Pada detik yang sama, di bawah rembulan malam. Zero masih berdiri tegak sambil menutup mata dan sekujur tubuhnya terasa kaku.
Sisa keringat bekas bermain bola itu masih membuat tubuhnya basah.
Kemeja yang ia kenakan terlihat mencetak dada karena keringat yang menempel.
Satu rasa yang paling menggetarkan hati adalah sebuah desahan yang semakin jelas di telinganya.
Dada Zero terasa semakin memanas seolah terpompa kencang. Bagian ujung jari kaki yang mencengkram alas sepatu menandakan dia sedang berada dalam sebuah ketegangan.
Zero mempertahankan matanya tertutup dan merasakan gairah dari rabaan yang menggerayangi tubuhnya. Ia mulai pasrah setelah merasa ada sedikit sejuk dan basah menjilati telinganya.
Ia merasa melayang di angkat keudara, dan ada yang bangkit dari nalurinya yang semakin bergelora.
Setelah beberapa detik terasa lama, pikirannya mulai sadar.
Guk' guk' guk!
Suara desahan berubah jadi suara anak anjing yang menggonggong.
Perlahan matanya terbuka dan ia langsung terperanjat kaget setalah ia sadar yang menjilati telinganya adalah anak anjing yang merangkul dadanya.
Brught!
"Sial!" Sontak Zero melempar anak anjing itu secara reflek saking terkejutnya.
Rasa melayang seolah terbanting jatuh. kepalanya mendadak terasa pusing karena ia tak mendapatkan sebuah puncak dari rasa melayang itu.
Zero tertawa sendiri sambil duduk di pinggiran jalan di atas trotoar, dan mengabaikan bajunya yang mulai kotor.
"Hhhe ... hheehe ..., ternyata gua ngekhayal lagi." Zero selengean menertawakan dirinya sendiri.
Pada kenyataannya, Beberapa menit sebelumnya saat Anjani pamit ia langsung meninggalkan Zero dengan berbeda arah untuk pulang ke apartemennya masing-masing.
Namun karena khayalan Zero terlalu tinggi, ia merasa Anjani memintanya untuk tidur bersama.
Masih dalam rasa menyesal karena itu hanya khayalan, Zero akhirnya berdiri lemas setelah gairahnya naik dan tak tersalurkan.
Ia menendang kerikil kecil yang menghalangi langkahnya, dan mulai melanjutkan perjalannya.
Tapi ... Zero masih tetap merasa risih.
Karena si anak anjing terus mengintilnya sepanjang perjalanan.
"Hust ... hust ...! pergi sana!" Zero mengusir anak anjing itu. Tapi semakin di usir, anak anjing itu semakin menjulurkan lidahnya seolah sangat menyukai Zero dan ingin menjadikan Zero sebagai majikan barunya.
"Guk! guk! guk!" Ia menggonggong sangat merdu. Usiana yang masih sangat dini seolah meminta bantuan pada Zero.
Matanya berbinar, dan mengendus jalanan dan terus menjulurkan lidahnya manja.
Satu langkah Zero maju, Begitu pula anjing itu. Ia seperti memperagakan apa yang di lakukan Zero.
"Hah ... hari ini aku sudah banyak sial! kamu jangan ikutin aku, nanti kebawa sial! pergi sana!"
Zero seperti orang gila berusaha berkomunikasi dengan hewan mamalia yang cukup ganas namun memiliki kecerdasan yang cukup tinggi.
Mengingat anjing mempunyai perilaku pengabdian dan kesetiaan,
yang ditunjukkan anjing sangat mirip dengan konsep manusia tentang cinta dan persahabatan, makanya Zero berinisiatif untuk mengadopsi anak anjing jalanan itu.
"Baik kalau begitu, Ayo pulang!" ajak Zero membuka kedua tangannya lebar.
Dengan semangat Anak anjing itu menggukguk dan meloncat merangkul Zero.
