Bu Yeni berpindah tempat duduk ke samping kanan Pak Nana. Kini posisi mereka cukup berhadapan, sebab Pak Nana masih membelakangi Wisesa. Disentuhnya tangan lelaki yang sudah menemani hidupnya, selama 26 tahun itu. Dengan lembut Bu Yeni mengusap punggung tangan Pak Nana yang masih terasa kekar, walau kulit sudah mulai terlihat keriput.
Dengan sangat hati-hati, Bu Yeni memulai pembicaraan. Diawali dengan menatap wajah Pak Nana, lekat. “Pak ... tenangkan dulu emosi Bapak,” ucap Bu Yeni dengan mengusap perlahan dada Pak Nana. “Esa memang bersalah, tetapi kita jangan gegabah mengambil keputusan,” lanjut Bu Yeni sedikit ragu berkata, takut sang suami tidak menerima nasihatnya.
“Masih untung tangan ini tak mendarat di pipi dia! Bapak udah gatel,” geram Pak Nana, sambil meremas-remas tangannya.“Ssst ... istighfar, Pak ...,” ucap Bu Yeni kembali.Bu Yeni terus mencoba membujuk Pak Nana agar tidak terfokus pada kesalahan Wisesa. Memang benar, pemerkosaan adalah tindakan kriminal dengan hukuman yang cukup berat. Akan tetapi, di sini ada pihak keluarga korban yang bisa diajak berunding.Bu Yeni menyarankan, agar masalah ini diselesaikan dahulu secara kekeluargaan. Meski kemungkinan kecil, pihak keluarga korban akan menerima itikad baik dari keluarga Wisesa. Namun tak ada salahnya dicoba.Meski Pak Nana dapat mendengarkan dengan baik, nasihat yang dilontarkan oleh sang istri, tapi gemuruh emosi di hati belum reda. Namun, Bu Yeni begitu peka di saat Pak Nana mulai naik kembali amarahnya. Bu Yeni dapat mengetahui kemarahan suaminya, dari gerak tangan yang tak henti sesekali dikepalnya, kadang kencang hingga terlihat gemetar dan kemudian melonggar.Di saat Pak Nana mengencangkan kepalan tangannya, dengan nafas mulai terdengar berat, di situlah Bu Yani mengusap tangan Pak Nana satu lagi, yang terus berada dalam genggaman Bu Yeni. Berharap sebuah sentuhan mampu menenangkan amarah Pak Nana.“Lalu siapa yang akan pergi ke rumah gadis itu?” tanya Pak Nana, dengan intonasi suara datar serta kaku.“Tentu saja kita bertiga, dong, Pak,” jawab Bu Yeni dengan sangat lembut nada suaranya. Menjaga suasana hati Pak Nana, agar tidak terpancing kembali emosinya.Benar saja, tiba-tiba Pak Nana berdiri, tubuhnya berbalik menghadap Wisesa. Saking cepatnya reaksi Pak Nana, sampai-sampai Bu Yeni terkejut, membuat dadanya gemetar. Bukan terkejut hanya karena Pak Nana yang tiba-tiba berdiri, tapi disebabkan juga karena tangan Bu Yeni yang dientakkan oleh suaminya.Dengan ekspresi melotot seakan bola mata hendak keluar, telunjuk tangan lurus di depan wajah Wisesa, tangan satu lagi bertolak pinggang, Pak Nana memaki putranya. Hingga akhirnya sebuah tamparan hampir mendarat juga di wajah Wisesa.“Bapak ...!” suara serempak beberapa orang berhasil menghentikan tindakan Pak Nana.Bu Yeni memeluk Pak Nana dari belakang dengan berusaha menarik mundur, agar tangan yang sudah diangkat tidak sampai mendarat pada Wisesa. Sedangkan Ingrid dan Rendi, berhambur ke arah Wisesa. Mereka memeluk kakaknya, menghalangi dari amukan sang Bapak.Inggrid dan Rendi ikut menangis dengan memeluk Wisesa, begitu pun Wisesa yang membalas pelukan kedua adiknya. Walau isak tangis tak terdengar, tapi mata merah dan suara parau Wisesa membuktikan dia menangis pedih. Seorang lelaki memang tak mudah mengeluarkan air mata, tapi perasaan sedih tetaplah sama.Bu Yeni meminta Ingrid dan Rendi untuk menemani Wisesa, sedangkan dia sendiri membawa Pak Nana pergi ke kamar, walau dengan susah payah membujuk. Apalagi Bu Yeni merasa kalah tenaga dari sang suami. Takut pula suaminya lebih emosi, karena merasa diatur-atur.