Bu Warni kembali ke ruang tamu dengan membawa beberapa suguhan. Wajah ayu yang selalu dihias senyum, memberi kesan ramah dan nyaman bagi orang-orang yang berinteraksi dengannya.
Seperti halnya saat ini, sebenarnya Dodi merasa gugup dan takut. Takut salah bicara memberi kesaksian kejadian malam nahas itu. Soalnya Dodi pernah memiliki pengalaman, bersama teman-temannya menolong orang kecelakaan. Bukannya pihak keluarga korban berterima kasih, malah Dodi dan teman-temannya terkena tuduhan.
Zaman sekarang memang susah sekali membedakan antara mencurigai dan hati-hati. Saking hati-hatinya jadi hilang kepercayaan terhadap orang lain.
“Eh ... Supena sudah datang? Ini silakan diminum dulu, sambil nunggu bapak datang,” ucap Bu Warni sambil menyodorkan dua cangkir kopi, dan sepiring pisang goreng. “Ini ada pisang goreng, masih hangat, silakan jangan malu-malu,” ucap Bu Warni kembali.
Walau keluarga Pak Jaka termasuk keluarga yang sederhana, bahkan sangat pas-pasan, tapi mereka selalu mengutamakan untuk memperlakukan tamunya dengan baik. Mereka selalu sedia air mineral ukuran gelas, yang disimpan di ruang tamu. Walau masih dalam kardus di bawah meja tamu, agar mudah menyuguhkan. Tidak seperti di rumah orang lain, yang menyimpan air mineral di atas meja tamu dengan rak cantik.
Kedatangan Supena dan Dodi juga memang sudah direncanakan oleh pasangan suami istri tersebut. Sehingga Bu Warni tadi sengaja berbelanja pisang ke pasar. Akan malu rasanya, jika mereka mengundang tamu, akan tetapi tidak dijamu dengan baik.
“Nah ... sudah ada Supena sudah lama?” tanya Pak Jaka yang baru keluar hadir dari arah dapur, dia melangkah sambil mengancingkan pakaian kokonya. Rupanya dia baru mandi dan salat asar, karena waktu memang menunjukkan pukul empat sore.
Setelah menjabat tangan Supena, Pak Jaka duduk pada sofa kecil, yang cukup untuk satu orang. Sedangkan Supena dan Dodi posisinya berada di arah depan Pak Jaka, pada sofa panjang.
Setelah berbasa-basi, beramah-tamah untuk mengakrabkan terlebih dahulu, agar suasana tidak tegang, barulah Pak Jaka mulai menceritakan maksud dan tujuannya mengundang Supena dan Dodi, Walau sebenarnya mereka sudah tahu.
“Bu, mungkin saatnya panggil Gendis kemari,” perintah Pak Jaka pada sang istri.
Bu Warni kemudian memenuhi perintah suaminya. Dia beranjak dari duduknya, pergi ke belakang untuk memanggil Gendis.
Bu Warni terkejut mendapati Gendis tak ada di depan televisi. Selama ini Gendis tak pernah pergi ke mana pun, dia ke luar kamar kalau mau mandi atau nonton televisi saja. Mengapa reaksi Bu Warni berlebihan ketika tidak melihat keberadaan Gendis? Sebab satu-satunya jalan jika ingin ke luar rumah, hanya pintu depan. Lalu, ke mana Gendis?
Terbersit juga di benak Bu Warni, kalau-kalau Gendis sembunyi. Dia mencari ke dapur, ke kamaranya, sampai kolong-kolong barang di rumah yang memungkinkan bisa untuk sembunyi.
“Bu ...!” seru Pak Jaka dari ruang tamu. Bu Warni peka, suaminya meminta untuk segera membawa Gendis..
Namun, Bu Warni tak merespons panggilan suaminya. Bu Warni canggung jika harus berteriak, sebab ada tamu. Dia terus melanjutkan mencari Gendis. “Astagfirullah ... rumah sekecil ini, di mana kamu, Nak ...,” lirih Bu Warni, sambil celingak-celinguk mencari keberadaan putrinya.
