Share

The Shadows Man
The Shadows Man
Penulis: Cristhina

Kucing hitam

Penulis: Cristhina
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Lelaki setengah baya, dengan janggut tebalnya tak pernah jauh dari cerutu berbahan kayu.

Ia sedang bercengkrama dengan beberapa lelaki muda berusia kisaran 18 sampai 20 tahunan.

Sebut saja dia Bos Dady. 

Ada yang tertawa, ada yang memijat jari jemari kaki, dan ada juga yang memijat di area punggungnya. Mereka saling bercanda ria, seolah tak ada setitik pun masalah yang menggelayuti kehidupan nyata mereka.

Ketika mereka sedang saling bersahutan melempar candaan, seketika itu tawa mereka terhenti. Tatapan mereka bersarang kompak di salah satu handphone yang di letakan berjejer di lantai berkarpet merah.

Zero Brijen, salah satu lelaki kepercayaan dari Si Dady, langsung meraih handphone itu.

"Ini Bos!" ia menyerahkan handphone yang terus berdering nyaring.

Bos Dady tersenyum memicingkan bibirnya, seolah sedang berterimakasih karena tanpa di suruh pun, Zero cukup cekatan melakukan apa yang seharusnya di lakukan oleh seorang pria pesuruh yang paling dipercayai di tempat itu.

Sebuah telepon kemudian mati, dan berganti dengan pesan yang datang beriringan.

Seorang pelanggan yang memintanya mengirim satu ekor kucing di terminal pusat kota untuk di bawa kencan ke sebuah hotel.

"Ada oleh-oleh dua buah melon segar untuk sang kucing," isi inbox susulan yang di terima oleh Bos Dady.

Ya, sebutannya emang kucing. namun kucing yang di maksud di sini bukan hewan berkaki empat dengan bulu putih penyuka ikan asin atau minuman susu segar.

Kucing itu sebutan untuk para pria muda pemuas wanita tua yang bernafsu baja.

Dan melon yang di maksud dalam inbox itu adalah pelanggan hidung belang.

Mereka melayani tamu khusus wanita di atas usia.

Rata-rata kisaran 30 tahunan lebih, para wanita itu sering berebut lelaki segar bertubuh atletis dan memiliki nafsu yang sangat menggairahkan.

"Siapa yang mau aku kirim? ayo? siapa yang suka melon segar?" tawar Bos Dady yang di sambut gelak tawa riuh tiga kucingnya siang itu.

"Ach, kalau diana sedang nepsong suruh sindang! biar akika tahu melon kaya apa itu? cucok ya ih mayang sari," ujar salah satu lelaki muda dengan tangan melambai-lambai dan dada kekar.

Namun rambutnya lurus tertata rapi memakai lipstik menor dan kosmetik lengkap.

Kata-kata itu memiliki arti. " Kalau dia sedang nafsu, suruh dia ke sini saja! bagaimana wajahnya, pasti cocok cantik sekali."

Zero menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sembari tersenyum tipis melihat tingkah temannya itu.

Sebut saja Monik. Lelaki setengah wanita yang selalu jadi bahan guyonan para pria yang siap menerima pelanggannya.

Bos Dady pun tertawa terbahak sambil menghempaskan kepulan asap rokok ke arah langit-langit atap ruangan yang cukup sempit itu.

Siang perlahan pergi dan berganti sore cepat sekali.

Satu persatu lelaki pemuas di bawah naungan Bos Dady itu kini silih bergantian datang, dan mendapatkan jadwalnya masing-masing.

Sedangkan Zero masih tetap berdiri tegak dengan tangan di lipat di belakang bokongnya menunggu perintah sang Bos Dady.

Banyak kucing nampaknya laris mendapatkan pelanggannya masing-masing. Lalu masuk dan keluar silih bergantian, terkadang mendapatkan tempat yang sudah di tentukan pelanggan.

Namun Bos Dady bisa menjamin, rumahnya yang selama ini di kenal dengan sebutan panti pijat, tak akan di satroni oleh pihak yang berwajib karena banyak alibi yang sudah ia siapkan sebelumnya.

