Beranda / Romansa / NODA CINTA / Interogasi Wisesa

Share

Interogasi Wisesa

Penulis: El Nurcahyani
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-11 04:58:59

“Esa ...,” ucap sang Ibu, menyentuh pundak Wisesa pelan. Bu Yeni kini sudah berada dekat dengan putranya. “Kamu gak mendengar Ibu memanggil dari tadi?” tanya Bu Yeni dengan lembut. 

Wisesa hanya mengangguk. Sesekali tangannya melempar beberapa makanan ayam. Tatapannya masih fokus lurus seperti semula.

“Kamu dipanggil Bapak, Nak,” lanjut sang ibu.

“Ya, Esa ke sana sebentar lagi,” jawab Wisesa dengan tanpa semangat.

Bu Yeni mengusap pundak putranya, dengan menghela nafas berat. Kemudian pergi dengan membawa rasa sedih yang tak jelas apa. Bu Yeni bingung untuk mengajak putranya itu bicara yang sebenarnya. Sebab Wisesa selalu menjawab tidak ada apa-apa. Sedangkan bahasa tubuh yang ditunjukkan berbeda.

Pak Nana sudah menunggu putra sulungnya di ruang tamu. Melihat kedatangan istrinya, Pak Nana menanyakan keberadaan putranya. Bu Yeni pun memberitahukan bahwa Wisesa sebentar lagi datang.

“Ada apa, Pak,” tanya Wisesa yang baru saja datang.

“Sini Nak, duduk!” pinta Pak Nana.

Wisesa mematuhi perintah bapaknya, dia duduk pada sofa dekat Pak Nana sebelah depan, agak ke samping. Sedangkan Bu Yeni pergi ke belakang, mempersiapkan camilan yang di pesan suaminya.

Hari ini sengaja dipersiapkan Pak Nana untuk berbicara serius dengan Wisesa. Akhir-akhir ini Wisesa berubah sangat pendiam, malah terlihat murung. Sejatinya, putra Pak Nana itu memang tidak banyak tingkah sebagai pemuda seusianya.

Untuk ukuran pemuda seusia Wisesa, wajar jika masih suka bergaul main-main, nongkrong sekedar mencari hiburan. Bahkan biasanya setiap malam minggu, Wisesa suka gabung dengan temannya di pos ronda. Namun, sudah tiga kali malam minggu, Wisesa lebih suka menghabiskan di rumah, tepatnya di kamar.

Wisesa yang sehari-harinya bekerja di pasar menggantikan ayahnya, sebagai pedagang sayuran. Biasanya pulang setelah lewat asar, tapi akhir-akhir ini diperhatikan pukul dua siang sudah di rumah. Bahkan pernah, baru saja zuhur sudah pulang.

“Nak, Bapak mau bicara sangat serius. Bapak harap, kali ini kamu berterus terang. Kami orang tua, peka akan perubahan anak-anaknya. Maka dari itu, jangan menutupi apa pun dari kami,” ucap Pak Nana, dengan tenang menyelami wajah Wisesa yang sedikit menunduk.

Darah Wisesa berdesir, perasaan merinding menghinggapi, terutama di daerah tengkuknya terasa angin seakan semilir, setelah mendengar permintaan bapaknya. Kebingungan mulai membuat Wisesa tegang, memancing keringat dingin.

Pak Nana menghela nafas dalam, dengan sabar dia menunggu putranya berbicara. “Nak ...,” ucap Pak Nana kembali, sebagai penegasan bahwa jawaban Wisesa sangat ditunggu.

Mereka saling diam cukup lama. Dalam benak Pak Nana, obrolan kali ini harus berhasil. Banyak sekali akibat dari perubahan putranya itu. Mungkin oleh Wisesa tak terasa, sebab kesadarannya mungkin sedang tidak normal.

Sebenarnya, pelanggan Pak Nana di pasar banyak yang mengeluh. Sebab sayuran yang dijual kini kurang segar dan sering kali Wisesa salah menghitung jumlah belanjaan para pembeli. Biasanya Pak Nana menerima sayuran dari para petani, yang datang sore hari, untuk dijual esok pagi. Lebih tepatnya dini hari. Sebab dari pukul tiga, biasanya jongko sudah siap.