Sesaat kemudian, Bu Warni mendengar suara benda seperti terbentur kayu. Bu Warni langsung sigap, memutar otak kira-kira benda kayu mana yang memungkinkan terjadi bunyi seperti tadi. Jika hanya sebuah kayu jatuh ke lantai, bunyinya akan lebih nyaring. Sedangkan alas dapur rumah Bu Warni masih tanah, satu-satunya benda kayu di rumah itu adalah lemari barang di ruang tv.
Bu Warni segera kembali ke ruang televisi. Tak susah mencari lama, sebab tak ada barang lain yang terbuat dari kayu, selain lemari barang untuk penyekat ruang tamu dan tempat tv itu sendiri.
“Astagfirullah ... Gendis ...! Sedang apa kamu di sini, Nak?” tanya Bu Warni, sambil membantu Gendis ke luar dari sana.
“Kaki Gendis, Bu ...,” ucap Gendis lirih, sambil meringis, memijit-mijit bagian pergelangan kaki dan area dengkul.
“Lagian ngapain kamu masuk lemari, 'sih, Nak .... Kakimu pasti kram, pegel, lemari ini kan sempit,” nasihat Bu Warni, sambil membantu Gendis keluar dari lemari itu.
“Assalamualaikum ...!” seru seseorang dari luar rumah.
Bu Warni menoleh pada sumber suara, rupanya ada Bu Diah datang. Segera dia pergi menghampiri Bu Diah yang masih berada di depan pintu.
Bu Diah rupanya mau mengambil baju yang tiga hari lalu dirombak pada Bu Warni. Bu Warni mengajaknya untuk masuk saja. Walau sedikit sungkan, karena Bu Diah melihat sedang ada tamu di rumah Bu Warni.
Dengan senyum ramah Pak Jaka mempersilakan Bu Diah untuk masuk. Pak Jaka mengerti, jika Bu Diah merasa takut mengganggu dengan kedatangannya.
“Permisi ...,” ucap Bu Diah, sedikit membungkukkan badannya, ketika melalui keberadaan Pak Jaka, Dodi dan Supena.
“Astagfirullah ... Gendis, Ibu pikir kamu sudah ke luar,” Bu Warni tak habis pikir melihat Gendis masih meringkuk di dalam lemari, dengan keadaan pintunya masih terbuka.
“Hiks ... susah lepas Bu ...,” rengek Gendis yang menggerak-gerakkan kakinya, tersangkut pada kayu bingkai pintu lemari itu.
Lemari tersebut memang kecil, dengan lebar seukuran televisi tabung 21” dengan tinggi hanya 50cm. Sehingga, badan Gendis benar-benar pas masuk di dalamnya, dengan kaki ditekuk sebisanya. Entah bagaimana awal mula, sehingga Gendis bisa memasukkan badannya di sana. "Bisa masuk, tapi ke luar tak bisa," batin Bu Warni.
Gendis langsung memeluk Ibunya dengan isak tangis, dia lega akhirnya bisa keluar dari lemari karena ulahnya. Dia merasakan panik yang amat sangat, ketika di dalam lemari, takut tidak bisa ke luar lagi.
“Sudah ... sini duduk dulu.” Bu Warni memapah gendis untuk duduk, kemudian diberinya air mineral.
Bu Warni meminta Gendis untuk tenang, “Nak ... itu ada Bu Diah. Ibu mau ngobrol sama Bu Diah sebentar, ya ...,” ucap Bu Warni sambil mengelus rambut Gendis, yang kini sedikit basah terkena keringat yang membanjir barusan.
Gendis hanya mengangguk, dengan menggenggam gelas berisi air minumnya dengan kedua tangan di depan dadanya.
"Apkah mentalnya juga kena? Gendis jadi seperti orang berkebutuhan khusus," batin Bu Diah, dengan tatapan tak lepas mengamati perilaku Gendis.
“Ini Bu, Bajunya dilihat dulu. Kalau-kalau ada yang kurang cocok,” ucap Bu Warni sambil menyerahkan bungkusan koran.
“E-eh, iya. Saya lihat dulu ya, Bu Warni,” jawab Bu Diah dengan tergagap. Dia sedang fokus memperhatikan kondisi Gendis.
“Bu ....!” seru Pak Jaka.
Bu Warni mendengar panggilan Pak Jaka, segera dia menghampirinya. Kemudian sedikit berjongkok di samping Pak Jaka. “Iya, Pak?” lirihnya.
