“Dih, apa-apaan ‘sih, Nita. Kami mencurigakan kenapa? Memangnya kami penjahat?” Beno sewot sendiri.
“Haduh ... dasar lemot. Maksud Nita, mereka mungkin saja sadar bahwa kita sengaja berhenti dan pura-pura jajan di sana. Malu dong, kelihatan banget sengaja nguping,” jelas Tata dengan menarik tangan Beno, agar meneruskan langkah mereka.
Tata dan temannya sengaja terus berjalan sampai ke ujung jalan pertigaan. Biar mereka menunggu Nita, di tempat pemberhentian angkutan umum saja. Teman-teman Gendis yang ikut menengok itu ada lima orang. Dua laki-laki dan tiga perempuan. Mereka tidak menggunakan motor, karena kebetulan tidak punya. Tidak pula ingin pinjam pada rekan kerja yang lain, karena sungkan berbasa-basi.
Sementara itu, Nita sudah berada di warung kopi. Dalam hatinya masih panik, “Aduh ... aku harus beli apa ya? Yang bisa dilayani agak lama. Masa iya harus borong jajanan banyak?” ucap Nita dalam hatinya.
Bapak-bapak pemilik warung menyapa Nita dengan menanyakan apa yang mau dibelinya. Semakin panik saja Nita, setelah ditanya seperti itu.
Sambil pura-pura melihat-lihat jajanan yang ada di hadapannya, Nita melihat sesuatu yang menurutnya tepat untuk dibeli. “Em ... Pak, itu seblak bukan ya?” tanya Nita, sambil menunjuk pada sudut tempat wadah-wadah, ciri khas makanan yang Nita maksud.
Seblak adalah jajanan ciri khas Jawa Barat, yang akhir-akhir ini sedang digandrungi kalangan remaja. Rasanya yang gurih dan pedas, membuat sensasi tersendiri bagi pencintanya.
“Iya Neng, itu seblak. Neng mau beli?” tanya Bapak pemilik warung.
“Iya Pak, saya mau. Berapaan?”
“Satu wadah gini, Rp.5000,” sahut bapak penjual, sambil menunjukkan ukuran wadah plastik mika.
“Beli tiga ya, Pak,” ucap Nita sambil mengedarkan pandang, melihat tempat yang bisa untuk duduk.
Sayang sekali, Nita tak menemukan tempat duduk yang kosong. Namun, dia memutuskan tak apa berdiri saja, yang penting bisa mendengar warga bergosip.
Sejak tadi Nita baru datang pun, sudah jelas terdengar para warga yang ada di warung tersebut, sedang memperbincangkan tentang musibah yang dialami Gendis. Banyak praduga yang dibahas.
“Dasar, tetangga tukang gosip. Ini lagi bapak-bapak, memangnya tidak ada kerjaan lain apa? Malah ikutan merumpi,” batin Nita kesal. Mereka membicarakan aib orang lain, seperti tidak ada beban. Tak segan-segan apa pun ungkapan dilontarkan, tanpa jelas diketahui kebenarannya.
Sambil mendengarkan gosip, Nita menyempatkan mengirim pesan pada Tata. Nita memberitahu agar sabar menunggu, dia memesan tiga seblak dan gosip yang dia simak rupanya sangat seru.
Perang batin terjadi pada Nita, ketika mendengar salah seorang warga menyebut bahwa Gendis bekerja menjual diri. Warga berpikir seperti itu, sebab Gendis yang sering pulang malam, terkadang sampai pulang di waktu subuh tiba.
Nita tahu kegiatan Gendis yang sesungguhnya, meski tidak banyak tahu seperti Tata sahabatnya. Ingin rasanya Nita ikut nimbrung dan meluruskan fitnah para warga. Namun, keberaniannya tak cukup.
Ada pula yang menyangka bahwa Gendis ditemukan di rumah tua itu, karena dibawa oleh makhluk halus. Semua warga Cirusuh tahu, bahwa rumah kosong itu angker. Sedangkan kejadian malam itu kebetulan malam Jumat, hampir pukul dua belas.
Warga lainnya lagi, menyangka bahwa Gendis depresi, putus dari pacarnya. Anggapan mereka pun masuk akal, sesuai bukti yang mereka lihat. Gendis sering kali pulang kerja diantar oleh seorang pria, menggunakan sepeda motor sampai di depan rumahnya. Namun, akhir-akhir ini sering jalan kaki menuju rumahnya. Berarti, Gendis pulang naik kendaraan umum sampai pertigaan jalan.