Ia pun sudah paham akan trik agar semua kucing tidak datang secara bersamaan. Ia mengatur jadwal sedemikian rupa, agar semua pekerjanya tidak datang secara bersamaan.

Setelah semua mendapatkan jadwalnya, kini Bos Dady hanya tinggal berdua saja bersama Zero.

Kepulan asap rokoknya terhenti begitu saja, setelah kuntumnya mulai habis. Tanpa jeda ia mengeluarkan rokok berikutnya. Bahkan ia bisa menghabiskan beberapa bungkus rokok dalam satu harinya.

"Api Bos!" serogoh Zero menyalakan korek di depan bibir Bos Dady yang mengulum satu kuntum rokok.

Matanya melirik sinis.

Zero mulai tegang dengan tatapan tajam itu. Hatinya berdetak kencang, dan ia tetap bersikap sempurna dan tegak di hadapan Bosnya.

"Kamu!"

"Saya Bos!"

"Ikut saya!" 

Bos Dady menurunkan kakinya yang sedari tadi menjulur santai di atas meja.

Zero yang merasa tegang langsung menghela nafas lega, ia pun berjalan mengiringi jejak langkah kaki Bos Dady.

Pikirannya terus bertanya-tanya. Entah apa yang terjadi, karena sampai detik itu belum satu pelanggan pun yang di jadwalkan untuknya.

Tapi, ia pun sedikit senang dengan situasi seperti itu. Karena tanpa bekerja malam, ia tetap mendapatkan gajinya walau hanya membuntuti Bos Dady sang majikan.

 ***

Di pinggiran jalan, Zero berjalan sedikit menikung Bosnya untuk membukakan pintu mobil mewah yang sudah terparkir di halaman toko panti pijatnya.

Dengan gagah Bos Dady melemparkan kunci mobil itu ke arah wajah Zero.

Crek!

Dengan tepat Zero menangkap kunci itu yang hampir terjatuh ke atas aspal.

"Tunggu apa lagi? jalan!" perintah Bos Dady dengan kecut.

Zero segera berlari memutari punggung mobil dan ia segera menyalakan mesin mobil dengan suara yang masih halus.

Saat ketika ia ada dalam satu mobil dengan Bos Dady, Zero sangat tahu ketika itu juga ia harus menutup telinganya, dan menutup mulutnya seolah tuli dan bisu.

"Sayang ... sabar dulu! ada urusan yang harus aku selesaikan. Tahan dulu ya! aku tidak akan lama kok!" ucap Bos Dady menelpon seseorang di dalam mobilnya.

Ia duduk santai di belakang Zero. Setelah ia menutup telpon pertamanya, ia kembali menelpon orang lainnya lagi.

Mata romantis majikannya seketika berganti sangar, itu terlihat jelas oleh Zero di balik kaca spion mobil yang di tumpanginya.

"Enyahkan dia hari ini juga! kalau aku masih melihat orang itu di muka bumi ini, maka kamulah yang akan jadi penggantinya. Aku enyahkan kau dengan tanganku sendiri! Paham!" telpon lainnya.

Dengan suara sengit, Bos Dady bersikap sangat kejam sambil mengelus satu senjata kesayangannya.

Air gun kesayangannya itu merupakan pistol senjata angin dengan tekanan yang sangat tinggi di bandingkan air softgun biasa.

Memang tidak mematikan, tapi Zero tahu sekali kalau saja satu peluru itu mengenai kakinya, seenggaknya ia akan lumpuh dalam waktu yang cukup panjang.

Maka dari itu dalam ketegangannya, Zero tetap bersikap aman menyetir dan menatap jalanan dengan teliti.

Krek! 

satu gerakan seolah datang tepat di sisi telinga Zero.

Airgun itu seolah telah menempel di pergelangan lehernya.

Ia langsung mengangkat bahunya tegang, dengan tangan dan kaki tetap mengemudi.