“Bu Diah, masih lama?” bisik Pak Jaka, sangat dekat di telinga Bu Warni.
“Semoga tidak, Pak. Dia hanya mau ambil baju jahitan saja,”
“Baiklah, cepat selesaikan urusan Ibu dengan Bu Diah. Ibu tahu sendiri, kan? Dia bagaimana.”
Bu Warni hanya mengangguk, merespons pernyataan suaminya barusan. Kemudian Bu Warni menemui Bu Diah kembali, dengan harapan baju pesanannya cocok, dan Bu Diah segera pulang.
Warga Cirusuh sudah tak aneh dengan kelakuan Bu Diah, tukang gosip. Sehingga Pak Jaka enggan melanjutkan pembicaraannya dengan Dodi dan Supena. Pak Jaka mengajak mereka ngobrol hanya basa-basi saja, tentang urusan laki-laki dan pergaulan remaja saat ini.
Namun, sudah cukup lama Pak Jaka menunggu Bu Diah pulang, tak kunjung juga terlihat tanda-tanda Bu Diah akan pamit.
Bu Warni yang menghadapi Bu Diah pun, gelisah. Bu Diah mengecek pakaian hasil jahitan Bu Warni sangat detail. Sampai sempat meminta ada yang harus dirombak ulang, sebab katanya kurang cocok. Padahal Bu Warni sudah membuatnya sesuai model pada gambar, persis.
"Bagaimana aku harus membuat Bu Diah segera pulang? Hari sudah semakin sore. Kasihan Dodi dan Supena jika terlalu lama menunggu," batin Bu Warni.
Bersambung....
Sepasang suami istri sedang merasa waswas menghadapi tamu yang tak kunjung pamit, sebab waktu sudah semakin sore. Bu Warni bingung cara membuat Bu Diah segera menyelesaikan urusannya. Sedangkan Pak Jaka juga bingung, harus berbasa-basi apa lagi dengan Dodi dan Supena. “Bagaimana Pak Jaka? Apakah saya sudah bisa menceritakan perihal yang Bapak minta? Maaf, soalnya hari mulai gelap,” ucap Supena, yang sedari tadi hanya diam menyimak. “Bagaimana ini? Kenapa kebetulan sekali, Bu Diah kemari. Ah ... sudahlah, memang harusnya seperti ini mungkin. Tanpa Bu Diah seorang kompor pun, namanya kejadian di kampung, pasti menyebar juga. Entah bagaimana caranya,” batin Pak Jaka. “E ... i-iya Boleh. Maaf ya, sebenarnya ... itu ...,” lirih Pak Jaka, sambil menunjuk ke arah belakang dirinya duduk, tepatnya ke arah ruang televisi. Kemudian Pak Jaka memberi kode dengan mengatupkan semua jari tangan di h
“Bagaimana? Kamu masih sanggup?” tanya Bu Warni pada putrinya. Gendis yang masih berada di pelukan Bu Warni, mengangguk. Tangannya yang menggenggam tisu, tak lepas dari depan hidungnya menahan tangis. Dodi menghela nafas sebelum melanjutkan kembali ceritanya, dalam hati merasa iba melihat kondisi Gendis. Salah apa gadis baik yang selalu ramah pada setiap orang ini? Gendis memang pendiam, jarang bergaul, namun dia tak pernah lepas senyum dan menyapa pada setiap orang yang ditemuinya. “Silakan, Nak Dodi,” perintah Pak Jaka. Dodi mengangguk, diiringi senyum tipisnya. Sebenarnya dia tak yakin untuk lanjut, sebab melihat kondisi Gendis merasa tak tega untuk kembali membuka kejadian yang sangat buruk. Kembali Dodi bercerita kejadian malam itu, “Saya meminta Gofar mematikan senter, sebab keadaan Gendis yang ...,” ucap Dodi tak kuasa melanjutkan ceritanya. Namun, Pak Jaka dan Bu Warni mengerti
