Café adalah sebuah tempat untuk bersantai dan berbincang-bincang dengan teman, pasangan, bahkan keluarga. Aku duduk disebuah rooftop café memandangi indahnya senja yang menyinari wajahku. Orang-orang seringkali menyebut rooftop di tempat itu dengan sebutan ‘Lovely Rooftop’
Tidak butuh waktu lama untuk duduk, aku beranjak dari tempat duduk sembari membawa secangkir latte lalu berjalan kesudut rooftop untuk melihat suasana keramaian kota Jakarta dari atas rooftop serta ingin menikmati senja dari jarak dekat. Aku melihat pemandangan langit yang sangat indah dan memandangi padatnya kendaraan dibawah serta orang-orang berlalu lalang di tepi jalan raya.
Seketika aku memandang orang-orang disekelilingku. Aku melihat pasangan yang sedang duduk didekat sudut rooftop yang jaraknya agak dekat denganku, mereka menikmati senja berdua ditemani dengan secangkir latte dan hot chocolate. Sungguh hati ini ingin merasakan hal itu.
Sepi... satu kata yang menggambarkan perasaanku saat ini. Apakah aku membutuhkan seseorang? membutuhkan seseorang untuk mendukungku, menyayangiku, dan memanjakanku. Sudah hampir satu tahun aku tidak memiliki hubungan dengan lelaki karena sibuk melupakan masalaluku dan takut untuk memulai hubungan.
Rasanya sudah saatnya untukku membuka hati lagi kepada seseorang. Ah! apa yang sedang aku pikirkan!! Mungkin aku hanya merasakan kesepian saja! Namun, mengapa aku merasa kesepian jika saat ini aku memiliki teman yang selalu ada di sampingku? Batinku
"Lailaaaaaaaa!!!!" Teriakan Dina tentu saja menyadarkanku dari lamunan dan semua orang yang ada di café melihat ke arahku. Aku pun berjalan menuju meja menghampiri Dina.
"Apaan sih, Din. Malu-maluin banget! Liat deh semua orang jadi ngeliatin kan."
"Lagian lo udah beberapa kali gue panggil gak denger, ngelamunin apa sih?" Ternyata Dina sudah beberapa kali memanggilku namun aku tenggelam dalam lamunan konyol yang diciptakan oleh pikiranku.
"Ini gue mau ngenalin temen gue namanya Faris." Aku tidak sadar ternyata ada dua orang lelaki berdiri di sudut meja yang menghadap ke arahku. Dua orang lelaki yang memiliki paras seperti orang Eropa dengan postur tubuh yang tinggi, dada bidang, hidung mancung, alis tebal, dan kulit putih.
"Halo aku Faris temennya Dina."
"Oh iya, Din. Aku bawa temen kenalin----”
"Rafael Benedicto." Rafael memotong pembicaraan Faris dan langsung mengulurkan tangannya kearahku dengan tatapan matanya yang bulat nan indah.
"Laila." Jawabku singkat sembari mengulurkan tangan ke arahnya.
"Just Laila?"
"Laila Almeera. Harus nama lengkap ya? Udah kaya mau absen aja." Jawabku cetus sambil merapikan rambut.
"Lah. Perasaan Faris ngenalin Rafael ke gue deh kenapa jadi nyosor ke Laila. Wahh jangan jangan temen lu suka sama Laila, Ris. Lagian temen gue yang satu ini mah emang atraktif dan dia sensual sih kalo kata anak anak. Iya gak, La?" Pernyataan Dina membuat pipiku memerah, rasanya kalau tidak ada Faris dan Rafael mungkin aku sudah melempar sepatuku ke arahnya.
"Bener. Sensual banget." Jawaban Rafael mengejutkanku sampai membuatku menggigit jari dan membelalakkan mataku ke arahnya.
Dia menjawab dengan matanya yang masih menatapku, aku diam seperti patung saat Rafael menatapku dengan tatapan lekat.