Hampir tiga perempat malam ia berkeliaran di jalanan, akhirnya ia pulang bersama seorang teman.
Teman yang terlihat sangat bahagia mendapat majikan baru.
Tempat ternyaman yang di nantikan Zero akhirnnya terlihat juga.
Ia berlari secepat mungkin hingga berada di depan pintu apartemennya dengan tubuh berlumur keringat baju yang kotor dan menengkleng jas hitam yang ia kenakan pada saat pertemuan panas dengan kedua majikannya.
"Nah, di sini rumahku. Semoga kamu suka, dan bertingkahlah dengan baik maka kamu akan mendapatkan makanan jatahmu!" ucap Zero pada anak anjing itu sambil mengelus bulu halusnya.
"Uk! uk!"
"Aku kasih nama kamu Echo!" Ucap Zero tersenyum lebar.
Echo mengandung arti gema atau gelombang suara yang memantul kearah lawan.
Karena suaranya membangunkan Zero dalam khayalan, makanya Zero semangat memberi nama anak anjing itu Echo.
Sambil melepaskan dahaganya, Zero melepas semua pakaiannya dan menyisakan celana pendeknya, ia menarik handuk dan melakukan mandi malam membersihkan badannya dari setiap kotoran yang menempel.
"Kamu diam cantik di sini! aku mandi dulu ya!" ucapnya.
Zero pada anak anjing itu sambil menaikan alisnya tersenyum melihat anjingnya duduk dengan dada membusung menuruti sang majikan.
Sedangkan di tempat lain ...
Anjani yang sampai terlambat di bandingkan suaminya, mendapatkan tamparan keras.
Wajah yang lebam karena ulah berandalan pagi hari, di tambah lagi oleh Steve karena mereka pulang lambat.
Kenzie si anak kecil hanya bisa sembunyi di dalam lemari bajunya sambil ketakutan.
Mendengar rintihan kesakitan dari suara ibunya, Kenji ikut menangis merangkul boneka bola yang paling ia sukai.
"Arrgghh! Mas! aku mohon hentikan!" teriak Anjani kesakitan.
"Apa? hentikan? perempuan macam apa kamu? pulang semalam inii di sela suami bekerja?" gertak Steve sambil menjambak rambut Anjani.
"Mas ...! maafkan aku! aku hanya membeli makanan saja," Anjani berusaha membela diri.
"Semudah itu kamu minta maaf? bagaimana aku bisa percaya sama kamu? hah?"
"Baiklah! aku gak akan mengulanginya lagi mas! lepaskan! ini sangat sakit mas!" raungnya sambil meremas ujung rambut yang menempel dengan kulit agar tidak terlalu tertarik.
"Sekali lagi kamu seperti ini, aku gak akan memaafkanmu! kamu akan merasakan yang lebih sakit dari ini!" peringatan dari Steve sangat menekan.
Perlahan tangan Steve melepaskan rambut Anjani, dan pergi menyicikan satu gelas minuman segar yang ada di dalam kulkas.
Anjani sesenggukan tak bisa menahan lagi tangisannya.
Ia merangkak menuju lemari yang terdapat Kenzie di dalamnya.
"Ken ...," bisiknya mengayunkan tangan seolah ingin meraih Kenzie.
Segera mungkin Kenzie keluar dan merangkul ibunya ikut menangis sesenggukan.
"Ibu tidak apa-apa Nak, kamu jangan nangis!"
"Ibu ... baik-baik saja 'kan?"
Anjani menganggukkan kepalanya perlahan menatap nanar wajah Kenzie.
Keharuan ini seketika hilang. Saat meja makan di dobrak keras oleh Steve sang suami.
BRAKKK!
"Mana makanannya? jangan menangis saja! aku pusing mendengarnya!" teriak Steve marah.
"Kamu tidur di kamarmu! Ibu nanti nyusul ya Nak'!" bisik Anjani mengelus pipi Kenzie sambil menyeka air matanya.