“Apakah kamu bisa mengenali itu parfum milik siapa?” tanya Pak Jaka, pada Gendis. Gendis diam sejenak, kemudian menggeleng. Pak Jaka pun menarik nafas pasrah. Setidaknya semua sudah terbuka, agar bisa mengambil tindakan ke jalur hukum untuk mencari pelaku. “Jika sudah tidak ada lagi yang Bapak perlukan pada saya, mungkin ... saya mau pamit, Pak. Tak terasa sudah lewat magrib,” ucap Dodi pada Pak Jaka. Pak Jaka melihat pada jam dinding yang ada di ruang tamu. “Oh iya, sudah hampir pukul setengah tujuh. Maaf ya, Nak Dodi. Sampai terlewat waktu salat,” ucap Pak Jaka menangkupkan ke dua tangganya di depan dada. Suara azan magrib memang sudah berkumandang sejak 20 menit yang lalu. Namun, sebab terlalu fokus mengobrol, mereka sampai lupa dan mengabaikan salat magrib tepat waktu. Kemudian Pak Jaka mempersilakan Dodi dan Supena yang tadi sudah izin untuk pamit
Setelah kepergian Bu Dokter dari kumpulan ibu-ibu yang masih berbelanja, datanglah Bu Diah, dengan wajah semringah dari kejauhan. Sudah tak aneh lagi, jika Bu Diah terlihat sangat ceria dengan jalan sedikit dipercepat, pasti dia membawa berita heboh. Orang kampung menganggap Bu Diah adalah sumber informasi semua gosip di kampung Cirusuh, seakan dia paling tahu. Entah dari mana dan bagaimana caranya Bu Diah mendapatkan informasi itu. Walau kadang kurang valid, karena terlalu banyak bumbu dalam ceritanya sehingga menjadi gosip panas, walau masalah yang dibahas memanglah benar. “Tuh ... Bu, ada Bu Diah. Tanyakan saja sama dia, saya juga tahu dari dia. Gendis itu udah kaya orang stes, jiwanya terganggu, tingkahnya kaya anak kecil,” ucap Bu Dijah, memulai gosip sedikit hangat, sebelum dipanaskan sesaat lagi oleh Bu Diah. Bisik-bisik para ibu yang lain mulai ramai. Rasa penasaran semakin besar, sedangkan Bu Yeni hanya an
BAB 11 KEPUTUSAN Sepulangnya Wisesa dari pasar, Bu Yeni suda bersiap untuk membahas tentang Gendis. Namun, Bu Yeni menunggu putranya tenang dulu, setidaknya istirahat sejenak. Bu Yeni juga berbasa-basi pada putranya tentang jualan hari ini, dengan begitu dia tahu suasana hati Wisesa. Jika di pasar tidak terlalu laris jualannya, atau takutnya ada kejadian apa, Bu Yeni mungkin akan menunda bahasan tentang Gendis. Pokoknya sangat hati-hati sekali untuk mengajak Wisesa bicara, dikarenakan hal ini harus segera dituntaskan, jangan sampai membuat suasana hati Wisesa tidak baik. Sebab hal itu akan membuat terusnya pembahasan tertunda. Magrib pun tiba, seperti biasa Wisesa pergi ke masjid bersama Bapaknya. Sepulang dari masjid, Pak Nana mengajak putranya untuk duduk di ruang makan. Bukan untuk niat makan malam, akan tetapi membahas tentang Gendis. Kenapa tidak berbicara di ruang tamu atau
Hari itu tiba, Jumat pagi pukul delapan yang cerah namun penuh ketegangan. Wisesa, bersama kedua orang tuanya, berangkat menuju rumah Bu Warni. Di balik sikap tenang ayah dan ibunya, Wisesa merasakan detak jantungnya memukul lebih cepat dari biasanya. Nafasnya tak teratur, seolah udara enggan memasuki paru-parunya dengan sempurna. Ada sesuatu dalam hatinya yang meronta, mendesaknya untuk kabur, untuk menghindari konfrontasi ini. Namun, ia tahu, ini adalah konsekuensi dari perbuatannya. Keberanian yang dipaksakannya kini terasa rapuh, seperti daun yang siap tertiup angin, tetapi dia tetap bertahan.Rumah Bu Warni tampak biasa saja dari luar, dikelilingi oleh pagar kayu yang sedikit tua, dengan tanaman rambat yang menjalar di bagian depan. Udara pagi yang sejuk di hari Jumat itu kontras dengan keringat dingin yang mengalir di dahi Wisesa. Setiap langkah menuju pintu rumah itu terasa berat, seolah kakinya terikat oleh beban kesalahan yang tak terkatakan. Ibunya, Bu Yeni, berdiri di depan