Itulah yang Nita simak, selagi menunggu pesanan makanannya jadi dibuat. Nita tak sanggup lagi mendengar ocehan mereka. Terlebih menyaksikan sendiri cara para tetangga Gendis bergosip. Ada yang sampai melotot-melotot matanya, saking semangatnya meyakinkan argumen yang dikatakan, agar orang lain percaya. Ada yang bibirnya miring-miring sinis dan kesan melecehkan. Tak sedikit pula yang beberapa kali bergidik, merendahkan Gendis dan keluarganya.
“Ih ... amit-amit ya, kelakuan Gendis gak nyangka. Anaknya kaya pendiam, jarang gaul. Kalau kejadian pada anakku udah habis ‘tuh. Malu-maluin keluarga,” ucap wanita paruh baya, berbadan kurus, dengan kerudung di kepala asal menempel.
“Sama Teh. Makanya saya sering bilang ke si Desi, kalau pulang kerja malam, tunggu dijemput bapaknya. Jangan mau dianterin cowok, mentang-mentang gratis. Jadi kaya murahan gitu, dibonceng siapa aja mau,” tambah seorang ibu yang sedang menyuapi anak kecil.
Nita hanya melirik sesekali, dia sudah gerah sekali dengan gunjingan para warga. Padahal Gendis yang dibicarakan, tapi Nita ikut nggak terima. Karena yang dibicarakan mereka itu berlebihan. Bahkan setahu Nita, Gendis itu nggak punya pacar dan memang pendiam. Jika kerja tak banyak bicara, jika lagi istirahat ramai-ramai, Gendis paling anteng.
“Ini Neng, seblaknya sudah jadi,” ucap Bapak pemilik warung, sambil menyodorkan pesanan Nita.
“Oh, iya Pak. Ini uangnya. Terima kasih Pak,” ucap Nita, memberikan uang pas dan langsung pergi. Dia tak ingin berlama-lama lagi di sana. Sudah cukup panas telinganya, mendengar obrolan miring warga.
Nita bergegas menuju tempat Tata dan teman-temannya menunggu. Sepanjang jalan, dia terpikir dengan apa yang terjadi pada Gendis. Malang sekali nasib temannya itu. Yang tak habis pikir oleh Nita, kejadian yang Gendis alami tak jelas penyebabnya kenapa. Dalam hati Nita, jika dirinya yang berada di posisi Gendis, mungkin tak akan sanggup. Terlebih kalau sampai Gendis mendengar gosip para warga, mungkin semakin tertekan, stres, benar-benar ujian berat buat hidup Gendis.
Dari kejauhan sudah terlihat Tata dan teman-teman lainnya, sedang menunggu kedatangan Nita. Kebetulan Tata sedang memandang ke arah Nita, yang masih berjalan kearahnya. Kemudian Tata menghampiri Nita, dia tak sabar ingin tahu berita apa yang didapatkan oleh temannya itu.
“Bagaimana, Nit? Sukses?” tanya Tata dengan wajah semringah.
Nita hanya mengangguk, raut wajahnya terlihat kecut. Tata merasa heran dengan ekspresi Nita, dia bisa menebak, pasti baru saja mendapatkan hal buruk. Tata yang tadinya ingin langsung bertanya bagaimana ceritanya, kini niatnya diurungkan. Biarkan saja menunggu suasana hati Nita membaik.
Sampailah pada kumpulan teman lainnya, mereka pun memberondong Nita dengan berbagai pertanyaan. Namun, Tata memberi kode agar mereka pada diam, jangan dulu banyak pertanyaan.
“Kayanya, gak baik ‘deh bicara di sini,” ucap Nita, nada bicaranya seperti orang lemas.
Tata sudah paham akan reaksi Nita, pasti berita buruk. Namun, bagi Beno dan lainnya, mereka saling tatap merasa penasaran.
“Ya udah, gimana kalau nanti setelah pulang kerja, kita ke taman aja dulu. Sambil ngobrol, bisa santai juga menikmati sore,” saran Tata, yang kemudian disetujui teman-temannya.
Teriakan kernet angkutan umum, membuyarkan kekhawatiran pada Tata dan temannya. Mereka kemudian naik angkutan tersebut, di dalam angkot tak ada yang bersuara sedikit pun. Mereka menikmati perjalanan, dengan suasana kota Sukabumi yang cukup padat menjelang sore.