"Apa kamu masih ingin hidup?" ancam Bos Dady.

Zero menahan nafasnya sejenak dan menelan air liurnya dalam-dalam.

"Apa salah saya Bos?"

Wajah Zero nampak pucat, ujung jari tangannya seolah kaku, dan bola matanya menatap nanar ke arah aspal jalanan.

"Hahahahah bercanda...!"

Setelah melihat ketegangan di wajah Zero yang semakin meyakinkan, Bos Dady tertawa terbahak-bahak seperti orang gila, lalu langsung memasukan kembali Air Gun itu kedalam sarangnya. Dan semua itu ia lakukan hanya untuk main-main saja.

Plak! plak! plak!

Bos Dady menepuk bahu Zero dengan ketukan yang teratur.

"Tidak usah setegang itu ... kamu salah satu kepercayaanku!" tukas Bos Dady duduk santai kembali.

Saat itu juga Zero menurunkan ketegangannya, dan menurunkan bahunya kembali. merasa telah keluar dari ancaman yang sangat sengit.

Tapi baru saja ia merasa lega hati, di hadapannya terlihat nenek tua yang menyebrangi jalan tergopoh-gopoh.

Laju mobil Zero yang sedang tinggi-tingginya seketika berganti haluan.

Cekkkiiiittt, Brug!

***

Bersambung ...

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Andrea_Wu
Ceritanya seru kak Cristin, ayo semangat lanjutkan.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • The Shadows Man   Celakalah Zero

    Mata Zero yang remang-remang seolah banyak bintang, kini sudah cerah kembali. Tatapannya sedikit heran, karena semua yang ia lihat hanya putih gamlang.Langit-langit dan semua dinding nampak putih bersih saat ia mulai sadarkan diri. Ia merasa sedang berada di sebuah tempat asing yang sama sekali tak ia kenal.Zero mengerjatkan tubuhnya bergegas bangkit dari ranjang berkaki besi."Hei ... akikah bangun juga, yeee?" Cakap Monik sahabatnya, sambil menyelipkan rambut halus di telinganya.Zero mengedipkan mata, menyidik wajah Monik semakin dekat."Huft! aku kira siapa? Bagaimana dengan Bos? Wanita itu?"Bukan Nenek tua yang ia tanyakan. Tapi sebelum Zero tak sadarkan diri, matanya tertuju pada seorang wanita tinggi semampai yang merangkul Nenek tua, dan melindungi dari mobil yang di kemudikannya."Santuy! Bos lagi nyenyong sama kiwk kiwk di lapang barunya .

  • The Shadows Man   Berhati-hati

    "Ka-kamu siapa? kenapa ada di apartemenku?" tanya Zero terbata-bata.Ia menjulurkan tangannya seolah sedang waspada.Seorang Pria muda berusia kira- kira di atas umur Zero tersenyum sinis.Berdiri tegak saling berhadapan."Jangan so' munafik! aku bayar kamu mahal!" ucapnya mengagetkan Zero.Jelas Zero kaget. Selama ini dia tidak pernah mencampur adukkan antara kehidupan real dengan bisnis malamnya. Apalagi pelanggan kali ini datang langsung ke apartemennya, dan parahnya lagi yang berhadapan dengan Zero adalah seorang pria.Ia tahu harus semakin waspada karena Pria akan lebih membahayakan dibandingkan wanita.Alih-alih Zero menyambutnya, ia malah bersikap bodoh dan berpura-pura polos tidak tahu apa yang sedang di ucapkan pria itu."Kamu salah orang! saya mohon jangan ganggu saya sekarang!" dalih Zero sedikit mengelak.