“Inggrid, Ren, maafkan Kakak ya. Kamu tahu yang terjadi, kan? Jangan dicontoh kelakuan Kakak yang sangat-sangat buruk ini,” ucap Wisesa, sambil membelai kepala kedua adiknya. Suaranya bergetar, menanggung beban tanggung jawab di depan kedua adiknya.Rendi seorang siswa SMP kelas sembilan, yang kini berada dalam pelukan Wisesa sebelah kiri. Sedangkan Ingrid siswi sekolah menengah pertama, kelas delapan. Mereka memang sekolah di tempat yang sama. Anak-anak Pak Nana termasuk akur terhadap saudaranya, mereka jarang sekali berselisih seperti saudara lain pada umumnya. Maka, ketika salah satu di antara mereka terkena masalah, atau mengalami kesedihan, mereka saling mendukung, saling menyemangati.Sebijaknya sisi dewasa pada manusia, tetap saja jika mendapatkan masalah besar, akan merasa syok dan emosi terpancing tidak terkontrol. Begitu pun reaksi wajar yang terjadi pada Pak Nana saat ini. Tidak mudah bagi Bu Yeni untuk membuat suaminya berpikir dan mengambil keputusan secara baik untuk semua pihak.Namun, dengan seiring waktu, Pak Nana dapat dengan tenang menyikapi masalah yang terjadi pada putranya. Tak lepas dari kesabaran seorang istri, keputusan pun dapat diambil dengan banyak pertimbangan matang.Pada akhirnya, setelah beberapa hari berlalu, sesuai kesepakatan yang telah dirundingkan kembali, Wisesa dan kedua orang tuanya akan berkunjung ke rumah gadis itu. Namun, perihal waktu masih belum ditentukan.Wisesa meminta pengertian dari Ibu dan Bapaknya, untuk menunggu dirinya benar-benar siap. Jika dipaksakan atau direncanakan harus sesuai waktu yang ditentukan, Wisesa merasa panik dan takut tak bisa menerima kenyataan. Jika seandainya nanti setelah berada di rumah gadis itu, kemungkinan di luar dugaan terjadi. Bu Yeni dan Pak Jaka berusaha menjadi orang tua yang bijak. Mereka harus mendukung putranya di saat merasa hilang jati diri. Mendukung bukan berarti membenarkan kesalahan, tapi Wisesa juga butuh dorongan kekuatan dari orang terdekatnya, agar bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya secara dewasa. ***SATU BULAN KEMUDIANGendis sedang menonton televisi ditemani sekantung camilan, yang dipeluknya. Sepertinya terlihat semakin membaik, dari raut wajah yang mulai segar dan sorot mata lebih bersinar. Bu Warni berada di samping Gendis, sambil membuka beberapa jahitan baju, yang akan dirombak.Bu Warni adalah seorang penjahit pakaian, walau saat ini sudah tidak sebanyak dahulu pelanggannya. Sebab penjual pakaian sudah sangat beragam, dengan pilihan harga dan model lebih menarik selera. Terlebih online shop, meskipun citranya kadang buruk, sebab barang pada gambar yang ditawarkan tidak sesuai aslinya. Akan tetapi, masih banyak konsumen on line yang pintar dalam memilih online shop dengan pelayanan tidak mengecewakan.Akan tetapi, walau usaha menjahit Bu Warni tak seramai dahulu, dia masih menerima jasa rombak pakaian, bahkan membuat baju pun masih bisa sebenarnya. Seperti saat ini, Bu Warni sedang mengecilkan pakaian salah satu tetangganya, sambil menemani Gendis bersantai di depan televisi.Mungkin sudah hampir satu minggu, Gendis mulai ke luar kamar. Sesekali Bu Warni atau Pak Jaka memancing dengan pertanyaan kejadian malam nahas yang menimpa Gendis. Gendis sudah tak histeris lagi, jika kedua orang tuanya membahas kejadian tersebut, tetapi reaksinya akan tiba-tiba diam.Bahkan kegiatan Gendis menonton acara televisi pun, hanya untuk hiburan agar pikirannya tidak terlalu kosong. Terbukti selama Gendis menyaksikan acara televisi, dia tak bereaksi apa pun. Entah acara sedih, komedi, atau hal-hal mengagumkan seperti acara sulap. Itu membuktikan, kesadarannya belum sepenuhnya normal.“Assalamualaikum ...! Bu! Ini ada tamu,” panggil pak Jaka yang baru datang pulang menarik becak.Bu Warni yang mendengar suara suaminya langsung menghampiri, setelah menaruh pekerjaannya.“Eh ... ada Jang Dodi,” sapa Bu Warni, menyodorkan kedua tangan yang dikatupkan untuk bersalaman. “Ibu ambil air minum dulu ya,” pamit Bu Warni kemudian. Dodi hanya senyum-senyum sungkan, menerima keramahan Bu Warni. Sebenarnya dia sengaja diundang oleh Pak Jaka ke rumahnya.Untuk Dodi sendiri, ini kedua kalinya ia masuk ke rumah Gendis, setelah tragedi malam itu saat ia menolong Gendis, membopongnya.