“Apa-apaan!! Baru pertama kenal udah berani mngeluarkan kata-kata kaya gitu?? Dasar buaya!!” Batinku
"Haaaaaaaaaaa!! omg omg omg!!! Temen gue digombalin dooonggg." Teriakan Dina membuat semua orang melihat kearahku. Langsung saja aku menarik rambutnya karna tidak tahan dengan kelakuan Dina yang selalu saja menggemparkan suasana "Bisa diem gak? Heboh banget!" Ucapku sembari membelalakkan mata ke arah Dina.
"Bro... lo lagi gak dirasukin apa-apa, kan? Fyi gue kaget si Rafael begini. Rafael yang gue tau gak pernah ngegombalin cewe dan dingin banget sama cewe. Kayanya ada yang aneh deh sama lo." Jawaban Faris membuatku merasa senang, ternyata Rafael bukan lelaki seperti yang aku pikirkan. Ya, laki-laki yang mengobral kata-kata manis ke semua wanita.
“Apa?? Senang kataku??? Ah tidak!! apa apaan sih, La. Baru juga kenal. Ga ada istilah senang!! Jangan karna pengen punya pacar jadi kemakan omongan orang yang baru dikenal deh, La. Jomblo sih jomblo tapi jangan gini juga, La.” Bagian diriku yang lain sepertinya sedang memberontak dari dalam.
"Eh La, itu anak-anak udah pada dateng, yuk kita mulai foto-fotonya, mumpung senjanya masih ada nih. Yuk Ris, Rafael. Kita samperin temen-temen gue disana kebetulan mereka lagi berdiri di spot yang gue pengen buat foto." Ucap Dina mengajakku, Faris, dan juga Rafael
"Kalian duluan aja ya, Din. Gue mau abisin latte gue dulu." Jawabku
"Dasar ratu kafein!" Dina langsung mengambil kamera yang ada di meja dan menghampiri teman-teman yang sudah berada di sudut rooftop
"Suka kopi juga?" Tiba tiba Rafael duduk disampingku dan membuatku berhenti meminum latte
"Eh-- i-iyaa. Emang lo suka kopi?" Jawabku terkejut sambil melirik dengan mata yang tajam dan kembali meminum latte.
"Iyaaaa, aku tiap hari tuh harus ngopi dulu biar bisa melek hehe." Ucapnya sembari tertawa
Tidak terasa aku dan Rafael berbincang beberapa hal, seakan sudah lama mengenal satu sama lain. Rafael berhasil membuatku nyaman berbincang dengannya sampai aku dan dia lupa waktu.
Aku melirik arloji dan tidak terasa sudah pukul delapan malam lewat beberapa menit “Astaga!!! Anak-anak pada kemana? Niatku ke tempat ini bersama dengan teman temanku untuk mengambil beberapa foto untuk di upload di Anstagram. Sialll aku ditinggal!” Batinku memberontak.
"Asik banget ngobrolnya cieeeee." Seketika Aurora mengolok sembari mengacak rambutku.
"Gila ya kalian. Kok gak panggilin gue si buat foto? Lu pada tau kan yang excited banget ke tempat ini tuh gue dan yang milih tempat ini juga gue. Gini banget jadi temen ya udah deh." Ucapku kesal
"Yailah sensitif banget sih ratu kafein! Tanya anak-anak deh, kita udah manggil lu daritadi tapi lu nya malah asik banget ngobrol sama Rafael.” Jelas Dina
"Kalo lu pada mau ngajak foto ya samperin dong. Mana gue denger kalo kalian pada manggilin gue. Tuh kan jadi gak bisa upload foto deh gue hari ini."
Aku benar-benar kesal kepada teman-temanku karena mereka tidak berusaha untuk menghampiriku, apalagi aku adalah orang yang sangat memperhatikan feeds Anstagram. Jika seperti ini, aku pasti tidak bisa mengunggah
foto di Anstagram. Aku juga kesal dengan Rafael karena dia membuatku nyaman, aku jadi tidak bisa ikut foto-foto bersama teman temanku.Nyaman? Ah tidak! Itu bukan nyaman, aku hanya menghargai dia saja yang asyik berbincang.