***
Di tempat yang berbeda, seorang pemuda dengan penampilan kaus oblong warna abu, celana panjang katun hitam, sedang memberi makan ayam di pekarangan yang teduh dengan pepohonan. Posisinya yang duduk pada sebuah saung bambu, dengan kaki menjuntai kadang digoyang-goyangkan, sebab duduk pada bangku bambu yang sedikit tinggi.
Angin semilir mengibas-ngibaskan rambutnya yang hitam, lurus, halus, sehingga seperti terkesan berponi ala-ala aktor Korea. Wisesa, pemuda berusia dua puluh lima tahun, yang sehari-harinya berjualan sayuran di pasar. Dia sedang menikmati hari sorenya, bersama riuhnya suara ayam-ayam, yang berebut mematuk makanan.
Tak sadar beberapa kali Wisesa dipanggil ibunya. Namun, tetap bergeming, tatapannya fokus tertuju pada ayam-ayam yang tak pernah berhenti mematuk. Akan tetapi jika diamati, sorot mata Wisesa tak bergairah, tatapan kosong, mungkin saja pikirannya juga sedang berkelana.
Keadaannya yang terlihat lesu, tak menghilangkan gurat wajahnya yang manis. Wajah ciri khas pria Sunda kebanyakan. Kebetulan kulit Wisesa bersih, meski tak putih, bisa dikata sawo matang. Hidung yang sedikit mancung, bentuk mata tegas, alis cukup lebat, dan bentuk bibir standar berwarna terang. Sebab Wisesa tak merokok, sehingga warna bibirnya tidak gelap, atau bisa dikatakan hitam.
Menambahkan kesan manis dari Wisesa adalah, dia memiliki tahi lalat di dekat pangkal alisnya, seperti orang India jika menggunakan titik di kening. Namun, tahi lalat yang di miliki Wisesa posisinya tidak tepat berada di tengah.
Saking fokusnya dengan lamunannya, Wisesa tak menyadari, jika ada seseorang yang sedang menghampirinya.
Bersambung....
“Esa ...,” ucap sang Ibu, menyentuh pundak Wisesa pelan. Bu Yeni kini sudah berada dekat dengan putranya. “Kamu gak mendengar Ibu memanggil dari tadi?” tanya Bu Yeni dengan lembut.Wisesa hanya mengangguk. Sesekali tangannya melempar beberapa makanan ayam. Tatapannya masih fokus lurus seperti semula.“Kamu dipanggil Bapak, Nak,” lanjut sang ibu.“Ya, Esa ke sana sebentar lagi,” jawab Wisesa dengan tanpa semangat.Bu Yeni mengusap pundak putranya, dengan menghela nafas berat. Kemudian pergi dengan membawa rasa sedih yang tak jelas apa. Bu Yeni bingung untuk mengajak putranya itu bicara yang sebenarnya. Sebab Wisesa selalu menjawab tidak ada apa-apa. Sedangkan bahasa tubuh yang ditunjukkan berbeda.Pak Nana sudah menunggu putra sulungnya di ruang tamu. Melihat kedatangan istrinya, Pak Nana menanyakan keberadaan putranya. Bu Yeni
Pak Nana sekali lagi meminta putranya, untuk mengatakan apa yang menjadi beban di hati. Kini Wisesa duduk di tengah, di antara kedua orang tuanya. Bu Yeni memberikan minum air mineral hangat untuk Wisesa, agar lebih lega dan ringan untuk berbagi cerita."Ibu, Bapak, Wisesa telah melakukan dosa besar. Maafkan Wisesa, sekali lagi maaf ...," lirih Wisesa masih dengan suara paraunya. Beban di hati membuat suaranya sedikit tertahan."Iya, Nak. Ceritakanlah, kami siap mendengarkan cerita apa pun," ucap Bu Yeni yang berada di sebelah kanan Wisesa. Tangan Bu Yeni tak henti mengusap punggung putranya."Esa ... sudah ...." Seketika Wisesa memeluk ibunya. Tangisnya kembali pecah, "Esa berdosa Bu. Esa ... sudah menodai anak gadis orang ...," ucap Wisesa terbata-bata, dengan suara yang kurang jelas, sebab mukanya tersembunyi pada pundak Bu Yeni. Ditambah lagi suara berat dan parau dari tangisan yang belum sepenuhnya reda.&nbs
