Bu Warni sedang menangis di dapur, dia tak sanggup lagi menyaksikan keadaan putrinya. Teriakan, tangisan dan pandangan hampa yang terjadi pada putrinya, seakan membuatnya ingin menyerah. Sudah dua minggu ini, tak ada perkembangan dari Gendis, putri semata wayang dari pasangan Bu Warni dan Pak Jaka.
Pengobatan medis sampai ala kampung pun sudah dilakukan. Bahkan Pak Ustaz sudah beberapa kali datang, untuk membantu menenangkan Gendis dengan doa – doa.
“Bu ... yang sabar,” ucap Pak Jaka yang menyusul istrinya ke dapur. “Jika kita lemah, siapa yang akan menguatkan Gendis?” lanjut Pak Jaka sambil mengusap-usap punggung istrinya.
Bu Warni bergeming, nasihat seperti itu sudah sering didengarnya dan tak mengubah apa pun. Sesaat kemudian, Bu Warni beranjak dari tempatnya berdiri, dia mengambil piring kemudian menaruh nasi beserta lauk di dalamnya. Kemudian pergi dari dapur meninggalkan suaminya sendiri. Sedangkan Pak Jaka, hanya menyaksikan kegiatan istrinya dengan perasaan bingung dan serba salah.
Sesungguhnya Pak Jaka sendiri sudah hampir menyerah, tapi dia tak ingin memperlihatkannya. Bagaimana jadinya jika dia pun ternyata tak tahu lagi harus berbuat apa, untuk kesembuhan putrinya. Bahkan, dia sendiri kini menjadi alasan putrinya sering berteriak dan mengamuk.
“A ...! Ergh ... ergh ...!” teriakan Gendis beserta erangan kembali memenuhi isi rumah.
Pak Jaka yang masih berada di dapur, berlari menghampiri kamar Gendis, tapi hanya sampai di depan pintu. “Ada apa lagi?” tanya Pak Jaka heran. Sebab teriakan Gendis sebenarnya sudah tak di dengar lagi belakangan ini. Pasti ada sesuatu yang terjadi jika Gendis kembali histeris.
Pak Jaka baru menyadari, di depan kamar Gendis sudah banyak orang, di antaranya dikenali oleh Pak Jaka. Tata, sahabatnya Gendis yang sering main ke rumah.
“Ini loh Pak, teman-temannya Gendis datang untuk menengok. Ibu gak tahu, ada teman lelakinya. Gendis histeris lagi jadinya,” terang Bu Warni yang keluar dari kamar Gendis, dengan piring berisi nasi masih berada di tangannya. Wajah sedih dan khawatirnya tak dapat disembunyikan dari parasnya yang masih terlihat ayu.
“Baiklah, Ibu tenang ya. Biar Bapak yang menemani teman-temannya Gendis,” ucap Pak Jaka, kemudian mempersilahkan teman-temannya Gendis yang masih pada berdiri di depan kamar putrinya, untuk duduk di ruang tamu.
Sebelumnya Bu Warni memang tidak tahu, jika di antara teman-teman Gendis ada laki-lakinya. Dia sedang fokus menyuapi Gendis, kemudian mendengar suara Tata, mengucap salam. Bu Warni merespons Tata tanpa menghiraukan pada sumber suara.
Tata adalah sahabat karib Gendis, dia suda sering berkunjung ke rumah tersebut, bahkan sering kali menginap. Jadi, Bu Warni merasa tak perlu lagi memperlakukan Tata seperti tamu. Tata pun demikian, dia masuk begitu saja langsung menuju kamar Gendis, yang terletak paling depan di rumah tersebut. Teman-teman Gendis yang lainnya hanya mengekor Tata.
Tata tidak tahu jika Gendis bukan sakit biasa. Dia juga tadi sangat terkejut ketika baru saja masuk ke kamar, Gendis langsung teriak sambil membelalakkan matanya ke arah rombongan temannya. Bantal, guling, sampai gelas yang ada di dekatnya, dilempar ke arah teman-temannya. Untung saja tidak ada yang terkena lemparan amukan Gendis.
Namun, setelahnya Gendis menunduk dalam, menutup muka dengan menggenggam erat sweternya, dia menangis sambil mengerang. Badannya gemetar seakan menahan amarah, giginya menggigit-gigit sweternya seperti orang gemas.
