Home / Romansa / The Shadows Man / Pertemuan Antar Pria

Share

Pertemuan Antar Pria

Author: Cristhina
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Jari jemari Zero yang sangat besar meremas terus perutnya terus menahan sangat sakit. Kepala menunduk masih mengkhawatirkan keadaan bagian perutnya yang terkena tinju.

Secara bersamaan Bos Dady berjalan di iringi pengawalnya, menghampiri Zero yang masih duduk mengumpulkan kekuatan.

"Itu pelajaran buat kamu yang selalu datang terlambat!" sergah Bos Dady dengan mata tajamnya.

Monik yang selalu bertingkah seperti perempuan seketika memperlihatkan kejantanannya.

Ia melempar tas make up-nya lalu segera mungkin menggopoh Zero sang sahabat, dengan detak jantung yang ikut-ikutan berdetak kencang.

"Gak gini juga dong bos? Zero 'kan belum sembuh seutuhnya, aku melihat sendiri dia berusaha on time ko' bos," bela Monik dengan suara lelaki yang sangat bulat.

Seketika mata tajam Bos Dady mendarat di wajah Monik. Ia melotot dengan penuh kebencian, bahkan tangannya kembali mengepal hendak ingin meninju untuk kedua kalinya.

Tapi beberapa detik kemudian, Bos Dady membalikan badan, dan semua para pengawalnya ikut mengiringi langkah kaki Bos Dady setelah ikut merasakan suasana panas di depan pintu rumah bordir itu.

"Huft, jantung gue hampir copot. Kamu gak apa-apa 'kan?" tanya Monik setelah Bos Dady jahu meninggalkan keduanya.

"Aku baik-baik saja ko!" 

Namun darah segar menetes dari hidung Zero dan sesegera mungkin ia menyekanya. "Biasa ...," lanjutnya melebarkan ujung bibirnya.

"Emang si Bos keterlaluan ya?"

"Hust!"

Monik pun ikut memapah Zero yang berjalan sedikit tersendat-sendat.

Sampai di sebuah ruangan, Zero di kejutkan oleh beberapa orang yang sudah menungguinya.

Lampu gantung yang menyorot di atas meja seolah situasi semakin mencekam.

"Duduklah!" titah Bos Dady menggeser satu kursi kayu tepat di sampingnya.

Posisi special untuk seorang anak buah seperti Zero karena telah di persilahkan duduk di samping Bosnya sendiri.

"Kenalkan! ini Steve Jakson!" papar Bos Dady sedikit lemah.

"Senang bertemu dengan anda lagi," senyum sinis Steve membuat Zero semakin tertekan.

Zero hanya membalas dengan mengangguk perlahan dan memasang senyum palsu pada semua orang yang ada di dalam ruangan itu.

"Tinggalkan kami bertiga!" suara Bos Dady menggema.

Serempak semua peengawal dari pihak Steve dan pihak Bos Dady keluar bersamaan kecuali Monik.

"Apa sebaiknya aku di sini aja, Bos?" Monik memberanikan diri untuk menawarkan jasanya tanpa suara yang mendayu-dayu.

"KELUAR!" tegas Bos Dady.

"Ba--baik Bos."

Berat hati Monik menarik sedikit roknya dan berjalan bagai model yang selalu berlenggak-lenggok di tengah catwolk.

Setelah suasana mulai hening, suara bising kembali sepi dan hanya ada enam mata dalam satu area cukup menegangkan hati Zero.

Kini ia merasa sedang berada di antara mulut buaya dan mulut singa.

"Baiklah! sekarang bagaimana?" suara Steve mendahului pembicaraan sedikit mencairkan suasana.

"Aku tidak punya pilihan lagi, bawa saja dia!" balas Bos Dady yang di kenal dengan gagah dan kegarangannya yang cukup membuat banyak segan sekarang melemah.

Zero celingukan mendengar percakapan keduanya, sama sekali tidak di mengerti.

Apa lagi suara sendu Bos Dady yang tak pernah ia lihat sebelumnya membuat hati Zero semakin bergemuruh.

'Ada apa ini?' bisik hatinya.

