NODA CINTA

NODA CINTA

last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-02
Oleh:  El Nurcahyani  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
39 Peringkat. 39 Ulasan-ulasan
12Bab
2.5KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Bagaimana jadinya jika kehormatan direnggut, hanya karena sebuah taruhan dan salah paham. Gendis, seorang karyawati dan pekerja paruh waktu, masa depannya seakan terhenti di usianya yang kini 22 tahun. Tidak ada yang mengetahui siapa pelaku yang telah tega melakukan tindakan tidak senonoh pada Gendis. Hingga akhirnya dia berjuang untuk membesarkan putrinya dalam kebencian. Kejadian yang sangat memalukan dan terbilang keji, membuat hari-hari seorang pemuda dihantui rasa bersalah. Perang batin antara mengakui kesalahannya atau tetap bungkam, mendorong dirinya berani mengambil keputusan. Sejahat-jahatnya manusia, hatinya tetaplah memiliki sisi baik. Pemuda itu berani bertanggung jawab atas perbuatannya, berjuang untuk mengambil hati Gendis dan putrinya. Tak ada yang ingin menjalin hubungan dengan seseorang yang telah merusak masa depan. Perjuangan Gendis untuk tetap melanjutkan masa depan dengan noda dalam hidupnya, perjuangan seorang pemuda yang ingin bertanggung jawab atas kesalahannya. Entah siapa yang akan menang meraih tujuannya.

Lihat lebih banyak

Bab terbaru

Pratinjau Gratis

Trauma Gendis

Bu Warni sedang menangis di dapur, dia tak sanggup lagi menyaksikan keadaan putrinya. Teriakan, tangisan dan pandangan hampa yang terjadi pada putrinya, seakan membuatnya ingin menyerah. Sudah dua minggu ini, tak ada perkembangan dari Gendis, putri semata wayang dari pasangan Bu Warni dan Pak Jaka.Pengobatan medis sampai ala kampung pun sudah dilakukan. Bahkan Pak Ustaz sudah beberapa kali datang, untuk membantu menenangkan Gendis dengan doa – doa.“Bu ... yang sabar,” ucap Pak Jaka yang menyusul istrinya ke dapur. “Jika kita lemah, siapa yang akan menguatkan Gendis?” lanjut Pak Jaka sambil mengusap-usap punggung istrinya.Bu Warni bergeming, nasihat seperti itu sudah sering didengarnya dan tak mengubah apa pun. Sesaat kemudian, Bu Warni beranjak dari tempatnya berdiri, dia mengambil piring kemudian menaruh nasi beserta lauk di dalamnya. Kemudian pergi dari dapur meninggalkan suaminya sendi

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

user avatar
Bumi Senja
lanjut dong kak
2023-05-02 20:32:50
0
user avatar
Langit
ayo lanjut kak
2023-04-12 21:09:28
0
user avatar
Hujan Pemimpi
keren aku suka
2021-10-06 07:32:01
0
user avatar
Cheruu
yuk lanjut kakk, semangatt!
2021-09-29 00:40:51
0
user avatar
Cadburry♥
Lanjut dong yaaa, semangat!
2021-09-24 21:16:30
0
user avatar
Ryuzy_hdr
bagus kak, ditunggu kelanjutannya yaa
2021-09-23 14:53:57
0
user avatar
elhrln
ayo lanjuttt
2021-09-21 06:44:09
0
user avatar
Andi Sasa
Keren banget ditunggu next ya
2021-09-20 22:32:27
0
user avatar
Nicholas Underwood
Bagus sekali Kak.
2021-09-20 10:12:25
0
user avatar
Miss Yuka 85
menarik kak
2021-09-20 09:55:07
0
user avatar
I'm okay
Menarik sekali!
2021-09-20 08:54:59
0
user avatar
Senja99
Semangat kak menarik
2021-09-20 05:25:28
0
user avatar
Penulis Lepas
Crazy up lah
2021-09-20 04:32:40
0
user avatar
Biru Tosca
Bagus... semangat ya ...
2021-09-19 21:37:53
0
user avatar
Intan lestari
Semangat kak ...
2021-09-19 21:00:23
0
  • 1
  • 2
  • 3
12 Bab