Saat ini Bu Warni menenangkan Gendis yang masih menggigil, dengan tatapan lurus ke bawah, seakan sedang menghitung jumlah ubin. Sweter berbahan wol yang selalu melekat di tubuhnya, ditarik erat-erat antara kedua sisi kanan dan kirinya, hingga ke depan dada. Sweter itu bukan model kaus, tapi seperti kemeja.
Rambutnya yang panjang sepunggung, dibetulkan oleh Bu Warni ke belakang. Sebab acak-acakan, terkena keringat karena menangis dan Gendis yang tadi histeris mengacak rambutnya sendiri.
“Sudah, Nak ... semua baik-baik saja. Ibu ada untuk Gendis. Sudah ya ....” Kata-kata tersebut seakan sudah menjadi mantra. Selalu diucapkan ketika Gendis hilang kendali.
***
Sementara itu, gurat ketakutan jelas sekali terlukis di wajah teman-teman Gendis. Mereka tidak tahu keadaan Gendis separah ini. Mereka khawatir, jika kedatangannya dapat memperburuk kesehatan Gendis.
“Pak, maafkan kami. Sungguh kami tidak tahu jika akan terjadi seperti ini,” ucap salah satu dari mereka.
Pak Jaka belum mengeluarkan suaranya sama sekali, hal itu menambah rasa bersalah dan ketegangan pada teman-teman Gendis. Mereka saling memandang, seakan mencari jawaban yang tersirat dari mimik masing-masing. Mereka pun saling mengedikan bahu, tanda tak tahu apa yang harus diperbuat.
“Diminum dulu, Nak,” ucap Pak Jaka, sambil mengeluarkan air mineral ukuran gelas, dari dalam kardus di bawah meja.
“I-iya, terima kasih, Pak,” jawab salah satu di antara teman-temannya Gendis, sambil membantu menata minuman tersebut untuk masing-masing temannya.
“Kalian tak usah merasa gimana-gimana, begitulah memang keadaan Gendis. Dia sebenarnya tidak sakit seperti yang kalian kira. Bapak pun bingung menjelaskannya dari mana,” Pak Jaka memulai pembicaraannya, dengan nada tak ada gairah sama sekali.
“Lantas, Gendis sakit apa sebenarnya, Pak? Em ... maaf, jika pertanyaan saya kurang tepat,” tanya pria yang memiliki rambut ikal, dan badan sedikit tambun itu.
Pak Jaka, menghela nafasnya. Kemudian menggeleng lesu, “Bapak juga belum tahu yang sebenarnya. Warga hanya menemukan Gendis di rumah kosong di depan jalan sana,” ucap Pak Jaka.
Teman-teman Gendis hanya dapat mengangguk-angguk memahami keadaan Pak Jaka. Mereka pun semakin bingung mau berbasa-basi apa lagi, takut salah bicara. Kini teman-teman Gendis bertatap bertukar pandang, mereka memberi kode untuk berpamitan saja.
“Em ... Pak, maaf jika kedatangan kami mengganggu kondisi Gendis. Kami doakan semoga Gendis cepat pulih. Sepertinya kami harus pamit, Pak,” ucap salah satu di antara teman Gendis, degan sedikit terbata-bata.
Tata mewakili pertama yang berpamitan pada Pak Jaka. "Pak, ini ada titipan dari teman-teman kami di toko," ucap Tata, seraya menyodorkan amplop berwarna coklat. Kemudian menjabat tangan Pak Jaka.
“Loh, kenapa buru-buru sekali? Dan ... ini kenapa harus repot-repot?” tanya Pak Jaka, sambil merespons jabatan tangan Tata.
“Iya, Pak. Itu hanya sedikit dari kami, semoga Bapak berkenan menerimanya. Dan ... kebetulan kami masih ada jam kerja, kemari karena mengambil jam istirahat,” jelas Tata.
“Oh, begitu ... baiklah. Terima kasih ya, sudah nengokin Gendis,” ucap Pak Jaka, sambil menyambut jabatan tangan yang lainnya. Kemudian mengantar teman-teman Gendis sampai teras rumah.
***
Sementara itu, di perjalanan menuju tempat kerja. Tata dan teman-temannya membahas tentang keadaan Gendis. Mereka penasaran dengan apa yang tadi diceritakan Pak Jaka. Berbagai sangkaan pun terbersit di benak mereka.
