Beranda / Romansa / NODA CINTA / Malam Nahas

Share

Malam Nahas

Penulis: El Nurcahyani
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Sepasang suami istri sedang merasa waswas menghadapi tamu yang tak kunjung pamit, sebab waktu sudah semakin sore. Bu Warni bingung cara membuat Bu Diah segera menyelesaikan urusannya. Sedangkan Pak Jaka juga bingung, harus berbasa-basi apa lagi dengan Dodi dan Supena.

“Bagaimana Pak Jaka? Apakah saya sudah bisa menceritakan perihal yang Bapak minta? Maaf, soalnya hari mulai gelap,” ucap Supena, yang sedari tadi hanya diam menyimak.

“Bagaimana ini? Kenapa kebetulan sekali, Bu Diah kemari. Ah ... sudahlah, memang harusnya seperti ini mungkin. Tanpa Bu Diah seorang kompor pun, namanya kejadian di kampung, pasti menyebar juga. Entah bagaimana caranya,” batin Pak Jaka.

“E ... i-iya Boleh. Maaf ya, sebenarnya ... itu ...,” lirih Pak Jaka, sambil menunjuk ke arah belakang dirinya duduk, tepatnya ke arah ruang televisi.

Kemudian Pak Jaka memberi kode dengan mengatupkan semua jari tangan di hadapannya, lalu digerakkan buka tutup. Seperti mulut yang sedang bicara.

Dodi dan Supena akhirnya paham, kenapa dari tadi Pak Jaka malah mengobrol ke sana ke mari. Memang sudah pada tahu sekampung Cirusuh, tentang mulut embernya Bu Diah. Apalagi, berita yang menyebar sering kali lebih heboh dari sebenarnya. Banyak sekali bumbu-bumbu ditambahkan agar lebih mantap untuk jadi bahan gosip.

“Bu, ini 'loh Dodi sudah nungguin,” Pak Jaka sengaja mengingatkan istrinya, padahal itu hanya sandiwara. Berharap Bu Diah peka bahwa Bu Warni sedang sibuk.

“Iya, Pak. Sebentar lagi!” seru Bu Warni dari ruang teve. Bu Warni pun agak melirik ke arah Bu Diah. Namun, tidak ada reaksi yang diharapkan. Bu Diah masih santai dengan mengamati baju yang ada di tangannya.

“Astagfirullah ... Bu Diah ini ....!” geram Bu Warni dalam hati.

Pak Jaka berdiri dari duduknya, dia menghampiri Gendis untuk mengingatkan bahwa hari ini Gendis harus siap diajak mengobrol bersama. Sesuai janjinya tempo hari.  

Gendis yang memang sudah mulai tenang, dapat diajak komunikasi dengan baik, dia mengangguk dan mengekor Pak Jaka ikut ke depan. Pak Jaka juga sengaja melakukan hal itu, biar Bu Diah merasa bahwa kedatangan dirinya memang dalam waktu yang tidak tepat.

Pak Jaka membawa kursi lain, sebab sofa yang tadi untuk dirinya duduk, sekarang ditempati Gendis.

Bu Diah, sedikit melirik-lirik ke arah ruang tamu. Sesekali sambil mengajak bicara Bu Warni, pura-pura sibuk. “Oh ya, Bu. Saya juga mau jahit baju lagi, yang model seperti ini ‘loh,” ucap Bu Diah, yang kemudian menunjukkan sebuah model pakaian dari galeri ponselnya.

Bu Warni mau tidak mau merespons Bu Diah dengan memaksakan senyum dan respons yang hangat, bertolak belakang dengan hatinya yang sudah gemas ingin segera Bu Diah pergi.

Sedangkan di ruang tamu, Pak Jaka mulai membahas tentang kejadian yang menimpa Gendis. Sebelumnya Pak Jaka juga memperkenalkan kembali siapa Dodi dan Supena, pada Gendis. Bukan Gendis tidak mengenal mereka, tapi hanya untuk mengetahui apakah Gendis sudah benar-benar bisa diajak komunikasi dengan baik atau tidak.

Walau pun Gendis hanya merespons dengan anggukkan, Pak Jaka merasa lega. Berarti keadaan Gendis memang sudah semakin baik.

“Silakan Nak Dodi, Supena, siapa yang akan bercerita. Dimulai saja,” ucap Pak Jaka.