Dengan tubuh yang sudah sedikit lemas, Anjani pun perlahan berjalan kedapur. Ia menyiapkan beberapa makanan instan seadanya.
Walau di luar ia di sebutsebut sebagai Tuan Kaya Raya, di rumahnya Steve berbohong hanya pekerja swasta biasa. Uang yang mengalir ke tangan Anjani hanya setetesnya saja.
Dengan pemberian alakadarnya dari Steve, ia bertahan hidup sambil mencari sampingan lain di pasar.
Lima menit selesai menyiapkan makanan, Anjani menguatkan hatinya agar tetap bisa berdiri tegak di hadapan Steve.
"Ini makanannya!" ucapnya dingin dengan mata tajam.
"Apa yang kamu lihat?" tanya Steve melayani tatapan Anjani.
"Aku lelah! sampai kapan aku harus melayanimu? sedang kamu tak pernah melayaniku?" papar Anjani memberanikan dirinya.
"Hmmh, berani ya?"
"Aku bukan boneka! yang seenaknya kamu permainkan! aku butuh kasih sayang, anakmu juga!"
"Kasih sayang? kamu pikir kerja seharian gak cape?" sentak Steve sambil menyuapkan beberapa makanan kedalam mulutnya.
Anjani menahan amarahnya, dengan sedikit menarik nafas.
Matanya semakin meruncing, dan kekesalannya semakin membukit.
"Ceraikan aku sekarang juga!" pinta Anjani menyambar sendok yang hendak masuk kedalam mulut Steve.
Lalu meremas sendok itu hingga bengkok.
Berani banget Anjani kaya gitu sama suaminya, Kira-kira bakalan jadi cerai gak ya? buka bab selanjutnya ya readersku...
"Wih ... sudah belaga kuat ya? kamu pikir dengan membengkokan sendok, aku jadi takut?" pekik Steve. Tubuhnya perlahan bangit dari meja makan, satu sisi bibirnya terangkat sinis. Mata bulatnya menyipit melirik naik turun di samping Anjani. Ia melangkah dengan santai tak bergeming sedikit pun. "Sekali lagi kamu bilang ingin cerai, kamu bakal menyesal! bersyukur kamu tidak aku buang, semua itu berkat Kenzie." Tegas Steve. Tubuh Anjani bergetar saat Steve mendekatinya dengan penuh ancaman. Ia membuat sebuah pertahanan dengan menyiapkan kepalan tangan dan mengumpulkan kekuatannya. "Kalau kita bercerai, jangan harap kamu bisa melihat Kenzie lagi!" Lanjut Ancam sambil mencubit sisi dangu istrinya genit, dan pergi meninggalkan Anjani. Dengan semua kata-kata yang di ucapkan oleh suaminya, Anjani merasa sangat terancam. Ia hidup bersama pasangannya bukan satu atau dua hari saja.
Lari Zero semakin kencang hingga semua yang ada di hadapannya ia tubruk tak beraturan. Anjing kecilnya pun ikut berperan menarik Zero agar lari lebih cepat dan Fokus. Namun karena Anjing itu berukuran kecil ia berlari bisa menyelip kemana pun dia suka. Echo berlari menyelinap ke jalanan sempit sambil menyeret majikannya mencari arah. Karena polisi semakin penasaran dengan pelarian Zero yang tiba-tiba, akhirnya pengejaran terhadap Zero semakin diperketat. Beberapa lelaki bertubuh gagah memakai seragam itu memegangi pentungan perangkat untuk berjaga-jaga. Selain pentungan, jelas mereka memiliki senjata satu sama lain. Mereka simpan di bagian samping sabuk seragamnya. Lari tiga orang polisi pun tak kalah cepat dengan pelarian Zero. Melihat persimpangan, Zero merasa waktu yang tepat untuk mengecoh semua polisi.
