"Kamu di sini?" tanya Zero dingin.
Matanya berkeling liar seolah tak ingin fokus memandangi Anjani. Ia berusaha menyembunyikan rasa perdulinya sambil memasukan kedua tangan kedalam kantung celananya.
Anjani senyum manisdan mengangguk pelan.
Kantong kresek hitam yang di pegang Anjani jadi jawaban pertanyaan Zero. Makanya ia tak mengajukan pertanyaan lainnya.
Dalam suasana kaku, Ken menarik-narik ujung baju yang di kenakan oleh oleh Zero sambil bertingkah manja.
"Paman ... Ayo kita main!"
"Hust! Kenzie ...!" mata Anjani membulat memberi peringatan pada anak sematawayangnya.
"Tidak apa-apa, ayo kita main di sana!" ajak Zero pada Ken.
Keduanya berjalan sambil bergenggam tangan mengarah ke sebuah lapangan sepak bola yang lenglang karena malam sudah mulai larut.
Sedangkan Anjani hanya bisa pasrah mengikuti langkah keduanya dari arah belakang.
Hari yang semakin gelap sudah tak pantas untuk beraktifitas, namun mereka malah lebih semangat menikmati kegiatannya.
Satu bola bercorak orange hitam di tendang pelan mengarah pada Kenzie si anak kecil yang cekatan itu.
Dengan sigap Kenzie menendang bola dengan sangat kencang menuju ke arah gawang.
"Yeeeyyy gool!!!" teriakkan Kenzie sangat lepas.
Zero bertepuk tangan sambil memberikan selebrasi menaikan kedua tangannya dan tertawa lepas bersama Kenzie.
Pemandangan itu terpampang nyata di depan mata Anjani.
Tak sadar ia yang duduk di samping lapangan ikut tersenyum bahagia.
Karena baru kali ini Anjani melihat anaknya tersenyum bahagia lagi.
"Dah, dulu ah! paman cape, kamu main bola sendiri dulu ya!" sahut Zero pada Ken sambil mengelus keringat yang mengguyur badannya.
Wajah ceria Zero mendadak diam terpaku dan menatap dalam anjani yang duduk sambil menikmati roti sobek dengan lahap seperti orang yang sedang kelaparan.
Ukhuk! ukhuk!
Seketika Zero berjalan dengan cepan menghampiri Anjani dan menepuknepuk punggung Anjani.
"Minum!" Zero menyodorkan air mineral yang ada dalam kresek Anjani.
'Glek! glek! glek!'
"Akhem ... terimakasih!"
"Makanya ... kalau makan hati-hati!" Zero memasang wajah cuek namun perhatiannya jelas nampak.
Anjani yang sempat malu lalu melipat klip roti hingga tertutup rapat.
"Kenapa gak di lanjut makannya?" tanya Zero melirik roti di samping Anjani.
"Gak! aku sudah kenyang. Terimakasih ya paman!" ucap Anjani yang terdengar sangat mengganjal.
"Hemmh, Paman? emang aku setua itu?" mata Zero membulat.
"Terus?"
"Panggil aku Zero! kamu?"
"Aku Anjani!" sambil tersipu malu.
Zero yang dengan awal duduk berjauhan, kini mendekat dan duduk saling bergandengan di bibir lapang sambil melihat permainan sepak bola Kenzie yang cukup mahir di usianya.
"Sepertinya Kenzie ada bakat juga ya? kenapa gak di masukan sekolah sepak bola?" tanya Zero sedikit mengorek kehidupan Anjani dengan sedikit ragu.
"Hemmh, emang dia suka main sepak bola. Tapi ... entahlah. Beberapa bulan ini dia terlihat tak ingin bergaul, bahkan ia tak mau lagi masuk sekola,"
"Hah? kenapa?"
"Mungkin itu salahku juga."
Zero semakin tidak mengerti dengan penjelasan Anjani yang sangat kabur. Ia pun memutar otak untuk mencari pertanyaan lainnya.
"Trus? ayahnya dimana?" tanya Zero mencairkan suasana.
"Dia punya ayah! tapi merasa tak punya. Begitu pun aku. Punya suami, Tapi aku tak merasakannya."
"Hah? maaf! aku tidak bermaksud untuk ikut campur,"
"Tidak apa-apa, emang lama sekali aku ingin mengucapkan kata-kata itu. Dan sekarang rasanya sudah cukup lega!"