Dodi dan Supena saling memandang, seakan mencari kesepakatan, siapa yang akan bercerita. Kemudian Supena menyodorkan tangannya dengan telapak tangan terbuka ke arah Dodi, pertanda ia mempersilakan agar Dodi saja yang bercerita.

“Ekhem ...,” Dodi berdeham, sebelum memulai ceritanya. “Pak Jaka, saya yang akan bercerita tentang kejadian itu. Gendis semangat! Kita harus membuat terang kasus ini,” Dodi mencoba support Gendis.

Pak Jaka yang berada di samping Gendis, mengusap lengan putrinya itu. Gendis kemudian mengangguk, merespons semangat dari Dodi.

Bertepatan Dodi mau memulai ceritanya. Terdengar suara ponsel berdering, rupanya itu milik Bu Diah. Setelah dia menerima panggilan tersebut kemudian berpamitan pulang pada Bu Warni. Rupanya itu dari suaminya yang meminta Bu Diah untuk segera pulang.

Bu Warni mengantar kepergian Bu Dihan sampai pintu ke luar. Terlihat sekali Bu Diah seakan enggan untuk pulang, dia tersenyum sebentar ke ara Pak Jaka, sambil mengangguk tanda pamit. Disempatkan juga melihat ke arah Supena dan Dodi.

Setelah kepergian Bu Diah, Bu Warni gabung bersama Pak Jaka dan kedua tamunya. “Maaf ya, Nak Dodi, Supena, jadi nunggu lama. Silakan lanjut,” ucap Bu Warni yang kini duduk di sebelah Warni. Bertukar tempat dengan Pak Jaka. Yang kini Pak Jaka duduk di sofa kecil dekat pintu ke luar.

“Baiklah Pak Jaka, Bu Warni, saya akan menceritakan kejadian nahas malam itu. Insya Allah, saya bercerita apa adanya, tidak dikurangkan atau dilebihkan,” ucap Dodi, sebelum pada inti ceritanya.

Dodi mulai menceritakan kejadian yang berawal dari dia dan teman-temannya sedang melakukan ronda keliling, tiga Minggu yang lalu. Tepatnya malam Jumat, saat gerimis tipis melengkapi udara dingin orang-orang yang meronda malam itu.

Sesuai jadwal kegiatan ronda RT 22/04 kampung Cirusuh, hari kamis – malam Jumat-- adalah tugas ronda bagi Dodi, Supena dan kawan-kawan. Pada pukul 11 malam, mereka mulai keliling kampung putaran pertama.

Ketika rombongan Dodi sampai di wilayah rumah kosong, yang selama ini dianggap angker oleh warga, mereka merasakan ada yang aneh. Walau malam itu cukup gelap, namun mereka merasakan ada bayangan dari dalam rumah kosong tersebut. Sebab, tepat di dekat rumah kosong itu ada lampu marka jalan, yang cahayanya cukup memberikan penerangan.

Dodi dan teman-temannya mengamati rumah kosong itu. Dengan mengendap serta waspada, takutnya yang mereka datangi adalah bahaya yang dapat mencelakakan. Semakin dekat pada rumah kosong itu, semakin terdengar suara gesekan benda, dan seperti ada suara yang melenguh.

Pak Jaka menyela Dodi yang masih menceritakan kejadian itu. “Jadi, kamu dan rekan mencurigai rumah kosong itu, bukan karena suara tangisnya, Gendis?”

“Bukan, Pak. Kami tidak mendengar tangisan sama sekali,” jawab Supena.

Pak Jaka mangut-mangut dengan tatapan mengarah pada Gendis. Sedangkan Bu Warni melingkarkan tangannya pada bahu Gendis, sesekali mengusap, memberi ketenangan.

Kemudian Dodi melanjutkan kembali ceritanya. Saat kelompok ronda sampai di dalam rumah kosong, di antara mereka mungkin ada yang menyenggol benda, mungkin saja kayu yang terjatuh. Kemudian melihat sekelebat orang berlari ke arah belakang rumah kosong itu.

Dua orang dari kelompok ronda tersebut niatnya mau mengejar sosok yang kabur itu. Namun, Supena berseru melihat keadaan Gendis yang tak berdaya. Sepertinya Gendis memang menangis, tapi karena keadaannya sangat lemah, hampir tak terdengar suara tangisannya.