"Paman ...?" Mata Ken seketika sumringah melihat keberadaan Zero yang tak di sangka-sangka sebelumnya. Anak berambut gimbal itu sontak memeluk Zero tanpa kata. Ia terlihat sangat nyaman berada di dalam pelukan Zero. Itu terlihat jelas di depan kelopak mata Anjani. Tak terasa bibir anjani melebar. Senyuman itu tak terelakan, untuk pertama kalinya ia melihat anak sematawayangnya nampak bahagia di dalam pelukan lelaki itu. Seolah Kenzie telah menemukan sebuah kasih sayang yang tak sempat ia dapatkan dari ayah sendiri. "Ken, Paman Zero nampaknya masih lelah, Lepaskan!" "Ibu ...tapi Ken masih rindu," rengeknya. "Tidak apa-apa, Paman juga kangen banget sama Ken. Lain kali kita main basket lagi yuk!" ajak Zero menggendong Kenzie dengan tubuh gempalnya. "Ayok ... siapa takut? Kali ini Ken bakalan jadi pemenangnya." &nb
Tak ada pilihan lagi untuk Zero selain melarikan diri sejauh mungkin. Emang pantang bagi laki-laki untuk melarikan diri dari kenyataan. Tapi rasanya kali itu bukanlah waktu yang tepat untuk menyambangi apartemennya. Deretan aparat berseragam coklat, dengan senjata laras panjang memagari apartemennya sangatlah ketat. Sambil merangkul anjing peliharaannya, Zero mengendap-endap menyelinap meliuk-liukkan badannya seperti cacing yang menempel di alas tembok hingga tubuhnya tak berbayang. "SSSttt! jangan berisik ya Echo!" bisik Zero di pinggir daun telinga anjingnya yang tipis dan lebar. Seperti sudah mengerti saja, Anjing itu hanya mendesah sambil menjulur-julurkan lidah sesuai perintah majikannya diam tak menggong-gong. Awan di Samboja, Kutai waktu itu sedang mendung-mendungnya. Langit seolah sedang menampung beratnya air yang akan di hempaskan malam nanti.&nb
Telapak tangan besar itu semakin membuntal gagang pisau berujung tajam. Ia melinting kemeja putihnya, dan meregangkan dasi serta kancing di bagian leher teratasnya. Malam menunjukan jam 00.00. Suara riuh hewan malam diiringi deburan ombak di tepian pantai mahakan membuat gemuruh pendengarannya semakin mencekam. Tak ada satu kepalapun terlintas berlalu lalang di sekitarnya. Hanya ada dia, dan sebilah pisau yang akan ia mainkan malam itu. 'Andai ada pilihan lain, pasti aku akan menolak untuk jadi pembunuh. Tapi ... ini semua aku lakukan untuk sang guru.' riuh isi hatinya mempertegas langkahnya. Tak terasa tempat yang ia tuju sudah semakin dekat. Petakan rumah padat yang sudah sangat sepi aktivitas. Zero mengintip hunian terujung, lalu membungkus wajahnya dengan masker hitam. Sebelumnya ia cepat merogoh kantung celananya, mempertegas kisi-kisi yang di berikan oleh Steve.