Tata beserta teman-temannya itu masih berjalan kaki menuju pertigaan jalan raya. Sebab jalan yang melalui rumah Gendis, tidak dilalui angkutan umum. Padahal jalannya sudah beraspal, namun masih berlaku untuk jalan kampung biasa, belum ramai kendaraan yang melintas ke wilayah tersebut.
Mereka sibuk berbincang menebak-nebak kemungkinan yang terjadi, tanpa sengaja mereka mendengar perbincangan beberapa orang warga, di sebuah warung kopi yang mereka lalui.
“Wajarlah, Gendis itu wanita tidak baik. Pulang larut malam, kadang besoknya baru pulang,” ucap wanita yang menggendong anak kecil.
Tata langsung menghentikan langkahnya dan memberi kode pada teman-temannya agar berhenti.
“Ada apa sih, Ta?” tanya teman prianya keheranan.
Keberadaan Tata dan teman-temannya sudah melalui warung kopi tadi. Sebenarnya mereka tak bermaksud menguping, makanya berlalu begitu saja. Namun, Tata merasa penasaran dengan apa yang tidak sengaja didengarnya.
Tata menaruh jari telunjuknya, di depan bibirnya yang sedikit dimajukan, “Ssst ... kalian dengar barusan dari warung kopi itu?” tanya Tata pada teman-temannya.
“Dengar apa?” tanya cowok berambut ikal.
“Eh iya, aku sepertinya tadi mendengar tentang Gendis. Katanya dia ....” Teman Gendis berkerudung ini langsung menutup mulutnya tak percaya. “Masa iya sih! Gendis seperti itu?” ujarnya sedikit terkejut.
“Beno, kamu ke warung kopi itu sana! Pura-pura beli apa, kek,” perintah Tata. Beno adalah cowok yang berambut ikal dan tambun itu.
“Ih, masa Aku. Aku kan cowok, enggak ah,” tolak Beno dengan sedikit memundurkan langkahnya.
“Ah ... udah-udah, aku saja. Kalian tunggu jangan di sini, mencurigakan,” ucap Nita dengan segera berlalu pergi menuju warung kopi tadi.
Bersambung....
“Dih, apa-apaan ‘sih, Nita. Kami mencurigakan kenapa? Memangnya kami penjahat?” Beno sewot sendiri.“Haduh ... dasar lemot. Maksud Nita, mereka mungkin saja sadar bahwa kita sengaja berhenti dan pura-pura jajan di sana. Malu dong, kelihatan banget sengaja nguping,” jelas Tata dengan menarik tangan Beno, agar meneruskan langkah mereka.Tata dan temannya sengaja terus berjalan sampai ke ujung jalan pertigaan. Biar mereka menunggu Nita, di tempat pemberhentian angkutan umum saja. Teman-teman Gendis yang ikut menengok itu ada lima orang. Dua laki-laki dan tiga perempuan. Mereka tidak menggunakan motor, karena kebetulan tidak punya. Tidak pula ingin pinjam pada rekan kerja yang lain, karena sungkan berbasa-basi.Sementara itu, Nita sudah berada di warung kopi. Dalam hatinya masih panik, “Aduh ... aku harus beli apa ya? Yang bisa dilayani agak lama. Masa iya harus borong jajanan banyak?&rdqu
“Esa ...,” ucap sang Ibu, menyentuh pundak Wisesa pelan. Bu Yeni kini sudah berada dekat dengan putranya. “Kamu gak mendengar Ibu memanggil dari tadi?” tanya Bu Yeni dengan lembut.Wisesa hanya mengangguk. Sesekali tangannya melempar beberapa makanan ayam. Tatapannya masih fokus lurus seperti semula.“Kamu dipanggil Bapak, Nak,” lanjut sang ibu.“Ya, Esa ke sana sebentar lagi,” jawab Wisesa dengan tanpa semangat.Bu Yeni mengusap pundak putranya, dengan menghela nafas berat. Kemudian pergi dengan membawa rasa sedih yang tak jelas apa. Bu Yeni bingung untuk mengajak putranya itu bicara yang sebenarnya. Sebab Wisesa selalu menjawab tidak ada apa-apa. Sedangkan bahasa tubuh yang ditunjukkan berbeda.Pak Nana sudah menunggu putra sulungnya di ruang tamu. Melihat kedatangan istrinya, Pak Nana menanyakan keberadaan putranya. Bu Yeni