“Gofar, sarung ...!” seru Supena.

Gofar dan satu temannya yang belum jauh mengejar orang itu, berhenti seketika. Mereka bingung antara lanjut mengejar pelaku, atau kembali ke TKP karena panggilan Supena. Akhirnya mereka balik arah.

“Ada apa Supena?” tanya Gofar dengan nafas tersengal.

“Matikan senternya,” perintah Dodi yang posisinya membelakangi Gendis.

Saat Dodi masih bercerita tentang malam nahas itu, tiba-tiba Gendis terisak semakin mengeratkan pelukan, dia memiringkan badan pada ibunya. Bu Warni memeluk Gendis, mencium pucuk kepala putrinya. Bu Warni merasakan luka Gendis yang kembali menganga mengingat kembali kejadian pahit itu. Namun, Gendis mencoba tegar, sebab ingin menuntaskan kasusnya.

Dodi pun jadi ikut diam, dia belum berani melanjutkan ceritanya, sebelum melihat Gendis agak tenang.

Bersambung....

Bab terkait

  • NODA CINTA   Kisah Selesai

    “Bagaimana? Kamu masih sanggup?” tanya Bu Warni pada putrinya. Gendis yang masih berada di pelukan Bu Warni, mengangguk. Tangannya yang menggenggam tisu, tak lepas dari depan hidungnya menahan tangis. Dodi menghela nafas sebelum melanjutkan kembali ceritanya, dalam hati merasa iba melihat kondisi Gendis. Salah apa gadis baik yang selalu ramah pada setiap orang ini? Gendis memang pendiam, jarang bergaul, namun dia tak pernah lepas senyum dan menyapa pada setiap orang yang ditemuinya. “Silakan, Nak Dodi,” perintah Pak Jaka. Dodi mengangguk, diiringi senyum tipisnya. Sebenarnya dia tak yakin untuk lanjut, sebab melihat kondisi Gendis merasa tak tega untuk kembali membuka kejadian yang sangat buruk. Kembali Dodi bercerita kejadian malam itu, “Saya meminta Gofar mematikan senter, sebab keadaan Gendis yang ...,” ucap Dodi tak kuasa melanjutkan ceritanya. Namun, Pak Jaka dan Bu Warni mengerti

  • NODA CINTA   Curiga Terhubung

    “Apakah kamu bisa mengenali itu parfum milik siapa?” tanya Pak Jaka, pada Gendis. Gendis diam sejenak, kemudian menggeleng. Pak Jaka pun menarik nafas pasrah. Setidaknya semua sudah terbuka, agar bisa mengambil tindakan ke jalur hukum untuk mencari pelaku. “Jika sudah tidak ada lagi yang Bapak perlukan pada saya, mungkin ... saya mau pamit, Pak. Tak terasa sudah lewat magrib,” ucap Dodi pada Pak Jaka. Pak Jaka melihat pada jam dinding yang ada di ruang tamu. “Oh iya, sudah hampir pukul setengah tujuh. Maaf ya, Nak Dodi. Sampai terlewat waktu salat,” ucap Pak Jaka menangkupkan ke dua tangganya di depan dada. Suara azan magrib memang sudah berkumandang sejak 20 menit yang lalu. Namun, sebab terlalu fokus mengobrol, mereka sampai lupa dan mengabaikan salat magrib tepat waktu. Kemudian Pak Jaka mempersilakan Dodi dan Supena yang tadi sudah izin untuk pamit

  • NODA CINTA   Gunjingan

    Setelah kepergian Bu Dokter dari kumpulan ibu-ibu yang masih berbelanja, datanglah Bu Diah, dengan wajah semringah dari kejauhan. Sudah tak aneh lagi, jika Bu Diah terlihat sangat ceria dengan jalan sedikit dipercepat, pasti dia membawa berita heboh. Orang kampung menganggap Bu Diah adalah sumber informasi semua gosip di kampung Cirusuh, seakan dia paling tahu. Entah dari mana dan bagaimana caranya Bu Diah mendapatkan informasi itu. Walau kadang kurang valid, karena terlalu banyak bumbu dalam ceritanya sehingga menjadi gosip panas, walau masalah yang dibahas memanglah benar. “Tuh ... Bu, ada Bu Diah. Tanyakan saja sama dia, saya juga tahu dari dia. Gendis itu udah kaya orang stes, jiwanya terganggu, tingkahnya kaya anak kecil,” ucap Bu Dijah, memulai gosip sedikit hangat, sebelum dipanaskan sesaat lagi oleh Bu Diah. Bisik-bisik para ibu yang lain mulai ramai. Rasa penasaran semakin besar, sedangkan Bu Yeni hanya an