Bu Yeni berpindah tempat duduk ke samping kanan Pak Nana. Kini posisi mereka cukup berhadapan, sebab Pak Nana masih membelakangi Wisesa. Disentuhnya tangan lelaki yang sudah menemani hidupnya, selama 26 tahun itu. Dengan lembut Bu Yeni mengusap punggung tangan Pak Nana yang masih terasa kekar, walau kulit sudah mulai terlihat keriput. Dengan sangat hati-hati, Bu Yeni memulai pembicaraan. Diawali dengan menatap wajah Pak Nana, lekat. “Pak ... tenangkan dulu emosi Bapak,” ucap Bu Yeni dengan mengusap perlahan dada Pak Nana. “Esa memang bersalah, tetapi kita jangan gegabah mengambil keputusan,” lanjut Bu Yeni sedikit ragu berkata, takut sang suami tidak menerima nasihatnya. “Masih untung tangan ini tak mendarat di pipi dia! Bapak udah gatel,” geram Pak Nana, sambil meremas-remas tangannya. “Ssst ... istighfar, Pak ...,” ucap Bu Yeni kembali. Bu Yeni terus mencoba membu
Bu Warni kembali ke ruang tamu dengan membawa beberapa suguhan. Wajah ayu yang selalu dihias senyum, memberi kesan ramah dan nyaman bagi orang-orang yang berinteraksi dengannya. Seperti halnya saat ini, sebenarnya Dodi merasa gugup dan takut. Takut salah bicara memberi kesaksian kejadian malam nahas itu. Soalnya Dodi pernah memiliki pengalaman, bersama teman-temannya menolong orang kecelakaan. Bukannya pihak keluarga korban berterima kasih, malah Dodi dan teman-temannya terkena tuduhan. Zaman sekarang memang susah sekali membedakan antara mencurigai dan hati-hati. Saking hati-hatinya jadi hilang kepercayaan terhadap orang lain. “Eh ... Supena sudah datang? Ini silakan diminum dulu, sambil nunggu bapak datang,” ucap Bu Warni sambil menyodorkan dua cangkir kopi, dan sepiring pisang goreng. “Ini ada pisang goreng, masih hangat, silakan jangan malu-malu,” ucap Bu Warni kembali. Walau keluarga Pak
Sepasang suami istri sedang merasa waswas menghadapi tamu yang tak kunjung pamit, sebab waktu sudah semakin sore. Bu Warni bingung cara membuat Bu Diah segera menyelesaikan urusannya. Sedangkan Pak Jaka juga bingung, harus berbasa-basi apa lagi dengan Dodi dan Supena. “Bagaimana Pak Jaka? Apakah saya sudah bisa menceritakan perihal yang Bapak minta? Maaf, soalnya hari mulai gelap,” ucap Supena, yang sedari tadi hanya diam menyimak. “Bagaimana ini? Kenapa kebetulan sekali, Bu Diah kemari. Ah ... sudahlah, memang harusnya seperti ini mungkin. Tanpa Bu Diah seorang kompor pun, namanya kejadian di kampung, pasti menyebar juga. Entah bagaimana caranya,” batin Pak Jaka. “E ... i-iya Boleh. Maaf ya, sebenarnya ... itu ...,” lirih Pak Jaka, sambil menunjuk ke arah belakang dirinya duduk, tepatnya ke arah ruang televisi. Kemudian Pak Jaka memberi kode dengan mengatupkan semua jari tangan di h
“Bagaimana? Kamu masih sanggup?” tanya Bu Warni pada putrinya. Gendis yang masih berada di pelukan Bu Warni, mengangguk. Tangannya yang menggenggam tisu, tak lepas dari depan hidungnya menahan tangis. Dodi menghela nafas sebelum melanjutkan kembali ceritanya, dalam hati merasa iba melihat kondisi Gendis. Salah apa gadis baik yang selalu ramah pada setiap orang ini? Gendis memang pendiam, jarang bergaul, namun dia tak pernah lepas senyum dan menyapa pada setiap orang yang ditemuinya. “Silakan, Nak Dodi,” perintah Pak Jaka. Dodi mengangguk, diiringi senyum tipisnya. Sebenarnya dia tak yakin untuk lanjut, sebab melihat kondisi Gendis merasa tak tega untuk kembali membuka kejadian yang sangat buruk. Kembali Dodi bercerita kejadian malam itu, “Saya meminta Gofar mematikan senter, sebab keadaan Gendis yang ...,” ucap Dodi tak kuasa melanjutkan ceritanya. Namun, Pak Jaka dan Bu Warni mengerti