Wisesa sering pulang masih siang, sehingga para petani sayuran yang akan mengirim barang, tidak jadi dan diberikan ke jongko orang lain. Pernah suatu ketika ditegur oleh Pak Nana, tapi Wisesa bilang itu bisa diatur. Dia bisa berbelanja di pasar induk, sebelum jongko dibuka. Biar sekalian katanya, semua barang ada di pasar induk.

Pada akhirnya Pak Nana menurut saja, mempercayakan jongkonya pada putranya itu. Belajar mengatur usaha dengan caranya. Meskipun, kualitas barang dari pasar induk berbeda, dengan dari petani langsung. Sesekali Pak Nana masih ke pasar, untuk sekedar lihat perkembangan dan bertemu pelanggan. Sebelum benar-benar nanti jongko sayur itu, dipercayakan sepenuhnya pada Wisesa.

Belum lagi perihal adik-adik Wisesa yang menjadi takut dengan Kakaknya. Sering terkena bentakan Wisesa tak jelas. Mungkin saja Wisesa sedang melamun, tak fokus, adiknya bertanya atau ingin sekedar berbincang, Wisesa refleks membentak sebab merasa terganggu. Kesehatan Bu Yeni juga hampir terganggu, tak semangat makan, tidur pun terpikir perubahan Wisesa yang murung terus. 

“Nak ... Bapak bukan paranormal yang mampu mengetahui maksud dari diammu. Sampai kapan kamu membuat kami menebak-nebak?” Kali ini ucapan Pak Nana sedikit ada tekanan.

Wisesa peka dengan perubahan intonasi bicara bapaknya. Dia mulai berdeham pelan, berusaha menetralkan kegugupan dan rasa bersalahnya.

“Pak ... maaf, jika gara-gara Esa, ibu sama Bapak menjadi repot. Esa mau merantau saja, Esa mau benar-benar belajar mandiri,” lirih Esa, dengan kepala masih sedikit menunduk. Kedua tangannya mengatup dan diselipkan di kedua pahanya.

“Apak, Nak? Ibu tidak setuju. Kenapa tiba-tiba membahas merantau?” tiba-tiba Bu Yeni menyela. Dia baru datang dari dapur dengan nampan berisi makanan dan kopi untuk suaminya.

Bu Yeni kini duduk di samping suaminya. Setelah itu, kembali mengungkapkan rasa tidak setujunya. Bu Yeni merasa, bahwa Wisesa akan menghindari mereka dari todongan pertanyaan. 

 “Jangan uji kesabaran kami, Nak .... Kamu sudah dewasa, berpikir jernihlah. Jika di antara kita ada masalah, selesaikan sama-sama, kita ini keluarga.” Suara Bu Yeni mulai bergetar. Dia takut anaknya benar-benar pergi.

“Benar, Nak. Sampai kapan menghindar? Jika benar kamu memiliki masalah berat, semakin kamu tutupi akan semakin berat. Apakah kamu anggap, masalah ini lambat laun akan hilang ditelan waktu? Nggak, Nak. Perasaan waswas semakin menghantui, meski Bapak gak tahu masalah apa yang sedang kamu hadapi,” imbuh Pak Nana, berusaha sabar dan pelan menasihati Wisesa.

Wisesa sedang menyelami nasihat dari orang tuanya. Posisinya yang tak berubah sejak tadi, semakin ditekuk kepalanya lebih dalam. Apa yang dikatakan Bapaknya terasa sekali sebagai tamparan. Wisesa merasakan hari-harinya semakin berat, gelisah, khawatir, hilang fokus, benar-benar kacau pokoknya.