  • NODA CINTA   Keputusan

    BAB 11 KEPUTUSAN Sepulangnya Wisesa dari pasar, Bu Yeni suda bersiap untuk membahas tentang Gendis. Namun, Bu Yeni menunggu putranya tenang dulu, setidaknya istirahat sejenak. Bu Yeni juga berbasa-basi pada putranya tentang jualan hari ini, dengan begitu dia tahu suasana hati Wisesa. Jika di pasar tidak terlalu laris jualannya, atau takutnya ada kejadian apa, Bu Yeni mungkin akan menunda bahasan tentang Gendis. Pokoknya sangat hati-hati sekali untuk mengajak Wisesa bicara, dikarenakan hal ini harus segera dituntaskan, jangan sampai membuat suasana hati Wisesa tidak baik. Sebab hal itu akan membuat terusnya pembahasan tertunda. Magrib pun tiba, seperti biasa Wisesa pergi ke masjid bersama Bapaknya. Sepulang dari masjid, Pak Nana mengajak putranya untuk duduk di ruang makan. Bukan untuk niat makan malam, akan tetapi membahas tentang Gendis. Kenapa tidak berbicara di ruang tamu atau

  • NODA CINTA   Pengakuan Sebelum Terlambat

    Hari itu tiba, Jumat pagi pukul delapan yang cerah namun penuh ketegangan. Wisesa, bersama kedua orang tuanya, berangkat menuju rumah Bu Warni. Di balik sikap tenang ayah dan ibunya, Wisesa merasakan detak jantungnya memukul lebih cepat dari biasanya. Nafasnya tak teratur, seolah udara enggan memasuki paru-parunya dengan sempurna. Ada sesuatu dalam hatinya yang meronta, mendesaknya untuk kabur, untuk menghindari konfrontasi ini. Namun, ia tahu, ini adalah konsekuensi dari perbuatannya. Keberanian yang dipaksakannya kini terasa rapuh, seperti daun yang siap tertiup angin, tetapi dia tetap bertahan.Rumah Bu Warni tampak biasa saja dari luar, dikelilingi oleh pagar kayu yang sedikit tua, dengan tanaman rambat yang menjalar di bagian depan. Udara pagi yang sejuk di hari Jumat itu kontras dengan keringat dingin yang mengalir di dahi Wisesa. Setiap langkah menuju pintu rumah itu terasa berat, seolah kakinya terikat oleh beban kesalahan yang tak terkatakan. Ibunya, Bu Yeni, berdiri di depan

  • NODA CINTA   Trauma Gendis

    Bu Warni sedang menangis di dapur, dia tak sanggup lagi menyaksikan keadaan putrinya. Teriakan, tangisan dan pandangan hampa yang terjadi pada putrinya, seakan membuatnya ingin menyerah. Sudah dua minggu ini, tak ada perkembangan dari Gendis, putri semata wayang dari pasangan Bu Warni dan Pak Jaka.Pengobatan medis sampai ala kampung pun sudah dilakukan. Bahkan Pak Ustaz sudah beberapa kali datang, untuk membantu menenangkan Gendis dengan doa – doa.“Bu ... yang sabar,” ucap Pak Jaka yang menyusul istrinya ke dapur. “Jika kita lemah, siapa yang akan menguatkan Gendis?” lanjut Pak Jaka sambil mengusap-usap punggung istrinya.Bu Warni bergeming, nasihat seperti itu sudah sering didengarnya dan tak mengubah apa pun. Sesaat kemudian, Bu Warni beranjak dari tempatnya berdiri, dia mengambil piring kemudian menaruh nasi beserta lauk di dalamnya. Kemudian pergi dari dapur meninggalkan suaminya sendi

