkan aku!" Zero pun mulai membantu Anjani memapah langkahnya hingga sampailah di apartemennya."Tidah usah meminta maaf!" balas Anjani singkat.Sepanjang perjalanan menuju apartemen Anjani, Anak kecil i