Wisesa, pemuda berusia 25 tahun ini memang tak banyak tingkah. Namun, perasaannya tetaplah normal sebagai laki-laki dewasa, yang memiliki hawa nafsu, tetapi bagi Wisesa nafsu nomor sekian. Dia bisa meredam keinginannya bergaul, sok keren, sok asyik di tongkrongan, bahkan pacaran pun pernah hanya sekali. Setelah putus yang pertama kalinya, dia tak ingin main-main lagi dalam menjalani hubungan asmara.

Dalam pergaulannya, Wisesa hanya sesekali berkumpul dengan teman-teman sekampungnya. Hal itu hanya untuk menghargai posisi Bapaknya, di kampung Cirusuh sebagai ketua RT. Dia juga tak ingin disebut sombong. Namun, Wisesa lebih kepada menyimak obrolan teman-temannya, jika sedang berkumpul. Merespons hanya sesekali jika dirasa sangat perlu.

Tiba-tiba saja tubuh Wisesa bergetar, pundaknya semakin tinggi menciut, kedua tangan yang sejak tadi berada di kedua pahanya semakin merapat. Lamat-lamat terdengar suara isak, membuat Pak Nana dan Bu Yeni terkejut.

“Nak ...?” Bu Yeni panik. Beranjak dari duduknya, dengan terburu-buru menghampiri putranya. Dipeluknya Wisesa dengan posisinya yang berdiri, terpancinglah tangis Bu Yeni. “Jangan buat Ibu takut! Ada apa Esa ...!” Bu Yeni histeris.

“Ssst, Bu ... jangan keras-keras,” ucap Pak Nana, yang kini duduknya bergeser lebih dekat pada posisi Wisesa.

Dengan tangis histeris, Bu Yeni tak dapat mengontrol kepanikannya. “Anak kita, Pak ...! Kenapa ini? Esa ... bilang pada Ibu, ada apa?” setengah berteriak, Bu Yeni semakin mengeratkan pelukannya pada Wisesa. Diusapnya pundak, punggung, sampai berkali-kali diciuminya pucuk kepala putranya. Bu Yeni baru pertama kali lihat Wisesa menangis, semenjak dia tumbuh menjadi dewasa. Betapa tidak panik?

Kedua adik Wisesa yang sejak tadi hanya bisa berdiam di kamar, sebab paham situasi sedang tegang, antara kakak dan orang tuanya. Mereka kini keluar kamar, ingin tahu apa yang terjadi. Teriakan Bu Yeni, menimbulkan rasa takut dan khawatir pada Ingrid dan Rendi, adik kakak yang usianya hanya beda satu tahun itu.

“Udah Bu ...  udah. Duduk sini, tenang dulu. Biarkan Esa meluapkan beban hatinya terlebih dahulu,” ucap Pak Nana, sambil meraih tangan istrinya perlahan, agar mau duduk di sebelahnya.

Wisesa seketika bersimpuh di depan Ibunya, serta ditaruh kepalanya di atas pangkuan sang Ibu. Dengan menggenggam kedua tangan Bu Yeni, Wisesa menumpahkan rasa bersalahnya, di tengah suara tangis yang belum mereda, “Hiks... maafkan Wisesa Bu, Pak ... Esa udah salah. Esa udah membuat malu ....”

Bu Yeni dan Pak Nana saling pandang, mereka tak paham dengan apa yang dikatakan putranya. Pak Nana kemudian mengusap-usap punggung Wisesa, berusaha memberikan ketenangan. Begitu pun dengan Bu Yeni, terus mengusap kepala Wisesa. Walau hatinya hancur melihat putranya tak berdaya, tetapi Bu Yeni harus tetap tegar untuk mengutarakan putranya.

Bersambung....