  • The Shadows Man   Pagi yang Ganjil

    Pagi itu, Zero bangun lebih awal dari pada biasanya.Sesuatu membuatnya merasa sulit untuk memejamkan mata. Namun ia tak ingin berlarut-larut dalam kejadian semalam.Ia bangkit dari ranjangnya dan membersihkan tubuhnya.Jam dinding menunjukan angka 5.00 dini hari. ia merasa tidak punya kegiatan di pagi itu. Makanya ia menyibukan dirinya di area dapur dalam apartemennya.Ia menarik sebuah roti sobek dalam kulkas, lalu ia memanaskan buntalan roti di atas teplon milik ibunya. Dalam semua pergerakannya di atas kompor, ia menatap api dengan tatapan kosong. Zero masih ingat detik-detik dimana dia selalu di siapkan sarapan pagi oleh ibunya.Gara-gara kelakuan ayahnya yang selalu bermain dengan banyak wanita, membuat sang Ibu menghempaskan nyawanya sia-sia dengan cara bunuh diri.Itu sebabnya dia sangat dingin terhadap wanita.Prak!Tak sengaja te

  • The Shadows Man   Perkenalan Anjani

    "Ingat! lelaki tidak boleh cengeng!" ucap Zero menguatkan anak itu dengan mata yang berkaca-kaca.Zero merasa dirinya sedang senasib dengan anak itu."Siapa nama kamu Nak?" tanya Zero berbisik dengan tangan masih memeluk lelaki kecil itu."Ken!" teriak Anjani mewakili jawaban anak kecil itu. "Kenzie namanya."Anjani berjalan mendekat ke arah Zero dan anak itu dengan langkah yang terpingkal-pingkal.Perlahan Zero pun berdiri nanar melihat wajah Anjani yang sangat lebam."Kamu baik-baik saja?" tanya Zero kaku."Entahlah, aku sudah tidak tahu bagaimana rasanya baik-baik saja,""Maafkan aku!" Zero pun mulai membantu Anjani memapah langkahnya hingga sampailah di apartemennya."Tidah usah meminta maaf!" balas Anjani singkat.Sepanjang perjalanan menuju apartemen Anjani, Anak kecil i

  • The Shadows Man   Pertemuan Antar Pria

    Jari jemari Zero yang sangat besar meremas terus perutnya terus menahan sangat sakit. Kepala menunduk masih mengkhawatirkan keadaan bagian perutnya yang terkena tinju.Secara bersamaan Bos Dady berjalan di iringi pengawalnya, menghampiri Zero yang masih duduk mengumpulkan kekuatan."Itu pelajaran buat kamu yang selalu datang terlambat!" sergah Bos Dady dengan mata tajamnya.Monik yang selalu bertingkah seperti perempuan seketika memperlihatkan kejantanannya.Ia melempar tas make up-nya lalu segera mungkin menggopoh Zero sang sahabat, dengan detak jantung yang ikut-ikutan berdetak kencang."Gak gini juga dong bos? Zero 'kan belum sembuh seutuhnya, aku melihat sendiri dia berusaha on time ko' bos," bela Monik dengan suara lelaki yang sangat bulat.Seketika mata tajam Bos Dady mendarat di wajah Monik. Ia melotot dengan penuh kebencian, bahkan tangannya kembali mengepal hendak

  • The Shadows Man   Pendekatan

    "Kamu di sini?" tanya Zero dingin. Matanya berkeling liar seolah tak ingin fokus memandangi Anjani. Ia berusaha menyembunyikan rasa perdulinya sambil memasukan kedua tangan kedalam kantung celananya. Anjani senyum manisdan mengangguk pelan. Kantong kresek hitam yang di pegang Anjani jadi jawaban pertanyaan Zero. Makanya ia tak mengajukan pertanyaan lainnya. Dalam suasana kaku, Ken menarik-narik ujung baju yang di kenakan oleh oleh Zero sambil bertingkah manja. "Paman ... Ayo kita main!" "Hust! Kenzie ...!" mata Anjani membulat memberi peringatan pada anak sematawayangnya. "Tidak apa-apa, ayo kita main di sana!" ajak Zero pada Ken. Keduanya berjalan sambil bergenggam tangan mengarah ke sebuah lapangan sepak bola yang lenglang karena malam sudah mulai larut. Sedangkan Anjani