  • NODA CINTA   Gunjingan Tetangga

    “Dih, apa-apaan ‘sih, Nita. Kami mencurigakan kenapa? Memangnya kami penjahat?” Beno sewot sendiri.“Haduh ... dasar lemot. Maksud Nita, mereka mungkin saja sadar bahwa kita sengaja berhenti dan pura-pura jajan di sana. Malu dong, kelihatan banget sengaja nguping,” jelas Tata dengan menarik tangan Beno, agar meneruskan langkah mereka.Tata dan temannya sengaja terus berjalan sampai ke ujung jalan pertigaan. Biar mereka menunggu Nita, di tempat pemberhentian angkutan umum saja. Teman-teman Gendis yang ikut menengok itu ada lima orang. Dua laki-laki dan tiga perempuan. Mereka tidak menggunakan motor, karena kebetulan tidak punya. Tidak pula ingin pinjam pada rekan kerja yang lain, karena sungkan berbasa-basi.Sementara itu, Nita sudah berada di warung kopi. Dalam hatinya masih panik, “Aduh ... aku harus beli apa ya? Yang bisa dilayani agak lama. Masa iya harus borong jajanan banyak?&rdqu

  • NODA CINTA   Interogasi Wisesa

    “Esa ...,” ucap sang Ibu, menyentuh pundak Wisesa pelan. Bu Yeni kini sudah berada dekat dengan putranya. “Kamu gak mendengar Ibu memanggil dari tadi?” tanya Bu Yeni dengan lembut.Wisesa hanya mengangguk. Sesekali tangannya melempar beberapa makanan ayam. Tatapannya masih fokus lurus seperti semula.“Kamu dipanggil Bapak, Nak,” lanjut sang ibu.“Ya, Esa ke sana sebentar lagi,” jawab Wisesa dengan tanpa semangat.Bu Yeni mengusap pundak putranya, dengan menghela nafas berat. Kemudian pergi dengan membawa rasa sedih yang tak jelas apa. Bu Yeni bingung untuk mengajak putranya itu bicara yang sebenarnya. Sebab Wisesa selalu menjawab tidak ada apa-apa. Sedangkan bahasa tubuh yang ditunjukkan berbeda.Pak Nana sudah menunggu putra sulungnya di ruang tamu. Melihat kedatangan istrinya, Pak Nana menanyakan keberadaan putranya. Bu Yeni

Bab terbaru

  • NODA CINTA   Pengakuan Sebelum Terlambat

    Hari itu tiba, Jumat pagi pukul delapan yang cerah namun penuh ketegangan. Wisesa, bersama kedua orang tuanya, berangkat menuju rumah Bu Warni. Di balik sikap tenang ayah dan ibunya, Wisesa merasakan detak jantungnya memukul lebih cepat dari biasanya. Nafasnya tak teratur, seolah udara enggan memasuki paru-parunya dengan sempurna. Ada sesuatu dalam hatinya yang meronta, mendesaknya untuk kabur, untuk menghindari konfrontasi ini. Namun, ia tahu, ini adalah konsekuensi dari perbuatannya. Keberanian yang dipaksakannya kini terasa rapuh, seperti daun yang siap tertiup angin, tetapi dia tetap bertahan.Rumah Bu Warni tampak biasa saja dari luar, dikelilingi oleh pagar kayu yang sedikit tua, dengan tanaman rambat yang menjalar di bagian depan. Udara pagi yang sejuk di hari Jumat itu kontras dengan keringat dingin yang mengalir di dahi Wisesa. Setiap langkah menuju pintu rumah itu terasa berat, seolah kakinya terikat oleh beban kesalahan yang tak terkatakan. Ibunya, Bu Yeni, berdiri di depan

  • NODA CINTA   Keputusan

    BAB 11 KEPUTUSAN Sepulangnya Wisesa dari pasar, Bu Yeni suda bersiap untuk membahas tentang Gendis. Namun, Bu Yeni menunggu putranya tenang dulu, setidaknya istirahat sejenak. Bu Yeni juga berbasa-basi pada putranya tentang jualan hari ini, dengan begitu dia tahu suasana hati Wisesa. Jika di pasar tidak terlalu laris jualannya, atau takutnya ada kejadian apa, Bu Yeni mungkin akan menunda bahasan tentang Gendis. Pokoknya sangat hati-hati sekali untuk mengajak Wisesa bicara, dikarenakan hal ini harus segera dituntaskan, jangan sampai membuat suasana hati Wisesa tidak baik. Sebab hal itu akan membuat terusnya pembahasan tertunda. Magrib pun tiba, seperti biasa Wisesa pergi ke masjid bersama Bapaknya. Sepulang dari masjid, Pak Nana mengajak putranya untuk duduk di ruang makan. Bukan untuk niat makan malam, akan tetapi membahas tentang Gendis. Kenapa tidak berbicara di ruang tamu atau