Trauma Gendis

Bu Warni sedang menangis di dapur, dia tak sanggup lagi menyaksikan keadaan putrinya. Teriakan, tangisan dan pandangan hampa yang terjadi pada putrinya, seakan membuatnya ingin menyerah. Sudah dua minggu ini, tak ada perkembangan dari Gendis, putri semata wayang dari pasangan Bu Warni dan Pak Jaka. Pengobatan medis sampai ala kampung pun sudah dilakukan. Bahkan Pak Ustaz sudah beberapa kali datang, untuk membantu menenangkan Gendis dengan doa – doa. “Bu ... yang sabar,” ucap Pak Jaka yang menyusul istrinya ke dapur. “Jika kita lemah, siapa yang akan menguatkan Gendis?” lanjut Pak Jaka sambil mengusap-usap punggung istrinya. Bu Warni bergeming, nasihat seperti itu sudah sering didengarnya dan tak mengubah apa pun. Sesaat kemudian, Bu Warni beranjak dari tempatnya berdiri, dia mengambil piring kemudian menaruh nasi beserta lauk di dalamnya. Kemudian pergi dari dapur meninggalkan suaminya sendi
Baca selengkapnya

Gunjingan Tetangga

“Dih, apa-apaan ‘sih, Nita. Kami mencurigakan kenapa? Memangnya kami penjahat?” Beno sewot sendiri. “Haduh ... dasar lemot. Maksud Nita, mereka mungkin saja sadar bahwa kita sengaja berhenti dan pura-pura jajan di sana. Malu dong, kelihatan banget sengaja nguping,” jelas Tata dengan menarik tangan Beno, agar meneruskan langkah mereka. Tata dan temannya sengaja terus berjalan sampai ke ujung jalan pertigaan. Biar mereka menunggu Nita, di tempat pemberhentian angkutan umum saja. Teman-teman Gendis yang ikut menengok itu ada lima orang. Dua laki-laki dan tiga perempuan. Mereka tidak menggunakan motor, karena kebetulan tidak punya. Tidak pula ingin pinjam pada rekan kerja yang lain, karena sungkan berbasa-basi. Sementara itu, Nita sudah berada di warung kopi. Dalam hatinya masih panik, “Aduh ... aku harus beli apa ya? Yang bisa dilayani agak lama. Masa iya harus borong jajanan banyak?&rdqu
Baca selengkapnya

Interogasi Wisesa

“Esa ...,” ucap sang Ibu, menyentuh pundak Wisesa pelan. Bu Yeni kini sudah berada dekat dengan putranya. “Kamu gak mendengar Ibu memanggil dari tadi?” tanya Bu Yeni dengan lembut.  Wisesa hanya mengangguk. Sesekali tangannya melempar beberapa makanan ayam. Tatapannya masih fokus lurus seperti semula. “Kamu dipanggil Bapak, Nak,” lanjut sang ibu. “Ya, Esa ke sana sebentar lagi,” jawab Wisesa dengan tanpa semangat. Bu Yeni mengusap pundak putranya, dengan menghela nafas berat. Kemudian pergi dengan membawa rasa sedih yang tak jelas apa. Bu Yeni bingung untuk mengajak putranya itu bicara yang sebenarnya. Sebab Wisesa selalu menjawab tidak ada apa-apa. Sedangkan bahasa tubuh yang ditunjukkan berbeda. Pak Nana sudah menunggu putra sulungnya di ruang tamu. Melihat kedatangan istrinya, Pak Nana menanyakan keberadaan putranya. Bu Yeni
Baca selengkapnya