Zero menyidik wajah Anjani yang semakin menunduk. Rasa kekatukatnya terhadap perempuan sedikit hilang. Entah apa yang ia rasakan sekarang ini, malah semakin nyaman. Zero melupakan masalah pekerjaannya, dan menikmati waktu yang berjalan.
Blum! blum! blum! Prak!
Suara itu seolah menghentikan tatapannya.
"Paman! lempar bolanya!" teriak Kenzie mencairkan suasana.
"Ini tangkap!" teriak Zero melemparkan bola yang memantul hingga berhenti tepat di pangkuannya.
"Ken! ini sudah malam! istirahat dulu yuk!"
"Ach .. ibu ...!" rengek Ken.
"Nak! ayok!"
Anak lelaki itu tidak bisa mengelak lagi setelah melihat bola mata Anjani yang sangat meyakinkannya.
Berjalan menyeret kakinya, Ken seolah menolak berhenti bermain.
"Ibu ... aku masih mau bermain! iya 'kan paman?"
"Lihat keringatmu! kamu terlihat sudah lelah sekali!"
"Tidak ... aku masih semangat bu! apa lagi kalau ada paman ini di sini!"
Zero bangkit dari duduknya dan mengacak-ngacak rambut Kenzie seolah sudah kenal lama. Ia pun mengambil lagi bolanya dan melanjutkan main berdua bersama dengan semangat yang lebih lagi.
Dua lawan satu, jelas Anjanilah yang mengalah.
Ia kembali duduk menunggu santai di tengah tawa lepas keduanya.
Setelah beberapa detik bermain ...
"Haahaa! paman nanti ajari aku tekhnik itu ya!" teriak Ken semangat.
"Kamu jangan minta paman yang ajari, kamu cukup ikut sekolah sepak bola saja!" anjur Zero pada Ken secara reflek.
Ken yang semangat mulai surut dan menghentikan permainannya setelah mendengar kata sekolah.
"Paman! aku capek! aku mau pulang saja!" ucap Kenzie membiarkan bolanya menggelinding begitu saja.
Zero memikirkan kembali kata-katanya yang salah.
Setelah ia mengingat, barulah ia sadar bahwa kalimat yang ia ucapkan untuk Kenzie salah. "Huf!"
Keduanya membiarkan Kenzie berlari lebih dahulu untuk melepas kekesalannya.
Sedang Zero dan Anjani berjalan santai di pinggiran trotoar dengan penyinaran lampu jalan yang berwarna keemasan. Situasi sepi membuatnya lebih leluasa untuk berbincang lebih dalam.
Anjani yang memiliki beban di pundak yang sangat besar merasa ringan setelah saling berbincang walau hanya kalimat-kalimat yang sangat receh.
Ia segan pulang karena kenyamanan itu. Tapi melihat Kenzie yang sudah tak terlihat lagi, mereka hendak akan berjalan berbeda arah untuk pergi ke apartemen masing-masing.
"Sampai di sini saja ya! ucapkan permohonan maaf saya untuk Ken!"
"Ah tidak usah minta maaf. Emang kamu tidak salah."
Sebelum Zero dan Anjani berpisah arah, rasa canggung semakin menggelayuti keduanya.
Anjani yang hendak melangkah ke kanan, refleks terhalang oleh Zero yang terlihat kompak melangkah ke arah yang sama. Begitu pun Zero. ketika ia kan melangkah ke arah lain, Anjani tak sengaja melangkah ke arah yang sama pula.
Keduanya tersenyum dan saling beradu pandangan.
"Ma--af!" ucap Anjani dengan mata yang tak bergeming.
"Silahkan! kamu duluan yang jalan!" balas Zero melemparkan pandangan ke arah yang lain.
"Kamu saja!" balas Anjani.
Zero tak ingin berlama-lama berdua dengan perempuan. Karena pada dasarnya, setiap kali dia bersama dengan wanita, rasa ragunya semakin bergemuruh. Antara suka dan tak suka.
Zero pun segera mendahului melangkah meninggalkan Anjani yang berdiri tegak tepan di samping tiang listrik yang meneranginya.
Ketika Zero baru beberapa langkah menjauh, Anjani memalingkan badannya memunggungi Zero dengan menahan nafas dan menghempaskannya bersamaan dengan satu kalimat.
"Zero! maukah kamu tidur bersamaku malam ini?" ucap Anjani memberanikan diri dengan helaan nafas yang panjang.
Langkah Zero sontak berhenti.
"APA?"
Zero berdiri kaku. Keringat dingin menyelimuti tubuhnya. Mata dan mulutnya seolah terkunci.