“Apakah kamu bisa mengenali itu parfum milik siapa?” tanya Pak Jaka, pada Gendis. Gendis diam sejenak, kemudian menggeleng. Pak Jaka pun menarik nafas pasrah. Setidaknya semua sudah terbuka, agar bisa mengambil tindakan ke jalur hukum untuk mencari pelaku. “Jika sudah tidak ada lagi yang Bapak perlukan pada saya, mungkin ... saya mau pamit, Pak. Tak terasa sudah lewat magrib,” ucap Dodi pada Pak Jaka. Pak Jaka melihat pada jam dinding yang ada di ruang tamu. “Oh iya, sudah hampir pukul setengah tujuh. Maaf ya, Nak Dodi. Sampai terlewat waktu salat,” ucap Pak Jaka menangkupkan ke dua tangganya di depan dada. Suara azan magrib memang sudah berkumandang sejak 20 menit yang lalu. Namun, sebab terlalu fokus mengobrol, mereka sampai lupa dan mengabaikan salat magrib tepat waktu. Kemudian Pak Jaka mempersilakan Dodi dan Supena yang tadi sudah izin untuk pamit
Setelah kepergian Bu Dokter dari kumpulan ibu-ibu yang masih berbelanja, datanglah Bu Diah, dengan wajah semringah dari kejauhan. Sudah tak aneh lagi, jika Bu Diah terlihat sangat ceria dengan jalan sedikit dipercepat, pasti dia membawa berita heboh. Orang kampung menganggap Bu Diah adalah sumber informasi semua gosip di kampung Cirusuh, seakan dia paling tahu. Entah dari mana dan bagaimana caranya Bu Diah mendapatkan informasi itu. Walau kadang kurang valid, karena terlalu banyak bumbu dalam ceritanya sehingga menjadi gosip panas, walau masalah yang dibahas memanglah benar. “Tuh ... Bu, ada Bu Diah. Tanyakan saja sama dia, saya juga tahu dari dia. Gendis itu udah kaya orang stes, jiwanya terganggu, tingkahnya kaya anak kecil,” ucap Bu Dijah, memulai gosip sedikit hangat, sebelum dipanaskan sesaat lagi oleh Bu Diah. Bisik-bisik para ibu yang lain mulai ramai. Rasa penasaran semakin besar, sedangkan Bu Yeni hanya an
Hari itu tiba, Jumat pagi pukul delapan yang cerah namun penuh ketegangan. Wisesa, bersama kedua orang tuanya, berangkat menuju rumah Bu Warni. Di balik sikap tenang ayah dan ibunya, Wisesa merasakan detak jantungnya memukul lebih cepat dari biasanya. Nafasnya tak teratur, seolah udara enggan memasuki paru-parunya dengan sempurna. Ada sesuatu dalam hatinya yang meronta, mendesaknya untuk kabur, untuk menghindari konfrontasi ini. Namun, ia tahu, ini adalah konsekuensi dari perbuatannya. Keberanian yang dipaksakannya kini terasa rapuh, seperti daun yang siap tertiup angin, tetapi dia tetap bertahan.Rumah Bu Warni tampak biasa saja dari luar, dikelilingi oleh pagar kayu yang sedikit tua, dengan tanaman rambat yang menjalar di bagian depan. Udara pagi yang sejuk di hari Jumat itu kontras dengan keringat dingin yang mengalir di dahi Wisesa. Setiap langkah menuju pintu rumah itu terasa berat, seolah kakinya terikat oleh beban kesalahan yang tak terkatakan. Ibunya, Bu Yeni, berdiri di depan