“Bapak tinggal dulu ya, sambil nunggu Supena datang. Bapak mau bersih-bersih dulu, gerah,” pamit Pak Jaka, kemudian pergi ke belakang.Sebenarnya Gendis tahu dengan kedatangan Dodi, sebab ruang tamu dan ruang televisi hanya disekat lemari perabot. Namun, seperti itulah Gendis sekarang, dia sudah tak seramah dulu. Diamnya saat ini adalah dunianya. Bahkan dia juga tahu tujuan Dodi datang.Bersambung....Bu Warni kembali ke ruang tamu dengan membawa beberapa suguhan. Wajah ayu yang selalu dihias senyum, memberi kesan ramah dan nyaman bagi orang-orang yang berinteraksi dengannya. Seperti halnya saat ini, sebenarnya Dodi merasa gugup dan takut. Takut salah bicara memberi kesaksian kejadian malam nahas itu. Soalnya Dodi pernah memiliki pengalaman, bersama teman-temannya menolong orang kecelakaan. Bukannya pihak keluarga korban berterima kasih, malah Dodi dan teman-temannya terkena tuduhan. Zaman sekarang memang susah sekali membedakan antara mencurigai dan hati-hati. Saking hati-hatinya jadi hilang kepercayaan terhadap orang lain. “Eh ... Supena sudah datang? Ini silakan diminum dulu, sambil nunggu bapak datang,” ucap Bu Warni sambil menyodorkan dua cangkir kopi, dan sepiring pisang goreng. “Ini ada pisang goreng, masih hangat, silakan jangan malu-malu,” ucap Bu Warni kembali. Walau keluarga Pak
Sepasang suami istri sedang merasa waswas menghadapi tamu yang tak kunjung pamit, sebab waktu sudah semakin sore. Bu Warni bingung cara membuat Bu Diah segera menyelesaikan urusannya. Sedangkan Pak Jaka juga bingung, harus berbasa-basi apa lagi dengan Dodi dan Supena. “Bagaimana Pak Jaka? Apakah saya sudah bisa menceritakan perihal yang Bapak minta? Maaf, soalnya hari mulai gelap,” ucap Supena, yang sedari tadi hanya diam menyimak. “Bagaimana ini? Kenapa kebetulan sekali, Bu Diah kemari. Ah ... sudahlah, memang harusnya seperti ini mungkin. Tanpa Bu Diah seorang kompor pun, namanya kejadian di kampung, pasti menyebar juga. Entah bagaimana caranya,” batin Pak Jaka. “E ... i-iya Boleh. Maaf ya, sebenarnya ... itu ...,” lirih Pak Jaka, sambil menunjuk ke arah belakang dirinya duduk, tepatnya ke arah ruang televisi. Kemudian Pak Jaka memberi kode dengan mengatupkan semua jari tangan di h
“Bagaimana? Kamu masih sanggup?” tanya Bu Warni pada putrinya. Gendis yang masih berada di pelukan Bu Warni, mengangguk. Tangannya yang menggenggam tisu, tak lepas dari depan hidungnya menahan tangis. Dodi menghela nafas sebelum melanjutkan kembali ceritanya, dalam hati merasa iba melihat kondisi Gendis. Salah apa gadis baik yang selalu ramah pada setiap orang ini? Gendis memang pendiam, jarang bergaul, namun dia tak pernah lepas senyum dan menyapa pada setiap orang yang ditemuinya. “Silakan, Nak Dodi,” perintah Pak Jaka. Dodi mengangguk, diiringi senyum tipisnya. Sebenarnya dia tak yakin untuk lanjut, sebab melihat kondisi Gendis merasa tak tega untuk kembali membuka kejadian yang sangat buruk. Kembali Dodi bercerita kejadian malam itu, “Saya meminta Gofar mematikan senter, sebab keadaan Gendis yang ...,” ucap Dodi tak kuasa melanjutkan ceritanya. Namun, Pak Jaka dan Bu Warni mengerti