Lelaki setengah baya, dengan janggut tebalnya tak pernah jauh dari cerutu berbahan kayu.Ia sedang bercengkrama dengan beberapa lelaki muda berusia kisaran 18 sampai 20 tahunan.Sebut saja dia Bos Dady.Ada yang tertawa, ada yang memijat jari jemari kaki, dan ada juga yang memijat di area punggungnya. Mereka saling bercanda ria, seolah tak ada setitik pun masalah yang menggelayuti kehidupan nyata mereka.Ketika mereka sedang saling bersahutan melempar candaan, seketika itu tawa mereka terhenti. Tatapan mereka bersarang kompak di salah satu handphone yang di letakan berjejer di lantai berkarpet merah.Zero Brijen, salah satu lelaki kepercayaan dari Si Dady, langsung meraih handphone itu."Ini Bos!" ia menyerahkan handphone yang terus berdering nyaring.Bos Dady tersenyum memicingkan bibirnya, seolah sedang berterimakasih karena tanpa di suruh pun, Zero cukup ce
Mata Zero yang remang-remang seolah banyak bintang, kini sudah cerah kembali. Tatapannya sedikit heran, karena semua yang ia lihat hanya putih gamlang.Langit-langit dan semua dinding nampak putih bersih saat ia mulai sadarkan diri. Ia merasa sedang berada di sebuah tempat asing yang sama sekali tak ia kenal.Zero mengerjatkan tubuhnya bergegas bangkit dari ranjang berkaki besi."Hei ... akikah bangun juga, yeee?" Cakap Monik sahabatnya, sambil menyelipkan rambut halus di telinganya.Zero mengedipkan mata, menyidik wajah Monik semakin dekat."Huft! aku kira siapa? Bagaimana dengan Bos? Wanita itu?"Bukan Nenek tua yang ia tanyakan. Tapi sebelum Zero tak sadarkan diri, matanya tertuju pada seorang wanita tinggi semampai yang merangkul Nenek tua, dan melindungi dari mobil yang di kemudikannya."Santuy! Bos lagi nyenyong sama kiwk kiwk di lapang barunya .
"Ka-kamu siapa? kenapa ada di apartemenku?" tanya Zero terbata-bata.Ia menjulurkan tangannya seolah sedang waspada.Seorang Pria muda berusia kira- kira di atas umur Zero tersenyum sinis.Berdiri tegak saling berhadapan."Jangan so' munafik! aku bayar kamu mahal!" ucapnya mengagetkan Zero.Jelas Zero kaget. Selama ini dia tidak pernah mencampur adukkan antara kehidupan real dengan bisnis malamnya. Apalagi pelanggan kali ini datang langsung ke apartemennya, dan parahnya lagi yang berhadapan dengan Zero adalah seorang pria.Ia tahu harus semakin waspada karena Pria akan lebih membahayakan dibandingkan wanita.Alih-alih Zero menyambutnya, ia malah bersikap bodoh dan berpura-pura polos tidak tahu apa yang sedang di ucapkan pria itu."Kamu salah orang! saya mohon jangan ganggu saya sekarang!" dalih Zero sedikit mengelak.
Telapak tangan besar itu semakin membuntal gagang pisau berujung tajam. Ia melinting kemeja putihnya, dan meregangkan dasi serta kancing di bagian leher teratasnya. Malam menunjukan jam 00.00. Suara riuh hewan malam diiringi deburan ombak di tepian pantai mahakan membuat gemuruh pendengarannya semakin mencekam. Tak ada satu kepalapun terlintas berlalu lalang di sekitarnya. Hanya ada dia, dan sebilah pisau yang akan ia mainkan malam itu. 'Andai ada pilihan lain, pasti aku akan menolak untuk jadi pembunuh. Tapi ... ini semua aku lakukan untuk sang guru.' riuh isi hatinya mempertegas langkahnya. Tak terasa tempat yang ia tuju sudah semakin dekat. Petakan rumah padat yang sudah sangat sepi aktivitas. Zero mengintip hunian terujung, lalu membungkus wajahnya dengan masker hitam. Sebelumnya ia cepat merogoh kantung celananya, mempertegas kisi-kisi yang di berikan oleh Steve.
