***Based on my true story*** Memiliki seorang kekasih seperti Rafael Benedicto adalah salah satu hal yang membuat hidupku menjadi sempurna. Ya, Kesempurnaan yang selama ini aku impikan, yaitu memiliki seorang kekasih yang tulus dan mencintaiku apa adanya. Namun kesempurnaan itu harus dihalang oleh adanya perbedaan agama. Dan pada akhirnya, aku sudah lelah untuk memperjuangkan hubungan ini. Bukan, masalahnya bukan karena lelah memperjuangkan perbedaan itu. Hubunganku dan Rafael hancur karena adanya pengkhianatan sehingga aku harus mengakhiri hubungan ini dan tidak bisa melanjutkan perjuangan untuk mengalahkan perbedaan. Disaat banyaknya rintangan yang sudah kita lalui bersama dan disaat aku sudah memperjuangkan hubungan kita sampai sejauh ini... Mengapa kau malah menjauhi aku, Rafael? Mengapa semua janji memperjuangkan hubungan ini yang pernah terucap seakan mudah untuk dilupakan begitu saja? Perasaan bukanlah sebuah permainan jika kamu hanya ingin mencari kesenangan disaat masa tersulitmu.
View MoreAku mencari-cari wujud Mas Daffin diseluruh ruangan villa namun aku belum juga menemukannya. Aku bergegas keluar dari ruang santai dan memutuskan untuk mencari Mas Daffin di coffee shop dan ruangan gym. Berharap dia ada disana. Aku menuruni anak tangga dan merogoh saku untuk mengambil ponselku dan langsung menghubungi Mas Daffin. Seketika aku sangat familiar dengan nada dering yang samar-samar ku dengar. Ya, nada dering itu adalah nada dering ponsel Mas Daffin. Perlahan aku pun mulai mengikuti arah suara itu sembari menunggu Mas Daffin menjawab teleponku. “Mas Daffin kamu kenapa jahat banget sih gak ngomong ke aku kalo kamu ke Bali.” Ucapku kesal kepada Mas Daffin yang akhirnya menemukannya di ruangan gym “Astaga, La. Ngagetin aja. Aku cuma mau ngasi surprise.” Jawab Mas Daffin sembari meletakkan dumbbell yang berurukan 30kg di atas lantai. Lalu, Mas Daffin pun duduk dan mendongakkan wajahnya kehadapanku. “Terus tadi kenapa pas di pantai tiba-tiba pergi?” Tanyaku menatap Mas Daffin
“Aahhhh!!! Baliiiii!!! Here we come!!!” Ucapku penuh semangat sembari menuju ke tempat pengambilan bagasi bersama teman-temanku. Aku, Aurora, Dina, dan juga April, Mas Dirga, dan Jonathan pada akhirnya sampai di Bandara Ngurah Rai Bali. Perjalanan kami ke Bali pun ditempuh dalam waktu dua jam. Aurora seperti biasa membawa Jonathan dan Dina pun membawa Mas Dirga. Hanya aku dan April saja yang tidak membawa pasangan karena mereka harus bekerja. Sementara Mas Dirga dan Jonathan, mereka berdua hanya bisa menikmati liburan di Bali selama tiga hari karena mereka tidak bisa cuti berlama-lama. Seperti yang aku katakan sebelumnya, semenjak kebangkrutan orangtua Jonathan dia pun harus kuliah dan bekerja disaat bersamaan. Sementara Aku, Dina, April, dan Aurora memang berencana menghabiskan waktu liburan kami di Bali sampai dua minggu lamanya. “Guys kita buat story dulu. Kita udah di Bali.” Ucap Dina sembari membuka aplikasi Anstagram miliknya. “Din, kita masih di Bandara. Masih nunggu baggage.
Enam bulan kemudian… Hari ini aku, April, Aurora, dan Dina tengah berada di Jakarta Convention Center untuk menghadiri upacara wisuda setelah empat tahun berjuang untuk mendapatkan gelar sarjana. Aku tidak pernah menyangka pada akhirnya aku bisa lulus tepat waktu setelah apa yang sudah menimpaku waktu itu. Tidak pernah kuliah dan meratapi nasib hanya karena aku pernah dicampakkan. Namun hari ini aku benar-benar bahagia dan bangga dengan diriku. Dihari special ini, aku dan teman-temanku benar-benar tampil maksimal. Kami semua memakai kebaya dengan model yang berbeda-beda pastinya. Aku dan teman-temanku memilih kain motif jawa untuk rok-nya seperti baju wisudawan pada umumnya. Aku mengenakan kebaya berwarna biru dongker, April mengenakan kebaya berwarna pink muda, Aurora berwarna merah, dan Dina berwarna cream. Rambut kami pun disanggul oleh penata rambut seperti wisudawan-wisudawan yang lainnya. Hanya Dina saja yang memilih rambutnya digerai dengan diberikan model ikal pada ujungnya.