“Apakah kamu bisa mengenali itu parfum milik siapa?” tanya Pak Jaka, pada Gendis. Gendis diam sejenak, kemudian menggeleng. Pak Jaka pun menarik nafas pasrah. Setidaknya semua sudah terbuka, agar bisa mengambil tindakan ke jalur hukum untuk mencari pelaku. “Jika sudah tidak ada lagi yang Bapak perlukan pada saya, mungkin ... saya mau pamit, Pak. Tak terasa sudah lewat magrib,” ucap Dodi pada Pak Jaka. Pak Jaka melihat pada jam dinding yang ada di ruang tamu. “Oh iya, sudah hampir pukul setengah tujuh. Maaf ya, Nak Dodi. Sampai terlewat waktu salat,” ucap Pak Jaka menangkupkan ke dua tangganya di depan dada. Suara azan magrib memang sudah berkumandang sejak 20 menit yang lalu. Namun, sebab terlalu fokus mengobrol, mereka sampai lupa dan mengabaikan salat magrib tepat waktu. Kemudian Pak Jaka mempersilakan Dodi dan Supena yang tadi sudah izin untuk pamit
Setelah kepergian Bu Dokter dari kumpulan ibu-ibu yang masih berbelanja, datanglah Bu Diah, dengan wajah semringah dari kejauhan. Sudah tak aneh lagi, jika Bu Diah terlihat sangat ceria dengan jalan sedikit dipercepat, pasti dia membawa berita heboh. Orang kampung menganggap Bu Diah adalah sumber informasi semua gosip di kampung Cirusuh, seakan dia paling tahu. Entah dari mana dan bagaimana caranya Bu Diah mendapatkan informasi itu. Walau kadang kurang valid, karena terlalu banyak bumbu dalam ceritanya sehingga menjadi gosip panas, walau masalah yang dibahas memanglah benar. “Tuh ... Bu, ada Bu Diah. Tanyakan saja sama dia, saya juga tahu dari dia. Gendis itu udah kaya orang stes, jiwanya terganggu, tingkahnya kaya anak kecil,” ucap Bu Dijah, memulai gosip sedikit hangat, sebelum dipanaskan sesaat lagi oleh Bu Diah. Bisik-bisik para ibu yang lain mulai ramai. Rasa penasaran semakin besar, sedangkan Bu Yeni hanya an
BAB 11 KEPUTUSAN Sepulangnya Wisesa dari pasar, Bu Yeni suda bersiap untuk membahas tentang Gendis. Namun, Bu Yeni menunggu putranya tenang dulu, setidaknya istirahat sejenak. Bu Yeni juga berbasa-basi pada putranya tentang jualan hari ini, dengan begitu dia tahu suasana hati Wisesa. Jika di pasar tidak terlalu laris jualannya, atau takutnya ada kejadian apa, Bu Yeni mungkin akan menunda bahasan tentang Gendis. Pokoknya sangat hati-hati sekali untuk mengajak Wisesa bicara, dikarenakan hal ini harus segera dituntaskan, jangan sampai membuat suasana hati Wisesa tidak baik. Sebab hal itu akan membuat terusnya pembahasan tertunda. Magrib pun tiba, seperti biasa Wisesa pergi ke masjid bersama Bapaknya. Sepulang dari masjid, Pak Nana mengajak putranya untuk duduk di ruang makan. Bukan untuk niat makan malam, akan tetapi membahas tentang Gendis. Kenapa tidak berbicara di ruang tamu atau
Hari itu tiba, Jumat pagi pukul delapan yang cerah namun penuh ketegangan. Wisesa, bersama kedua orang tuanya, berangkat menuju rumah Bu Warni. Di balik sikap tenang ayah dan ibunya, Wisesa merasakan detak jantungnya memukul lebih cepat dari biasanya. Nafasnya tak teratur, seolah udara enggan memasuki paru-parunya dengan sempurna. Ada sesuatu dalam hatinya yang meronta, mendesaknya untuk kabur, untuk menghindari konfrontasi ini. Namun, ia tahu, ini adalah konsekuensi dari perbuatannya. Keberanian yang dipaksakannya kini terasa rapuh, seperti daun yang siap tertiup angin, tetapi dia tetap bertahan.Rumah Bu Warni tampak biasa saja dari luar, dikelilingi oleh pagar kayu yang sedikit tua, dengan tanaman rambat yang menjalar di bagian depan. Udara pagi yang sejuk di hari Jumat itu kontras dengan keringat dingin yang mengalir di dahi Wisesa. Setiap langkah menuju pintu rumah itu terasa berat, seolah kakinya terikat oleh beban kesalahan yang tak terkatakan. Ibunya, Bu Yeni, berdiri di depan