Tak ada pilihan lagi untuk Zero selain melarikan diri sejauh mungkin. Emang pantang bagi laki-laki untuk melarikan diri dari kenyataan. Tapi rasanya kali itu bukanlah waktu yang tepat untuk menyambangi apartemennya. Deretan aparat berseragam coklat, dengan senjata laras panjang memagari apartemennya sangatlah ketat. Sambil merangkul anjing peliharaannya, Zero mengendap-endap menyelinap meliuk-liukkan badannya seperti cacing yang menempel di alas tembok hingga tubuhnya tak berbayang. "SSSttt! jangan berisik ya Echo!" bisik Zero di pinggir daun telinga anjingnya yang tipis dan lebar. Seperti sudah mengerti saja, Anjing itu hanya mendesah sambil menjulur-julurkan lidah sesuai perintah majikannya diam tak menggong-gong. Awan di Samboja, Kutai waktu itu sedang mendung-mendungnya. Langit seolah sedang menampung beratnya air yang akan di hempaskan malam nanti.&nb
"Paman ...?" Mata Ken seketika sumringah melihat keberadaan Zero yang tak di sangka-sangka sebelumnya. Anak berambut gimbal itu sontak memeluk Zero tanpa kata. Ia terlihat sangat nyaman berada di dalam pelukan Zero. Itu terlihat jelas di depan kelopak mata Anjani. Tak terasa bibir anjani melebar. Senyuman itu tak terelakan, untuk pertama kalinya ia melihat anak sematawayangnya nampak bahagia di dalam pelukan lelaki itu. Seolah Kenzie telah menemukan sebuah kasih sayang yang tak sempat ia dapatkan dari ayah sendiri. "Ken, Paman Zero nampaknya masih lelah, Lepaskan!" "Ibu ...tapi Ken masih rindu," rengeknya. "Tidak apa-apa, Paman juga kangen banget sama Ken. Lain kali kita main basket lagi yuk!" ajak Zero menggendong Kenzie dengan tubuh gempalnya. "Ayok ... siapa takut? Kali ini Ken bakalan jadi pemenangnya." &nb
Lari Zero semakin kencang hingga semua yang ada di hadapannya ia tubruk tak beraturan. Anjing kecilnya pun ikut berperan menarik Zero agar lari lebih cepat dan Fokus. Namun karena Anjing itu berukuran kecil ia berlari bisa menyelip kemana pun dia suka. Echo berlari menyelinap ke jalanan sempit sambil menyeret majikannya mencari arah. Karena polisi semakin penasaran dengan pelarian Zero yang tiba-tiba, akhirnya pengejaran terhadap Zero semakin diperketat. Beberapa lelaki bertubuh gagah memakai seragam itu memegangi pentungan perangkat untuk berjaga-jaga. Selain pentungan, jelas mereka memiliki senjata satu sama lain. Mereka simpan di bagian samping sabuk seragamnya. Lari tiga orang polisi pun tak kalah cepat dengan pelarian Zero. Melihat persimpangan, Zero merasa waktu yang tepat untuk mengecoh semua polisi.
"Wih ... sudah belaga kuat ya? kamu pikir dengan membengkokan sendok, aku jadi takut?" pekik Steve. Tubuhnya perlahan bangit dari meja makan, satu sisi bibirnya terangkat sinis. Mata bulatnya menyipit melirik naik turun di samping Anjani. Ia melangkah dengan santai tak bergeming sedikit pun. "Sekali lagi kamu bilang ingin cerai, kamu bakal menyesal! bersyukur kamu tidak aku buang, semua itu berkat Kenzie." Tegas Steve. Tubuh Anjani bergetar saat Steve mendekatinya dengan penuh ancaman. Ia membuat sebuah pertahanan dengan menyiapkan kepalan tangan dan mengumpulkan kekuatannya. "Kalau kita bercerai, jangan harap kamu bisa melihat Kenzie lagi!" Lanjut Ancam sambil mencubit sisi dangu istrinya genit, dan pergi meninggalkan Anjani. Dengan semua kata-kata yang di ucapkan oleh suaminya, Anjani merasa sangat terancam. Ia hidup bersama pasangannya bukan satu atau dua hari saja.