Ketakutan semakin mengerubuni hati Zero. Ia takut kalau-kalau Anjani tahu pekerjaan dia sebenarnya.
'Apa dia tahu?' bisik hati Zero.
***
Apa Anjani dan Zero akan bermalam berdua?
buka bab selanjutnya.
Bersambung...
Pada detik yang sama, di bawah rembulan malam. Zero masih berdiri tegak sambil menutup mata dan sekujur tubuhnya terasa kaku. Sisa keringat bekas bermain bola itu masih membuat tubuhnya basah. Kemeja yang ia kenakan terlihat mencetak dada karena keringat yang menempel. Satu rasa yang paling menggetarkan hati adalah sebuah desahan yang semakin jelas di telinganya. Dada Zero terasa semakin memanas seolah terpompa kencang. Bagian ujung jari kaki yang mencengkram alas sepatu menandakan dia sedang berada dalam sebuah ketegangan. Zero mempertahankan matanya tertutup dan merasakan gairah dari rabaan yang menggerayangi tubuhnya. Ia mulai pasrah setelah merasa ada sedikit sejuk dan basah menjilati telinganya. Ia merasa melayang di angkat keudara, dan ada yang bangkit dari nalurinya yang semakin bergelora. Setelah beberapa detik terasa lama, pikirannya mulai sadar
"Wih ... sudah belaga kuat ya? kamu pikir dengan membengkokan sendok, aku jadi takut?" pekik Steve. Tubuhnya perlahan bangit dari meja makan, satu sisi bibirnya terangkat sinis. Mata bulatnya menyipit melirik naik turun di samping Anjani. Ia melangkah dengan santai tak bergeming sedikit pun. "Sekali lagi kamu bilang ingin cerai, kamu bakal menyesal! bersyukur kamu tidak aku buang, semua itu berkat Kenzie." Tegas Steve. Tubuh Anjani bergetar saat Steve mendekatinya dengan penuh ancaman. Ia membuat sebuah pertahanan dengan menyiapkan kepalan tangan dan mengumpulkan kekuatannya. "Kalau kita bercerai, jangan harap kamu bisa melihat Kenzie lagi!" Lanjut Ancam sambil mencubit sisi dangu istrinya genit, dan pergi meninggalkan Anjani. Dengan semua kata-kata yang di ucapkan oleh suaminya, Anjani merasa sangat terancam. Ia hidup bersama pasangannya bukan satu atau dua hari saja.
Lari Zero semakin kencang hingga semua yang ada di hadapannya ia tubruk tak beraturan. Anjing kecilnya pun ikut berperan menarik Zero agar lari lebih cepat dan Fokus. Namun karena Anjing itu berukuran kecil ia berlari bisa menyelip kemana pun dia suka. Echo berlari menyelinap ke jalanan sempit sambil menyeret majikannya mencari arah. Karena polisi semakin penasaran dengan pelarian Zero yang tiba-tiba, akhirnya pengejaran terhadap Zero semakin diperketat. Beberapa lelaki bertubuh gagah memakai seragam itu memegangi pentungan perangkat untuk berjaga-jaga. Selain pentungan, jelas mereka memiliki senjata satu sama lain. Mereka simpan di bagian samping sabuk seragamnya. Lari tiga orang polisi pun tak kalah cepat dengan pelarian Zero. Melihat persimpangan, Zero merasa waktu yang tepat untuk mengecoh semua polisi.