Bu Warni sedang menangis di dapur, dia tak sanggup lagi menyaksikan keadaan putrinya. Teriakan, tangisan dan pandangan hampa yang terjadi pada putrinya, seakan membuatnya ingin menyerah. Sudah dua minggu ini, tak ada perkembangan dari Gendis, putri semata wayang dari pasangan Bu Warni dan Pak Jaka.Pengobatan medis sampai ala kampung pun sudah dilakukan. Bahkan Pak Ustaz sudah beberapa kali datang, untuk membantu menenangkan Gendis dengan doa – doa.“Bu ... yang sabar,” ucap Pak Jaka yang menyusul istrinya ke dapur. “Jika kita lemah, siapa yang akan menguatkan Gendis?” lanjut Pak Jaka sambil mengusap-usap punggung istrinya.Bu Warni bergeming, nasihat seperti itu sudah sering didengarnya dan tak mengubah apa pun. Sesaat kemudian, Bu Warni beranjak dari tempatnya berdiri, dia mengambil piring kemudian menaruh nasi beserta lauk di dalamnya. Kemudian pergi dari dapur meninggalkan suaminya sendi
Hari itu tiba, Jumat pagi pukul delapan yang cerah namun penuh ketegangan. Wisesa, bersama kedua orang tuanya, berangkat menuju rumah Bu Warni. Di balik sikap tenang ayah dan ibunya, Wisesa merasakan detak jantungnya memukul lebih cepat dari biasanya. Nafasnya tak teratur, seolah udara enggan memasuki paru-parunya dengan sempurna. Ada sesuatu dalam hatinya yang meronta, mendesaknya untuk kabur, untuk menghindari konfrontasi ini. Namun, ia tahu, ini adalah konsekuensi dari perbuatannya. Keberanian yang dipaksakannya kini terasa rapuh, seperti daun yang siap tertiup angin, tetapi dia tetap bertahan.Rumah Bu Warni tampak biasa saja dari luar, dikelilingi oleh pagar kayu yang sedikit tua, dengan tanaman rambat yang menjalar di bagian depan. Udara pagi yang sejuk di hari Jumat itu kontras dengan keringat dingin yang mengalir di dahi Wisesa. Setiap langkah menuju pintu rumah itu terasa berat, seolah kakinya terikat oleh beban kesalahan yang tak terkatakan. Ibunya, Bu Yeni, berdiri di depan
BAB 11 KEPUTUSAN Sepulangnya Wisesa dari pasar, Bu Yeni suda bersiap untuk membahas tentang Gendis. Namun, Bu Yeni menunggu putranya tenang dulu, setidaknya istirahat sejenak. Bu Yeni juga berbasa-basi pada putranya tentang jualan hari ini, dengan begitu dia tahu suasana hati Wisesa. Jika di pasar tidak terlalu laris jualannya, atau takutnya ada kejadian apa, Bu Yeni mungkin akan menunda bahasan tentang Gendis. Pokoknya sangat hati-hati sekali untuk mengajak Wisesa bicara, dikarenakan hal ini harus segera dituntaskan, jangan sampai membuat suasana hati Wisesa tidak baik. Sebab hal itu akan membuat terusnya pembahasan tertunda. Magrib pun tiba, seperti biasa Wisesa pergi ke masjid bersama Bapaknya. Sepulang dari masjid, Pak Nana mengajak putranya untuk duduk di ruang makan. Bukan untuk niat makan malam, akan tetapi membahas tentang Gendis. Kenapa tidak berbicara di ruang tamu atau