"HAAHAHAHA! semudah ini kamu menyerah? aku kira kamu benar-benar tuannya?" gertak Steve seolah memenangkan sebuah lotre.

"Sebentar! maaf aku mengganggu percakapan kalian, tapi aku benar-benar tidak mengerti," jawab Zero masih meremas perutnya.

Kuntum rokok yang semakin banyak menandakan Bos Dady tak henti menyulut rokok yang ada.

Entah berapa batang ia habiskan tanpa sedikit pun jeda. Itu semua semakin memperlihatkan kebingungan Bos Dady di depan Zero.

"Kamu akan segera jadi miliku, anak ingusan!" bisiknya di telinga Zero.

"Bos?" Mata Zero tetap tertuju pada Bos Dady seolah memintainya pertolongan.

"Ini sudah saatnya kamu berpencar! kamu ikuti apa kata-kata dia, dan jangan kembali ke sini lagi!"

Zero merasa tersentak petir di siang bolong. Rasa sakit di hatinya melebihi rasa sakit di perut bekas tinjuan Bos Dady. Bagaimanapun ia memperlakukan Zero sangat kasar, ia sudah merasa Bos Dady sebagai Bapak pengganti baginya.

Sekeras apapun ia mendapatkan cambukan, semakin lekat pula lem yang menempel antara Zero dengan Bos Dady.

"Tidak Bos!" Zero menggeleng-geleng kepalanya. "Kalau untuk melayaninya satu malam saja aku ... akan usahakan. Tapi kalau untuk pergi dari sini, Maaf! aku tidak bisa." Lanjutnya.

Bos Dady nampak mematung kaku, matanya berkaca dengan rokok di bibirnya semakin mengepul saja.

"Tidak usah banyak drama! aku jijik melihatnya!" ujar Steve menaikian jas hitam di atas pundaknya.

"Siapa kamu? yang berhak mengaturku hanya tuanku, Bos Dadi." balas Zero tegas. "Benar begitu 'kan bos?" tanya Zero meyakinkannya sekali lagi.

"YA! kamu harus mengikuti perintahku. Dan mulai detik ini kamu turuti semua perintahnya! maka hutangmu selama dalam pengasuhanku akan lunas!" beber Bos Dady menguatkan hatinya.

"Ta--pi? Bos?"

"Pergilah!" 

Bos Dady membalikan pandangannya tak memberikan penjelasan apapun lagi. setetes air mata berusaha ia tutup-tutupi. Rokok yang baru saja ia bakar, ia remas dengan api yangmasih menyala.

Sebelum ada kontrak yang Zero inginkan, nasibnya sudah terombang-ambing lagi. Langkah yang sangat sulit tetap menariknya untuk melaksanakan perintah Bos Dady untuk keluar dari team Elang.

Zero pergi mengiringi kemenangan Steve.

Wajah sumringah Steve Jakson keluar dari rumah bordir di bawah kekuasaan team Elang itu akhirnya bertambah personil. Yaitu Zero Brijen.

Mobil mercedes yang sangat mewah di buntuti mobil-mobil mewah lainnya, kini di dalamnya terdapat Zero yang sangat lemas.

Zero di biarkan duduk dalam satu mobil dengan majikan barunya.

Matanya melihat nanar semua aling-aling pepohonan yang tersambar angin dari pantulan mobil yang melaju cepat.

"Sudahlah! sebentar lagi juga kamu bakalan lupa sama si Dady itu!"

Mata Zero segera menoleh ke arah Steve. ia tidak menghormati Steve layaknya tatapan ia terhadap Bos Dady.

"Apa? ada masalah?" senyum sinis Steve Jakson semakin membumi.

"Baiklah! aku akan terima ini, asalkan aku mohon jangan ganggu kehidupan nyataku! aku akan melakukan apa yang kamu mau, setelah matahari mulai redup. Selain itu, aku adalah Zero yang biasa," pintanya dengan wajah yang sangat pasrah.

"Haahahah! kamu lucu. Kalau itu mau kamu, lakukanlah! dengan saya kamu bebas-bebas saja." ujar Steve memberikan keleluasaan.