Kejujuran Wisesa

Pak Nana sekali lagi meminta putranya, untuk mengatakan apa yang menjadi beban di hati. Kini Wisesa duduk di tengah, di antara kedua orang tuanya. Bu Yeni memberikan minum air mineral hangat untuk Wisesa, agar lebih lega dan ringan untuk berbagi cerita. "Ibu, Bapak, Wisesa telah melakukan dosa besar. Maafkan Wisesa, sekali lagi maaf ...," lirih Wisesa masih dengan suara paraunya. Beban di hati membuat suaranya sedikit tertahan. "Iya, Nak. Ceritakanlah, kami siap mendengarkan cerita apa pun," ucap Bu Yeni yang berada di sebelah kanan Wisesa. Tangan Bu Yeni tak henti mengusap punggung putranya. "Esa ... sudah ...." Seketika Wisesa memeluk ibunya. Tangisnya kembali pecah, "Esa berdosa Bu. Esa ... sudah menodai anak gadis orang ...," ucap Wisesa terbata-bata, dengan suara yang kurang jelas, sebab mukanya tersembunyi pada pundak Bu Yeni. Ditambah lagi suara berat dan parau dari tangisan yang belum sepenuhnya reda.&nbs
Baca selengkapnya

Perlahan Terbuka

Bu Yeni berpindah tempat duduk ke samping kanan Pak Nana. Kini posisi mereka cukup berhadapan, sebab Pak Nana masih membelakangi Wisesa. Disentuhnya tangan lelaki yang sudah menemani hidupnya, selama 26 tahun itu. Dengan lembut Bu Yeni mengusap punggung tangan Pak Nana yang masih terasa kekar, walau kulit sudah mulai terlihat keriput.     Dengan sangat hati-hati, Bu Yeni memulai pembicaraan. Diawali dengan menatap wajah Pak Nana, lekat. “Pak ... tenangkan dulu emosi Bapak,” ucap Bu Yeni dengan mengusap perlahan dada Pak Nana. “Esa memang bersalah, tetapi kita jangan gegabah mengambil keputusan,” lanjut Bu Yeni sedikit ragu berkata, takut sang suami tidak menerima nasihatnya.   “Masih untung tangan ini tak mendarat di pipi dia! Bapak udah gatel,” geram Pak Nana, sambil meremas-remas tangannya.   “Ssst ... istighfar, Pak ...,” ucap Bu Yeni kembali.   Bu Yeni terus mencoba membu
Baca selengkapnya

Penghambat

Bu Warni kembali ke ruang tamu dengan membawa beberapa suguhan. Wajah ayu yang selalu dihias senyum, memberi kesan ramah dan nyaman bagi orang-orang yang berinteraksi dengannya.   Seperti halnya saat ini, sebenarnya Dodi merasa gugup dan takut. Takut salah bicara memberi kesaksian kejadian malam nahas itu. Soalnya Dodi pernah memiliki pengalaman, bersama teman-temannya menolong orang kecelakaan. Bukannya pihak keluarga korban berterima kasih, malah Dodi dan teman-temannya terkena tuduhan.   Zaman sekarang memang susah sekali membedakan antara mencurigai dan hati-hati. Saking hati-hatinya jadi hilang kepercayaan terhadap orang lain.   “Eh ... Supena sudah datang? Ini silakan diminum dulu, sambil nunggu bapak datang,” ucap Bu Warni sambil menyodorkan dua cangkir kopi, dan sepiring pisang goreng. “Ini ada pisang goreng, masih hangat, silakan jangan malu-malu,” ucap Bu Warni kembali.   Walau keluarga Pak
Baca selengkapnya

Malam Nahas

Sepasang suami istri sedang merasa waswas menghadapi tamu yang tak kunjung pamit, sebab waktu sudah semakin sore. Bu Warni bingung cara membuat Bu Diah segera menyelesaikan urusannya. Sedangkan Pak Jaka juga bingung, harus berbasa-basi apa lagi dengan Dodi dan Supena.   “Bagaimana Pak Jaka? Apakah saya sudah bisa menceritakan perihal yang Bapak minta? Maaf, soalnya hari mulai gelap,” ucap Supena, yang sedari tadi hanya diam menyimak.   “Bagaimana ini? Kenapa kebetulan sekali, Bu Diah kemari. Ah ... sudahlah, memang harusnya seperti ini mungkin. Tanpa Bu Diah seorang kompor pun, namanya kejadian di kampung, pasti menyebar juga. Entah bagaimana caranya,” batin Pak Jaka.   “E ... i-iya Boleh. Maaf ya, sebenarnya ... itu ...,” lirih Pak Jaka, sambil menunjuk ke arah belakang dirinya duduk, tepatnya ke arah ruang televisi.   Kemudian Pak Jaka memberi kode dengan mengatupkan semua jari tangan di h
Baca selengkapnya