Setelah kepergian Bu Dokter dari kumpulan ibu-ibu yang masih berbelanja, datanglah Bu Diah, dengan wajah semringah dari kejauhan. Sudah tak aneh lagi, jika Bu Diah terlihat sangat ceria dengan jalan sedikit dipercepat, pasti dia membawa berita heboh. Orang kampung menganggap Bu Diah adalah sumber informasi semua gosip di kampung Cirusuh, seakan dia paling tahu. Entah dari mana dan bagaimana caranya Bu Diah mendapatkan informasi itu. Walau kadang kurang valid, karena terlalu banyak bumbu dalam ceritanya sehingga menjadi gosip panas, walau masalah yang dibahas memanglah benar. “Tuh ... Bu, ada Bu Diah. Tanyakan saja sama dia, saya juga tahu dari dia. Gendis itu udah kaya orang stes, jiwanya terganggu, tingkahnya kaya anak kecil,” ucap Bu Dijah, memulai gosip sedikit hangat, sebelum dipanaskan sesaat lagi oleh Bu Diah. Bisik-bisik para ibu yang lain mulai ramai. Rasa penasaran semakin besar, sedangkan Bu Yeni hanya an
“Apakah kamu bisa mengenali itu parfum milik siapa?” tanya Pak Jaka, pada Gendis. Gendis diam sejenak, kemudian menggeleng. Pak Jaka pun menarik nafas pasrah. Setidaknya semua sudah terbuka, agar bisa mengambil tindakan ke jalur hukum untuk mencari pelaku. “Jika sudah tidak ada lagi yang Bapak perlukan pada saya, mungkin ... saya mau pamit, Pak. Tak terasa sudah lewat magrib,” ucap Dodi pada Pak Jaka. Pak Jaka melihat pada jam dinding yang ada di ruang tamu. “Oh iya, sudah hampir pukul setengah tujuh. Maaf ya, Nak Dodi. Sampai terlewat waktu salat,” ucap Pak Jaka menangkupkan ke dua tangganya di depan dada. Suara azan magrib memang sudah berkumandang sejak 20 menit yang lalu. Namun, sebab terlalu fokus mengobrol, mereka sampai lupa dan mengabaikan salat magrib tepat waktu. Kemudian Pak Jaka mempersilakan Dodi dan Supena yang tadi sudah izin untuk pamit
“Bagaimana? Kamu masih sanggup?” tanya Bu Warni pada putrinya. Gendis yang masih berada di pelukan Bu Warni, mengangguk. Tangannya yang menggenggam tisu, tak lepas dari depan hidungnya menahan tangis. Dodi menghela nafas sebelum melanjutkan kembali ceritanya, dalam hati merasa iba melihat kondisi Gendis. Salah apa gadis baik yang selalu ramah pada setiap orang ini? Gendis memang pendiam, jarang bergaul, namun dia tak pernah lepas senyum dan menyapa pada setiap orang yang ditemuinya. “Silakan, Nak Dodi,” perintah Pak Jaka. Dodi mengangguk, diiringi senyum tipisnya. Sebenarnya dia tak yakin untuk lanjut, sebab melihat kondisi Gendis merasa tak tega untuk kembali membuka kejadian yang sangat buruk. Kembali Dodi bercerita kejadian malam itu, “Saya meminta Gofar mematikan senter, sebab keadaan Gendis yang ...,” ucap Dodi tak kuasa melanjutkan ceritanya. Namun, Pak Jaka dan Bu Warni mengerti