"Ya udah sih, itu aja di permasalahin. Besok balik lagi kesini, gitu aja repot. please deh jangan kaya orang susah." April menjawab dengan nada ketus sembari memilih hasil foto yang akan dia upload ke Anstagram
"Tau ah gue badmood." Ucapku dengan wajah murung
"Hey… jangan badmood." Rafael memegang tanganku dan menatap mataku sangat dalam "Ini salahku udah ngajak kamu ngobrol sampe kamu gak bisa nikmatin waktu kamu dengan temen temen. Sebagai gantinya aku beliin kamu boneka teddy bear ya."
Ya, Rafael tau aku suka dengan boneka teddy bear karena saat aku dan dia berbincang, dia selalu bertanya mengenai hal hal yang aku sukai dan hal yang tidak aku sukai. Tawaran Rafael tentu saja membuatku tidak bisa menolak dan dia langsung merubah moodku menjadi lebih baik.
Sementara teman-temanku, terkejut melihat sikap Rafael yang begitu hangat kepadaku, mereka membelalakkan matanya dengan mulut menganga menatap tangan Rafael yang masih menggenggam tanganku.
***
Dua bulan berturut-turut aku dan Rafael selalu berbalas pesan, bertemu, dan selalu mengambil foto kegiatan yang sedang kami lakukan. Kita bercanda, mengirim video kekonyolan dan bahkan hampir setiap malam selalu melakukan video call.
"Oh shit!!" sangking asyiknya berbalas pesan dengan Rafael aku sampai tidak sadar kalau aku salah menaiki escalator yang seharusnya naik tetapi aku menaiki escalator yang turun. Hampir semua orang melihatku dan ada yang senyum-senyum melihat kesalahanku. Semoga saja tidak ada orang yang mengambil video kekonyolanku ini dan mengirimnya ke akun Anstagram dagelawak.
Aku menghampiri Dina, April, dan Aurora dengan wajah yang memerah "Kok kalian gak ngasi tau gue sih kalo gue salah naik escalator?" Tanyaku kesal
"Ya lagian lu asik sendiri, kita ngobrol eh lu-nya malah senyum-senyum sendiri ngeliatin hp. Jatuh cinta sih jatuh cinta, tapi jangan gagal fokus juga. Mending lu ga usah ikut deh tadinya." Cetus April
"Ih apaan sih! gue gak jatuh cinta! Lagian gue dan Rafael tuh gak bisa bersatu. Kita beda suku dan agama."
"Udah tau beda masih aja di ladenin. Ntar anak orang baper baru tau rasa lu. Eh atau jangan jangan lu nya yang udah baper." Desis April tajam
"Ih diem! Kita makan dulu yuk. gue laper!" Ajakku mengalihkan pembicaraan. Apa benar kata April kalau aku mulai memiliki perasaan dengan Rafael? Tapi bagaimana bisa? Aku dan Rafael tidak bisa bersatu. Aku berbincang dengan Rafael karena kami berdua memiliki banyak kesamaan dan memiliki persepsi yang sama ketika berbincang satu sama lain.
***
Rafael PoV
Disisi lain, Rafael tengah berbincang dengan Faris di apartemennya.
Rafael menuangkan segelas wine lalu berjalan ke arah balkon menghampiri Faris "Laila Almeera. Wanita yang memiliki rambut hitam yang panjang, mata yang sangat sensual, bibir penuh nan seksi, memiliki tubuh mungil yang berisi serta lekukan tubuhnya yang sangat menakjubkan. Kayanya gue harus dapetin dia."
"WEW! Lo mau miliki dia karna lekukan tubuhnya?" Faris menatap Rafael sinis.
"Bukan cuma itu. selain memiliki lekukan tubuh yang indah, dia juga memiliki hati yang lembut. Dengan keadaan gue yang kaya gini, gue butuh sosok wanita yang bisa perhatiin gue. Kayanya gue harus menyatakan perasaan gue ke Laila. Gue gak mau kalau sampai Aqsa yang duluan mengambilnya."
"who's Aqsa?"