  • The Shadows Man   Zero Salah Kaprah

    Pada detik yang sama, di bawah rembulan malam. Zero masih berdiri tegak sambil menutup mata dan sekujur tubuhnya terasa kaku. Sisa keringat bekas bermain bola itu masih membuat tubuhnya basah. Kemeja yang ia kenakan terlihat mencetak dada karena keringat yang menempel. Satu rasa yang paling menggetarkan hati adalah sebuah desahan yang semakin jelas di telinganya. Dada Zero terasa semakin memanas seolah terpompa kencang. Bagian ujung jari kaki yang mencengkram alas sepatu menandakan dia sedang berada dalam sebuah ketegangan. Zero mempertahankan matanya tertutup dan merasakan gairah dari rabaan yang menggerayangi tubuhnya. Ia mulai pasrah setelah merasa ada sedikit sejuk dan basah menjilati telinganya. Ia merasa melayang di angkat keudara, dan ada yang bangkit dari nalurinya yang semakin bergelora. Setelah beberapa detik terasa lama, pikirannya mulai sadar

  • The Shadows Man   BAYANGAN SEMU

    "Wih ... sudah belaga kuat ya? kamu pikir dengan membengkokan sendok, aku jadi takut?" pekik Steve. Tubuhnya perlahan bangit dari meja makan, satu sisi bibirnya terangkat sinis. Mata bulatnya menyipit melirik naik turun di samping Anjani. Ia melangkah dengan santai tak bergeming sedikit pun. "Sekali lagi kamu bilang ingin cerai, kamu bakal menyesal! bersyukur kamu tidak aku buang, semua itu berkat Kenzie." Tegas Steve. Tubuh Anjani bergetar saat Steve mendekatinya dengan penuh ancaman. Ia membuat sebuah pertahanan dengan menyiapkan kepalan tangan dan mengumpulkan kekuatannya. "Kalau kita bercerai, jangan harap kamu bisa melihat Kenzie lagi!" Lanjut Ancam sambil mencubit sisi dangu istrinya genit, dan pergi meninggalkan Anjani. Dengan semua kata-kata yang di ucapkan oleh suaminya, Anjani merasa sangat terancam. Ia hidup bersama pasangannya bukan satu atau dua hari saja.

Bab terbaru

  • The Shadows Man   Mayat Pertama.

    Telapak tangan besar itu semakin membuntal gagang pisau berujung tajam. Ia melinting kemeja putihnya, dan meregangkan dasi serta kancing di bagian leher teratasnya. Malam menunjukan jam 00.00. Suara riuh hewan malam diiringi deburan ombak di tepian pantai mahakan membuat gemuruh pendengarannya semakin mencekam. Tak ada satu kepalapun terlintas berlalu lalang di sekitarnya. Hanya ada dia, dan sebilah pisau yang akan ia mainkan malam itu. 'Andai ada pilihan lain, pasti aku akan menolak untuk jadi pembunuh. Tapi ... ini semua aku lakukan untuk sang guru.' riuh isi hatinya mempertegas langkahnya. Tak terasa tempat yang ia tuju sudah semakin dekat. Petakan rumah padat yang sudah sangat sepi aktivitas. Zero mengintip hunian terujung, lalu membungkus wajahnya dengan masker hitam. Sebelumnya ia cepat merogoh kantung celananya, mempertegas kisi-kisi yang di berikan oleh Steve.

  • The Shadows Man   Terjerumus rumah hitam Steve

    Tak ada pilihan lagi untuk Zero selain melarikan diri sejauh mungkin. Emang pantang bagi laki-laki untuk melarikan diri dari kenyataan. Tapi rasanya kali itu bukanlah waktu yang tepat untuk menyambangi apartemennya. Deretan aparat berseragam coklat, dengan senjata laras panjang memagari apartemennya sangatlah ketat. Sambil merangkul anjing peliharaannya, Zero mengendap-endap menyelinap meliuk-liukkan badannya seperti cacing yang menempel di alas tembok hingga tubuhnya tak berbayang. "SSSttt! jangan berisik ya Echo!" bisik Zero di pinggir daun telinga anjingnya yang tipis dan lebar. Seperti sudah mengerti saja, Anjing itu hanya mendesah sambil menjulur-julurkan lidah sesuai perintah majikannya diam tak menggong-gong. Awan di Samboja, Kutai waktu itu sedang mendung-mendungnya. Langit seolah sedang menampung beratnya air yang akan di hempaskan malam nanti.&nb

