Di malam yang kiranya tampak sendu itu, aku menatap Rafael dengan tatapan dusta. Seorang perempuan yang dia cintai ternyata mampu menyembunyikan pengkhianatan.
Rasanya aku menjadi wanita pengecut jika tidak memberitahunya bahwa aku pernah menduakan Rafael. Walaupun aku sudah memutuskan hubungan dengan Aqsa, tetap saja hati ini tak tega menyembunyikan pengkhianatan itu.
Aku yang sedang duduk di hadapannya semakin merasa bersalah. Tak sanggup sedikit pun menatap wajahnya karna kesalahanku. Tapi apa pun keputusan Rafael, aku tetap harus memberitahunya dan bertanggung jawab atas kesalahanku.
"Rafael--"
"Iya, sayang?" Ucap Rafael yang hanya fokus di layar laptopnya tanpa menatapku
"Aku mau nanya deh." Tanyaku ragu
"Nanya apa nih? Aku sambil kerja gapapa ya?"
"Iya tapi kamu dengerin ya."
"Iya. Aku bisa multitasking kok." Jawabnya sombong sembari tertawa.
"Hmm--" Aku masih berpikir dari mana harus memulai percakapan ini "Jadi,
"Gue kesel banget sama pacar gue!!! Pengen banget bisa punya pacar kaya Rafael." Ucap Dina kesal. Aku dan teman-temanku yang baru saja pulang dari kampus dan duduk di ruang tamu apartemen, terkejut mendengar Dina mengatakan hal itu setelah dia sibuk menatap layar ponselnya. Aku tak tahu apa yang terjadi antara Dina dengan pacarnya. Tapi yang pasti dia memang sedang tidak baik-baik saja dengan air matanya yang sudah mulai menetes begitu saja. "Lo kenapa sih? Kok nangis?" Aku mencoba memberanikan diri untuk sekedar menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Walaupun jauh dari lubuk hatiku aku merasa tak punya hak menanyakan privasinya. Sementara temanku yang lain hanya mengulang pertanyaanku "Iya, kenapa sih?" "Gue udah pacaran sama Dodi selama enam tahun, guys. Dari SMA. Tapi kelakuan dia gak pernah berubah sampe sekarang." Jawab Dina kecewa "Kelakuan dia kenapa emang?" Tanya April memastikan. Dina menghela napas dan seakan menahan tangis
Tak terasa sudah delapan bulan aku bersama Rafael, aku semakin khawatir dengan sikapnya beberapa bulan yang lalu karena tiba-tiba gugup ketika aku memegang ponselnya.Aku benar-benar penasaran dengan tingkahnya seperti itu. Apakah dia selingkuh? Semenjak kejadian itu, otakku terus bertanya-tanya mengenai sikapnya. Bahkan aku berpikir Rafael akan balas dendam karena aku pernah mengkhianatinya.Aku sudah sangat lelah berharap dan menerka-nerka. Aku memejamkan mata dan mencoba untuk menghilangkan pikiran negatifku kepada Rafael. Aku mencoba memahami hal tersebut dan berharap suatu saat dia bisa lebih terbuka denganku.Waktu itu, aku mencoba untuk tidak meninggalkan Rafael. Aku tetap berjuang demi hubungan kami. Mungkin memang waktu yang masih belum memungkinkan untuk Rafael terbuka dengan semua privasinya. Aku tidak ingin gegabah mengambil keputusan seperti keputusanku yang salah telah mengkhianatinya dulu.(WazzApp Notification - Aurora)