Setelah mendengar kalimat itu, Zero bukan merasakan sedikit rasa lega, namun kekhawatirannya semakin memuncak. Pada dasarnya hukum alam semakin berlaku di sini. 

Semakin dia mendapatkan keleluasaan, semakin besar juga bayaran yang harus ia tebus. Entah apa yang harus ia lakukan di kemudian harinya bersama bajingan yang duduk di sampingnya itu.

Seketika mobil berhenti di bibir jalan sebrang taman. 

Krek! 

Mobil otomatis terbuka lebar di pintu samping Zero.

"HATI-HATI!" peringatan Steve semakin memperkuat ketakutannya.

Zero melangkah keluar, dan Steve mulai memakai kacamata hitamnya sambil melajukan mobil mewahnya dengan cepat meninggalkan Zero.

Ia beruntung di turunkan di tempat yang tidak jauh dengan apartemennya.

Ia pun kembali berjalan menapaki jalanan taman dengan penuh beban di punggungnya. Langkahnya terlihat sangat pelan, dan matanya terus melihat arah kaki kemana ia berjalan.

Ketika baru saja ia menyebrang...

"Paaaamaaann!" teriakan anak kecil itu sangat tak asing.

"Ken?" 

Wajah layu Zero seketika berubah mekar.

Begitu pula anak lelaki yang baru mengenal Zero beberapa jam sebelumnya, terlihat sangat bahagia dengan kedatangan Zero di taman malam itu.

Bukan langkah lagi yang ada di kaki kecil Ken, Kenzie berlari kencang menghampiri Zero.

Brugght!

Ia memeluk Zero dengan sangat kencang dan erat.

"Awwww!" Zero meringis sambil terus mempertahankan senyumannya.

"Paman? ada apa dengan paman?" tanya Kenzie aneh dengan tingkah Zero yang kesakitan.

"Paman baik-baik saja, malam gini kamu masih keluyuran? dengan siapa?"

"Itu!"

telunjuk pria kecil itu lurus mengarah ke sebuah pertokoan kecil di sudut taman kota.

***

Mau tahu siapa?

baca selanjutnya ya!

Bersambung

Related chapters

  • The Shadows Man   Pendekatan

    "Kamu di sini?" tanya Zero dingin. Matanya berkeling liar seolah tak ingin fokus memandangi Anjani. Ia berusaha menyembunyikan rasa perdulinya sambil memasukan kedua tangan kedalam kantung celananya. Anjani senyum manisdan mengangguk pelan. Kantong kresek hitam yang di pegang Anjani jadi jawaban pertanyaan Zero. Makanya ia tak mengajukan pertanyaan lainnya. Dalam suasana kaku, Ken menarik-narik ujung baju yang di kenakan oleh oleh Zero sambil bertingkah manja. "Paman ... Ayo kita main!" "Hust! Kenzie ...!" mata Anjani membulat memberi peringatan pada anak sematawayangnya. "Tidak apa-apa, ayo kita main di sana!" ajak Zero pada Ken. Keduanya berjalan sambil bergenggam tangan mengarah ke sebuah lapangan sepak bola yang lenglang karena malam sudah mulai larut. Sedangkan Anjani

  • The Shadows Man   Zero Salah Kaprah

    Pada detik yang sama, di bawah rembulan malam. Zero masih berdiri tegak sambil menutup mata dan sekujur tubuhnya terasa kaku. Sisa keringat bekas bermain bola itu masih membuat tubuhnya basah. Kemeja yang ia kenakan terlihat mencetak dada karena keringat yang menempel. Satu rasa yang paling menggetarkan hati adalah sebuah desahan yang semakin jelas di telinganya. Dada Zero terasa semakin memanas seolah terpompa kencang. Bagian ujung jari kaki yang mencengkram alas sepatu menandakan dia sedang berada dalam sebuah ketegangan. Zero mempertahankan matanya tertutup dan merasakan gairah dari rabaan yang menggerayangi tubuhnya. Ia mulai pasrah setelah merasa ada sedikit sejuk dan basah menjilati telinganya. Ia merasa melayang di angkat keudara, dan ada yang bangkit dari nalurinya yang semakin bergelora. Setelah beberapa detik terasa lama, pikirannya mulai sadar