"Lelaki yang sedang mencoba merebut hati Laila." Jelas Rafael
“Dan, keadaan lo yang kaya gini? Maksudnya? I don’t get it, Bro.” Ucap Faris bingung sembari menatap Rafael
“I can’t tell you. Privacy.” Jelas Rafael singkat
Rafael tidak berhenti menatapku sejak dia datang untuk menemaniku mengerjakan tugas di salah satucoffee shopyang berada didekat kampus. Sementara aku asik sibuk mengerjakan tugas karenadeadlineyang terus menghantui.Dengan sabarnya, Rafael masih menemaniku setelah dua jam mengerjakan tugas tanpa diganggu olehnya. Sesekali dia pun mengerjakan somasi yang harus dia selesaikan. Namun, dia bukan orang yang bisa fokus mengerjakan pekerjaan di tempat yang ramai. Hal yang dia lakukan hanya menatapku tanpa mengganggu sama sekali.“Finally!!!!Selesai jugahuffttt!!”Ucapku menghela napas sembari melepaskan kacamataku dan memejamkan mata sejenak"Jangan dilepas kacamatanya. Kamu pake kacamata keliatan sensual banget tau, La." Ucap Rafael dan sontak membuatku terkejut saat aku tengah sibuk menggerai dan merapikan rambutku."Dih! Suka-suka gue, ya, Rafael!!" Seruku"Emang k
"Pake dulu jaketnya, La. Astagaaa!!!" Rafael menarikku dan langsung memakaikan jaket ke tubuhkuSore itu, tiba-tiba derasnya hujan mengguyur kota Jakarta saat aku dan Rafael tengah berada di food court dengan suasana outdoor. Aku dan Rafael memang sering mengunjungi food court itu jika ingin mencicipi makanan yang berbeda-beda."Aduuuhhhh!! ribet banget. Udah di bilangin gapapa dan aku tahan dingin tetep aja maksa." Jawabku kesal.Rafael mendengus napas "Gak dingin tapi dari tadi bersin terus." Ucapnya dengan menatap mataku tajam "Ya udah sekarang kamu mau apa lagi?" Tanya Rafael yang tengah berdiri di hadapanku saat kami selesai mencicipi Es Kopi Susu yang memang terkenal di food court itu."Aku laper, Rafael. Mau pizza." Aku memberikan senyuman lebar kepada Rafael."Ya udah ayooo." Rafael langsung berjalan dan meninggalkanku menuju tempat pizza yang jaraknya hanya beberapa langkah dari tempat Es Kopi Susu itu.
Tidak terasa Aku dan Rafael sudah menjalani hubungan sebagai sepasang kekasih selama tiga bulan. Menurutku sudah sangat wajar jika aku memberitahu hubungan ini kepada orangtuaku.Hari ini adalah waktu yang biasanya aku gunakan untuk kembali ke rumah. Ya, hari Sabtu. Aku memang memilih untuk tinggal di apartemen karena jarak rumah yang sangat jauh dari Universitasku.Saat tiba di rumah, aku pun memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Papa. Aku menghampiri Papa yang tengah duduk di ruang TV yang terlihat tengah asik memainkan ponselnya."Laila, Papa gak bisa lihat kamu memiliki hubungan dengan orang yang jelas-jelas berbeda dengan kita." Ucap Papa tegas."Tapi, Pa. Laila udah sayang dengan Rafael. Baru Rafael lelaki yang benar-benar memperlakukan Laila seakan cuma Laila wanita yang ada di dunia ini." Aku berkomentar"Itu cuma sesaat, La. Cowo tuh egois. Papa yakin dia awal-awal aja begitu dengan kamu. Papa gak mau tau, kamu harus mutusin h