"Paman ...?" Mata Ken seketika sumringah melihat keberadaan Zero yang tak di sangka-sangka sebelumnya. Anak berambut gimbal itu sontak memeluk Zero tanpa kata. Ia terlihat sangat nyaman berada di dalam pelukan Zero. Itu terlihat jelas di depan kelopak mata Anjani. Tak terasa bibir anjani melebar. Senyuman itu tak terelakan, untuk pertama kalinya ia melihat anak sematawayangnya nampak bahagia di dalam pelukan lelaki itu. Seolah Kenzie telah menemukan sebuah kasih sayang yang tak sempat ia dapatkan dari ayah sendiri. "Ken, Paman Zero nampaknya masih lelah, Lepaskan!" "Ibu ...tapi Ken masih rindu," rengeknya. "Tidak apa-apa, Paman juga kangen banget sama Ken. Lain kali kita main basket lagi yuk!" ajak Zero menggendong Kenzie dengan tubuh gempalnya. "Ayok ... siapa takut? Kali ini Ken bakalan jadi pemenangnya." &nb
Tak ada pilihan lagi untuk Zero selain melarikan diri sejauh mungkin. Emang pantang bagi laki-laki untuk melarikan diri dari kenyataan. Tapi rasanya kali itu bukanlah waktu yang tepat untuk menyambangi apartemennya. Deretan aparat berseragam coklat, dengan senjata laras panjang memagari apartemennya sangatlah ketat. Sambil merangkul anjing peliharaannya, Zero mengendap-endap menyelinap meliuk-liukkan badannya seperti cacing yang menempel di alas tembok hingga tubuhnya tak berbayang. "SSSttt! jangan berisik ya Echo!" bisik Zero di pinggir daun telinga anjingnya yang tipis dan lebar. Seperti sudah mengerti saja, Anjing itu hanya mendesah sambil menjulur-julurkan lidah sesuai perintah majikannya diam tak menggong-gong. Awan di Samboja, Kutai waktu itu sedang mendung-mendungnya. Langit seolah sedang menampung beratnya air yang akan di hempaskan malam nanti.&nb
Telapak tangan besar itu semakin membuntal gagang pisau berujung tajam. Ia melinting kemeja putihnya, dan meregangkan dasi serta kancing di bagian leher teratasnya. Malam menunjukan jam 00.00. Suara riuh hewan malam diiringi deburan ombak di tepian pantai mahakan membuat gemuruh pendengarannya semakin mencekam. Tak ada satu kepalapun terlintas berlalu lalang di sekitarnya. Hanya ada dia, dan sebilah pisau yang akan ia mainkan malam itu. 'Andai ada pilihan lain, pasti aku akan menolak untuk jadi pembunuh. Tapi ... ini semua aku lakukan untuk sang guru.' riuh isi hatinya mempertegas langkahnya. Tak terasa tempat yang ia tuju sudah semakin dekat. Petakan rumah padat yang sudah sangat sepi aktivitas. Zero mengintip hunian terujung, lalu membungkus wajahnya dengan masker hitam. Sebelumnya ia cepat merogoh kantung celananya, mempertegas kisi-kisi yang di berikan oleh Steve.
Lelaki setengah baya, dengan janggut tebalnya tak pernah jauh dari cerutu berbahan kayu.Ia sedang bercengkrama dengan beberapa lelaki muda berusia kisaran 18 sampai 20 tahunan.Sebut saja dia Bos Dady.Ada yang tertawa, ada yang memijat jari jemari kaki, dan ada juga yang memijat di area punggungnya. Mereka saling bercanda ria, seolah tak ada setitik pun masalah yang menggelayuti kehidupan nyata mereka.Ketika mereka sedang saling bersahutan melempar candaan, seketika itu tawa mereka terhenti. Tatapan mereka bersarang kompak di salah satu handphone yang di letakan berjejer di lantai berkarpet merah.Zero Brijen, salah satu lelaki kepercayaan dari Si Dady, langsung meraih handphone itu."Ini Bos!" ia menyerahkan handphone yang terus berdering nyaring.Bos Dady tersenyum memicingkan bibirnya, seolah sedang berterimakasih karena tanpa di suruh pun, Zero cukup ce
Mata Zero yang remang-remang seolah banyak bintang, kini sudah cerah kembali. Tatapannya sedikit heran, karena semua yang ia lihat hanya putih gamlang.Langit-langit dan semua dinding nampak putih bersih saat ia mulai sadarkan diri. Ia merasa sedang berada di sebuah tempat asing yang sama sekali tak ia kenal.Zero mengerjatkan tubuhnya bergegas bangkit dari ranjang berkaki besi."Hei ... akikah bangun juga, yeee?" Cakap Monik sahabatnya, sambil menyelipkan rambut halus di telinganya.Zero mengedipkan mata, menyidik wajah Monik semakin dekat."Huft! aku kira siapa? Bagaimana dengan Bos? Wanita itu?"Bukan Nenek tua yang ia tanyakan. Tapi sebelum Zero tak sadarkan diri, matanya tertuju pada seorang wanita tinggi semampai yang merangkul Nenek tua, dan melindungi dari mobil yang di kemudikannya."Santuy! Bos lagi nyenyong sama kiwk kiwk di lapang barunya .