  • The Shadows Man   Bagai tersambar petir

    "Paman ...?" Mata Ken seketika sumringah melihat keberadaan Zero yang tak di sangka-sangka sebelumnya. Anak berambut gimbal itu sontak memeluk Zero tanpa kata. Ia terlihat sangat nyaman berada di dalam pelukan Zero. Itu terlihat jelas di depan kelopak mata Anjani. Tak terasa bibir anjani melebar. Senyuman itu tak terelakan, untuk pertama kalinya ia melihat anak sematawayangnya nampak bahagia di dalam pelukan lelaki itu. Seolah Kenzie telah menemukan sebuah kasih sayang yang tak sempat ia dapatkan dari ayah sendiri. "Ken, Paman Zero nampaknya masih lelah, Lepaskan!" "Ibu ...tapi Ken masih rindu," rengeknya. "Tidak apa-apa, Paman juga kangen banget sama Ken. Lain kali kita main basket lagi yuk!" ajak Zero menggendong Kenzie dengan tubuh gempalnya. "Ayok ... siapa takut? Kali ini Ken bakalan jadi pemenangnya." &nb

  • The Shadows Man   Handphone yang Tertukar

    Lari Zero semakin kencang hingga semua yang ada di hadapannya ia tubruk tak beraturan. Anjing kecilnya pun ikut berperan menarik Zero agar lari lebih cepat dan Fokus. Namun karena Anjing itu berukuran kecil ia berlari bisa menyelip kemana pun dia suka. Echo berlari menyelinap ke jalanan sempit sambil menyeret majikannya mencari arah. Karena polisi semakin penasaran dengan pelarian Zero yang tiba-tiba, akhirnya pengejaran terhadap Zero semakin diperketat. Beberapa lelaki bertubuh gagah memakai seragam itu memegangi pentungan perangkat untuk berjaga-jaga. Selain pentungan, jelas mereka memiliki senjata satu sama lain. Mereka simpan di bagian samping sabuk seragamnya. Lari tiga orang polisi pun tak kalah cepat dengan pelarian Zero. Melihat persimpangan, Zero merasa waktu yang tepat untuk mengecoh semua polisi.

  • The Shadows Man   BAYANGAN SEMU

    "Wih ... sudah belaga kuat ya? kamu pikir dengan membengkokan sendok, aku jadi takut?" pekik Steve. Tubuhnya perlahan bangit dari meja makan, satu sisi bibirnya terangkat sinis. Mata bulatnya menyipit melirik naik turun di samping Anjani. Ia melangkah dengan santai tak bergeming sedikit pun. "Sekali lagi kamu bilang ingin cerai, kamu bakal menyesal! bersyukur kamu tidak aku buang, semua itu berkat Kenzie." Tegas Steve. Tubuh Anjani bergetar saat Steve mendekatinya dengan penuh ancaman. Ia membuat sebuah pertahanan dengan menyiapkan kepalan tangan dan mengumpulkan kekuatannya. "Kalau kita bercerai, jangan harap kamu bisa melihat Kenzie lagi!" Lanjut Ancam sambil mencubit sisi dangu istrinya genit, dan pergi meninggalkan Anjani. Dengan semua kata-kata yang di ucapkan oleh suaminya, Anjani merasa sangat terancam. Ia hidup bersama pasangannya bukan satu atau dua hari saja.