Setelah aku memberitahu Papa dan mengetahui keputusannya yang tidak menyetujui hubunganku dengan Rafael, rasanya aku kehilangan harap. Namun tetap saja aku tidak boleh untuk menyerah.Bagaimana pun juga, aku dan Rafael sudah berjanji untuk bersama ke jenjang yang lebih serius. Aku tidak mungkin bisa mengecewakannya yang memang sudah punya harapan itu.Namun, semenjak aku membuka diri kepada Aqsa, aku salah melangkah dan mengkhianati Rafael. Aku memilih untuk mendekatkan diri lagi dengan Aqsa. Seseorang yang aku kenal sebelum Rafael dan seseorang yang mungkin sering rutin bertanya mengenai kegiatanku sehari-hari. Berbeda dengan Rafael yang memang akhir-akhir ini tak selalu sempat untuk bertanya sesering itu.Aqsa adalah kakak seniorku, kampusnya berada bersebelahan dengan kampusku. Aku kenal dengannya dikarenakan kegiatan ekstrakurikuler yang seringkali bertanding dengan kampusnya.Aku tau resiko pekerjaan Rafael sebagai pengacara memang tak mudah
Di malam yang kiranya tampak sendu itu, aku menatap Rafael dengan tatapan dusta. Seorang perempuan yang dia cintai ternyata mampu menyembunyikan pengkhianatan.Rasanya aku menjadi wanita pengecut jika tidak memberitahunya bahwa aku pernah menduakan Rafael. Walaupun aku sudah memutuskan hubungan dengan Aqsa, tetap saja hati ini tak tega menyembunyikan pengkhianatan itu.Aku yang sedang duduk di hadapannya semakin merasa bersalah. Tak sanggup sedikit pun menatap wajahnya karna kesalahanku. Tapi apa pun keputusan Rafael, aku tetap harus memberitahunya dan bertanggung jawab atas kesalahanku."Rafael--""Iya, sayang?" Ucap Rafael yang hanya fokus di layar laptopnya tanpa menatapku"Aku mau nanya deh." Tanyaku ragu"Nanya apa nih? Aku sambil kerja gapapa ya?""Iya tapi kamu dengerin ya.""Iya. Aku bisa multitasking kok." Jawabnya sombong sembari tertawa."Hmm--" Aku masih berpikir dari mana harus memulai percakapan ini "Jadi,
"Gue kesel banget sama pacar gue!!! Pengen banget bisa punya pacar kaya Rafael." Ucap Dina kesal. Aku dan teman-temanku yang baru saja pulang dari kampus dan duduk di ruang tamu apartemen, terkejut mendengar Dina mengatakan hal itu setelah dia sibuk menatap layar ponselnya. Aku tak tahu apa yang terjadi antara Dina dengan pacarnya. Tapi yang pasti dia memang sedang tidak baik-baik saja dengan air matanya yang sudah mulai menetes begitu saja. "Lo kenapa sih? Kok nangis?" Aku mencoba memberanikan diri untuk sekedar menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Walaupun jauh dari lubuk hatiku aku merasa tak punya hak menanyakan privasinya. Sementara temanku yang lain hanya mengulang pertanyaanku "Iya, kenapa sih?" "Gue udah pacaran sama Dodi selama enam tahun, guys. Dari SMA. Tapi kelakuan dia gak pernah berubah sampe sekarang." Jawab Dina kecewa "Kelakuan dia kenapa emang?" Tanya April memastikan. Dina menghela napas dan seakan menahan tangis
Tak terasa sudah delapan bulan aku bersama Rafael, aku semakin khawatir dengan sikapnya beberapa bulan yang lalu karena tiba-tiba gugup ketika aku memegang ponselnya.Aku benar-benar penasaran dengan tingkahnya seperti itu. Apakah dia selingkuh? Semenjak kejadian itu, otakku terus bertanya-tanya mengenai sikapnya. Bahkan aku berpikir Rafael akan balas dendam karena aku pernah mengkhianatinya.Aku sudah sangat lelah berharap dan menerka-nerka. Aku memejamkan mata dan mencoba untuk menghilangkan pikiran negatifku kepada Rafael. Aku mencoba memahami hal tersebut dan berharap suatu saat dia bisa lebih terbuka denganku.Waktu itu, aku mencoba untuk tidak meninggalkan Rafael. Aku tetap berjuang demi hubungan kami. Mungkin memang waktu yang masih belum memungkinkan untuk Rafael terbuka dengan semua privasinya. Aku tidak ingin gegabah mengambil keputusan seperti keputusanku yang salah telah mengkhianatinya dulu.(WazzApp Notification - Aurora)