Bab terkait

  • NODA CINTA   Kejujuran Wisesa

    Pak Nana sekali lagi meminta putranya, untuk mengatakan apa yang menjadi beban di hati. Kini Wisesa duduk di tengah, di antara kedua orang tuanya. Bu Yeni memberikan minum air mineral hangat untuk Wisesa, agar lebih lega dan ringan untuk berbagi cerita."Ibu, Bapak, Wisesa telah melakukan dosa besar. Maafkan Wisesa, sekali lagi maaf ...," lirih Wisesa masih dengan suara paraunya. Beban di hati membuat suaranya sedikit tertahan."Iya, Nak. Ceritakanlah, kami siap mendengarkan cerita apa pun," ucap Bu Yeni yang berada di sebelah kanan Wisesa. Tangan Bu Yeni tak henti mengusap punggung putranya."Esa ... sudah ...." Seketika Wisesa memeluk ibunya. Tangisnya kembali pecah, "Esa berdosa Bu. Esa ... sudah menodai anak gadis orang ...," ucap Wisesa terbata-bata, dengan suara yang kurang jelas, sebab mukanya tersembunyi pada pundak Bu Yeni. Ditambah lagi suara berat dan parau dari tangisan yang belum sepenuhnya reda.&nbs

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-17
  • NODA CINTA   Perlahan Terbuka

    Bu Yeni berpindah tempat duduk ke samping kanan Pak Nana. Kini posisi mereka cukup berhadapan, sebab Pak Nana masih membelakangi Wisesa. Disentuhnya tangan lelaki yang sudah menemani hidupnya, selama 26 tahun itu. Dengan lembut Bu Yeni mengusap punggung tangan Pak Nana yang masih terasa kekar, walau kulit sudah mulai terlihat keriput. Dengan sangat hati-hati, Bu Yeni memulai pembicaraan. Diawali dengan menatap wajah Pak Nana, lekat. “Pak ... tenangkan dulu emosi Bapak,” ucap Bu Yeni dengan mengusap perlahan dada Pak Nana. “Esa memang bersalah, tetapi kita jangan gegabah mengambil keputusan,” lanjut Bu Yeni sedikit ragu berkata, takut sang suami tidak menerima nasihatnya. “Masih untung tangan ini tak mendarat di pipi dia! Bapak udah gatel,” geram Pak Nana, sambil meremas-remas tangannya. “Ssst ... istighfar, Pak ...,” ucap Bu Yeni kembali. Bu Yeni terus mencoba membu

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-17
  • NODA CINTA   Penghambat

    Bu Warni kembali ke ruang tamu dengan membawa beberapa suguhan. Wajah ayu yang selalu dihias senyum, memberi kesan ramah dan nyaman bagi orang-orang yang berinteraksi dengannya. Seperti halnya saat ini, sebenarnya Dodi merasa gugup dan takut. Takut salah bicara memberi kesaksian kejadian malam nahas itu. Soalnya Dodi pernah memiliki pengalaman, bersama teman-temannya menolong orang kecelakaan. Bukannya pihak keluarga korban berterima kasih, malah Dodi dan teman-temannya terkena tuduhan. Zaman sekarang memang susah sekali membedakan antara mencurigai dan hati-hati. Saking hati-hatinya jadi hilang kepercayaan terhadap orang lain. “Eh ... Supena sudah datang? Ini silakan diminum dulu, sambil nunggu bapak datang,” ucap Bu Warni sambil menyodorkan dua cangkir kopi, dan sepiring pisang goreng. “Ini ada pisang goreng, masih hangat, silakan jangan malu-malu,” ucap Bu Warni kembali. Walau keluarga Pak

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-20
  • NODA CINTA   Malam Nahas

    Sepasang suami istri sedang merasa waswas menghadapi tamu yang tak kunjung pamit, sebab waktu sudah semakin sore. Bu Warni bingung cara membuat Bu Diah segera menyelesaikan urusannya. Sedangkan Pak Jaka juga bingung, harus berbasa-basi apa lagi dengan Dodi dan Supena. “Bagaimana Pak Jaka? Apakah saya sudah bisa menceritakan perihal yang Bapak minta? Maaf, soalnya hari mulai gelap,” ucap Supena, yang sedari tadi hanya diam menyimak. “Bagaimana ini? Kenapa kebetulan sekali, Bu Diah kemari. Ah ... sudahlah, memang harusnya seperti ini mungkin. Tanpa Bu Diah seorang kompor pun, namanya kejadian di kampung, pasti menyebar juga. Entah bagaimana caranya,” batin Pak Jaka. “E ... i-iya Boleh. Maaf ya, sebenarnya ... itu ...,” lirih Pak Jaka, sambil menunjuk ke arah belakang dirinya duduk, tepatnya ke arah ruang televisi. Kemudian Pak Jaka memberi kode dengan mengatupkan semua jari tangan di h