  • NODA CINTA   Gunjingan

    Setelah kepergian Bu Dokter dari kumpulan ibu-ibu yang masih berbelanja, datanglah Bu Diah, dengan wajah semringah dari kejauhan. Sudah tak aneh lagi, jika Bu Diah terlihat sangat ceria dengan jalan sedikit dipercepat, pasti dia membawa berita heboh. Orang kampung menganggap Bu Diah adalah sumber informasi semua gosip di kampung Cirusuh, seakan dia paling tahu. Entah dari mana dan bagaimana caranya Bu Diah mendapatkan informasi itu. Walau kadang kurang valid, karena terlalu banyak bumbu dalam ceritanya sehingga menjadi gosip panas, walau masalah yang dibahas memanglah benar. “Tuh ... Bu, ada Bu Diah. Tanyakan saja sama dia, saya juga tahu dari dia. Gendis itu udah kaya orang stes, jiwanya terganggu, tingkahnya kaya anak kecil,” ucap Bu Dijah, memulai gosip sedikit hangat, sebelum dipanaskan sesaat lagi oleh Bu Diah. Bisik-bisik para ibu yang lain mulai ramai. Rasa penasaran semakin besar, sedangkan Bu Yeni hanya an

  • NODA CINTA   Curiga Terhubung

    “Apakah kamu bisa mengenali itu parfum milik siapa?” tanya Pak Jaka, pada Gendis. Gendis diam sejenak, kemudian menggeleng. Pak Jaka pun menarik nafas pasrah. Setidaknya semua sudah terbuka, agar bisa mengambil tindakan ke jalur hukum untuk mencari pelaku. “Jika sudah tidak ada lagi yang Bapak perlukan pada saya, mungkin ... saya mau pamit, Pak. Tak terasa sudah lewat magrib,” ucap Dodi pada Pak Jaka. Pak Jaka melihat pada jam dinding yang ada di ruang tamu. “Oh iya, sudah hampir pukul setengah tujuh. Maaf ya, Nak Dodi. Sampai terlewat waktu salat,” ucap Pak Jaka menangkupkan ke dua tangganya di depan dada. Suara azan magrib memang sudah berkumandang sejak 20 menit yang lalu. Namun, sebab terlalu fokus mengobrol, mereka sampai lupa dan mengabaikan salat magrib tepat waktu. Kemudian Pak Jaka mempersilakan Dodi dan Supena yang tadi sudah izin untuk pamit

  • NODA CINTA   Kisah Selesai

    “Bagaimana? Kamu masih sanggup?” tanya Bu Warni pada putrinya. Gendis yang masih berada di pelukan Bu Warni, mengangguk. Tangannya yang menggenggam tisu, tak lepas dari depan hidungnya menahan tangis. Dodi menghela nafas sebelum melanjutkan kembali ceritanya, dalam hati merasa iba melihat kondisi Gendis. Salah apa gadis baik yang selalu ramah pada setiap orang ini? Gendis memang pendiam, jarang bergaul, namun dia tak pernah lepas senyum dan menyapa pada setiap orang yang ditemuinya. “Silakan, Nak Dodi,” perintah Pak Jaka. Dodi mengangguk, diiringi senyum tipisnya. Sebenarnya dia tak yakin untuk lanjut, sebab melihat kondisi Gendis merasa tak tega untuk kembali membuka kejadian yang sangat buruk. Kembali Dodi bercerita kejadian malam itu, “Saya meminta Gofar mematikan senter, sebab keadaan Gendis yang ...,” ucap Dodi tak kuasa melanjutkan ceritanya. Namun, Pak Jaka dan Bu Warni mengerti