  • The Shadows Man   Zero Salah Kaprah

    Pada detik yang sama, di bawah rembulan malam. Zero masih berdiri tegak sambil menutup mata dan sekujur tubuhnya terasa kaku. Sisa keringat bekas bermain bola itu masih membuat tubuhnya basah. Kemeja yang ia kenakan terlihat mencetak dada karena keringat yang menempel. Satu rasa yang paling menggetarkan hati adalah sebuah desahan yang semakin jelas di telinganya. Dada Zero terasa semakin memanas seolah terpompa kencang. Bagian ujung jari kaki yang mencengkram alas sepatu menandakan dia sedang berada dalam sebuah ketegangan. Zero mempertahankan matanya tertutup dan merasakan gairah dari rabaan yang menggerayangi tubuhnya. Ia mulai pasrah setelah merasa ada sedikit sejuk dan basah menjilati telinganya. Ia merasa melayang di angkat keudara, dan ada yang bangkit dari nalurinya yang semakin bergelora. Setelah beberapa detik terasa lama, pikirannya mulai sadar

  • The Shadows Man   Pendekatan

    "Kamu di sini?" tanya Zero dingin. Matanya berkeling liar seolah tak ingin fokus memandangi Anjani. Ia berusaha menyembunyikan rasa perdulinya sambil memasukan kedua tangan kedalam kantung celananya. Anjani senyum manisdan mengangguk pelan. Kantong kresek hitam yang di pegang Anjani jadi jawaban pertanyaan Zero. Makanya ia tak mengajukan pertanyaan lainnya. Dalam suasana kaku, Ken menarik-narik ujung baju yang di kenakan oleh oleh Zero sambil bertingkah manja. "Paman ... Ayo kita main!" "Hust! Kenzie ...!" mata Anjani membulat memberi peringatan pada anak sematawayangnya. "Tidak apa-apa, ayo kita main di sana!" ajak Zero pada Ken. Keduanya berjalan sambil bergenggam tangan mengarah ke sebuah lapangan sepak bola yang lenglang karena malam sudah mulai larut. Sedangkan Anjani

  • The Shadows Man   Pertemuan Antar Pria

    Jari jemari Zero yang sangat besar meremas terus perutnya terus menahan sangat sakit. Kepala menunduk masih mengkhawatirkan keadaan bagian perutnya yang terkena tinju.Secara bersamaan Bos Dady berjalan di iringi pengawalnya, menghampiri Zero yang masih duduk mengumpulkan kekuatan."Itu pelajaran buat kamu yang selalu datang terlambat!" sergah Bos Dady dengan mata tajamnya.Monik yang selalu bertingkah seperti perempuan seketika memperlihatkan kejantanannya.Ia melempar tas make up-nya lalu segera mungkin menggopoh Zero sang sahabat, dengan detak jantung yang ikut-ikutan berdetak kencang."Gak gini juga dong bos? Zero 'kan belum sembuh seutuhnya, aku melihat sendiri dia berusaha on time ko' bos," bela Monik dengan suara lelaki yang sangat bulat.Seketika mata tajam Bos Dady mendarat di wajah Monik. Ia melotot dengan penuh kebencian, bahkan tangannya kembali mengepal hendak

  • The Shadows Man   Perkenalan Anjani

    "Ingat! lelaki tidak boleh cengeng!" ucap Zero menguatkan anak itu dengan mata yang berkaca-kaca.Zero merasa dirinya sedang senasib dengan anak itu."Siapa nama kamu Nak?" tanya Zero berbisik dengan tangan masih memeluk lelaki kecil itu."Ken!" teriak Anjani mewakili jawaban anak kecil itu. "Kenzie namanya."Anjani berjalan mendekat ke arah Zero dan anak itu dengan langkah yang terpingkal-pingkal.Perlahan Zero pun berdiri nanar melihat wajah Anjani yang sangat lebam."Kamu baik-baik saja?" tanya Zero kaku."Entahlah, aku sudah tidak tahu bagaimana rasanya baik-baik saja,""Maafkan aku!" Zero pun mulai membantu Anjani memapah langkahnya hingga sampailah di apartemennya."Tidah usah meminta maaf!" balas Anjani singkat.Sepanjang perjalanan menuju apartemen Anjani, Anak kecil i

DMCA.com Protection Status