Hari itu, hari yang telah aku nantikan. Menantikan momen bahagia yang akan aku berikan kepada Rafael. Aku menghampiri apartemennya dengan membawa gift dan kue tart coklat dengan tulisan Happy Birthday di atasnya.Aku sengaja menitipkan barang-barang itu di lobi apartemen Rafael agar surprise yang akan aku berikan kepadanya berhasil sesuai dengan rencanaku.tok... tok... tok...Rafael membuka pintu apartemen dan tampaknya dia baru saja bangun dari tidurnya "Hai sayang. Masih jam delapan. Kok tiba-tiba kesini pagi-pagi banget? Ayo masuk" UcapnyaAku pun melangkahkan kaki untuk memasuki apartemennya "Aku suntuk aja di apartemen. Lagian hari ini kan minggu, jadi aku mikirnya kamu emang lagi di apartemen jadi aku gak bilang deh. Kamu mandi gih, aku mau nonton netflix bareng nih. Ntar kita cari sarapan dulu.""Iya bawel. Ini aku mau mandi." Ucap Rafael sembari mencubit pipiku.Saat Rafael tengah berada di kamar
Setelah memberi Rafael beberapa birthday gift, aku dan Rafael memutuskan untuk dinner di sebuah rooftop yang berada di Jakarta Selatan. Ya, rooftop diatas gedung pencakar langit memang selalu menjadi tempat favoritku bersamanya. Aku dan Rafael memilih untuk pergi ke salah satu rooftop bernuansa casual. Ya, aku dan Rafael ingin mengunjungi rooftop yang belum pernah kami kunjungi, sebuah rooftop yang tidak terlalu ramai dengan menyuguhkan ornamen kayu yang tampak elegan. Saat sampai di rooftop, aku memilih untuk duduk di sofa yang terletak di pinggir-pinggir ruang yang langsung menghadap kearah pemandangan Kota Jakarta dengan gemerlap lampu yang berada di seluruh gedung-gedung tinggi yang mengelilingi rooftop ini. "Orang yang punya bisnis ini pasti income-nya gede banget, ya." Ucap Rafael saat aku masih menikmati suasana rooftop dengan matahari yang mulai tenggelam. "Kamu selalu aja lihat income kemanapun." Ucapku dengan tertawa kecil. "Iya dong. Kita harus wajib melek dengan dunia
Beberapa hari setelah ulang tahun Rafael. Aku merasa hubungan kami tidak akan memiliki titik terang. Ya, hubungan kami memang tidak di ketahui oleh orangtua. Namun, mengapa teman-teman Rafael pun tidak ada yang mengetahui kecuali Faris?Aku bukan menduga. Namun aku bisa melihat dari respon teman-teman Rafael yang sepertinya tidak tahu jika saat ini Rafael sedang menjalin hubungan denganku. Hal itu terlihat jelas dari komentar yang mereka berikan saat Rafael mengunggah foto di Anstagram.Ya, tepatnyapostinganitu diunggah Rafael saat Rafael ingin pergi keluar kota beberapa hari yang lalu.“Wah! Rafael ulang tahun. Happy birthday! Jangan lama-lama jomblo.”“Semoga lo bisa cepet dapet pacar ya, Bro.”Aku mencoba untuk menanyakan hal itu kepada Rafael. Apakah dia serius menjalani hubungan denganku? Apakah aku hanya selirnya? Mengapa sampai saat ini hubungan kami berdua seperti dihalan
Aku sedang berada di suatu ruangan auditorium kampusku, memoles wajah layaknya suku indian atau orang-orang mengenalnya dengan sebutan ‘Native American in The United States’. "Laila." Sutradaraku memanggil dan aku pun menoleh ke belakang. "Iya, Mas?" Tanyaku "Ini script kamu ya. Pelajari. Lawan main kamu Brian." Aku mengikuti ekstrakurikuler theater di kampus. Hari ini aku mengikuti casting dan mencoba berperan untuk memainkan tokoh utama bersama Brian, juniorku. Aku dan Brian berperan sebagai sepasang kekasih. Cerita yang kami perankan pun menceritakan perkelahian yang terjadi di antara kedua kerajaan sampai Brian seolah terbunuh di depanku. Berdasarkan script yang sudah kami pahami. Aku menghampiri Brian, menyandarkan kepalanya di pangkuanku dan seolah-olah menangis karena sang kekasih hati pergi meninggalkanku begitu saja. Aku pun dituntut untuk mengusap kepala Brian dengan lembut.