Pada detik yang sama, di bawah rembulan malam. Zero masih berdiri tegak sambil menutup mata dan sekujur tubuhnya terasa kaku. Sisa keringat bekas bermain bola itu masih membuat tubuhnya basah. Kemeja yang ia kenakan terlihat mencetak dada karena keringat yang menempel. Satu rasa yang paling menggetarkan hati adalah sebuah desahan yang semakin jelas di telinganya. Dada Zero terasa semakin memanas seolah terpompa kencang. Bagian ujung jari kaki yang mencengkram alas sepatu menandakan dia sedang berada dalam sebuah ketegangan. Zero mempertahankan matanya tertutup dan merasakan gairah dari rabaan yang menggerayangi tubuhnya. Ia mulai pasrah setelah merasa ada sedikit sejuk dan basah menjilati telinganya. Ia merasa melayang di angkat keudara, dan ada yang bangkit dari nalurinya yang semakin bergelora. Setelah beberapa detik terasa lama, pikirannya mulai sadar
"Kamu di sini?" tanya Zero dingin. Matanya berkeling liar seolah tak ingin fokus memandangi Anjani. Ia berusaha menyembunyikan rasa perdulinya sambil memasukan kedua tangan kedalam kantung celananya. Anjani senyum manisdan mengangguk pelan. Kantong kresek hitam yang di pegang Anjani jadi jawaban pertanyaan Zero. Makanya ia tak mengajukan pertanyaan lainnya. Dalam suasana kaku, Ken menarik-narik ujung baju yang di kenakan oleh oleh Zero sambil bertingkah manja. "Paman ... Ayo kita main!" "Hust! Kenzie ...!" mata Anjani membulat memberi peringatan pada anak sematawayangnya. "Tidak apa-apa, ayo kita main di sana!" ajak Zero pada Ken. Keduanya berjalan sambil bergenggam tangan mengarah ke sebuah lapangan sepak bola yang lenglang karena malam sudah mulai larut. Sedangkan Anjani
Jari jemari Zero yang sangat besar meremas terus perutnya terus menahan sangat sakit. Kepala menunduk masih mengkhawatirkan keadaan bagian perutnya yang terkena tinju.Secara bersamaan Bos Dady berjalan di iringi pengawalnya, menghampiri Zero yang masih duduk mengumpulkan kekuatan."Itu pelajaran buat kamu yang selalu datang terlambat!" sergah Bos Dady dengan mata tajamnya.Monik yang selalu bertingkah seperti perempuan seketika memperlihatkan kejantanannya.Ia melempar tas make up-nya lalu segera mungkin menggopoh Zero sang sahabat, dengan detak jantung yang ikut-ikutan berdetak kencang."Gak gini juga dong bos? Zero 'kan belum sembuh seutuhnya, aku melihat sendiri dia berusaha on time ko' bos," bela Monik dengan suara lelaki yang sangat bulat.Seketika mata tajam Bos Dady mendarat di wajah Monik. Ia melotot dengan penuh kebencian, bahkan tangannya kembali mengepal hendak
"Ingat! lelaki tidak boleh cengeng!" ucap Zero menguatkan anak itu dengan mata yang berkaca-kaca.Zero merasa dirinya sedang senasib dengan anak itu."Siapa nama kamu Nak?" tanya Zero berbisik dengan tangan masih memeluk lelaki kecil itu."Ken!" teriak Anjani mewakili jawaban anak kecil itu. "Kenzie namanya."Anjani berjalan mendekat ke arah Zero dan anak itu dengan langkah yang terpingkal-pingkal.Perlahan Zero pun berdiri nanar melihat wajah Anjani yang sangat lebam."Kamu baik-baik saja?" tanya Zero kaku."Entahlah, aku sudah tidak tahu bagaimana rasanya baik-baik saja,""Maafkan aku!" Zero pun mulai membantu Anjani memapah langkahnya hingga sampailah di apartemennya."Tidah usah meminta maaf!" balas Anjani singkat.Sepanjang perjalanan menuju apartemen Anjani, Anak kecil i