Share

BAYANGAN SEMU

Penulis: Cristhina
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Wih ... sudah belaga kuat ya? kamu pikir dengan membengkokan sendok, aku jadi takut?" pekik Steve.

Tubuhnya perlahan bangit dari meja makan, satu sisi bibirnya terangkat sinis. Mata bulatnya menyipit melirik naik turun di samping Anjani. Ia melangkah dengan santai tak bergeming sedikit pun.

"Sekali lagi kamu bilang ingin cerai, kamu bakal menyesal! bersyukur kamu tidak aku buang, semua itu berkat Kenzie." Tegas Steve.

Tubuh Anjani bergetar saat Steve mendekatinya dengan penuh ancaman. Ia membuat sebuah pertahanan dengan menyiapkan kepalan tangan dan mengumpulkan kekuatannya.

"Kalau kita bercerai, jangan harap kamu bisa melihat Kenzie lagi!" Lanjut Ancam sambil mencubit sisi dangu istrinya genit, dan pergi meninggalkan Anjani.

Dengan semua kata-kata yang di ucapkan oleh suaminya, Anjani merasa sangat terancam. Ia hidup bersama pasangannya bukan satu atau dua hari saja. Sudah melewatkan 8 tahun masa perkawinan yang membuatnya tahu watak asli pasangannya.

Anjani tahu semua ucapan Steve tidak main-main. 

Getaran di tubuhnya berkurang saat suaminya pergi ke ruangan lain, tapi ketakutan di hatinya malah makin bertambah, mengingat kata-kata Steve bukan hanya candaan semata.

Malam yang semakin larut membuat Anjani lebih memilih tidur bersama dengan Kenzie anaknya.

Ia memeluk erat Ken, sambil berlinang air mata. Tangannya mengelus lembut rambut Ken yang sudah tertidur lelap sekali.

Hingga waktu mengalir tak terasa beberapa jam terasa beberapa menit saja saat Anjani berada di samping Kenzie anaknya. Ia pun sedikit terlelap di samping Kenzie karena lelahnya kehidupan.

***

Di Kasur yang cukup lebar dan mewah, Zero pun tertidur di kediamannya.

Dengan gelisah ia tidur berbolak balik ke kanan dan ke kiri.

Tubuhnya masih tetap di selimutkan keringan kecil dengan tubuh kekar terlentang dan mata tertutup di atas ranjang yang nyaman.

'Ibu ... Ibu ... Ibu ...!' gumamnya saat tidur.

Dalam bayangannya nampak jelas wajah Ibunya dengan kepala menunduk, lidah menjulur dan tubuh tergantung.

Zero meraung-raung dengan suara samar.

Tak sadar ia meneteskan air mata dengan impiannya yang sangat menyayat hati.

Sela impiannya, Zero melihat senyum dan tawa lepas dari sang Ayah bersama seorang wanita yang samar tak jelas.

Tangannya mengepal kuat, seolah ingin menghantam ke arah Ayahnya kuat-kuat. Namun saat ia berusaha melempar tinjuan, semua bayangan itu pudar.

Ia lari ke arah bayangan Ibunya yang masih tergantung, kini ia tersenyum dengan mata tertutup seolah telah damai di alamnya. Lalu semua itu perlahan mulai hilang, dan setitik demi setitik mulai melebur tak nampak lagi.

"BU ... IBU ... IBU ... ARRRGGGHH!" Teriaknya kencang terengah-engah mulai bangkit dari tidurnya.

"Huft, ini ternyata mimpi."

"Uk! uk! uk!" Melihat majikannya terbangun, Echo anjing pintar peliharaanya pun ikut menggonggong seperti menggatikan alarm-nya.

Pagi menyongsong dengan cerah. Situasi Mataram terlihat sangat normal. Hilir mudik mobil mulai terdengar beraktifitas.

Zero yang baru saja terbangun karena mimpinya masih bermalasan di atas ranjang, menarik selimutnya kembali semakin tinggi.

Walau matahari mulai masuk melalui celah jendela, ia tetap  mengabaikannya. Zero menjulurkan tangan kosongnya ke arah sebuah jam weker, dan mulai meraba mencari tombol off agar suara jam yang sudah di atur tidak berdering mengganggunya.