Sebelum aku tampil di acara theater waktu itu, Rafael berjanji akan menemaniku membeli perlengkapan untuk acara theater nanti. Aku pun menunggunya di kampus setelah latihan selesai di ruangan auditorium. Ya, aku menunggu Rafael selama hampir satu jam. Benar-benar membosankan dan sedikit demi sedikit rasa kantuk pun mulai menghampiriku.WazzApp Notification (Rafael)"Sayang, maaf aku gak bisa temenin kamu." -Rafael"Lah kenapa?" -Laila"Aku baru banget kelar meeting." -Rafael"Yaudah gapapa aku tungguin." -Laila"Tapi tiba-tiba Mbak Tika ngajakin aku nonton. Aku gak enak nolaknya." -Rafael"Ya bilang aja kamu pergi sama temen. Kenapa sih harus banget nurutin dia, udah kaya tante-tante kesepian aja deh." -Laila"Jangan gitu, sayang. Dia kakak aku." -Rafael"Yaudah deh kalo gitu." -LailaAku selalu bertanya-tanya mengap
Setelah beberapa hari aku memutuskan hubungan dengan Rafael, dia menghampiriku di apartemen dan memintaku untuk memberinya sebuah kesempatan. Kesempatan untuk kembali mempercayainya."Aku capek, Raf!! mau sampe kapan hubungan kita kaya gini terus?"Brak!! Aku melemparkan tas kulitku ke arah Rafael sampai mengenai dadanya.Rafael menghela napas lalu tiba-tiba membanting pintu yang berada tepat disebelah kirinya. Dia menatapku tajam dengan wajah semakin memerah, mengerutkan keningnya, dan terlihat keringat membasahi wajahnya."La... aku mau kamu sabar!! kamu tau kan perekonomianku saat ini masih belum stabil?! Aku gak mungkin menghindar dari Mbak Tika!""Rafael!!! Kenapa sih kamu gak pernah ngerti?? Aku gak nuntut kamu untuk menghindar dari Mbak Tika. Aku cuma mau kamu tau posisi kamu. Kamu itu cuma rekan kerja dia, bukan pacar atau suami. Aku yang jadi pacar kamu aja seakan jadi orang asing di hidup kamu. Pantesan ya masalalu kamu ninggalin
Aku mencari-cari wujud Mas Daffin diseluruh ruangan villa namun aku belum juga menemukannya. Aku bergegas keluar dari ruang santai dan memutuskan untuk mencari Mas Daffin di coffee shop dan ruangan gym. Berharap dia ada disana. Aku menuruni anak tangga dan merogoh saku untuk mengambil ponselku dan langsung menghubungi Mas Daffin. Seketika aku sangat familiar dengan nada dering yang samar-samar ku dengar. Ya, nada dering itu adalah nada dering ponsel Mas Daffin. Perlahan aku pun mulai mengikuti arah suara itu sembari menunggu Mas Daffin menjawab teleponku. “Mas Daffin kamu kenapa jahat banget sih gak ngomong ke aku kalo kamu ke Bali.” Ucapku kesal kepada Mas Daffin yang akhirnya menemukannya di ruangan gym “Astaga, La. Ngagetin aja. Aku cuma mau ngasi surprise.” Jawab Mas Daffin sembari meletakkan dumbbell yang berurukan 30kg di atas lantai. Lalu, Mas Daffin pun duduk dan mendongakkan wajahnya kehadapanku. “Terus tadi kenapa pas di pantai tiba-tiba pergi?” Tanyaku menatap Mas Daffin
“Aahhhh!!! Baliiiii!!! Here we come!!!” Ucapku penuh semangat sembari menuju ke tempat pengambilan bagasi bersama teman-temanku. Aku, Aurora, Dina, dan juga April, Mas Dirga, dan Jonathan pada akhirnya sampai di Bandara Ngurah Rai Bali. Perjalanan kami ke Bali pun ditempuh dalam waktu dua jam. Aurora seperti biasa membawa Jonathan dan Dina pun membawa Mas Dirga. Hanya aku dan April saja yang tidak membawa pasangan karena mereka harus bekerja. Sementara Mas Dirga dan Jonathan, mereka berdua hanya bisa menikmati liburan di Bali selama tiga hari karena mereka tidak bisa cuti berlama-lama. Seperti yang aku katakan sebelumnya, semenjak kebangkrutan orangtua Jonathan dia pun harus kuliah dan bekerja disaat bersamaan. Sementara Aku, Dina, April, dan Aurora memang berencana menghabiskan waktu liburan kami di Bali sampai dua minggu lamanya. “Guys kita buat story dulu. Kita udah di Bali.” Ucap Dina sembari membuka aplikasi Anstagram miliknya. “Din, kita masih di Bandara. Masih nunggu baggage.