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-20
  • NODA CINTA   Kisah Selesai

    “Bagaimana? Kamu masih sanggup?” tanya Bu Warni pada putrinya. Gendis yang masih berada di pelukan Bu Warni, mengangguk. Tangannya yang menggenggam tisu, tak lepas dari depan hidungnya menahan tangis. Dodi menghela nafas sebelum melanjutkan kembali ceritanya, dalam hati merasa iba melihat kondisi Gendis. Salah apa gadis baik yang selalu ramah pada setiap orang ini? Gendis memang pendiam, jarang bergaul, namun dia tak pernah lepas senyum dan menyapa pada setiap orang yang ditemuinya. “Silakan, Nak Dodi,” perintah Pak Jaka. Dodi mengangguk, diiringi senyum tipisnya. Sebenarnya dia tak yakin untuk lanjut, sebab melihat kondisi Gendis merasa tak tega untuk kembali membuka kejadian yang sangat buruk. Kembali Dodi bercerita kejadian malam itu, “Saya meminta Gofar mematikan senter, sebab keadaan Gendis yang ...,” ucap Dodi tak kuasa melanjutkan ceritanya. Namun, Pak Jaka dan Bu Warni mengerti

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-21
  • NODA CINTA   Curiga Terhubung

    “Apakah kamu bisa mengenali itu parfum milik siapa?” tanya Pak Jaka, pada Gendis. Gendis diam sejenak, kemudian menggeleng. Pak Jaka pun menarik nafas pasrah. Setidaknya semua sudah terbuka, agar bisa mengambil tindakan ke jalur hukum untuk mencari pelaku. “Jika sudah tidak ada lagi yang Bapak perlukan pada saya, mungkin ... saya mau pamit, Pak. Tak terasa sudah lewat magrib,” ucap Dodi pada Pak Jaka. Pak Jaka melihat pada jam dinding yang ada di ruang tamu. “Oh iya, sudah hampir pukul setengah tujuh. Maaf ya, Nak Dodi. Sampai terlewat waktu salat,” ucap Pak Jaka menangkupkan ke dua tangganya di depan dada. Suara azan magrib memang sudah berkumandang sejak 20 menit yang lalu. Namun, sebab terlalu fokus mengobrol, mereka sampai lupa dan mengabaikan salat magrib tepat waktu. Kemudian Pak Jaka mempersilakan Dodi dan Supena yang tadi sudah izin untuk pamit

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-04
  • NODA CINTA   Gunjingan

    Setelah kepergian Bu Dokter dari kumpulan ibu-ibu yang masih berbelanja, datanglah Bu Diah, dengan wajah semringah dari kejauhan. Sudah tak aneh lagi, jika Bu Diah terlihat sangat ceria dengan jalan sedikit dipercepat, pasti dia membawa berita heboh. Orang kampung menganggap Bu Diah adalah sumber informasi semua gosip di kampung Cirusuh, seakan dia paling tahu. Entah dari mana dan bagaimana caranya Bu Diah mendapatkan informasi itu. Walau kadang kurang valid, karena terlalu banyak bumbu dalam ceritanya sehingga menjadi gosip panas, walau masalah yang dibahas memanglah benar. “Tuh ... Bu, ada Bu Diah. Tanyakan saja sama dia, saya juga tahu dari dia. Gendis itu udah kaya orang stes, jiwanya terganggu, tingkahnya kaya anak kecil,” ucap Bu Dijah, memulai gosip sedikit hangat, sebelum dipanaskan sesaat lagi oleh Bu Diah. Bisik-bisik para ibu yang lain mulai ramai. Rasa penasaran semakin besar, sedangkan Bu Yeni hanya an

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-05
  • NODA CINTA   Keputusan

    BAB 11 KEPUTUSAN Sepulangnya Wisesa dari pasar, Bu Yeni suda bersiap untuk membahas tentang Gendis. Namun, Bu Yeni menunggu putranya tenang dulu, setidaknya istirahat sejenak. Bu Yeni juga berbasa-basi pada putranya tentang jualan hari ini, dengan begitu dia tahu suasana hati Wisesa. Jika di pasar tidak terlalu laris jualannya, atau takutnya ada kejadian apa, Bu Yeni mungkin akan menunda bahasan tentang Gendis. Pokoknya sangat hati-hati sekali untuk mengajak Wisesa bicara, dikarenakan hal ini harus segera dituntaskan, jangan sampai membuat suasana hati Wisesa tidak baik. Sebab hal itu akan membuat terusnya pembahasan tertunda. Magrib pun tiba, seperti biasa Wisesa pergi ke masjid bersama Bapaknya. Sepulang dari masjid, Pak Nana mengajak putranya untuk duduk di ruang makan. Bukan untuk niat makan malam, akan tetapi membahas tentang Gendis. Kenapa tidak berbicara di ruang tamu atau

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-12

Bab terbaru

  • NODA CINTA   Pengakuan Sebelum Terlambat

    Hari itu tiba, Jumat pagi pukul delapan yang cerah namun penuh ketegangan. Wisesa, bersama kedua orang tuanya, berangkat menuju rumah Bu Warni. Di balik sikap tenang ayah dan ibunya, Wisesa merasakan detak jantungnya memukul lebih cepat dari biasanya. Nafasnya tak teratur, seolah udara enggan memasuki paru-parunya dengan sempurna. Ada sesuatu dalam hatinya yang meronta, mendesaknya untuk kabur, untuk menghindari konfrontasi ini. Namun, ia tahu, ini adalah konsekuensi dari perbuatannya. Keberanian yang dipaksakannya kini terasa rapuh, seperti daun yang siap tertiup angin, tetapi dia tetap bertahan.Rumah Bu Warni tampak biasa saja dari luar, dikelilingi oleh pagar kayu yang sedikit tua, dengan tanaman rambat yang menjalar di bagian depan. Udara pagi yang sejuk di hari Jumat itu kontras dengan keringat dingin yang mengalir di dahi Wisesa. Setiap langkah menuju pintu rumah itu terasa berat, seolah kakinya terikat oleh beban kesalahan yang tak terkatakan. Ibunya, Bu Yeni, berdiri di depan

  • NODA CINTA   Keputusan

    BAB 11 KEPUTUSAN Sepulangnya Wisesa dari pasar, Bu Yeni suda bersiap untuk membahas tentang Gendis. Namun, Bu Yeni menunggu putranya tenang dulu, setidaknya istirahat sejenak. Bu Yeni juga berbasa-basi pada putranya tentang jualan hari ini, dengan begitu dia tahu suasana hati Wisesa. Jika di pasar tidak terlalu laris jualannya, atau takutnya ada kejadian apa, Bu Yeni mungkin akan menunda bahasan tentang Gendis. Pokoknya sangat hati-hati sekali untuk mengajak Wisesa bicara, dikarenakan hal ini harus segera dituntaskan, jangan sampai membuat suasana hati Wisesa tidak baik. Sebab hal itu akan membuat terusnya pembahasan tertunda. Magrib pun tiba, seperti biasa Wisesa pergi ke masjid bersama Bapaknya. Sepulang dari masjid, Pak Nana mengajak putranya untuk duduk di ruang makan. Bukan untuk niat makan malam, akan tetapi membahas tentang Gendis. Kenapa tidak berbicara di ruang tamu atau

  • NODA CINTA   Gunjingan

    Setelah kepergian Bu Dokter dari kumpulan ibu-ibu yang masih berbelanja, datanglah Bu Diah, dengan wajah semringah dari kejauhan. Sudah tak aneh lagi, jika Bu Diah terlihat sangat ceria dengan jalan sedikit dipercepat, pasti dia membawa berita heboh. Orang kampung menganggap Bu Diah adalah sumber informasi semua gosip di kampung Cirusuh, seakan dia paling tahu. Entah dari mana dan bagaimana caranya Bu Diah mendapatkan informasi itu. Walau kadang kurang valid, karena terlalu banyak bumbu dalam ceritanya sehingga menjadi gosip panas, walau masalah yang dibahas memanglah benar. “Tuh ... Bu, ada Bu Diah. Tanyakan saja sama dia, saya juga tahu dari dia. Gendis itu udah kaya orang stes, jiwanya terganggu, tingkahnya kaya anak kecil,” ucap Bu Dijah, memulai gosip sedikit hangat, sebelum dipanaskan sesaat lagi oleh Bu Diah. Bisik-bisik para ibu yang lain mulai ramai. Rasa penasaran semakin besar, sedangkan Bu Yeni hanya an

  • NODA CINTA   Curiga Terhubung

    “Apakah kamu bisa mengenali itu parfum milik siapa?” tanya Pak Jaka, pada Gendis. Gendis diam sejenak, kemudian menggeleng. Pak Jaka pun menarik nafas pasrah. Setidaknya semua sudah terbuka, agar bisa mengambil tindakan ke jalur hukum untuk mencari pelaku. “Jika sudah tidak ada lagi yang Bapak perlukan pada saya, mungkin ... saya mau pamit, Pak. Tak terasa sudah lewat magrib,” ucap Dodi pada Pak Jaka. Pak Jaka melihat pada jam dinding yang ada di ruang tamu. “Oh iya, sudah hampir pukul setengah tujuh. Maaf ya, Nak Dodi. Sampai terlewat waktu salat,” ucap Pak Jaka menangkupkan ke dua tangganya di depan dada. Suara azan magrib memang sudah berkumandang sejak 20 menit yang lalu. Namun, sebab terlalu fokus mengobrol, mereka sampai lupa dan mengabaikan salat magrib tepat waktu. Kemudian Pak Jaka mempersilakan Dodi dan Supena yang tadi sudah izin untuk pamit

  • NODA CINTA   Kisah Selesai

    “Bagaimana? Kamu masih sanggup?” tanya Bu Warni pada putrinya. Gendis yang masih berada di pelukan Bu Warni, mengangguk. Tangannya yang menggenggam tisu, tak lepas dari depan hidungnya menahan tangis. Dodi menghela nafas sebelum melanjutkan kembali ceritanya, dalam hati merasa iba melihat kondisi Gendis. Salah apa gadis baik yang selalu ramah pada setiap orang ini? Gendis memang pendiam, jarang bergaul, namun dia tak pernah lepas senyum dan menyapa pada setiap orang yang ditemuinya. “Silakan, Nak Dodi,” perintah Pak Jaka. Dodi mengangguk, diiringi senyum tipisnya. Sebenarnya dia tak yakin untuk lanjut, sebab melihat kondisi Gendis merasa tak tega untuk kembali membuka kejadian yang sangat buruk. Kembali Dodi bercerita kejadian malam itu, “Saya meminta Gofar mematikan senter, sebab keadaan Gendis yang ...,” ucap Dodi tak kuasa melanjutkan ceritanya. Namun, Pak Jaka dan Bu Warni mengerti

  • NODA CINTA   Malam Nahas

    Sepasang suami istri sedang merasa waswas menghadapi tamu yang tak kunjung pamit, sebab waktu sudah semakin sore. Bu Warni bingung cara membuat Bu Diah segera menyelesaikan urusannya. Sedangkan Pak Jaka juga bingung, harus berbasa-basi apa lagi dengan Dodi dan Supena. “Bagaimana Pak Jaka? Apakah saya sudah bisa menceritakan perihal yang Bapak minta? Maaf, soalnya hari mulai gelap,” ucap Supena, yang sedari tadi hanya diam menyimak. “Bagaimana ini? Kenapa kebetulan sekali, Bu Diah kemari. Ah ... sudahlah, memang harusnya seperti ini mungkin. Tanpa Bu Diah seorang kompor pun, namanya kejadian di kampung, pasti menyebar juga. Entah bagaimana caranya,” batin Pak Jaka. “E ... i-iya Boleh. Maaf ya, sebenarnya ... itu ...,” lirih Pak Jaka, sambil menunjuk ke arah belakang dirinya duduk, tepatnya ke arah ruang televisi. Kemudian Pak Jaka memberi kode dengan mengatupkan semua jari tangan di h