Ya, memang wekernya tidak berdering, namun Echo seperti tak bisa melihat majikannya sedikit berleha-leha.

"Guk! guk ...!"

Anjing berbulu lembut dengan moncong sedikit kecil itu dengan cerdik menggigit selimut Zero dan menariknya jauhjauh dari ranjang, hingga tubuh Zero yang telanjang dada mulai merasakan sentuhan udara segar.

Lepas itu, Echo kembali menaiki dada majikannya dan menjilati pipinya seolah membangunkannya.

"Uk ...! eokk!" suaranya mulai manja.

"Iya! iya! iya! aku bangun nih. Hoammz!" Zero meregangkan tubuhnya dan membuka jendela kamarnya yang sangat lebar membentuk dinding-dinding kaca.

Kemana pun Zero melangkah, Echo selalu mengiringinya. Zero tahu jelas kenapa dia terus di kuntit oleh anak anjing itu.

Bukan semata karena tunduk, namun rasa lapar karena belum di berikan kudapan menjadi alasan tertentu, menjadikan anak anjing itu terus menggigit-gigit celana kain yang ia kenakan.

"Hahahah, kamu dasar pintar ya! baik ...! baik ...! pagi ini kita ke pasar ya!"

Setelah melihat isi kulkas yang acak-acakan tak terurus, dan isinya kosong kerompong hanya menyisakan cangkang-cangkang bekas makanan siap saji saja, Zero pun memutuskan untuk bersiap diri hendak pergi ke pasar dengan peliharaannya.

Memakai kaos polos, lepas ke kamar mandi, Zero nampak segar dengan rambut basahnya. Wajahnya terlihat bersinar siap menyambut pagi.

Dengan di buntuti oleh Echo, Zero menaiki angkutan umum, dan sesisanya ia berjalan-jalan santai di samping kota untuk sampai di puncak pasar raya.

"Nah, karena ini daerah rawan, kamu pakai kalungmu! jangan jauh-jauh, jangan nakal!" perintahnya pada Echo si guguk kesayangan.

Mengingat banyak hal yang menggiurkan di pasar, ia pun mengikat Echo dengan tangannya.

Hampir sepertiga jalan, ia baru mendapatkan apa yang ia butuhkan.

Mulai dari sayuran, bahan makanan pokok untuknya, buah-buahan, dan tentunya ikan. Ia menyiapkan ikan segar dan beberapa daging bertitel super untuk sahabat kesayangannya itu.

Terlebih ia menyiapkan beberapa makanan siap lahap karena sesekali ia sering di kerubuni rasa malas untuk memasak. Wajar sekali pria muda tanpa seorang istri di rumah malas masak.

Isi apartemennya pun lumayan berantakan karena kurangnya sentuhan tangan wanita.

Ketika ia sedang menikmati perjalanannya, ia melihat seorang nenek tua duduk tergopoh-gopoh sambil mendorong-dorong gerobak bawaanya.

Selintas ia mengingat seorang nenek tua yang hampir saja ia tabrak saat berkendara dengan Bos Dady minggu lalu.

Ia tak ingin melakukan kesalahan yang sama, ia menarik anjing kecilnya agar berjalan lebih lamban. 

Ia menyidik si nenek tua itu. Tubuh lemahnya seolah sudah tak pantas mendorong gerobak yang jauh lebih besar dari tubuhnya. Keluh kesahnya seolah tak bisa tertahankan.

Wajah lemah itu membuat rasa empati Zero meronta.

Walau dia lelaki yang arogan, tapi ia masih memiliki hati. Saat malam hari ia seperti lelaki kejam, namun saat matahari masih menampakan dirinya, Zero hanyalah lelaki biasa yang memiliki hati nurani.

"Nek, mari saya bantu, Nek!" ucapnya menggantikan pegangan Nenek di daun gerobak itu.

"Ukhuuk! ukhuk! terimakasi anak muda, semoga niat baikmu membuat jodohmu semakin luas! bangga sekali wanita yang menjadi istrimu nanti!" gumam nenek tua itu menyeka keringatnya yang bercucuran.