Enam bulan kemudian… Hari ini aku, April, Aurora, dan Dina tengah berada di Jakarta Convention Center untuk menghadiri upacara wisuda setelah empat tahun berjuang untuk mendapatkan gelar sarjana. Aku tidak pernah menyangka pada akhirnya aku bisa lulus tepat waktu setelah apa yang sudah menimpaku waktu itu. Tidak pernah kuliah dan meratapi nasib hanya karena aku pernah dicampakkan. Namun hari ini aku benar-benar bahagia dan bangga dengan diriku. Dihari special ini, aku dan teman-temanku benar-benar tampil maksimal. Kami semua memakai kebaya dengan model yang berbeda-beda pastinya. Aku dan teman-temanku memilih kain motif jawa untuk rok-nya seperti baju wisudawan pada umumnya. Aku mengenakan kebaya berwarna biru dongker, April mengenakan kebaya berwarna pink muda, Aurora berwarna merah, dan Dina berwarna cream. Rambut kami pun disanggul oleh penata rambut seperti wisudawan-wisudawan yang lainnya. Hanya Dina saja yang memilih rambutnya digerai dengan diberikan model ikal pada ujungnya.
Setiap kali aku menulis novel ini, ada beberapa halaman tentang penyesalan yang sering membuatku menangis. Aku pun pernah menghentikan tulisan ini untuk sementara waktu karena jiwaku masih belum kuat untuk mereka ulang kejadian dan kenangan yang pernah aku ukir bersama masalaluku dulu. Bukan, aku menangis bukan karena aku merindukannya. Bukan pula merindukan kenangan yang pernah kami ukir bersama. Aku menangis karena kesal terhadap diriku sendiri dengan setiap penyesalan yang terus menghantuiku. Saat aku berada di dunia yang gelap. Aku menyalahkan diriku atas keputusan yang aku pilih. Aku merasa aku adalah orang yang paling tidak bisa memilih keputusan yang tepat. Beberapa bulan, aku harus bertanya mengenai keputusan yang harus aku ambil kepada orang terdekatku. Aku merasa takut untuk bertanggung jawab atas konsekuensi keputusan yang akan aku ambil. Aku masih tak menyangka dengan diriku, aku bisa melewati setiap harinya dengan perlahan bisa bangkit dan melupakannya dengan ikhlas.
Tok… tok… tok… Sedikit demi sedikit aku membuka mataku yang masih melekat saat terdengar suara ketukan pintu apartemenku dari luar yang membuatku terbangun dari tidur. Cklek! “Ya ampun sayang. Kamu tidur?” Tanya Mas Daffin keheranan ketika melihat wajahku kusut dengan rambut acak-acakan “Iya, Mas. Aku capek banget tadi pulang magang. Sini masuk dulu.” Jawabku dengan mata yang masih melekat. Mas Daffin masuk ke apartemenku dan duduk di ruang tamuku yang tampak berserakan. Aku pun duduk di samping Mas Daffin sembari memeluknya dengan memejamkan mata. “Kamu masih ngantuk banget ya, La?” “Iya. Mau tidur lagi.” Jawabku singkat. “Jangan tidur lagi sayang. Bentar lagi udah maghrib. Pamali tidur pas lagi maghrib.” Aku membelalakkan mata dan menatap Mas Daffin panik “Serius udah mau maghrib?” “Iya, sayang. Kamu mandi gih. Masih pake baju magang malah di bawa tidur. Aku mau ngajak kamu nongkrong bareng temen aku. Yuk?” “Ya abisnya aku capek, Mas. Banyak banget kerjaan di kantor. Duh m
Aku dan Mas Daffin duduk di sudut rooftop dengan pemandangan yang menyuguhkan lampu-lampu gedung pencakar langit di Jakarta. Awalnya, aku memang mengingat setiap memori yang pernah ku ukir bersama Rafael disana. Namun, lama kelamaan aku melupakannya begitu saja ditambah dengan adanya Mas Daffin yang selalu menceritakan setiap guyonannya. "Mas, aku mau ngomongin keputusan aku. Aku nerima kamu sebagai pacar aku dan kita mulai berbagi setiap hari bersama-sama." Ucapku spontan. "Kamu serius kan, La?" Tanya Mas Daffin membelalakkan matanya. "Iya, Mas." Aku melempar senyum Mas Daffin meraih dan menggenggam tanganku "La, aku seneng banget bisa ngejalani hubungan sama kamu. Aku gak mau menaruh janji. Tapi selama aku dan kamu bersatu, aku masih bisa janjiin kalo aku akan nemenin kamu ke psikolog dan hilangin trauma kamu." "Thanks, Mas. Tapi, Mas--" Ucapku melas. "Kenapa, La?" "Hmm-- aku harus pake piyama teddy bear ya biar bisa dapetin tas sama espresso machine?" "Hahaha. Ya ampun polos