Bu Warni sedang menangis di dapur, dia tak sanggup lagi menyaksikan keadaan putrinya. Teriakan, tangisan dan pandangan hampa yang terjadi pada putrinya, seakan membuatnya ingin menyerah. Sudah dua minggu ini, tak ada perkembangan dari Gendis, putri semata wayang dari pasangan Bu Warni dan Pak Jaka.Pengobatan medis sampai ala kampung pun sudah dilakukan. Bahkan Pak Ustaz sudah beberapa kali datang, untuk membantu menenangkan Gendis dengan doa – doa.“Bu ... yang sabar,” ucap Pak Jaka yang menyusul istrinya ke dapur. “Jika kita lemah, siapa yang akan menguatkan Gendis?” lanjut Pak Jaka sambil mengusap-usap punggung istrinya.Bu Warni bergeming, nasihat seperti itu sudah sering didengarnya dan tak mengubah apa pun. Sesaat kemudian, Bu Warni beranjak dari tempatnya berdiri, dia mengambil piring kemudian menaruh nasi beserta lauk di dalamnya. Kemudian pergi dari dapur meninggalkan suaminya sendi
“Dih, apa-apaan ‘sih, Nita. Kami mencurigakan kenapa? Memangnya kami penjahat?” Beno sewot sendiri.“Haduh ... dasar lemot. Maksud Nita, mereka mungkin saja sadar bahwa kita sengaja berhenti dan pura-pura jajan di sana. Malu dong, kelihatan banget sengaja nguping,” jelas Tata dengan menarik tangan Beno, agar meneruskan langkah mereka.Tata dan temannya sengaja terus berjalan sampai ke ujung jalan pertigaan. Biar mereka menunggu Nita, di tempat pemberhentian angkutan umum saja. Teman-teman Gendis yang ikut menengok itu ada lima orang. Dua laki-laki dan tiga perempuan. Mereka tidak menggunakan motor, karena kebetulan tidak punya. Tidak pula ingin pinjam pada rekan kerja yang lain, karena sungkan berbasa-basi.Sementara itu, Nita sudah berada di warung kopi. Dalam hatinya masih panik, “Aduh ... aku harus beli apa ya? Yang bisa dilayani agak lama. Masa iya harus borong jajanan banyak?&rdqu
Hari itu tiba, Jumat pagi pukul delapan yang cerah namun penuh ketegangan. Wisesa, bersama kedua orang tuanya, berangkat menuju rumah Bu Warni. Di balik sikap tenang ayah dan ibunya, Wisesa merasakan detak jantungnya memukul lebih cepat dari biasanya. Nafasnya tak teratur, seolah udara enggan memasuki paru-parunya dengan sempurna. Ada sesuatu dalam hatinya yang meronta, mendesaknya untuk kabur, untuk menghindari konfrontasi ini. Namun, ia tahu, ini adalah konsekuensi dari perbuatannya. Keberanian yang dipaksakannya kini terasa rapuh, seperti daun yang siap tertiup angin, tetapi dia tetap bertahan.Rumah Bu Warni tampak biasa saja dari luar, dikelilingi oleh pagar kayu yang sedikit tua, dengan tanaman rambat yang menjalar di bagian depan. Udara pagi yang sejuk di hari Jumat itu kontras dengan keringat dingin yang mengalir di dahi Wisesa. Setiap langkah menuju pintu rumah itu terasa berat, seolah kakinya terikat oleh beban kesalahan yang tak terkatakan. Ibunya, Bu Yeni, berdiri di depan
BAB 11 KEPUTUSAN Sepulangnya Wisesa dari pasar, Bu Yeni suda bersiap untuk membahas tentang Gendis. Namun, Bu Yeni menunggu putranya tenang dulu, setidaknya istirahat sejenak. Bu Yeni juga berbasa-basi pada putranya tentang jualan hari ini, dengan begitu dia tahu suasana hati Wisesa. Jika di pasar tidak terlalu laris jualannya, atau takutnya ada kejadian apa, Bu Yeni mungkin akan menunda bahasan tentang Gendis. Pokoknya sangat hati-hati sekali untuk mengajak Wisesa bicara, dikarenakan hal ini harus segera dituntaskan, jangan sampai membuat suasana hati Wisesa tidak baik. Sebab hal itu akan membuat terusnya pembahasan tertunda. Magrib pun tiba, seperti biasa Wisesa pergi ke masjid bersama Bapaknya. Sepulang dari masjid, Pak Nana mengajak putranya untuk duduk di ruang makan. Bukan untuk niat makan malam, akan tetapi membahas tentang Gendis. Kenapa tidak berbicara di ruang tamu atau