  • The Shadows Man   BAYANGAN SEMU

    "Wih ... sudah belaga kuat ya? kamu pikir dengan membengkokan sendok, aku jadi takut?" pekik Steve. Tubuhnya perlahan bangit dari meja makan, satu sisi bibirnya terangkat sinis. Mata bulatnya menyipit melirik naik turun di samping Anjani. Ia melangkah dengan santai tak bergeming sedikit pun. "Sekali lagi kamu bilang ingin cerai, kamu bakal menyesal! bersyukur kamu tidak aku buang, semua itu berkat Kenzie." Tegas Steve. Tubuh Anjani bergetar saat Steve mendekatinya dengan penuh ancaman. Ia membuat sebuah pertahanan dengan menyiapkan kepalan tangan dan mengumpulkan kekuatannya. "Kalau kita bercerai, jangan harap kamu bisa melihat Kenzie lagi!" Lanjut Ancam sambil mencubit sisi dangu istrinya genit, dan pergi meninggalkan Anjani. Dengan semua kata-kata yang di ucapkan oleh suaminya, Anjani merasa sangat terancam. Ia hidup bersama pasangannya bukan satu atau dua hari saja.

  • The Shadows Man   Handphone yang Tertukar

    Lari Zero semakin kencang hingga semua yang ada di hadapannya ia tubruk tak beraturan. Anjing kecilnya pun ikut berperan menarik Zero agar lari lebih cepat dan Fokus. Namun karena Anjing itu berukuran kecil ia berlari bisa menyelip kemana pun dia suka. Echo berlari menyelinap ke jalanan sempit sambil menyeret majikannya mencari arah. Karena polisi semakin penasaran dengan pelarian Zero yang tiba-tiba, akhirnya pengejaran terhadap Zero semakin diperketat. Beberapa lelaki bertubuh gagah memakai seragam itu memegangi pentungan perangkat untuk berjaga-jaga. Selain pentungan, jelas mereka memiliki senjata satu sama lain. Mereka simpan di bagian samping sabuk seragamnya. Lari tiga orang polisi pun tak kalah cepat dengan pelarian Zero. Melihat persimpangan, Zero merasa waktu yang tepat untuk mengecoh semua polisi.

  • The Shadows Man   Bagai tersambar petir

    "Paman ...?" Mata Ken seketika sumringah melihat keberadaan Zero yang tak di sangka-sangka sebelumnya. Anak berambut gimbal itu sontak memeluk Zero tanpa kata. Ia terlihat sangat nyaman berada di dalam pelukan Zero. Itu terlihat jelas di depan kelopak mata Anjani. Tak terasa bibir anjani melebar. Senyuman itu tak terelakan, untuk pertama kalinya ia melihat anak sematawayangnya nampak bahagia di dalam pelukan lelaki itu. Seolah Kenzie telah menemukan sebuah kasih sayang yang tak sempat ia dapatkan dari ayah sendiri. "Ken, Paman Zero nampaknya masih lelah, Lepaskan!" "Ibu ...tapi Ken masih rindu," rengeknya. "Tidak apa-apa, Paman juga kangen banget sama Ken. Lain kali kita main basket lagi yuk!" ajak Zero menggendong Kenzie dengan tubuh gempalnya. "Ayok ... siapa takut? Kali ini Ken bakalan jadi pemenangnya." &nb

  • The Shadows Man   Terjerumus rumah hitam Steve

    Tak ada pilihan lagi untuk Zero selain melarikan diri sejauh mungkin. Emang pantang bagi laki-laki untuk melarikan diri dari kenyataan. Tapi rasanya kali itu bukanlah waktu yang tepat untuk menyambangi apartemennya. Deretan aparat berseragam coklat, dengan senjata laras panjang memagari apartemennya sangatlah ketat. Sambil merangkul anjing peliharaannya, Zero mengendap-endap menyelinap meliuk-liukkan badannya seperti cacing yang menempel di alas tembok hingga tubuhnya tak berbayang. "SSSttt! jangan berisik ya Echo!" bisik Zero di pinggir daun telinga anjingnya yang tipis dan lebar. Seperti sudah mengerti saja, Anjing itu hanya mendesah sambil menjulur-julurkan lidah sesuai perintah majikannya diam tak menggong-gong. Awan di Samboja, Kutai waktu itu sedang mendung-mendungnya. Langit seolah sedang menampung beratnya air yang akan di hempaskan malam nanti.&nb

  • The Shadows Man   Mayat Pertama.