Pak Nana sekali lagi meminta putranya, untuk mengatakan apa yang menjadi beban di hati. Kini Wisesa duduk di tengah, di antara kedua orang tuanya. Bu Yeni memberikan minum air mineral hangat untuk Wisesa, agar lebih lega dan ringan untuk berbagi cerita."Ibu, Bapak, Wisesa telah melakukan dosa besar. Maafkan Wisesa, sekali lagi maaf ...," lirih Wisesa masih dengan suara paraunya. Beban di hati membuat suaranya sedikit tertahan."Iya, Nak. Ceritakanlah, kami siap mendengarkan cerita apa pun," ucap Bu Yeni yang berada di sebelah kanan Wisesa. Tangan Bu Yeni tak henti mengusap punggung putranya."Esa ... sudah ...." Seketika Wisesa memeluk ibunya. Tangisnya kembali pecah, "Esa berdosa Bu. Esa ... sudah menodai anak gadis orang ...," ucap Wisesa terbata-bata, dengan suara yang kurang jelas, sebab mukanya tersembunyi pada pundak Bu Yeni. Ditambah lagi suara berat dan parau dari tangisan yang belum sepenuhnya reda.&nbs
Bu Yeni berpindah tempat duduk ke samping kanan Pak Nana. Kini posisi mereka cukup berhadapan, sebab Pak Nana masih membelakangi Wisesa. Disentuhnya tangan lelaki yang sudah menemani hidupnya, selama 26 tahun itu. Dengan lembut Bu Yeni mengusap punggung tangan Pak Nana yang masih terasa kekar, walau kulit sudah mulai terlihat keriput. Dengan sangat hati-hati, Bu Yeni memulai pembicaraan. Diawali dengan menatap wajah Pak Nana, lekat. “Pak ... tenangkan dulu emosi Bapak,” ucap Bu Yeni dengan mengusap perlahan dada Pak Nana. “Esa memang bersalah, tetapi kita jangan gegabah mengambil keputusan,” lanjut Bu Yeni sedikit ragu berkata, takut sang suami tidak menerima nasihatnya. “Masih untung tangan ini tak mendarat di pipi dia! Bapak udah gatel,” geram Pak Nana, sambil meremas-remas tangannya. “Ssst ... istighfar, Pak ...,” ucap Bu Yeni kembali. Bu Yeni terus mencoba membu
Bu Warni kembali ke ruang tamu dengan membawa beberapa suguhan. Wajah ayu yang selalu dihias senyum, memberi kesan ramah dan nyaman bagi orang-orang yang berinteraksi dengannya. Seperti halnya saat ini, sebenarnya Dodi merasa gugup dan takut. Takut salah bicara memberi kesaksian kejadian malam nahas itu. Soalnya Dodi pernah memiliki pengalaman, bersama teman-temannya menolong orang kecelakaan. Bukannya pihak keluarga korban berterima kasih, malah Dodi dan teman-temannya terkena tuduhan. Zaman sekarang memang susah sekali membedakan antara mencurigai dan hati-hati. Saking hati-hatinya jadi hilang kepercayaan terhadap orang lain. “Eh ... Supena sudah datang? Ini silakan diminum dulu, sambil nunggu bapak datang,” ucap Bu Warni sambil menyodorkan dua cangkir kopi, dan sepiring pisang goreng. “Ini ada pisang goreng, masih hangat, silakan jangan malu-malu,” ucap Bu Warni kembali. Walau keluarga Pak
Sepasang suami istri sedang merasa waswas menghadapi tamu yang tak kunjung pamit, sebab waktu sudah semakin sore. Bu Warni bingung cara membuat Bu Diah segera menyelesaikan urusannya. Sedangkan Pak Jaka juga bingung, harus berbasa-basi apa lagi dengan Dodi dan Supena. “Bagaimana Pak Jaka? Apakah saya sudah bisa menceritakan perihal yang Bapak minta? Maaf, soalnya hari mulai gelap,” ucap Supena, yang sedari tadi hanya diam menyimak. “Bagaimana ini? Kenapa kebetulan sekali, Bu Diah kemari. Ah ... sudahlah, memang harusnya seperti ini mungkin. Tanpa Bu Diah seorang kompor pun, namanya kejadian di kampung, pasti menyebar juga. Entah bagaimana caranya,” batin Pak Jaka. “E ... i-iya Boleh. Maaf ya, sebenarnya ... itu ...,” lirih Pak Jaka, sambil menunjuk ke arah belakang dirinya duduk, tepatnya ke arah ruang televisi. Kemudian Pak Jaka memberi kode dengan mengatupkan semua jari tangan di h