BAB 11 KEPUTUSAN Sepulangnya Wisesa dari pasar, Bu Yeni suda bersiap untuk membahas tentang Gendis. Namun, Bu Yeni menunggu putranya tenang dulu, setidaknya istirahat sejenak. Bu Yeni juga berbasa-basi pada putranya tentang jualan hari ini, dengan begitu dia tahu suasana hati Wisesa. Jika di pasar tidak terlalu laris jualannya, atau takutnya ada kejadian apa, Bu Yeni mungkin akan menunda bahasan tentang Gendis. Pokoknya sangat hati-hati sekali untuk mengajak Wisesa bicara, dikarenakan hal ini harus segera dituntaskan, jangan sampai membuat suasana hati Wisesa tidak baik. Sebab hal itu akan membuat terusnya pembahasan tertunda. Magrib pun tiba, seperti biasa Wisesa pergi ke masjid bersama Bapaknya. Sepulang dari masjid, Pak Nana mengajak putranya untuk duduk di ruang makan. Bukan untuk niat makan malam, akan tetapi membahas tentang Gendis. Kenapa tidak berbicara di ruang tamu atau
Setelah kepergian Bu Dokter dari kumpulan ibu-ibu yang masih berbelanja, datanglah Bu Diah, dengan wajah semringah dari kejauhan. Sudah tak aneh lagi, jika Bu Diah terlihat sangat ceria dengan jalan sedikit dipercepat, pasti dia membawa berita heboh. Orang kampung menganggap Bu Diah adalah sumber informasi semua gosip di kampung Cirusuh, seakan dia paling tahu. Entah dari mana dan bagaimana caranya Bu Diah mendapatkan informasi itu. Walau kadang kurang valid, karena terlalu banyak bumbu dalam ceritanya sehingga menjadi gosip panas, walau masalah yang dibahas memanglah benar. “Tuh ... Bu, ada Bu Diah. Tanyakan saja sama dia, saya juga tahu dari dia. Gendis itu udah kaya orang stes, jiwanya terganggu, tingkahnya kaya anak kecil,” ucap Bu Dijah, memulai gosip sedikit hangat, sebelum dipanaskan sesaat lagi oleh Bu Diah. Bisik-bisik para ibu yang lain mulai ramai. Rasa penasaran semakin besar, sedangkan Bu Yeni hanya an
“Apakah kamu bisa mengenali itu parfum milik siapa?” tanya Pak Jaka, pada Gendis. Gendis diam sejenak, kemudian menggeleng. Pak Jaka pun menarik nafas pasrah. Setidaknya semua sudah terbuka, agar bisa mengambil tindakan ke jalur hukum untuk mencari pelaku. “Jika sudah tidak ada lagi yang Bapak perlukan pada saya, mungkin ... saya mau pamit, Pak. Tak terasa sudah lewat magrib,” ucap Dodi pada Pak Jaka. Pak Jaka melihat pada jam dinding yang ada di ruang tamu. “Oh iya, sudah hampir pukul setengah tujuh. Maaf ya, Nak Dodi. Sampai terlewat waktu salat,” ucap Pak Jaka menangkupkan ke dua tangganya di depan dada. Suara azan magrib memang sudah berkumandang sejak 20 menit yang lalu. Namun, sebab terlalu fokus mengobrol, mereka sampai lupa dan mengabaikan salat magrib tepat waktu. Kemudian Pak Jaka mempersilakan Dodi dan Supena yang tadi sudah izin untuk pamit
“Bagaimana? Kamu masih sanggup?” tanya Bu Warni pada putrinya. Gendis yang masih berada di pelukan Bu Warni, mengangguk. Tangannya yang menggenggam tisu, tak lepas dari depan hidungnya menahan tangis. Dodi menghela nafas sebelum melanjutkan kembali ceritanya, dalam hati merasa iba melihat kondisi Gendis. Salah apa gadis baik yang selalu ramah pada setiap orang ini? Gendis memang pendiam, jarang bergaul, namun dia tak pernah lepas senyum dan menyapa pada setiap orang yang ditemuinya. “Silakan, Nak Dodi,” perintah Pak Jaka. Dodi mengangguk, diiringi senyum tipisnya. Sebenarnya dia tak yakin untuk lanjut, sebab melihat kondisi Gendis merasa tak tega untuk kembali membuka kejadian yang sangat buruk. Kembali Dodi bercerita kejadian malam itu, “Saya meminta Gofar mematikan senter, sebab keadaan Gendis yang ...,” ucap Dodi tak kuasa melanjutkan ceritanya. Namun, Pak Jaka dan Bu Warni mengerti