Hari itu, hari yang telah aku nantikan. Menantikan momen bahagia yang akan aku berikan kepada Rafael. Aku menghampiri apartemennya dengan membawa gift dan kue tart coklat dengan tulisan Happy Birthday di atasnya.Aku sengaja menitipkan barang-barang itu di lobi apartemen Rafael agar surprise yang akan aku berikan kepadanya berhasil sesuai dengan rencanaku.tok... tok... tok...Rafael membuka pintu apartemen dan tampaknya dia baru saja bangun dari tidurnya "Hai sayang. Masih jam delapan. Kok tiba-tiba kesini pagi-pagi banget? Ayo masuk" UcapnyaAku pun melangkahkan kaki untuk memasuki apartemennya "Aku suntuk aja di apartemen. Lagian hari ini kan minggu, jadi aku mikirnya kamu emang lagi di apartemen jadi aku gak bilang deh. Kamu mandi gih, aku mau nonton netflix bareng nih. Ntar kita cari sarapan dulu.""Iya bawel. Ini aku mau mandi." Ucap Rafael sembari mencubit pipiku.Saat Rafael tengah berada di kamar
Aku mencari-cari wujud Mas Daffin diseluruh ruangan villa namun aku belum juga menemukannya. Aku bergegas keluar dari ruang santai dan memutuskan untuk mencari Mas Daffin di coffee shop dan ruangan gym. Berharap dia ada disana. Aku menuruni anak tangga dan merogoh saku untuk mengambil ponselku dan langsung menghubungi Mas Daffin. Seketika aku sangat familiar dengan nada dering yang samar-samar ku dengar. Ya, nada dering itu adalah nada dering ponsel Mas Daffin. Perlahan aku pun mulai mengikuti arah suara itu sembari menunggu Mas Daffin menjawab teleponku. “Mas Daffin kamu kenapa jahat banget sih gak ngomong ke aku kalo kamu ke Bali.” Ucapku kesal kepada Mas Daffin yang akhirnya menemukannya di ruangan gym “Astaga, La. Ngagetin aja. Aku cuma mau ngasi surprise.” Jawab Mas Daffin sembari meletakkan dumbbell yang berurukan 30kg di atas lantai. Lalu, Mas Daffin pun duduk dan mendongakkan wajahnya kehadapanku. “Terus tadi kenapa pas di pantai tiba-tiba pergi?” Tanyaku menatap Mas Daffin
“Aahhhh!!! Baliiiii!!! Here we come!!!” Ucapku penuh semangat sembari menuju ke tempat pengambilan bagasi bersama teman-temanku. Aku, Aurora, Dina, dan juga April, Mas Dirga, dan Jonathan pada akhirnya sampai di Bandara Ngurah Rai Bali. Perjalanan kami ke Bali pun ditempuh dalam waktu dua jam. Aurora seperti biasa membawa Jonathan dan Dina pun membawa Mas Dirga. Hanya aku dan April saja yang tidak membawa pasangan karena mereka harus bekerja. Sementara Mas Dirga dan Jonathan, mereka berdua hanya bisa menikmati liburan di Bali selama tiga hari karena mereka tidak bisa cuti berlama-lama. Seperti yang aku katakan sebelumnya, semenjak kebangkrutan orangtua Jonathan dia pun harus kuliah dan bekerja disaat bersamaan. Sementara Aku, Dina, April, dan Aurora memang berencana menghabiskan waktu liburan kami di Bali sampai dua minggu lamanya. “Guys kita buat story dulu. Kita udah di Bali.” Ucap Dina sembari membuka aplikasi Anstagram miliknya. “Din, kita masih di Bandara. Masih nunggu baggage.