  • NODA CINTA   Penghambat

    Bu Warni kembali ke ruang tamu dengan membawa beberapa suguhan. Wajah ayu yang selalu dihias senyum, memberi kesan ramah dan nyaman bagi orang-orang yang berinteraksi dengannya. Seperti halnya saat ini, sebenarnya Dodi merasa gugup dan takut. Takut salah bicara memberi kesaksian kejadian malam nahas itu. Soalnya Dodi pernah memiliki pengalaman, bersama teman-temannya menolong orang kecelakaan. Bukannya pihak keluarga korban berterima kasih, malah Dodi dan teman-temannya terkena tuduhan. Zaman sekarang memang susah sekali membedakan antara mencurigai dan hati-hati. Saking hati-hatinya jadi hilang kepercayaan terhadap orang lain. “Eh ... Supena sudah datang? Ini silakan diminum dulu, sambil nunggu bapak datang,” ucap Bu Warni sambil menyodorkan dua cangkir kopi, dan sepiring pisang goreng. “Ini ada pisang goreng, masih hangat, silakan jangan malu-malu,” ucap Bu Warni kembali. Walau keluarga Pak

  • NODA CINTA   Perlahan Terbuka

    Bu Yeni berpindah tempat duduk ke samping kanan Pak Nana. Kini posisi mereka cukup berhadapan, sebab Pak Nana masih membelakangi Wisesa. Disentuhnya tangan lelaki yang sudah menemani hidupnya, selama 26 tahun itu. Dengan lembut Bu Yeni mengusap punggung tangan Pak Nana yang masih terasa kekar, walau kulit sudah mulai terlihat keriput. Dengan sangat hati-hati, Bu Yeni memulai pembicaraan. Diawali dengan menatap wajah Pak Nana, lekat. “Pak ... tenangkan dulu emosi Bapak,” ucap Bu Yeni dengan mengusap perlahan dada Pak Nana. “Esa memang bersalah, tetapi kita jangan gegabah mengambil keputusan,” lanjut Bu Yeni sedikit ragu berkata, takut sang suami tidak menerima nasihatnya. “Masih untung tangan ini tak mendarat di pipi dia! Bapak udah gatel,” geram Pak Nana, sambil meremas-remas tangannya. “Ssst ... istighfar, Pak ...,” ucap Bu Yeni kembali. Bu Yeni terus mencoba membu

  • NODA CINTA   Kejujuran Wisesa

    Pak Nana sekali lagi meminta putranya, untuk mengatakan apa yang menjadi beban di hati. Kini Wisesa duduk di tengah, di antara kedua orang tuanya. Bu Yeni memberikan minum air mineral hangat untuk Wisesa, agar lebih lega dan ringan untuk berbagi cerita."Ibu, Bapak, Wisesa telah melakukan dosa besar. Maafkan Wisesa, sekali lagi maaf ...," lirih Wisesa masih dengan suara paraunya. Beban di hati membuat suaranya sedikit tertahan."Iya, Nak. Ceritakanlah, kami siap mendengarkan cerita apa pun," ucap Bu Yeni yang berada di sebelah kanan Wisesa. Tangan Bu Yeni tak henti mengusap punggung putranya."Esa ... sudah ...." Seketika Wisesa memeluk ibunya. Tangisnya kembali pecah, "Esa berdosa Bu. Esa ... sudah menodai anak gadis orang ...," ucap Wisesa terbata-bata, dengan suara yang kurang jelas, sebab mukanya tersembunyi pada pundak Bu Yeni. Ditambah lagi suara berat dan parau dari tangisan yang belum sepenuhnya reda.&nbs

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status