Telapak tangan besar itu semakin membuntal gagang pisau berujung tajam. Ia melinting kemeja putihnya, dan meregangkan dasi serta kancing di bagian leher teratasnya. Malam menunjukan jam 00.00. Suara riuh hewan malam diiringi deburan ombak di tepian pantai mahakan membuat gemuruh pendengarannya semakin mencekam. Tak ada satu kepalapun terlintas berlalu lalang di sekitarnya. Hanya ada dia, dan sebilah pisau yang akan ia mainkan malam itu. 'Andai ada pilihan lain, pasti aku akan menolak untuk jadi pembunuh. Tapi ... ini semua aku lakukan untuk sang guru.' riuh isi hatinya mempertegas langkahnya. Tak terasa tempat yang ia tuju sudah semakin dekat. Petakan rumah padat yang sudah sangat sepi aktivitas. Zero mengintip hunian terujung, lalu membungkus wajahnya dengan masker hitam. Sebelumnya ia cepat merogoh kantung celananya, mempertegas kisi-kisi yang di berikan oleh Steve.
Tak ada pilihan lagi untuk Zero selain melarikan diri sejauh mungkin. Emang pantang bagi laki-laki untuk melarikan diri dari kenyataan. Tapi rasanya kali itu bukanlah waktu yang tepat untuk menyambangi apartemennya. Deretan aparat berseragam coklat, dengan senjata laras panjang memagari apartemennya sangatlah ketat. Sambil merangkul anjing peliharaannya, Zero mengendap-endap menyelinap meliuk-liukkan badannya seperti cacing yang menempel di alas tembok hingga tubuhnya tak berbayang. "SSSttt! jangan berisik ya Echo!" bisik Zero di pinggir daun telinga anjingnya yang tipis dan lebar. Seperti sudah mengerti saja, Anjing itu hanya mendesah sambil menjulur-julurkan lidah sesuai perintah majikannya diam tak menggong-gong. Awan di Samboja, Kutai waktu itu sedang mendung-mendungnya. Langit seolah sedang menampung beratnya air yang akan di hempaskan malam nanti.&nb
"Paman ...?" Mata Ken seketika sumringah melihat keberadaan Zero yang tak di sangka-sangka sebelumnya. Anak berambut gimbal itu sontak memeluk Zero tanpa kata. Ia terlihat sangat nyaman berada di dalam pelukan Zero. Itu terlihat jelas di depan kelopak mata Anjani. Tak terasa bibir anjani melebar. Senyuman itu tak terelakan, untuk pertama kalinya ia melihat anak sematawayangnya nampak bahagia di dalam pelukan lelaki itu. Seolah Kenzie telah menemukan sebuah kasih sayang yang tak sempat ia dapatkan dari ayah sendiri. "Ken, Paman Zero nampaknya masih lelah, Lepaskan!" "Ibu ...tapi Ken masih rindu," rengeknya. "Tidak apa-apa, Paman juga kangen banget sama Ken. Lain kali kita main basket lagi yuk!" ajak Zero menggendong Kenzie dengan tubuh gempalnya. "Ayok ... siapa takut? Kali ini Ken bakalan jadi pemenangnya." &nb
Lari Zero semakin kencang hingga semua yang ada di hadapannya ia tubruk tak beraturan. Anjing kecilnya pun ikut berperan menarik Zero agar lari lebih cepat dan Fokus. Namun karena Anjing itu berukuran kecil ia berlari bisa menyelip kemana pun dia suka. Echo berlari menyelinap ke jalanan sempit sambil menyeret majikannya mencari arah. Karena polisi semakin penasaran dengan pelarian Zero yang tiba-tiba, akhirnya pengejaran terhadap Zero semakin diperketat. Beberapa lelaki bertubuh gagah memakai seragam itu memegangi pentungan perangkat untuk berjaga-jaga. Selain pentungan, jelas mereka memiliki senjata satu sama lain. Mereka simpan di bagian samping sabuk seragamnya. Lari tiga orang polisi pun tak kalah cepat dengan pelarian Zero. Melihat persimpangan, Zero merasa waktu yang tepat untuk mengecoh semua polisi.
"Wih ... sudah belaga kuat ya? kamu pikir dengan membengkokan sendok, aku jadi takut?" pekik Steve. Tubuhnya perlahan bangit dari meja makan, satu sisi bibirnya terangkat sinis. Mata bulatnya menyipit melirik naik turun di samping Anjani. Ia melangkah dengan santai tak bergeming sedikit pun. "Sekali lagi kamu bilang ingin cerai, kamu bakal menyesal! bersyukur kamu tidak aku buang, semua itu berkat Kenzie." Tegas Steve. Tubuh Anjani bergetar saat Steve mendekatinya dengan penuh ancaman. Ia membuat sebuah pertahanan dengan menyiapkan kepalan tangan dan mengumpulkan kekuatannya. "Kalau kita bercerai, jangan harap kamu bisa melihat Kenzie lagi!" Lanjut Ancam sambil mencubit sisi dangu istrinya genit, dan pergi meninggalkan Anjani. Dengan semua kata-kata yang di ucapkan oleh suaminya, Anjani merasa sangat terancam. Ia hidup bersama pasangannya bukan satu atau dua hari saja.