Tubuh kekar Zero melanjutkan langkahnya dengan mendorong gerobak sambil tersenyum melayang dengan pujian nenek tua berkain samping dengan corak batik itu.

Echo mengiringi langkah keduanya dengan santai, sambil sesekali mengendus semua area jalanan di pasar.

Hampir beberama detik lagi sampai ke tujuan si nenek, Zero di kejutkan dengan keberadaan temannya yang berambut panjang, memakai wedges tinggi, dan bulu mata yang cetar badai. Tapi suara bulatnya tetap tak bisa di sembunyikan.

Monik, sahabat karibnya pun berada di pasar itu. Jelas ia berada di area pasar, karena tempat panti pijat yang menjadi markas utama anak buah Bos Dady.

"Woy! Mon!" teriak Zero sumringah.

Zero pun perlahan menyimpan gerobak dengan mengganjal rodanya menggunakan batu besar.

Lalu meninggalkan nenek tua itu hendak menghampiri Monika yang belum sempat menengok ke arahnya.

Senyuman lebarnya penuh semangat ingin segera menyapa sahabatnya, dan mengejutkannya dari arah belakang.

Ketika beberapa langkah hampir sampai, Monika menoleh dengan wajah tegang, lalu menaikan roknya. Dan tanpa aba-aba ia berlari tunggang langgang menjauhi dari tempat itu.

"Woy! Monik! mau kemana?"

"Zero?" matanya menegang penuh kebingungan.

Zero berjalan sambil tidak mengetahui apa situasi sebenarnya di tempat itu.

"Tunggu guw Mon!" teriak Zero mempercepat langkahnya.

Monika melambaikan tangannya, dan merapatkan bibiirnya sambil berlari semakin jauh dengan wajah penuh dnegan kecemasan.

'Kenapa?' bisik hati Zero.

"POLISI!" teriak Monika semakin terbirit-birit dan hendak hilang dari pandangannya.

Mendengar kata Polisi, entah apa yang ada dalam pikiran Zero, ia refleks ikutan melarikan diri dengan sangat kilat.

Cristhina

Zero ketangkap gak ya? ummmzzzz tegang uy! ikutin terus alur cerita Zero dan Anjani ya! Gemesh juga sama si Steve yang belaga.

| Sukai

Bab terkait

  • The Shadows Man   Handphone yang Tertukar

    Lari Zero semakin kencang hingga semua yang ada di hadapannya ia tubruk tak beraturan. Anjing kecilnya pun ikut berperan menarik Zero agar lari lebih cepat dan Fokus. Namun karena Anjing itu berukuran kecil ia berlari bisa menyelip kemana pun dia suka. Echo berlari menyelinap ke jalanan sempit sambil menyeret majikannya mencari arah. Karena polisi semakin penasaran dengan pelarian Zero yang tiba-tiba, akhirnya pengejaran terhadap Zero semakin diperketat. Beberapa lelaki bertubuh gagah memakai seragam itu memegangi pentungan perangkat untuk berjaga-jaga. Selain pentungan, jelas mereka memiliki senjata satu sama lain. Mereka simpan di bagian samping sabuk seragamnya. Lari tiga orang polisi pun tak kalah cepat dengan pelarian Zero. Melihat persimpangan, Zero merasa waktu yang tepat untuk mengecoh semua polisi.

  • The Shadows Man   Bagai tersambar petir

    "Paman ...?" Mata Ken seketika sumringah melihat keberadaan Zero yang tak di sangka-sangka sebelumnya. Anak berambut gimbal itu sontak memeluk Zero tanpa kata. Ia terlihat sangat nyaman berada di dalam pelukan Zero. Itu terlihat jelas di depan kelopak mata Anjani. Tak terasa bibir anjani melebar. Senyuman itu tak terelakan, untuk pertama kalinya ia melihat anak sematawayangnya nampak bahagia di dalam pelukan lelaki itu. Seolah Kenzie telah menemukan sebuah kasih sayang yang tak sempat ia dapatkan dari ayah sendiri. "Ken, Paman Zero nampaknya masih lelah, Lepaskan!" "Ibu ...tapi Ken masih rindu," rengeknya. "Tidak apa-apa, Paman juga kangen banget sama Ken. Lain kali kita main basket lagi yuk!" ajak Zero menggendong Kenzie dengan tubuh gempalnya. "Ayok ... siapa takut? Kali ini Ken bakalan jadi pemenangnya." &nb