Setiap kali aku menulis novel ini, ada beberapa halaman tentang penyesalan yang sering membuatku menangis. Aku pun pernah menghentikan tulisan ini untuk sementara waktu karena jiwaku masih belum kuat untuk mereka ulang kejadian dan kenangan yang pernah aku ukir bersama masalaluku dulu. Bukan, aku menangis bukan karena aku merindukannya. Bukan pula merindukan kenangan yang pernah kami ukir bersama. Aku menangis karena kesal terhadap diriku sendiri dengan setiap penyesalan yang terus menghantuiku. Saat aku berada di dunia yang gelap. Aku menyalahkan diriku atas keputusan yang aku pilih. Aku merasa aku adalah orang yang paling tidak bisa memilih keputusan yang tepat. Beberapa bulan, aku harus bertanya mengenai keputusan yang harus aku ambil kepada orang terdekatku. Aku merasa takut untuk bertanggung jawab atas konsekuensi keputusan yang akan aku ambil. Aku masih tak menyangka dengan diriku, aku bisa melewati setiap harinya dengan perlahan bisa bangkit dan melupakannya dengan ikhlas.
Tok… tok… tok… Sedikit demi sedikit aku membuka mataku yang masih melekat saat terdengar suara ketukan pintu apartemenku dari luar yang membuatku terbangun dari tidur. Cklek! “Ya ampun sayang. Kamu tidur?” Tanya Mas Daffin keheranan ketika melihat wajahku kusut dengan rambut acak-acakan “Iya, Mas. Aku capek banget tadi pulang magang. Sini masuk dulu.” Jawabku dengan mata yang masih melekat. Mas Daffin masuk ke apartemenku dan duduk di ruang tamuku yang tampak berserakan. Aku pun duduk di samping Mas Daffin sembari memeluknya dengan memejamkan mata. “Kamu masih ngantuk banget ya, La?” “Iya. Mau tidur lagi.” Jawabku singkat. “Jangan tidur lagi sayang. Bentar lagi udah maghrib. Pamali tidur pas lagi maghrib.” Aku membelalakkan mata dan menatap Mas Daffin panik “Serius udah mau maghrib?” “Iya, sayang. Kamu mandi gih. Masih pake baju magang malah di bawa tidur. Aku mau ngajak kamu nongkrong bareng temen aku. Yuk?” “Ya abisnya aku capek, Mas. Banyak banget kerjaan di kantor. Duh m
Aku dan Mas Daffin duduk di sudut rooftop dengan pemandangan yang menyuguhkan lampu-lampu gedung pencakar langit di Jakarta. Awalnya, aku memang mengingat setiap memori yang pernah ku ukir bersama Rafael disana. Namun, lama kelamaan aku melupakannya begitu saja ditambah dengan adanya Mas Daffin yang selalu menceritakan setiap guyonannya. "Mas, aku mau ngomongin keputusan aku. Aku nerima kamu sebagai pacar aku dan kita mulai berbagi setiap hari bersama-sama." Ucapku spontan. "Kamu serius kan, La?" Tanya Mas Daffin membelalakkan matanya. "Iya, Mas." Aku melempar senyum Mas Daffin meraih dan menggenggam tanganku "La, aku seneng banget bisa ngejalani hubungan sama kamu. Aku gak mau menaruh janji. Tapi selama aku dan kamu bersatu, aku masih bisa janjiin kalo aku akan nemenin kamu ke psikolog dan hilangin trauma kamu." "Thanks, Mas. Tapi, Mas--" Ucapku melas. "Kenapa, La?" "Hmm-- aku harus pake piyama teddy bear ya biar bisa dapetin tas sama espresso machine?" "Hahaha. Ya ampun polos
Saat ini aku sadar bahwa aku benar-benar merasakan kehilangan Mas Daffin. Lagi lagi aku merasakan hal itu, sama halnya saat Eithan memutuskan hubungan denganku hanya karena aku selalu membawa nama Rafael. Mas Daffin adalah pria yang selalu ada disaat aku membutuhkannya dan juga pria yang selama ini bertegur sapa setiap harinya denganku. Dan tanpa sadar dia adalah pria yang aku sayangi akhir-akhir ini. Namun sekarang? Aku sudah mengecewakan Mas Daffin hanya karena ketakutanku akan masalalu. Ketakutanku akan disakiti lagi. Aku masih sering bertemu dengan Mas Daffin, apalagi setiap pagi ketika aku pergi kuliah dan dia pun berangkat kerja. Namun, hubungan kami saat ini memang sebatas sapa saja dan hanya bertemu di lorong apartemen. Sejujurnya aku tak bisa mengatakan bahwa aku baik-baik saja saat Mas Daffin tak ada di dekatku lagi. Namun, aku tetap harus mengikhlaskannya dan mengambil pelajaran dari semua pengalamanku. Waktu itu, aku benar-benar kehilangan Mas Daffin. Mas Daffin yang be