Pada detik yang sama, di bawah rembulan malam. Zero masih berdiri tegak sambil menutup mata dan sekujur tubuhnya terasa kaku. Sisa keringat bekas bermain bola itu masih membuat tubuhnya basah. Kemeja yang ia kenakan terlihat mencetak dada karena keringat yang menempel. Satu rasa yang paling menggetarkan hati adalah sebuah desahan yang semakin jelas di telinganya. Dada Zero terasa semakin memanas seolah terpompa kencang. Bagian ujung jari kaki yang mencengkram alas sepatu menandakan dia sedang berada dalam sebuah ketegangan. Zero mempertahankan matanya tertutup dan merasakan gairah dari rabaan yang menggerayangi tubuhnya. Ia mulai pasrah setelah merasa ada sedikit sejuk dan basah menjilati telinganya. Ia merasa melayang di angkat keudara, dan ada yang bangkit dari nalurinya yang semakin bergelora. Setelah beberapa detik terasa lama, pikirannya mulai sadar
"Kamu di sini?" tanya Zero dingin. Matanya berkeling liar seolah tak ingin fokus memandangi Anjani. Ia berusaha menyembunyikan rasa perdulinya sambil memasukan kedua tangan kedalam kantung celananya. Anjani senyum manisdan mengangguk pelan. Kantong kresek hitam yang di pegang Anjani jadi jawaban pertanyaan Zero. Makanya ia tak mengajukan pertanyaan lainnya. Dalam suasana kaku, Ken menarik-narik ujung baju yang di kenakan oleh oleh Zero sambil bertingkah manja. "Paman ... Ayo kita main!" "Hust! Kenzie ...!" mata Anjani membulat memberi peringatan pada anak sematawayangnya. "Tidak apa-apa, ayo kita main di sana!" ajak Zero pada Ken. Keduanya berjalan sambil bergenggam tangan mengarah ke sebuah lapangan sepak bola yang lenglang karena malam sudah mulai larut. Sedangkan Anjani
Jari jemari Zero yang sangat besar meremas terus perutnya terus menahan sangat sakit. Kepala menunduk masih mengkhawatirkan keadaan bagian perutnya yang terkena tinju.Secara bersamaan Bos Dady berjalan di iringi pengawalnya, menghampiri Zero yang masih duduk mengumpulkan kekuatan."Itu pelajaran buat kamu yang selalu datang terlambat!" sergah Bos Dady dengan mata tajamnya.Monik yang selalu bertingkah seperti perempuan seketika memperlihatkan kejantanannya.Ia melempar tas make up-nya lalu segera mungkin menggopoh Zero sang sahabat, dengan detak jantung yang ikut-ikutan berdetak kencang."Gak gini juga dong bos? Zero 'kan belum sembuh seutuhnya, aku melihat sendiri dia berusaha on time ko' bos," bela Monik dengan suara lelaki yang sangat bulat.Seketika mata tajam Bos Dady mendarat di wajah Monik. Ia melotot dengan penuh kebencian, bahkan tangannya kembali mengepal hendak
"Ingat! lelaki tidak boleh cengeng!" ucap Zero menguatkan anak itu dengan mata yang berkaca-kaca.Zero merasa dirinya sedang senasib dengan anak itu."Siapa nama kamu Nak?" tanya Zero berbisik dengan tangan masih memeluk lelaki kecil itu."Ken!" teriak Anjani mewakili jawaban anak kecil itu. "Kenzie namanya."Anjani berjalan mendekat ke arah Zero dan anak itu dengan langkah yang terpingkal-pingkal.Perlahan Zero pun berdiri nanar melihat wajah Anjani yang sangat lebam."Kamu baik-baik saja?" tanya Zero kaku."Entahlah, aku sudah tidak tahu bagaimana rasanya baik-baik saja,""Maafkan aku!" Zero pun mulai membantu Anjani memapah langkahnya hingga sampailah di apartemennya."Tidah usah meminta maaf!" balas Anjani singkat.Sepanjang perjalanan menuju apartemen Anjani, Anak kecil i