“Bagaimana? Kamu masih sanggup?” tanya Bu Warni pada putrinya. Gendis yang masih berada di pelukan Bu Warni, mengangguk. Tangannya yang menggenggam tisu, tak lepas dari depan hidungnya menahan tangis. Dodi menghela nafas sebelum melanjutkan kembali ceritanya, dalam hati merasa iba melihat kondisi Gendis. Salah apa gadis baik yang selalu ramah pada setiap orang ini? Gendis memang pendiam, jarang bergaul, namun dia tak pernah lepas senyum dan menyapa pada setiap orang yang ditemuinya. “Silakan, Nak Dodi,” perintah Pak Jaka. Dodi mengangguk, diiringi senyum tipisnya. Sebenarnya dia tak yakin untuk lanjut, sebab melihat kondisi Gendis merasa tak tega untuk kembali membuka kejadian yang sangat buruk. Kembali Dodi bercerita kejadian malam itu, “Saya meminta Gofar mematikan senter, sebab keadaan Gendis yang ...,” ucap Dodi tak kuasa melanjutkan ceritanya. Namun, Pak Jaka dan Bu Warni mengerti
“Apakah kamu bisa mengenali itu parfum milik siapa?” tanya Pak Jaka, pada Gendis. Gendis diam sejenak, kemudian menggeleng. Pak Jaka pun menarik nafas pasrah. Setidaknya semua sudah terbuka, agar bisa mengambil tindakan ke jalur hukum untuk mencari pelaku. “Jika sudah tidak ada lagi yang Bapak perlukan pada saya, mungkin ... saya mau pamit, Pak. Tak terasa sudah lewat magrib,” ucap Dodi pada Pak Jaka. Pak Jaka melihat pada jam dinding yang ada di ruang tamu. “Oh iya, sudah hampir pukul setengah tujuh. Maaf ya, Nak Dodi. Sampai terlewat waktu salat,” ucap Pak Jaka menangkupkan ke dua tangganya di depan dada. Suara azan magrib memang sudah berkumandang sejak 20 menit yang lalu. Namun, sebab terlalu fokus mengobrol, mereka sampai lupa dan mengabaikan salat magrib tepat waktu. Kemudian Pak Jaka mempersilakan Dodi dan Supena yang tadi sudah izin untuk pamit
Hari itu tiba, Jumat pagi pukul delapan yang cerah namun penuh ketegangan. Wisesa, bersama kedua orang tuanya, berangkat menuju rumah Bu Warni. Di balik sikap tenang ayah dan ibunya, Wisesa merasakan detak jantungnya memukul lebih cepat dari biasanya. Nafasnya tak teratur, seolah udara enggan memasuki paru-parunya dengan sempurna. Ada sesuatu dalam hatinya yang meronta, mendesaknya untuk kabur, untuk menghindari konfrontasi ini. Namun, ia tahu, ini adalah konsekuensi dari perbuatannya. Keberanian yang dipaksakannya kini terasa rapuh, seperti daun yang siap tertiup angin, tetapi dia tetap bertahan.Rumah Bu Warni tampak biasa saja dari luar, dikelilingi oleh pagar kayu yang sedikit tua, dengan tanaman rambat yang menjalar di bagian depan. Udara pagi yang sejuk di hari Jumat itu kontras dengan keringat dingin yang mengalir di dahi Wisesa. Setiap langkah menuju pintu rumah itu terasa berat, seolah kakinya terikat oleh beban kesalahan yang tak terkatakan. Ibunya, Bu Yeni, berdiri di depan