Saat ini aku sadar bahwa aku benar-benar merasakan kehilangan Mas Daffin. Lagi lagi aku merasakan hal itu, sama halnya saat Eithan memutuskan hubungan denganku hanya karena aku selalu membawa nama Rafael. Mas Daffin adalah pria yang selalu ada disaat aku membutuhkannya dan juga pria yang selama ini bertegur sapa setiap harinya denganku. Dan tanpa sadar dia adalah pria yang aku sayangi akhir-akhir ini. Namun sekarang? Aku sudah mengecewakan Mas Daffin hanya karena ketakutanku akan masalalu. Ketakutanku akan disakiti lagi. Aku masih sering bertemu dengan Mas Daffin, apalagi setiap pagi ketika aku pergi kuliah dan dia pun berangkat kerja. Namun, hubungan kami saat ini memang sebatas sapa saja dan hanya bertemu di lorong apartemen. Sejujurnya aku tak bisa mengatakan bahwa aku baik-baik saja saat Mas Daffin tak ada di dekatku lagi. Namun, aku tetap harus mengikhlaskannya dan mengambil pelajaran dari semua pengalamanku. Waktu itu, aku benar-benar kehilangan Mas Daffin. Mas Daffin yang be
Setelah aku meninggalkan Mas Daffin di apartemennya beberapa hari yang lalu karena aku menolaknya lagi dan lagi. Mas Daffin pun akhirnya mengunjungi apartemenku lagi seperti biasa. Mungkin Mas Daffin memang membutuhkan waktu untuk mencerna semuanya. Ditambah lagi Mas Daffin juga masih belum pulih sepenuhnya dengan luka yang masih membekas di lututnya. Namun saat Mas Daffin mengunjungiku waktu itu, syukurlah dia sudah berjalan dengan normal. “La, I think you aren’t okay.” Mas Daffin mengejutkanku dengan pernyataannya seperti itu saat aku tengah fokus menonton serial tv. “Maksudnya?” Tanyaku menatap Mas Daffin dengan bingung “Oh… Pasti kamu mikir aku gak baik-baik aja karna kelakuan aku beberapa hari ini, kan?” Tanyaku dengan yakin. Mas Daffin hanya tersenyum sembari memegang tanganku "Laila, you’re not okay. Kita ke dokter yuk?" "Ke dokter?” Aku tertawa sinis “Mas, aku gapapa loh." Jawabku tegas "Kamu sakit, La." "Apaan sih, Mas. Aku baik-baik aja!" Seruku "Bukan, bukan fisik kam
Mas Daffin… Entahlah, semenjak kejadian memalukan yang aku ciptakan di bar beberapa hari yang lalu dia selalu saja semakin memperhatikanku. Terkadang aku selalu tertawa dan senyum-senyum sendiri saat mengingat kenangan aku ciptakan dengan Mas Daffin. Ditambah lagi saat Mas Daffin mengajakku menonton di salah satu bioskop. Aku benar-benar merasa bahwa Mas Daffin tidak pernah menutup nutupi aku dari wanita lain. Namun lagi-lagi hatiku masih saja selalu meragukan Mas Daffin. “Lo udah sadar?” Tanya April menginterogasiku bersama dengan Dina dan Aurora. Bisa-bisanya mereka datang ke apartemenku tanpa basa basi sedikitpun dan masuk ke dalam apartemenku tanpa mengetuk sama sekali. “Ya udah dong. Lo pikir gue mabok sampe berhari-hari apa?” Ucapku cetus sembari menggeleng-gelengkan kepala. “Lo gak pernah sampe mabok gini, La. Kenapa, sih?” Tanya April sembari duduk di hadapanku. “Gue juga bingung. Udah deh gue gak mau bahas. Intinya sih beberapa hari yang lalu itu gue lost control karna ke