    Telapak tangan besar itu semakin membuntal gagang pisau berujung tajam. Ia melinting kemeja putihnya, dan meregangkan dasi serta kancing di bagian leher teratasnya. Malam menunjukan jam 00.00. Suara riuh hewan malam diiringi deburan ombak di tepian pantai mahakan membuat gemuruh pendengarannya semakin mencekam. Tak ada satu kepalapun terlintas berlalu lalang di sekitarnya. Hanya ada dia, dan sebilah pisau yang akan ia mainkan malam itu. 'Andai ada pilihan lain, pasti aku akan menolak untuk jadi pembunuh. Tapi ... ini semua aku lakukan untuk sang guru.' riuh isi hatinya mempertegas langkahnya. Tak terasa tempat yang ia tuju sudah semakin dekat. Petakan rumah padat yang sudah sangat sepi aktivitas. Zero mengintip hunian terujung, lalu membungkus wajahnya dengan masker hitam. Sebelumnya ia cepat merogoh kantung celananya, mempertegas kisi-kisi yang di berikan oleh Steve.

  • The Shadows Man   Kucing hitam

    Lelaki setengah baya, dengan janggut tebalnya tak pernah jauh dari cerutu berbahan kayu.Ia sedang bercengkrama dengan beberapa lelaki muda berusia kisaran 18 sampai 20 tahunan.Sebut saja dia Bos Dady.Ada yang tertawa, ada yang memijat jari jemari kaki, dan ada juga yang memijat di area punggungnya. Mereka saling bercanda ria, seolah tak ada setitik pun masalah yang menggelayuti kehidupan nyata mereka.Ketika mereka sedang saling bersahutan melempar candaan, seketika itu tawa mereka terhenti. Tatapan mereka bersarang kompak di salah satu handphone yang di letakan berjejer di lantai berkarpet merah.Zero Brijen, salah satu lelaki kepercayaan dari Si Dady, langsung meraih handphone itu."Ini Bos!" ia menyerahkan handphone yang terus berdering nyaring.Bos Dady tersenyum memicingkan bibirnya, seolah sedang berterimakasih karena tanpa di suruh pun, Zero cukup ce

Latest chapter

  • The Shadows Man   Mayat Pertama.

    Telapak tangan besar itu semakin membuntal gagang pisau berujung tajam. Ia melinting kemeja putihnya, dan meregangkan dasi serta kancing di bagian leher teratasnya. Malam menunjukan jam 00.00. Suara riuh hewan malam diiringi deburan ombak di tepian pantai mahakan membuat gemuruh pendengarannya semakin mencekam. Tak ada satu kepalapun terlintas berlalu lalang di sekitarnya. Hanya ada dia, dan sebilah pisau yang akan ia mainkan malam itu. 'Andai ada pilihan lain, pasti aku akan menolak untuk jadi pembunuh. Tapi ... ini semua aku lakukan untuk sang guru.' riuh isi hatinya mempertegas langkahnya. Tak terasa tempat yang ia tuju sudah semakin dekat. Petakan rumah padat yang sudah sangat sepi aktivitas. Zero mengintip hunian terujung, lalu membungkus wajahnya dengan masker hitam. Sebelumnya ia cepat merogoh kantung celananya, mempertegas kisi-kisi yang di berikan oleh Steve.