BAB 11 KEPUTUSAN Sepulangnya Wisesa dari pasar, Bu Yeni suda bersiap untuk membahas tentang Gendis. Namun, Bu Yeni menunggu putranya tenang dulu, setidaknya istirahat sejenak. Bu Yeni juga berbasa-basi pada putranya tentang jualan hari ini, dengan begitu dia tahu suasana hati Wisesa. Jika di pasar tidak terlalu laris jualannya, atau takutnya ada kejadian apa, Bu Yeni mungkin akan menunda bahasan tentang Gendis. Pokoknya sangat hati-hati sekali untuk mengajak Wisesa bicara, dikarenakan hal ini harus segera dituntaskan, jangan sampai membuat suasana hati Wisesa tidak baik. Sebab hal itu akan membuat terusnya pembahasan tertunda. Magrib pun tiba, seperti biasa Wisesa pergi ke masjid bersama Bapaknya. Sepulang dari masjid, Pak Nana mengajak putranya untuk duduk di ruang makan. Bukan untuk niat makan malam, akan tetapi membahas tentang Gendis. Kenapa tidak berbicara di ruang tamu atau
Setelah kepergian Bu Dokter dari kumpulan ibu-ibu yang masih berbelanja, datanglah Bu Diah, dengan wajah semringah dari kejauhan. Sudah tak aneh lagi, jika Bu Diah terlihat sangat ceria dengan jalan sedikit dipercepat, pasti dia membawa berita heboh. Orang kampung menganggap Bu Diah adalah sumber informasi semua gosip di kampung Cirusuh, seakan dia paling tahu. Entah dari mana dan bagaimana caranya Bu Diah mendapatkan informasi itu. Walau kadang kurang valid, karena terlalu banyak bumbu dalam ceritanya sehingga menjadi gosip panas, walau masalah yang dibahas memanglah benar. “Tuh ... Bu, ada Bu Diah. Tanyakan saja sama dia, saya juga tahu dari dia. Gendis itu udah kaya orang stes, jiwanya terganggu, tingkahnya kaya anak kecil,” ucap Bu Dijah, memulai gosip sedikit hangat, sebelum dipanaskan sesaat lagi oleh Bu Diah. Bisik-bisik para ibu yang lain mulai ramai. Rasa penasaran semakin besar, sedangkan Bu Yeni hanya an
“Apakah kamu bisa mengenali itu parfum milik siapa?” tanya Pak Jaka, pada Gendis. Gendis diam sejenak, kemudian menggeleng. Pak Jaka pun menarik nafas pasrah. Setidaknya semua sudah terbuka, agar bisa mengambil tindakan ke jalur hukum untuk mencari pelaku. “Jika sudah tidak ada lagi yang Bapak perlukan pada saya, mungkin ... saya mau pamit, Pak. Tak terasa sudah lewat magrib,” ucap Dodi pada Pak Jaka. Pak Jaka melihat pada jam dinding yang ada di ruang tamu. “Oh iya, sudah hampir pukul setengah tujuh. Maaf ya, Nak Dodi. Sampai terlewat waktu salat,” ucap Pak Jaka menangkupkan ke dua tangganya di depan dada. Suara azan magrib memang sudah berkumandang sejak 20 menit yang lalu. Namun, sebab terlalu fokus mengobrol, mereka sampai lupa dan mengabaikan salat magrib tepat waktu. Kemudian Pak Jaka mempersilakan Dodi dan Supena yang tadi sudah izin untuk pamit
“Bagaimana? Kamu masih sanggup?” tanya Bu Warni pada putrinya. Gendis yang masih berada di pelukan Bu Warni, mengangguk. Tangannya yang menggenggam tisu, tak lepas dari depan hidungnya menahan tangis. Dodi menghela nafas sebelum melanjutkan kembali ceritanya, dalam hati merasa iba melihat kondisi Gendis. Salah apa gadis baik yang selalu ramah pada setiap orang ini? Gendis memang pendiam, jarang bergaul, namun dia tak pernah lepas senyum dan menyapa pada setiap orang yang ditemuinya. “Silakan, Nak Dodi,” perintah Pak Jaka. Dodi mengangguk, diiringi senyum tipisnya. Sebenarnya dia tak yakin untuk lanjut, sebab melihat kondisi Gendis merasa tak tega untuk kembali membuka kejadian yang sangat buruk. Kembali Dodi bercerita kejadian malam itu, “Saya meminta Gofar mematikan senter, sebab keadaan Gendis yang ...,” ucap Dodi tak kuasa melanjutkan ceritanya. Namun, Pak Jaka dan Bu Warni mengerti