Sepasang suami istri sedang merasa waswas menghadapi tamu yang tak kunjung pamit, sebab waktu sudah semakin sore. Bu Warni bingung cara membuat Bu Diah segera menyelesaikan urusannya. Sedangkan Pak Jaka juga bingung, harus berbasa-basi apa lagi dengan Dodi dan Supena. “Bagaimana Pak Jaka? Apakah saya sudah bisa menceritakan perihal yang Bapak minta? Maaf, soalnya hari mulai gelap,” ucap Supena, yang sedari tadi hanya diam menyimak. “Bagaimana ini? Kenapa kebetulan sekali, Bu Diah kemari. Ah ... sudahlah, memang harusnya seperti ini mungkin. Tanpa Bu Diah seorang kompor pun, namanya kejadian di kampung, pasti menyebar juga. Entah bagaimana caranya,” batin Pak Jaka. “E ... i-iya Boleh. Maaf ya, sebenarnya ... itu ...,” lirih Pak Jaka, sambil menunjuk ke arah belakang dirinya duduk, tepatnya ke arah ruang televisi. Kemudian Pak Jaka memberi kode dengan mengatupkan semua jari tangan di h
Bu Warni kembali ke ruang tamu dengan membawa beberapa suguhan. Wajah ayu yang selalu dihias senyum, memberi kesan ramah dan nyaman bagi orang-orang yang berinteraksi dengannya. Seperti halnya saat ini, sebenarnya Dodi merasa gugup dan takut. Takut salah bicara memberi kesaksian kejadian malam nahas itu. Soalnya Dodi pernah memiliki pengalaman, bersama teman-temannya menolong orang kecelakaan. Bukannya pihak keluarga korban berterima kasih, malah Dodi dan teman-temannya terkena tuduhan. Zaman sekarang memang susah sekali membedakan antara mencurigai dan hati-hati. Saking hati-hatinya jadi hilang kepercayaan terhadap orang lain. “Eh ... Supena sudah datang? Ini silakan diminum dulu, sambil nunggu bapak datang,” ucap Bu Warni sambil menyodorkan dua cangkir kopi, dan sepiring pisang goreng. “Ini ada pisang goreng, masih hangat, silakan jangan malu-malu,” ucap Bu Warni kembali. Walau keluarga Pak
Bu Yeni berpindah tempat duduk ke samping kanan Pak Nana. Kini posisi mereka cukup berhadapan, sebab Pak Nana masih membelakangi Wisesa. Disentuhnya tangan lelaki yang sudah menemani hidupnya, selama 26 tahun itu. Dengan lembut Bu Yeni mengusap punggung tangan Pak Nana yang masih terasa kekar, walau kulit sudah mulai terlihat keriput. Dengan sangat hati-hati, Bu Yeni memulai pembicaraan. Diawali dengan menatap wajah Pak Nana, lekat. “Pak ... tenangkan dulu emosi Bapak,” ucap Bu Yeni dengan mengusap perlahan dada Pak Nana. “Esa memang bersalah, tetapi kita jangan gegabah mengambil keputusan,” lanjut Bu Yeni sedikit ragu berkata, takut sang suami tidak menerima nasihatnya. “Masih untung tangan ini tak mendarat di pipi dia! Bapak udah gatel,” geram Pak Nana, sambil meremas-remas tangannya. “Ssst ... istighfar, Pak ...,” ucap Bu Yeni kembali. Bu Yeni terus mencoba membu
Pak Nana sekali lagi meminta putranya, untuk mengatakan apa yang menjadi beban di hati. Kini Wisesa duduk di tengah, di antara kedua orang tuanya. Bu Yeni memberikan minum air mineral hangat untuk Wisesa, agar lebih lega dan ringan untuk berbagi cerita."Ibu, Bapak, Wisesa telah melakukan dosa besar. Maafkan Wisesa, sekali lagi maaf ...," lirih Wisesa masih dengan suara paraunya. Beban di hati membuat suaranya sedikit tertahan."Iya, Nak. Ceritakanlah, kami siap mendengarkan cerita apa pun," ucap Bu Yeni yang berada di sebelah kanan Wisesa. Tangan Bu Yeni tak henti mengusap punggung putranya."Esa ... sudah ...." Seketika Wisesa memeluk ibunya. Tangisnya kembali pecah, "Esa berdosa Bu. Esa ... sudah menodai anak gadis orang ...," ucap Wisesa terbata-bata, dengan suara yang kurang jelas, sebab mukanya tersembunyi pada pundak Bu Yeni. Ditambah lagi suara berat dan parau dari tangisan yang belum sepenuhnya reda.&nbs