  • The Shadows Man   Terjerumus rumah hitam Steve

    Tak ada pilihan lagi untuk Zero selain melarikan diri sejauh mungkin. Emang pantang bagi laki-laki untuk melarikan diri dari kenyataan. Tapi rasanya kali itu bukanlah waktu yang tepat untuk menyambangi apartemennya. Deretan aparat berseragam coklat, dengan senjata laras panjang memagari apartemennya sangatlah ketat. Sambil merangkul anjing peliharaannya, Zero mengendap-endap menyelinap meliuk-liukkan badannya seperti cacing yang menempel di alas tembok hingga tubuhnya tak berbayang. "SSSttt! jangan berisik ya Echo!" bisik Zero di pinggir daun telinga anjingnya yang tipis dan lebar. Seperti sudah mengerti saja, Anjing itu hanya mendesah sambil menjulur-julurkan lidah sesuai perintah majikannya diam tak menggong-gong. Awan di Samboja, Kutai waktu itu sedang mendung-mendungnya. Langit seolah sedang menampung beratnya air yang akan di hempaskan malam nanti.&nb

  • The Shadows Man   Bagai tersambar petir

    "Paman ...?" Mata Ken seketika sumringah melihat keberadaan Zero yang tak di sangka-sangka sebelumnya. Anak berambut gimbal itu sontak memeluk Zero tanpa kata. Ia terlihat sangat nyaman berada di dalam pelukan Zero. Itu terlihat jelas di depan kelopak mata Anjani. Tak terasa bibir anjani melebar. Senyuman itu tak terelakan, untuk pertama kalinya ia melihat anak sematawayangnya nampak bahagia di dalam pelukan lelaki itu. Seolah Kenzie telah menemukan sebuah kasih sayang yang tak sempat ia dapatkan dari ayah sendiri. "Ken, Paman Zero nampaknya masih lelah, Lepaskan!" "Ibu ...tapi Ken masih rindu," rengeknya. "Tidak apa-apa, Paman juga kangen banget sama Ken. Lain kali kita main basket lagi yuk!" ajak Zero menggendong Kenzie dengan tubuh gempalnya. "Ayok ... siapa takut? Kali ini Ken bakalan jadi pemenangnya." &nb

  • The Shadows Man   Handphone yang Tertukar

    Lari Zero semakin kencang hingga semua yang ada di hadapannya ia tubruk tak beraturan. Anjing kecilnya pun ikut berperan menarik Zero agar lari lebih cepat dan Fokus. Namun karena Anjing itu berukuran kecil ia berlari bisa menyelip kemana pun dia suka. Echo berlari menyelinap ke jalanan sempit sambil menyeret majikannya mencari arah. Karena polisi semakin penasaran dengan pelarian Zero yang tiba-tiba, akhirnya pengejaran terhadap Zero semakin diperketat. Beberapa lelaki bertubuh gagah memakai seragam itu memegangi pentungan perangkat untuk berjaga-jaga. Selain pentungan, jelas mereka memiliki senjata satu sama lain. Mereka simpan di bagian samping sabuk seragamnya. Lari tiga orang polisi pun tak kalah cepat dengan pelarian Zero. Melihat persimpangan, Zero merasa waktu yang tepat untuk mengecoh semua polisi.

  • The Shadows Man   BAYANGAN SEMU

    "Wih ... sudah belaga kuat ya? kamu pikir dengan membengkokan sendok, aku jadi takut?" pekik Steve. Tubuhnya perlahan bangit dari meja makan, satu sisi bibirnya terangkat sinis. Mata bulatnya menyipit melirik naik turun di samping Anjani. Ia melangkah dengan santai tak bergeming sedikit pun. "Sekali lagi kamu bilang ingin cerai, kamu bakal menyesal! bersyukur kamu tidak aku buang, semua itu berkat Kenzie." Tegas Steve. Tubuh Anjani bergetar saat Steve mendekatinya dengan penuh ancaman. Ia membuat sebuah pertahanan dengan menyiapkan kepalan tangan dan mengumpulkan kekuatannya. "Kalau kita bercerai, jangan harap kamu bisa melihat Kenzie lagi!" Lanjut Ancam sambil mencubit sisi dangu istrinya genit, dan pergi meninggalkan Anjani. Dengan semua kata-kata yang di ucapkan oleh suaminya, Anjani merasa sangat terancam. Ia hidup bersama pasangannya bukan satu atau dua hari saja.