Sepasang suami istri sedang merasa waswas menghadapi tamu yang tak kunjung pamit, sebab waktu sudah semakin sore. Bu Warni bingung cara membuat Bu Diah segera menyelesaikan urusannya. Sedangkan Pak Jaka juga bingung, harus berbasa-basi apa lagi dengan Dodi dan Supena. “Bagaimana Pak Jaka? Apakah saya sudah bisa menceritakan perihal yang Bapak minta? Maaf, soalnya hari mulai gelap,” ucap Supena, yang sedari tadi hanya diam menyimak. “Bagaimana ini? Kenapa kebetulan sekali, Bu Diah kemari. Ah ... sudahlah, memang harusnya seperti ini mungkin. Tanpa Bu Diah seorang kompor pun, namanya kejadian di kampung, pasti menyebar juga. Entah bagaimana caranya,” batin Pak Jaka. “E ... i-iya Boleh. Maaf ya, sebenarnya ... itu ...,” lirih Pak Jaka, sambil menunjuk ke arah belakang dirinya duduk, tepatnya ke arah ruang televisi. Kemudian Pak Jaka memberi kode dengan mengatupkan semua jari tangan di h
Bu Warni kembali ke ruang tamu dengan membawa beberapa suguhan. Wajah ayu yang selalu dihias senyum, memberi kesan ramah dan nyaman bagi orang-orang yang berinteraksi dengannya. Seperti halnya saat ini, sebenarnya Dodi merasa gugup dan takut. Takut salah bicara memberi kesaksian kejadian malam nahas itu. Soalnya Dodi pernah memiliki pengalaman, bersama teman-temannya menolong orang kecelakaan. Bukannya pihak keluarga korban berterima kasih, malah Dodi dan teman-temannya terkena tuduhan. Zaman sekarang memang susah sekali membedakan antara mencurigai dan hati-hati. Saking hati-hatinya jadi hilang kepercayaan terhadap orang lain. “Eh ... Supena sudah datang? Ini silakan diminum dulu, sambil nunggu bapak datang,” ucap Bu Warni sambil menyodorkan dua cangkir kopi, dan sepiring pisang goreng. “Ini ada pisang goreng, masih hangat, silakan jangan malu-malu,” ucap Bu Warni kembali. Walau keluarga Pak
Bu Yeni berpindah tempat duduk ke samping kanan Pak Nana. Kini posisi mereka cukup berhadapan, sebab Pak Nana masih membelakangi Wisesa. Disentuhnya tangan lelaki yang sudah menemani hidupnya, selama 26 tahun itu. Dengan lembut Bu Yeni mengusap punggung tangan Pak Nana yang masih terasa kekar, walau kulit sudah mulai terlihat keriput. Dengan sangat hati-hati, Bu Yeni memulai pembicaraan. Diawali dengan menatap wajah Pak Nana, lekat. “Pak ... tenangkan dulu emosi Bapak,” ucap Bu Yeni dengan mengusap perlahan dada Pak Nana. “Esa memang bersalah, tetapi kita jangan gegabah mengambil keputusan,” lanjut Bu Yeni sedikit ragu berkata, takut sang suami tidak menerima nasihatnya. “Masih untung tangan ini tak mendarat di pipi dia! Bapak udah gatel,” geram Pak Nana, sambil meremas-remas tangannya. “Ssst ... istighfar, Pak ...,” ucap Bu Yeni kembali. Bu Yeni terus mencoba membu
Pak Nana sekali lagi meminta putranya, untuk mengatakan apa yang menjadi beban di hati. Kini Wisesa duduk di tengah, di antara kedua orang tuanya. Bu Yeni memberikan minum air mineral hangat untuk Wisesa, agar lebih lega dan ringan untuk berbagi cerita."Ibu, Bapak, Wisesa telah melakukan dosa besar. Maafkan Wisesa, sekali lagi maaf ...," lirih Wisesa masih dengan suara paraunya. Beban di hati membuat suaranya sedikit tertahan."Iya, Nak. Ceritakanlah, kami siap mendengarkan cerita apa pun," ucap Bu Yeni yang berada di sebelah kanan Wisesa. Tangan Bu Yeni tak henti mengusap punggung putranya."Esa ... sudah ...." Seketika Wisesa memeluk ibunya. Tangisnya kembali pecah, "Esa berdosa Bu. Esa ... sudah menodai anak gadis orang ...," ucap Wisesa terbata-bata, dengan suara yang kurang jelas, sebab mukanya tersembunyi pada pundak Bu Yeni. Ditambah lagi suara berat dan parau dari tangisan yang belum sepenuhnya reda.&nbs