Setelah kepergian Bu Dokter dari kumpulan ibu-ibu yang masih berbelanja, datanglah Bu Diah, dengan wajah semringah dari kejauhan. Sudah tak aneh lagi, jika Bu Diah terlihat sangat ceria dengan jalan sedikit dipercepat, pasti dia membawa berita heboh. Orang kampung menganggap Bu Diah adalah sumber informasi semua gosip di kampung Cirusuh, seakan dia paling tahu. Entah dari mana dan bagaimana caranya Bu Diah mendapatkan informasi itu. Walau kadang kurang valid, karena terlalu banyak bumbu dalam ceritanya sehingga menjadi gosip panas, walau masalah yang dibahas memanglah benar. “Tuh ... Bu, ada Bu Diah. Tanyakan saja sama dia, saya juga tahu dari dia. Gendis itu udah kaya orang stes, jiwanya terganggu, tingkahnya kaya anak kecil,” ucap Bu Dijah, memulai gosip sedikit hangat, sebelum dipanaskan sesaat lagi oleh Bu Diah. Bisik-bisik para ibu yang lain mulai ramai. Rasa penasaran semakin besar, sedangkan Bu Yeni hanya an
“Apakah kamu bisa mengenali itu parfum milik siapa?” tanya Pak Jaka, pada Gendis. Gendis diam sejenak, kemudian menggeleng. Pak Jaka pun menarik nafas pasrah. Setidaknya semua sudah terbuka, agar bisa mengambil tindakan ke jalur hukum untuk mencari pelaku. “Jika sudah tidak ada lagi yang Bapak perlukan pada saya, mungkin ... saya mau pamit, Pak. Tak terasa sudah lewat magrib,” ucap Dodi pada Pak Jaka. Pak Jaka melihat pada jam dinding yang ada di ruang tamu. “Oh iya, sudah hampir pukul setengah tujuh. Maaf ya, Nak Dodi. Sampai terlewat waktu salat,” ucap Pak Jaka menangkupkan ke dua tangganya di depan dada. Suara azan magrib memang sudah berkumandang sejak 20 menit yang lalu. Namun, sebab terlalu fokus mengobrol, mereka sampai lupa dan mengabaikan salat magrib tepat waktu. Kemudian Pak Jaka mempersilakan Dodi dan Supena yang tadi sudah izin untuk pamit
“Bagaimana? Kamu masih sanggup?” tanya Bu Warni pada putrinya. Gendis yang masih berada di pelukan Bu Warni, mengangguk. Tangannya yang menggenggam tisu, tak lepas dari depan hidungnya menahan tangis. Dodi menghela nafas sebelum melanjutkan kembali ceritanya, dalam hati merasa iba melihat kondisi Gendis. Salah apa gadis baik yang selalu ramah pada setiap orang ini? Gendis memang pendiam, jarang bergaul, namun dia tak pernah lepas senyum dan menyapa pada setiap orang yang ditemuinya. “Silakan, Nak Dodi,” perintah Pak Jaka. Dodi mengangguk, diiringi senyum tipisnya. Sebenarnya dia tak yakin untuk lanjut, sebab melihat kondisi Gendis merasa tak tega untuk kembali membuka kejadian yang sangat buruk. Kembali Dodi bercerita kejadian malam itu, “Saya meminta Gofar mematikan senter, sebab keadaan Gendis yang ...,” ucap Dodi tak kuasa melanjutkan ceritanya. Namun, Pak Jaka dan Bu Warni mengerti