Sepasang suami istri sedang merasa waswas menghadapi tamu yang tak kunjung pamit, sebab waktu sudah semakin sore. Bu Warni bingung cara membuat Bu Diah segera menyelesaikan urusannya. Sedangkan Pak Jaka juga bingung, harus berbasa-basi apa lagi dengan Dodi dan Supena. “Bagaimana Pak Jaka? Apakah saya sudah bisa menceritakan perihal yang Bapak minta? Maaf, soalnya hari mulai gelap,” ucap Supena, yang sedari tadi hanya diam menyimak. “Bagaimana ini? Kenapa kebetulan sekali, Bu Diah kemari. Ah ... sudahlah, memang harusnya seperti ini mungkin. Tanpa Bu Diah seorang kompor pun, namanya kejadian di kampung, pasti menyebar juga. Entah bagaimana caranya,” batin Pak Jaka. “E ... i-iya Boleh. Maaf ya, sebenarnya ... itu ...,” lirih Pak Jaka, sambil menunjuk ke arah belakang dirinya duduk, tepatnya ke arah ruang televisi. Kemudian Pak Jaka memberi kode dengan mengatupkan semua jari tangan di h
Bu Warni kembali ke ruang tamu dengan membawa beberapa suguhan. Wajah ayu yang selalu dihias senyum, memberi kesan ramah dan nyaman bagi orang-orang yang berinteraksi dengannya. Seperti halnya saat ini, sebenarnya Dodi merasa gugup dan takut. Takut salah bicara memberi kesaksian kejadian malam nahas itu. Soalnya Dodi pernah memiliki pengalaman, bersama teman-temannya menolong orang kecelakaan. Bukannya pihak keluarga korban berterima kasih, malah Dodi dan teman-temannya terkena tuduhan. Zaman sekarang memang susah sekali membedakan antara mencurigai dan hati-hati. Saking hati-hatinya jadi hilang kepercayaan terhadap orang lain. “Eh ... Supena sudah datang? Ini silakan diminum dulu, sambil nunggu bapak datang,” ucap Bu Warni sambil menyodorkan dua cangkir kopi, dan sepiring pisang goreng. “Ini ada pisang goreng, masih hangat, silakan jangan malu-malu,” ucap Bu Warni kembali. Walau keluarga Pak
Bu Yeni berpindah tempat duduk ke samping kanan Pak Nana. Kini posisi mereka cukup berhadapan, sebab Pak Nana masih membelakangi Wisesa. Disentuhnya tangan lelaki yang sudah menemani hidupnya, selama 26 tahun itu. Dengan lembut Bu Yeni mengusap punggung tangan Pak Nana yang masih terasa kekar, walau kulit sudah mulai terlihat keriput. Dengan sangat hati-hati, Bu Yeni memulai pembicaraan. Diawali dengan menatap wajah Pak Nana, lekat. “Pak ... tenangkan dulu emosi Bapak,” ucap Bu Yeni dengan mengusap perlahan dada Pak Nana. “Esa memang bersalah, tetapi kita jangan gegabah mengambil keputusan,” lanjut Bu Yeni sedikit ragu berkata, takut sang suami tidak menerima nasihatnya. “Masih untung tangan ini tak mendarat di pipi dia! Bapak udah gatel,” geram Pak Nana, sambil meremas-remas tangannya. “Ssst ... istighfar, Pak ...,” ucap Bu Yeni kembali. Bu Yeni terus mencoba membu
Pak Nana sekali lagi meminta putranya, untuk mengatakan apa yang menjadi beban di hati. Kini Wisesa duduk di tengah, di antara kedua orang tuanya. Bu Yeni memberikan minum air mineral hangat untuk Wisesa, agar lebih lega dan ringan untuk berbagi cerita."Ibu, Bapak, Wisesa telah melakukan dosa besar. Maafkan Wisesa, sekali lagi maaf ...," lirih Wisesa masih dengan suara paraunya. Beban di hati membuat suaranya sedikit tertahan."Iya, Nak. Ceritakanlah, kami siap mendengarkan cerita apa pun," ucap Bu Yeni yang berada di sebelah kanan Wisesa. Tangan Bu Yeni tak henti mengusap punggung putranya."Esa ... sudah ...." Seketika Wisesa memeluk ibunya. Tangisnya kembali pecah, "Esa berdosa Bu. Esa ... sudah menodai anak gadis orang ...," ucap Wisesa terbata-bata, dengan suara yang kurang jelas, sebab mukanya tersembunyi pada pundak Bu Yeni. Ditambah lagi suara berat dan parau dari tangisan yang belum sepenuhnya reda.&nbs