  • NODA CINTA   Malam Nahas

    Sepasang suami istri sedang merasa waswas menghadapi tamu yang tak kunjung pamit, sebab waktu sudah semakin sore. Bu Warni bingung cara membuat Bu Diah segera menyelesaikan urusannya. Sedangkan Pak Jaka juga bingung, harus berbasa-basi apa lagi dengan Dodi dan Supena. “Bagaimana Pak Jaka? Apakah saya sudah bisa menceritakan perihal yang Bapak minta? Maaf, soalnya hari mulai gelap,” ucap Supena, yang sedari tadi hanya diam menyimak. “Bagaimana ini? Kenapa kebetulan sekali, Bu Diah kemari. Ah ... sudahlah, memang harusnya seperti ini mungkin. Tanpa Bu Diah seorang kompor pun, namanya kejadian di kampung, pasti menyebar juga. Entah bagaimana caranya,” batin Pak Jaka. “E ... i-iya Boleh. Maaf ya, sebenarnya ... itu ...,” lirih Pak Jaka, sambil menunjuk ke arah belakang dirinya duduk, tepatnya ke arah ruang televisi. Kemudian Pak Jaka memberi kode dengan mengatupkan semua jari tangan di h

  • NODA CINTA   Penghambat

    Bu Warni kembali ke ruang tamu dengan membawa beberapa suguhan. Wajah ayu yang selalu dihias senyum, memberi kesan ramah dan nyaman bagi orang-orang yang berinteraksi dengannya. Seperti halnya saat ini, sebenarnya Dodi merasa gugup dan takut. Takut salah bicara memberi kesaksian kejadian malam nahas itu. Soalnya Dodi pernah memiliki pengalaman, bersama teman-temannya menolong orang kecelakaan. Bukannya pihak keluarga korban berterima kasih, malah Dodi dan teman-temannya terkena tuduhan. Zaman sekarang memang susah sekali membedakan antara mencurigai dan hati-hati. Saking hati-hatinya jadi hilang kepercayaan terhadap orang lain. “Eh ... Supena sudah datang? Ini silakan diminum dulu, sambil nunggu bapak datang,” ucap Bu Warni sambil menyodorkan dua cangkir kopi, dan sepiring pisang goreng. “Ini ada pisang goreng, masih hangat, silakan jangan malu-malu,” ucap Bu Warni kembali. Walau keluarga Pak

  • NODA CINTA   Perlahan Terbuka

    Bu Yeni berpindah tempat duduk ke samping kanan Pak Nana. Kini posisi mereka cukup berhadapan, sebab Pak Nana masih membelakangi Wisesa. Disentuhnya tangan lelaki yang sudah menemani hidupnya, selama 26 tahun itu. Dengan lembut Bu Yeni mengusap punggung tangan Pak Nana yang masih terasa kekar, walau kulit sudah mulai terlihat keriput. Dengan sangat hati-hati, Bu Yeni memulai pembicaraan. Diawali dengan menatap wajah Pak Nana, lekat. “Pak ... tenangkan dulu emosi Bapak,” ucap Bu Yeni dengan mengusap perlahan dada Pak Nana. “Esa memang bersalah, tetapi kita jangan gegabah mengambil keputusan,” lanjut Bu Yeni sedikit ragu berkata, takut sang suami tidak menerima nasihatnya. “Masih untung tangan ini tak mendarat di pipi dia! Bapak udah gatel,” geram Pak Nana, sambil meremas-remas tangannya. “Ssst ... istighfar, Pak ...,” ucap Bu Yeni kembali. Bu Yeni terus mencoba membu

  • NODA CINTA   Kejujuran Wisesa

    Pak Nana sekali lagi meminta putranya, untuk mengatakan apa yang menjadi beban di hati. Kini Wisesa duduk di tengah, di antara kedua orang tuanya. Bu Yeni memberikan minum air mineral hangat untuk Wisesa, agar lebih lega dan ringan untuk berbagi cerita."Ibu, Bapak, Wisesa telah melakukan dosa besar. Maafkan Wisesa, sekali lagi maaf ...," lirih Wisesa masih dengan suara paraunya. Beban di hati membuat suaranya sedikit tertahan."Iya, Nak. Ceritakanlah, kami siap mendengarkan cerita apa pun," ucap Bu Yeni yang berada di sebelah kanan Wisesa. Tangan Bu Yeni tak henti mengusap punggung putranya."Esa ... sudah ...." Seketika Wisesa memeluk ibunya. Tangisnya kembali pecah, "Esa berdosa Bu. Esa ... sudah menodai anak gadis orang ...," ucap Wisesa terbata-bata, dengan suara yang kurang jelas, sebab mukanya tersembunyi pada pundak Bu Yeni. Ditambah lagi suara berat dan parau dari tangisan yang belum sepenuhnya reda.&nbs

DMCA.com Protection Status