Sepasang suami istri sedang merasa waswas menghadapi tamu yang tak kunjung pamit, sebab waktu sudah semakin sore. Bu Warni bingung cara membuat Bu Diah segera menyelesaikan urusannya. Sedangkan Pak Jaka juga bingung, harus berbasa-basi apa lagi dengan Dodi dan Supena. “Bagaimana Pak Jaka? Apakah saya sudah bisa menceritakan perihal yang Bapak minta? Maaf, soalnya hari mulai gelap,” ucap Supena, yang sedari tadi hanya diam menyimak. “Bagaimana ini? Kenapa kebetulan sekali, Bu Diah kemari. Ah ... sudahlah, memang harusnya seperti ini mungkin. Tanpa Bu Diah seorang kompor pun, namanya kejadian di kampung, pasti menyebar juga. Entah bagaimana caranya,” batin Pak Jaka. “E ... i-iya Boleh. Maaf ya, sebenarnya ... itu ...,” lirih Pak Jaka, sambil menunjuk ke arah belakang dirinya duduk, tepatnya ke arah ruang televisi. Kemudian Pak Jaka memberi kode dengan mengatupkan semua jari tangan di h
Bu Warni kembali ke ruang tamu dengan membawa beberapa suguhan. Wajah ayu yang selalu dihias senyum, memberi kesan ramah dan nyaman bagi orang-orang yang berinteraksi dengannya. Seperti halnya saat ini, sebenarnya Dodi merasa gugup dan takut. Takut salah bicara memberi kesaksian kejadian malam nahas itu. Soalnya Dodi pernah memiliki pengalaman, bersama teman-temannya menolong orang kecelakaan. Bukannya pihak keluarga korban berterima kasih, malah Dodi dan teman-temannya terkena tuduhan. Zaman sekarang memang susah sekali membedakan antara mencurigai dan hati-hati. Saking hati-hatinya jadi hilang kepercayaan terhadap orang lain. “Eh ... Supena sudah datang? Ini silakan diminum dulu, sambil nunggu bapak datang,” ucap Bu Warni sambil menyodorkan dua cangkir kopi, dan sepiring pisang goreng. “Ini ada pisang goreng, masih hangat, silakan jangan malu-malu,” ucap Bu Warni kembali. Walau keluarga Pak
Bu Yeni berpindah tempat duduk ke samping kanan Pak Nana. Kini posisi mereka cukup berhadapan, sebab Pak Nana masih membelakangi Wisesa. Disentuhnya tangan lelaki yang sudah menemani hidupnya, selama 26 tahun itu. Dengan lembut Bu Yeni mengusap punggung tangan Pak Nana yang masih terasa kekar, walau kulit sudah mulai terlihat keriput. Dengan sangat hati-hati, Bu Yeni memulai pembicaraan. Diawali dengan menatap wajah Pak Nana, lekat. “Pak ... tenangkan dulu emosi Bapak,” ucap Bu Yeni dengan mengusap perlahan dada Pak Nana. “Esa memang bersalah, tetapi kita jangan gegabah mengambil keputusan,” lanjut Bu Yeni sedikit ragu berkata, takut sang suami tidak menerima nasihatnya. “Masih untung tangan ini tak mendarat di pipi dia! Bapak udah gatel,” geram Pak Nana, sambil meremas-remas tangannya. “Ssst ... istighfar, Pak ...,” ucap Bu Yeni kembali. Bu Yeni terus mencoba membu
Pak Nana sekali lagi meminta putranya, untuk mengatakan apa yang menjadi beban di hati. Kini Wisesa duduk di tengah, di antara kedua orang tuanya. Bu Yeni memberikan minum air mineral hangat untuk Wisesa, agar lebih lega dan ringan untuk berbagi cerita."Ibu, Bapak, Wisesa telah melakukan dosa besar. Maafkan Wisesa, sekali lagi maaf ...," lirih Wisesa masih dengan suara paraunya. Beban di hati membuat suaranya sedikit tertahan."Iya, Nak. Ceritakanlah, kami siap mendengarkan cerita apa pun," ucap Bu Yeni yang berada di sebelah kanan Wisesa. Tangan Bu Yeni tak henti mengusap punggung putranya."Esa ... sudah ...." Seketika Wisesa memeluk ibunya. Tangisnya kembali pecah, "Esa berdosa Bu. Esa ... sudah menodai anak gadis orang ...," ucap Wisesa terbata-bata, dengan suara yang kurang jelas, sebab mukanya tersembunyi pada pundak Bu Yeni. Ditambah lagi suara berat dan parau dari tangisan yang belum sepenuhnya reda.&nbs