Enam bulan kemudian… Hari ini aku, April, Aurora, dan Dina tengah berada di Jakarta Convention Center untuk menghadiri upacara wisuda setelah empat tahun berjuang untuk mendapatkan gelar sarjana. Aku tidak pernah menyangka pada akhirnya aku bisa lulus tepat waktu setelah apa yang sudah menimpaku waktu itu. Tidak pernah kuliah dan meratapi nasib hanya karena aku pernah dicampakkan. Namun hari ini aku benar-benar bahagia dan bangga dengan diriku. Dihari special ini, aku dan teman-temanku benar-benar tampil maksimal. Kami semua memakai kebaya dengan model yang berbeda-beda pastinya. Aku dan teman-temanku memilih kain motif jawa untuk rok-nya seperti baju wisudawan pada umumnya. Aku mengenakan kebaya berwarna biru dongker, April mengenakan kebaya berwarna pink muda, Aurora berwarna merah, dan Dina berwarna cream. Rambut kami pun disanggul oleh penata rambut seperti wisudawan-wisudawan yang lainnya. Hanya Dina saja yang memilih rambutnya digerai dengan diberikan model ikal pada ujungnya.
Setiap kali aku menulis novel ini, ada beberapa halaman tentang penyesalan yang sering membuatku menangis. Aku pun pernah menghentikan tulisan ini untuk sementara waktu karena jiwaku masih belum kuat untuk mereka ulang kejadian dan kenangan yang pernah aku ukir bersama masalaluku dulu. Bukan, aku menangis bukan karena aku merindukannya. Bukan pula merindukan kenangan yang pernah kami ukir bersama. Aku menangis karena kesal terhadap diriku sendiri dengan setiap penyesalan yang terus menghantuiku. Saat aku berada di dunia yang gelap. Aku menyalahkan diriku atas keputusan yang aku pilih. Aku merasa aku adalah orang yang paling tidak bisa memilih keputusan yang tepat. Beberapa bulan, aku harus bertanya mengenai keputusan yang harus aku ambil kepada orang terdekatku. Aku merasa takut untuk bertanggung jawab atas konsekuensi keputusan yang akan aku ambil. Aku masih tak menyangka dengan diriku, aku bisa melewati setiap harinya dengan perlahan bisa bangkit dan melupakannya dengan ikhlas.
Tok… tok… tok… Sedikit demi sedikit aku membuka mataku yang masih melekat saat terdengar suara ketukan pintu apartemenku dari luar yang membuatku terbangun dari tidur. Cklek! “Ya ampun sayang. Kamu tidur?” Tanya Mas Daffin keheranan ketika melihat wajahku kusut dengan rambut acak-acakan “Iya, Mas. Aku capek banget tadi pulang magang. Sini masuk dulu.” Jawabku dengan mata yang masih melekat. Mas Daffin masuk ke apartemenku dan duduk di ruang tamuku yang tampak berserakan. Aku pun duduk di samping Mas Daffin sembari memeluknya dengan memejamkan mata. “Kamu masih ngantuk banget ya, La?” “Iya. Mau tidur lagi.” Jawabku singkat. “Jangan tidur lagi sayang. Bentar lagi udah maghrib. Pamali tidur pas lagi maghrib.” Aku membelalakkan mata dan menatap Mas Daffin panik “Serius udah mau maghrib?” “Iya, sayang. Kamu mandi gih. Masih pake baju magang malah di bawa tidur. Aku mau ngajak kamu nongkrong bareng temen aku. Yuk?” “Ya abisnya aku capek, Mas. Banyak banget kerjaan di kantor. Duh m
Aku dan Mas Daffin duduk di sudut rooftop dengan pemandangan yang menyuguhkan lampu-lampu gedung pencakar langit di Jakarta. Awalnya, aku memang mengingat setiap memori yang pernah ku ukir bersama Rafael disana. Namun, lama kelamaan aku melupakannya begitu saja ditambah dengan adanya Mas Daffin yang selalu menceritakan setiap guyonannya. "Mas, aku mau ngomongin keputusan aku. Aku nerima kamu sebagai pacar aku dan kita mulai berbagi setiap hari bersama-sama." Ucapku spontan. "Kamu serius kan, La?" Tanya Mas Daffin membelalakkan matanya. "Iya, Mas." Aku melempar senyum Mas Daffin meraih dan menggenggam tanganku "La, aku seneng banget bisa ngejalani hubungan sama kamu. Aku gak mau menaruh janji. Tapi selama aku dan kamu bersatu, aku masih bisa janjiin kalo aku akan nemenin kamu ke psikolog dan hilangin trauma kamu." "Thanks, Mas. Tapi, Mas--" Ucapku melas. "Kenapa, La?" "Hmm-- aku harus pake piyama teddy bear ya biar bisa dapetin tas sama espresso machine?" "Hahaha. Ya ampun polos