  • The Shadows Man   Zero Salah Kaprah

    Pada detik yang sama, di bawah rembulan malam. Zero masih berdiri tegak sambil menutup mata dan sekujur tubuhnya terasa kaku. Sisa keringat bekas bermain bola itu masih membuat tubuhnya basah. Kemeja yang ia kenakan terlihat mencetak dada karena keringat yang menempel. Satu rasa yang paling menggetarkan hati adalah sebuah desahan yang semakin jelas di telinganya. Dada Zero terasa semakin memanas seolah terpompa kencang. Bagian ujung jari kaki yang mencengkram alas sepatu menandakan dia sedang berada dalam sebuah ketegangan. Zero mempertahankan matanya tertutup dan merasakan gairah dari rabaan yang menggerayangi tubuhnya. Ia mulai pasrah setelah merasa ada sedikit sejuk dan basah menjilati telinganya. Ia merasa melayang di angkat keudara, dan ada yang bangkit dari nalurinya yang semakin bergelora. Setelah beberapa detik terasa lama, pikirannya mulai sadar

  • The Shadows Man   Pendekatan

    "Kamu di sini?" tanya Zero dingin. Matanya berkeling liar seolah tak ingin fokus memandangi Anjani. Ia berusaha menyembunyikan rasa perdulinya sambil memasukan kedua tangan kedalam kantung celananya. Anjani senyum manisdan mengangguk pelan. Kantong kresek hitam yang di pegang Anjani jadi jawaban pertanyaan Zero. Makanya ia tak mengajukan pertanyaan lainnya. Dalam suasana kaku, Ken menarik-narik ujung baju yang di kenakan oleh oleh Zero sambil bertingkah manja. "Paman ... Ayo kita main!" "Hust! Kenzie ...!" mata Anjani membulat memberi peringatan pada anak sematawayangnya. "Tidak apa-apa, ayo kita main di sana!" ajak Zero pada Ken. Keduanya berjalan sambil bergenggam tangan mengarah ke sebuah lapangan sepak bola yang lenglang karena malam sudah mulai larut. Sedangkan Anjani

  • The Shadows Man   Pertemuan Antar Pria

    Jari jemari Zero yang sangat besar meremas terus perutnya terus menahan sangat sakit. Kepala menunduk masih mengkhawatirkan keadaan bagian perutnya yang terkena tinju.Secara bersamaan Bos Dady berjalan di iringi pengawalnya, menghampiri Zero yang masih duduk mengumpulkan kekuatan."Itu pelajaran buat kamu yang selalu datang terlambat!" sergah Bos Dady dengan mata tajamnya.Monik yang selalu bertingkah seperti perempuan seketika memperlihatkan kejantanannya.Ia melempar tas make up-nya lalu segera mungkin menggopoh Zero sang sahabat, dengan detak jantung yang ikut-ikutan berdetak kencang."Gak gini juga dong bos? Zero 'kan belum sembuh seutuhnya, aku melihat sendiri dia berusaha on time ko' bos," bela Monik dengan suara lelaki yang sangat bulat.Seketika mata tajam Bos Dady mendarat di wajah Monik. Ia melotot dengan penuh kebencian, bahkan tangannya kembali mengepal hendak

  • The Shadows Man   Perkenalan Anjani

    "Ingat! lelaki tidak boleh cengeng!" ucap Zero menguatkan anak itu dengan mata yang berkaca-kaca.Zero merasa dirinya sedang senasib dengan anak itu."Siapa nama kamu Nak?" tanya Zero berbisik dengan tangan masih memeluk lelaki kecil itu."Ken!" teriak Anjani mewakili jawaban anak kecil itu. "Kenzie namanya."Anjani berjalan mendekat ke arah Zero dan anak itu dengan langkah yang terpingkal-pingkal.Perlahan Zero pun berdiri nanar melihat wajah Anjani yang sangat lebam."Kamu baik-baik saja?" tanya Zero kaku."Entahlah, aku sudah tidak tahu bagaimana rasanya baik-baik saja,""Maafkan aku!" Zero pun mulai membantu Anjani memapah langkahnya hingga sampailah di apartemennya."Tidah usah meminta maaf!" balas Anjani singkat.Sepanjang perjalanan menuju apartemen Anjani, Anak kecil i

DMCA.com Protection Status