  • The Shadows Man   Terjerumus rumah hitam Steve

    Tak ada pilihan lagi untuk Zero selain melarikan diri sejauh mungkin. Emang pantang bagi laki-laki untuk melarikan diri dari kenyataan. Tapi rasanya kali itu bukanlah waktu yang tepat untuk menyambangi apartemennya. Deretan aparat berseragam coklat, dengan senjata laras panjang memagari apartemennya sangatlah ketat. Sambil merangkul anjing peliharaannya, Zero mengendap-endap menyelinap meliuk-liukkan badannya seperti cacing yang menempel di alas tembok hingga tubuhnya tak berbayang. "SSSttt! jangan berisik ya Echo!" bisik Zero di pinggir daun telinga anjingnya yang tipis dan lebar. Seperti sudah mengerti saja, Anjing itu hanya mendesah sambil menjulur-julurkan lidah sesuai perintah majikannya diam tak menggong-gong. Awan di Samboja, Kutai waktu itu sedang mendung-mendungnya. Langit seolah sedang menampung beratnya air yang akan di hempaskan malam nanti.&nb

  • The Shadows Man   Mayat Pertama.

    Telapak tangan besar itu semakin membuntal gagang pisau berujung tajam. Ia melinting kemeja putihnya, dan meregangkan dasi serta kancing di bagian leher teratasnya. Malam menunjukan jam 00.00. Suara riuh hewan malam diiringi deburan ombak di tepian pantai mahakan membuat gemuruh pendengarannya semakin mencekam. Tak ada satu kepalapun terlintas berlalu lalang di sekitarnya. Hanya ada dia, dan sebilah pisau yang akan ia mainkan malam itu. 'Andai ada pilihan lain, pasti aku akan menolak untuk jadi pembunuh. Tapi ... ini semua aku lakukan untuk sang guru.' riuh isi hatinya mempertegas langkahnya. Tak terasa tempat yang ia tuju sudah semakin dekat. Petakan rumah padat yang sudah sangat sepi aktivitas. Zero mengintip hunian terujung, lalu membungkus wajahnya dengan masker hitam. Sebelumnya ia cepat merogoh kantung celananya, mempertegas kisi-kisi yang di berikan oleh Steve.

  • The Shadows Man   Kucing hitam

    Lelaki setengah baya, dengan janggut tebalnya tak pernah jauh dari cerutu berbahan kayu.Ia sedang bercengkrama dengan beberapa lelaki muda berusia kisaran 18 sampai 20 tahunan.Sebut saja dia Bos Dady.Ada yang tertawa, ada yang memijat jari jemari kaki, dan ada juga yang memijat di area punggungnya. Mereka saling bercanda ria, seolah tak ada setitik pun masalah yang menggelayuti kehidupan nyata mereka.Ketika mereka sedang saling bersahutan melempar candaan, seketika itu tawa mereka terhenti. Tatapan mereka bersarang kompak di salah satu handphone yang di letakan berjejer di lantai berkarpet merah.Zero Brijen, salah satu lelaki kepercayaan dari Si Dady, langsung meraih handphone itu."Ini Bos!" ia menyerahkan handphone yang terus berdering nyaring.Bos Dady tersenyum memicingkan bibirnya, seolah sedang berterimakasih karena tanpa di suruh pun, Zero cukup ce

  • The Shadows Man   Celakalah Zero

    Mata Zero yang remang-remang seolah banyak bintang, kini sudah cerah kembali. Tatapannya sedikit heran, karena semua yang ia lihat hanya putih gamlang.Langit-langit dan semua dinding nampak putih bersih saat ia mulai sadarkan diri. Ia merasa sedang berada di sebuah tempat asing yang sama sekali tak ia kenal.Zero mengerjatkan tubuhnya bergegas bangkit dari ranjang berkaki besi."Hei ... akikah bangun juga, yeee?" Cakap Monik sahabatnya, sambil menyelipkan rambut halus di telinganya.Zero mengedipkan mata, menyidik wajah Monik semakin dekat."Huft! aku kira siapa? Bagaimana dengan Bos? Wanita itu?"Bukan Nenek tua yang ia tanyakan. Tapi sebelum Zero tak sadarkan diri, matanya tertuju pada seorang wanita tinggi semampai yang merangkul Nenek tua, dan melindungi dari mobil yang di kemudikannya."Santuy! Bos lagi nyenyong sama kiwk kiwk di lapang barunya .

  • The Shadows Man   Berhati-hati

    "Ka-kamu siapa? kenapa ada di apartemenku?" tanya Zero terbata-bata.Ia menjulurkan tangannya seolah sedang waspada.Seorang Pria muda berusia kira- kira di atas umur Zero tersenyum sinis.Berdiri tegak saling berhadapan."Jangan so' munafik! aku bayar kamu mahal!" ucapnya mengagetkan Zero.Jelas Zero kaget. Selama ini dia tidak pernah mencampur adukkan antara kehidupan real dengan bisnis malamnya. Apalagi pelanggan kali ini datang langsung ke apartemennya, dan parahnya lagi yang berhadapan dengan Zero adalah seorang pria.Ia tahu harus semakin waspada karena Pria akan lebih membahayakan dibandingkan wanita.Alih-alih Zero menyambutnya, ia malah bersikap bodoh dan berpura-pura polos tidak tahu apa yang sedang di ucapkan pria itu."Kamu salah orang! saya mohon jangan ganggu saya sekarang!" dalih Zero sedikit mengelak.

  • The Shadows Man   Pagi yang Ganjil

    Pagi itu, Zero bangun lebih awal dari pada biasanya.Sesuatu membuatnya merasa sulit untuk memejamkan mata. Namun ia tak ingin berlarut-larut dalam kejadian semalam.Ia bangkit dari ranjangnya dan membersihkan tubuhnya.Jam dinding menunjukan angka 5.00 dini hari. ia merasa tidak punya kegiatan di pagi itu. Makanya ia menyibukan dirinya di area dapur dalam apartemennya.Ia menarik sebuah roti sobek dalam kulkas, lalu ia memanaskan buntalan roti di atas teplon milik ibunya. Dalam semua pergerakannya di atas kompor, ia menatap api dengan tatapan kosong. Zero masih ingat detik-detik dimana dia selalu di siapkan sarapan pagi oleh ibunya.Gara-gara kelakuan ayahnya yang selalu bermain dengan banyak wanita, membuat sang Ibu menghempaskan nyawanya sia-sia dengan cara bunuh diri.Itu sebabnya dia sangat dingin terhadap wanita.Prak!Tak sengaja te

Bab terbaru

  • The Shadows Man   Mayat Pertama.

    Telapak tangan besar itu semakin membuntal gagang pisau berujung tajam. Ia melinting kemeja putihnya, dan meregangkan dasi serta kancing di bagian leher teratasnya. Malam menunjukan jam 00.00. Suara riuh hewan malam diiringi deburan ombak di tepian pantai mahakan membuat gemuruh pendengarannya semakin mencekam. Tak ada satu kepalapun terlintas berlalu lalang di sekitarnya. Hanya ada dia, dan sebilah pisau yang akan ia mainkan malam itu. 'Andai ada pilihan lain, pasti aku akan menolak untuk jadi pembunuh. Tapi ... ini semua aku lakukan untuk sang guru.' riuh isi hatinya mempertegas langkahnya. Tak terasa tempat yang ia tuju sudah semakin dekat. Petakan rumah padat yang sudah sangat sepi aktivitas. Zero mengintip hunian terujung, lalu membungkus wajahnya dengan masker hitam. Sebelumnya ia cepat merogoh kantung celananya, mempertegas kisi-kisi yang di berikan oleh Steve.

  • The Shadows Man   Terjerumus rumah hitam Steve

    Tak ada pilihan lagi untuk Zero selain melarikan diri sejauh mungkin. Emang pantang bagi laki-laki untuk melarikan diri dari kenyataan. Tapi rasanya kali itu bukanlah waktu yang tepat untuk menyambangi apartemennya. Deretan aparat berseragam coklat, dengan senjata laras panjang memagari apartemennya sangatlah ketat. Sambil merangkul anjing peliharaannya, Zero mengendap-endap menyelinap meliuk-liukkan badannya seperti cacing yang menempel di alas tembok hingga tubuhnya tak berbayang. "SSSttt! jangan berisik ya Echo!" bisik Zero di pinggir daun telinga anjingnya yang tipis dan lebar. Seperti sudah mengerti saja, Anjing itu hanya mendesah sambil menjulur-julurkan lidah sesuai perintah majikannya diam tak menggong-gong. Awan di Samboja, Kutai waktu itu sedang mendung-mendungnya. Langit seolah sedang menampung beratnya air yang akan di hempaskan malam nanti.&nb

  • The Shadows Man   Bagai tersambar petir

    "Paman ...?" Mata Ken seketika sumringah melihat keberadaan Zero yang tak di sangka-sangka sebelumnya. Anak berambut gimbal itu sontak memeluk Zero tanpa kata. Ia terlihat sangat nyaman berada di dalam pelukan Zero. Itu terlihat jelas di depan kelopak mata Anjani. Tak terasa bibir anjani melebar. Senyuman itu tak terelakan, untuk pertama kalinya ia melihat anak sematawayangnya nampak bahagia di dalam pelukan lelaki itu. Seolah Kenzie telah menemukan sebuah kasih sayang yang tak sempat ia dapatkan dari ayah sendiri. "Ken, Paman Zero nampaknya masih lelah, Lepaskan!" "Ibu ...tapi Ken masih rindu," rengeknya. "Tidak apa-apa, Paman juga kangen banget sama Ken. Lain kali kita main basket lagi yuk!" ajak Zero menggendong Kenzie dengan tubuh gempalnya. "Ayok ... siapa takut? Kali ini Ken bakalan jadi pemenangnya." &nb

  • The Shadows Man   Handphone yang Tertukar

    Lari Zero semakin kencang hingga semua yang ada di hadapannya ia tubruk tak beraturan. Anjing kecilnya pun ikut berperan menarik Zero agar lari lebih cepat dan Fokus. Namun karena Anjing itu berukuran kecil ia berlari bisa menyelip kemana pun dia suka. Echo berlari menyelinap ke jalanan sempit sambil menyeret majikannya mencari arah. Karena polisi semakin penasaran dengan pelarian Zero yang tiba-tiba, akhirnya pengejaran terhadap Zero semakin diperketat. Beberapa lelaki bertubuh gagah memakai seragam itu memegangi pentungan perangkat untuk berjaga-jaga. Selain pentungan, jelas mereka memiliki senjata satu sama lain. Mereka simpan di bagian samping sabuk seragamnya. Lari tiga orang polisi pun tak kalah cepat dengan pelarian Zero. Melihat persimpangan, Zero merasa waktu yang tepat untuk mengecoh semua polisi.

  • The Shadows Man   BAYANGAN SEMU

    "Wih ... sudah belaga kuat ya? kamu pikir dengan membengkokan sendok, aku jadi takut?" pekik Steve. Tubuhnya perlahan bangit dari meja makan, satu sisi bibirnya terangkat sinis. Mata bulatnya menyipit melirik naik turun di samping Anjani. Ia melangkah dengan santai tak bergeming sedikit pun. "Sekali lagi kamu bilang ingin cerai, kamu bakal menyesal! bersyukur kamu tidak aku buang, semua itu berkat Kenzie." Tegas Steve. Tubuh Anjani bergetar saat Steve mendekatinya dengan penuh ancaman. Ia membuat sebuah pertahanan dengan menyiapkan kepalan tangan dan mengumpulkan kekuatannya. "Kalau kita bercerai, jangan harap kamu bisa melihat Kenzie lagi!" Lanjut Ancam sambil mencubit sisi dangu istrinya genit, dan pergi meninggalkan Anjani. Dengan semua kata-kata yang di ucapkan oleh suaminya, Anjani merasa sangat terancam. Ia hidup bersama pasangannya bukan satu atau dua hari saja.

  • The Shadows Man   Zero Salah Kaprah

    Pada detik yang sama, di bawah rembulan malam. Zero masih berdiri tegak sambil menutup mata dan sekujur tubuhnya terasa kaku. Sisa keringat bekas bermain bola itu masih membuat tubuhnya basah. Kemeja yang ia kenakan terlihat mencetak dada karena keringat yang menempel. Satu rasa yang paling menggetarkan hati adalah sebuah desahan yang semakin jelas di telinganya. Dada Zero terasa semakin memanas seolah terpompa kencang. Bagian ujung jari kaki yang mencengkram alas sepatu menandakan dia sedang berada dalam sebuah ketegangan. Zero mempertahankan matanya tertutup dan merasakan gairah dari rabaan yang menggerayangi tubuhnya. Ia mulai pasrah setelah merasa ada sedikit sejuk dan basah menjilati telinganya. Ia merasa melayang di angkat keudara, dan ada yang bangkit dari nalurinya yang semakin bergelora. Setelah beberapa detik terasa lama, pikirannya mulai sadar

  • The Shadows Man   Pendekatan

    "Kamu di sini?" tanya Zero dingin. Matanya berkeling liar seolah tak ingin fokus memandangi Anjani. Ia berusaha menyembunyikan rasa perdulinya sambil memasukan kedua tangan kedalam kantung celananya. Anjani senyum manisdan mengangguk pelan. Kantong kresek hitam yang di pegang Anjani jadi jawaban pertanyaan Zero. Makanya ia tak mengajukan pertanyaan lainnya. Dalam suasana kaku, Ken menarik-narik ujung baju yang di kenakan oleh oleh Zero sambil bertingkah manja. "Paman ... Ayo kita main!" "Hust! Kenzie ...!" mata Anjani membulat memberi peringatan pada anak sematawayangnya. "Tidak apa-apa, ayo kita main di sana!" ajak Zero pada Ken. Keduanya berjalan sambil bergenggam tangan mengarah ke sebuah lapangan sepak bola yang lenglang karena malam sudah mulai larut. Sedangkan Anjani

  • The Shadows Man   Pertemuan Antar Pria

    Jari jemari Zero yang sangat besar meremas terus perutnya terus menahan sangat sakit. Kepala menunduk masih mengkhawatirkan keadaan bagian perutnya yang terkena tinju.Secara bersamaan Bos Dady berjalan di iringi pengawalnya, menghampiri Zero yang masih duduk mengumpulkan kekuatan."Itu pelajaran buat kamu yang selalu datang terlambat!" sergah Bos Dady dengan mata tajamnya.Monik yang selalu bertingkah seperti perempuan seketika memperlihatkan kejantanannya.Ia melempar tas make up-nya lalu segera mungkin menggopoh Zero sang sahabat, dengan detak jantung yang ikut-ikutan berdetak kencang."Gak gini juga dong bos? Zero 'kan belum sembuh seutuhnya, aku melihat sendiri dia berusaha on time ko' bos," bela Monik dengan suara lelaki yang sangat bulat.Seketika mata tajam Bos Dady mendarat di wajah Monik. Ia melotot dengan penuh kebencian, bahkan tangannya kembali mengepal hendak

  • The Shadows Man   Perkenalan Anjani

    "Ingat! lelaki tidak boleh cengeng!" ucap Zero menguatkan anak itu dengan mata yang berkaca-kaca.Zero merasa dirinya sedang senasib dengan anak itu."Siapa nama kamu Nak?" tanya Zero berbisik dengan tangan masih memeluk lelaki kecil itu."Ken!" teriak Anjani mewakili jawaban anak kecil itu. "Kenzie namanya."Anjani berjalan mendekat ke arah Zero dan anak itu dengan langkah yang terpingkal-pingkal.Perlahan Zero pun berdiri nanar melihat wajah Anjani yang sangat lebam."Kamu baik-baik saja?" tanya Zero kaku."Entahlah, aku sudah tidak tahu bagaimana rasanya baik-baik saja,""Maafkan aku!" Zero pun mulai membantu Anjani memapah langkahnya hingga sampailah di apartemennya."Tidah usah meminta maaf!" balas Anjani singkat.Sepanjang perjalanan menuju apartemen Anjani, Anak kecil i

DMCA.com Protection Status