Saat ini aku sadar bahwa aku benar-benar merasakan kehilangan Mas Daffin. Lagi lagi aku merasakan hal itu, sama halnya saat Eithan memutuskan hubungan denganku hanya karena aku selalu membawa nama Rafael. Mas Daffin adalah pria yang selalu ada disaat aku membutuhkannya dan juga pria yang selama ini bertegur sapa setiap harinya denganku. Dan tanpa sadar dia adalah pria yang aku sayangi akhir-akhir ini. Namun sekarang? Aku sudah mengecewakan Mas Daffin hanya karena ketakutanku akan masalalu. Ketakutanku akan disakiti lagi. Aku masih sering bertemu dengan Mas Daffin, apalagi setiap pagi ketika aku pergi kuliah dan dia pun berangkat kerja. Namun, hubungan kami saat ini memang sebatas sapa saja dan hanya bertemu di lorong apartemen. Sejujurnya aku tak bisa mengatakan bahwa aku baik-baik saja saat Mas Daffin tak ada di dekatku lagi. Namun, aku tetap harus mengikhlaskannya dan mengambil pelajaran dari semua pengalamanku. Waktu itu, aku benar-benar kehilangan Mas Daffin. Mas Daffin yang be
Setelah aku meninggalkan Mas Daffin di apartemennya beberapa hari yang lalu karena aku menolaknya lagi dan lagi. Mas Daffin pun akhirnya mengunjungi apartemenku lagi seperti biasa. Mungkin Mas Daffin memang membutuhkan waktu untuk mencerna semuanya. Ditambah lagi Mas Daffin juga masih belum pulih sepenuhnya dengan luka yang masih membekas di lututnya. Namun saat Mas Daffin mengunjungiku waktu itu, syukurlah dia sudah berjalan dengan normal. “La, I think you aren’t okay.” Mas Daffin mengejutkanku dengan pernyataannya seperti itu saat aku tengah fokus menonton serial tv. “Maksudnya?” Tanyaku menatap Mas Daffin dengan bingung “Oh… Pasti kamu mikir aku gak baik-baik aja karna kelakuan aku beberapa hari ini, kan?” Tanyaku dengan yakin. Mas Daffin hanya tersenyum sembari memegang tanganku "Laila, you’re not okay. Kita ke dokter yuk?" "Ke dokter?” Aku tertawa sinis “Mas, aku gapapa loh." Jawabku tegas "Kamu sakit, La." "Apaan sih, Mas. Aku baik-baik aja!" Seruku "Bukan, bukan fisik kam
Mas Daffin… Entahlah, semenjak kejadian memalukan yang aku ciptakan di bar beberapa hari yang lalu dia selalu saja semakin memperhatikanku. Terkadang aku selalu tertawa dan senyum-senyum sendiri saat mengingat kenangan aku ciptakan dengan Mas Daffin. Ditambah lagi saat Mas Daffin mengajakku menonton di salah satu bioskop. Aku benar-benar merasa bahwa Mas Daffin tidak pernah menutup nutupi aku dari wanita lain. Namun lagi-lagi hatiku masih saja selalu meragukan Mas Daffin. “Lo udah sadar?” Tanya April menginterogasiku bersama dengan Dina dan Aurora. Bisa-bisanya mereka datang ke apartemenku tanpa basa basi sedikitpun dan masuk ke dalam apartemenku tanpa mengetuk sama sekali. “Ya udah dong. Lo pikir gue mabok sampe berhari-hari apa?” Ucapku cetus sembari menggeleng-gelengkan kepala. “Lo gak pernah sampe mabok gini, La. Kenapa, sih?” Tanya April sembari duduk di hadapanku. “Gue juga bingung. Udah deh gue gak mau bahas. Intinya sih beberapa hari yang lalu itu gue lost control karna ke