Kisah Selesai

“Bagaimana? Kamu masih sanggup?” tanya Bu Warni pada putrinya. Gendis yang masih berada di pelukan Bu Warni, mengangguk. Tangannya yang menggenggam tisu, tak lepas dari depan hidungnya menahan tangis.   Dodi menghela nafas sebelum melanjutkan kembali ceritanya, dalam hati merasa iba melihat kondisi Gendis. Salah apa gadis baik yang selalu ramah pada setiap orang ini? Gendis memang pendiam, jarang bergaul, namun dia tak pernah lepas senyum dan menyapa pada setiap orang yang ditemuinya.   “Silakan, Nak Dodi,” perintah Pak Jaka.   Dodi mengangguk, diiringi senyum tipisnya. Sebenarnya dia tak yakin untuk lanjut, sebab melihat kondisi Gendis merasa tak tega untuk kembali membuka kejadian yang sangat buruk.     Kembali Dodi bercerita kejadian malam itu, “Saya meminta Gofar mematikan senter, sebab keadaan Gendis yang ...,” ucap Dodi tak kuasa melanjutkan ceritanya. Namun, Pak Jaka dan Bu Warni mengerti
Baca selengkapnya

Curiga Terhubung

“Apakah kamu bisa mengenali itu parfum milik siapa?” tanya Pak Jaka, pada Gendis.   Gendis diam sejenak, kemudian menggeleng. Pak Jaka pun menarik nafas pasrah. Setidaknya semua sudah terbuka, agar bisa mengambil tindakan ke jalur hukum untuk mencari pelaku.   “Jika sudah tidak ada lagi yang Bapak perlukan pada saya, mungkin ... saya mau pamit, Pak. Tak terasa sudah lewat magrib,” ucap Dodi pada Pak Jaka.   Pak Jaka melihat pada jam dinding yang ada di ruang tamu. “Oh iya, sudah hampir pukul setengah tujuh. Maaf ya, Nak Dodi. Sampai terlewat waktu salat,” ucap Pak Jaka menangkupkan ke dua tangganya di depan dada.    Suara azan magrib memang sudah berkumandang sejak 20 menit yang lalu. Namun, sebab   terlalu fokus mengobrol, mereka sampai lupa dan mengabaikan salat magrib tepat waktu.   Kemudian Pak Jaka mempersilakan Dodi dan Supena yang tadi sudah izin untuk pamit
Baca selengkapnya

Gunjingan

Setelah kepergian Bu Dokter dari kumpulan ibu-ibu yang masih berbelanja, datanglah Bu Diah, dengan wajah semringah dari kejauhan. Sudah tak aneh lagi, jika Bu Diah terlihat sangat ceria dengan jalan sedikit dipercepat, pasti dia membawa berita heboh.   Orang kampung menganggap Bu Diah adalah sumber informasi semua gosip di kampung Cirusuh, seakan dia paling tahu. Entah dari mana dan bagaimana caranya Bu Diah mendapatkan informasi itu. Walau kadang kurang valid, karena terlalu banyak bumbu dalam ceritanya sehingga menjadi gosip panas, walau masalah yang dibahas memanglah benar.   “Tuh ... Bu, ada Bu Diah. Tanyakan saja sama dia, saya juga tahu dari dia. Gendis itu udah kaya orang stes, jiwanya terganggu, tingkahnya kaya anak kecil,” ucap Bu Dijah, memulai gosip sedikit hangat, sebelum dipanaskan sesaat lagi oleh Bu Diah.   Bisik-bisik para ibu yang lain mulai ramai. Rasa penasaran semakin besar, sedangkan Bu Yeni hanya an
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status