Setelah aku meninggalkan Mas Daffin di apartemennya beberapa hari yang lalu karena aku menolaknya lagi dan lagi. Mas Daffin pun akhirnya mengunjungi apartemenku lagi seperti biasa. Mungkin Mas Daffin memang membutuhkan waktu untuk mencerna semuanya. Ditambah lagi Mas Daffin juga masih belum pulih sepenuhnya dengan luka yang masih membekas di lututnya. Namun saat Mas Daffin mengunjungiku waktu itu, syukurlah dia sudah berjalan dengan normal. “La, I think you aren’t okay.” Mas Daffin mengejutkanku dengan pernyataannya seperti itu saat aku tengah fokus menonton serial tv. “Maksudnya?” Tanyaku menatap Mas Daffin dengan bingung “Oh… Pasti kamu mikir aku gak baik-baik aja karna kelakuan aku beberapa hari ini, kan?” Tanyaku dengan yakin. Mas Daffin hanya tersenyum sembari memegang tanganku "Laila, you’re not okay. Kita ke dokter yuk?" "Ke dokter?” Aku tertawa sinis “Mas, aku gapapa loh." Jawabku tegas "Kamu sakit, La." "Apaan sih, Mas. Aku baik-baik aja!" Seruku "Bukan, bukan fisik kam
Mas Daffin… Entahlah, semenjak kejadian memalukan yang aku ciptakan di bar beberapa hari yang lalu dia selalu saja semakin memperhatikanku. Terkadang aku selalu tertawa dan senyum-senyum sendiri saat mengingat kenangan aku ciptakan dengan Mas Daffin. Ditambah lagi saat Mas Daffin mengajakku menonton di salah satu bioskop. Aku benar-benar merasa bahwa Mas Daffin tidak pernah menutup nutupi aku dari wanita lain. Namun lagi-lagi hatiku masih saja selalu meragukan Mas Daffin. “Lo udah sadar?” Tanya April menginterogasiku bersama dengan Dina dan Aurora. Bisa-bisanya mereka datang ke apartemenku tanpa basa basi sedikitpun dan masuk ke dalam apartemenku tanpa mengetuk sama sekali. “Ya udah dong. Lo pikir gue mabok sampe berhari-hari apa?” Ucapku cetus sembari menggeleng-gelengkan kepala. “Lo gak pernah sampe mabok gini, La. Kenapa, sih?” Tanya April sembari duduk di hadapanku. “Gue juga bingung. Udah deh gue gak mau bahas. Intinya sih beberapa hari yang lalu itu gue lost control karna ke
Tanggal 17 Juni 2018, tanggal itu adalah hari pertama aku memutuskan untuk menjalin hubungan dengan Rafael. Ya, sebuah keputusan yang berat hingga pada akhirnya aku di yakinkan oleh Rafael untuk memperjuangkan perbedaan yang ada di antara aku dan dia. Alasannya... karena kami sama-sama saling mencintai dan punya pemikiran yang sama.Aku memutuskan untuk menulis kisah cinta yang pernah aku jalin bersama Rafael. Sebuah kisah cinta yang bahkan membuat aku menjadi mati rasa sekaligus mendapatkan pelajaran berharga di saat yang bersamaan. Bahkan untuk menulis ini pun aku seringkali merasa bahwa aku adalah wanita bodoh yang terlalu mencintai dia yang tidak pernah menganggapku ada.Memang sebuah keputusan yang pernah kita pilih harus di pertanggungjawabkan apapun itu resikonya. Dan, mempertanggungjawabkan keputusan yang salah tidaklah mudah. Ya, keputusan untuk memilih dia yang dengan mudahnya meninggalkanku.Rasanya otakku tidak ingin untuk mengulang lagi&
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments