Home / Romansa / The Shadows Man / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of The Shadows Man: Chapter 1 - Chapter 10

13 Chapters

Kucing hitam

Lelaki setengah baya, dengan janggut tebalnya tak pernah jauh dari cerutu berbahan kayu. Ia sedang bercengkrama dengan beberapa lelaki muda berusia kisaran 18 sampai 20 tahunan. Sebut saja dia Bos Dady.  Ada yang tertawa, ada yang memijat jari jemari kaki, dan ada juga yang memijat di area punggungnya. Mereka saling bercanda ria, seolah tak ada setitik pun masalah yang menggelayuti kehidupan nyata mereka. Ketika mereka sedang saling bersahutan melempar candaan, seketika itu tawa mereka terhenti. Tatapan mereka bersarang kompak di salah satu handphone yang di letakan berjejer di lantai berkarpet merah. Zero Brijen, salah satu lelaki kepercayaan dari Si Dady, langsung meraih handphone itu."Ini Bos!" ia menyerahkan handphone yang terus berdering nyaring.Bos Dady tersenyum memicingkan bibirnya, seolah sedang berterimakasih karena tanpa di suruh pun, Zero cukup ce
Read more

Celakalah Zero

Mata Zero yang remang-remang seolah banyak bintang, kini sudah cerah kembali. Tatapannya sedikit heran, karena semua yang ia lihat hanya putih gamlang. Langit-langit dan semua dinding nampak putih bersih saat ia mulai sadarkan diri. Ia merasa sedang berada di sebuah tempat asing yang sama sekali tak ia kenal. Zero mengerjatkan tubuhnya bergegas bangkit dari ranjang berkaki besi. "Hei ... akikah bangun juga, yeee?" Cakap Monik sahabatnya, sambil menyelipkan rambut halus di telinganya. Zero mengedipkan mata, menyidik wajah Monik semakin dekat. "Huft! aku kira siapa? Bagaimana dengan Bos? Wanita itu?" Bukan Nenek tua yang ia tanyakan. Tapi sebelum Zero tak sadarkan diri, matanya tertuju pada seorang wanita tinggi semampai yang merangkul Nenek tua, dan melindungi dari mobil yang di kemudikannya."Santuy! Bos lagi nyenyong sama kiwk kiwk di lapang barunya .
Read more

Berhati-hati

"Ka-kamu siapa? kenapa ada di apartemenku?" tanya Zero terbata-bata. Ia menjulurkan tangannya seolah sedang waspada. Seorang Pria muda berusia kira- kira di atas umur Zero tersenyum sinis. Berdiri tegak saling berhadapan. "Jangan so' munafik! aku bayar kamu mahal!" ucapnya mengagetkan Zero. Jelas Zero kaget. Selama ini dia tidak pernah mencampur adukkan antara kehidupan real dengan bisnis malamnya. Apalagi pelanggan kali ini datang langsung ke apartemennya, dan parahnya lagi yang berhadapan dengan Zero adalah seorang pria. Ia tahu harus semakin waspada karena Pria akan lebih membahayakan dibandingkan wanita. Alih-alih Zero menyambutnya, ia malah bersikap bodoh dan berpura-pura polos tidak tahu apa yang sedang di ucapkan pria itu. "Kamu salah orang! saya mohon jangan ganggu saya sekarang!" dalih Zero sedikit mengelak.
Read more

Pagi yang Ganjil

Pagi itu, Zero bangun lebih awal dari pada biasanya. Sesuatu membuatnya merasa sulit untuk memejamkan mata. Namun ia tak ingin berlarut-larut dalam kejadian semalam.  Ia bangkit dari ranjangnya dan membersihkan tubuhnya. Jam dinding menunjukan angka 5.00 dini hari. ia merasa tidak punya kegiatan di pagi itu. Makanya ia menyibukan dirinya di area dapur dalam apartemennya. Ia menarik sebuah roti sobek dalam kulkas, lalu ia memanaskan buntalan roti di atas teplon milik ibunya. Dalam semua pergerakannya di atas kompor, ia menatap api dengan tatapan kosong. Zero masih ingat detik-detik dimana dia selalu di siapkan sarapan pagi oleh ibunya. Gara-gara kelakuan ayahnya yang selalu bermain dengan banyak wanita, membuat sang Ibu menghempaskan nyawanya sia-sia dengan cara bunuh diri. Itu sebabnya dia sangat dingin terhadap wanita.Prak!Tak sengaja te
Read more

Perkenalan Anjani

"Ingat! lelaki tidak boleh cengeng!" ucap Zero menguatkan anak itu dengan mata yang berkaca-kaca. Zero merasa dirinya sedang senasib dengan anak itu. "Siapa nama kamu Nak?" tanya Zero berbisik dengan tangan masih memeluk lelaki kecil itu. "Ken!" teriak Anjani mewakili jawaban anak kecil itu. "Kenzie namanya." Anjani berjalan mendekat ke arah Zero dan anak itu dengan langkah yang terpingkal-pingkal. Perlahan Zero pun berdiri nanar melihat wajah Anjani yang sangat lebam. "Kamu baik-baik saja?" tanya Zero kaku. "Entahlah, aku sudah tidak tahu bagaimana rasanya baik-baik saja," "Maafkan aku!" Zero pun mulai membantu Anjani memapah langkahnya hingga sampailah di apartemennya. "Tidah usah meminta maaf!" balas Anjani singkat. Sepanjang perjalanan menuju apartemen Anjani, Anak kecil i
Read more

Pertemuan Antar Pria

Jari jemari Zero yang sangat besar meremas terus perutnya terus menahan sangat sakit. Kepala menunduk masih mengkhawatirkan keadaan bagian perutnya yang terkena tinju. Secara bersamaan Bos Dady berjalan di iringi pengawalnya, menghampiri Zero yang masih duduk mengumpulkan kekuatan."Itu pelajaran buat kamu yang selalu datang terlambat!" sergah Bos Dady dengan mata tajamnya. Monik yang selalu bertingkah seperti perempuan seketika memperlihatkan kejantanannya. Ia melempar tas make up-nya lalu segera mungkin menggopoh Zero sang sahabat, dengan detak jantung yang ikut-ikutan berdetak kencang. "Gak gini juga dong bos? Zero 'kan belum sembuh seutuhnya, aku melihat sendiri dia berusaha on time ko' bos," bela Monik dengan suara lelaki yang sangat bulat. Seketika mata tajam Bos Dady mendarat di wajah Monik. Ia melotot dengan penuh kebencian, bahkan tangannya kembali mengepal hendak
Read more

Pendekatan

"Kamu di sini?" tanya Zero dingin.   Matanya berkeling liar seolah tak ingin fokus memandangi Anjani. Ia berusaha menyembunyikan rasa perdulinya sambil memasukan kedua tangan kedalam kantung celananya.   Anjani senyum manisdan mengangguk pelan.    Kantong kresek hitam yang di pegang Anjani jadi jawaban pertanyaan Zero. Makanya ia tak mengajukan pertanyaan lainnya.   Dalam suasana kaku, Ken menarik-narik ujung baju yang di kenakan oleh oleh Zero sambil bertingkah manja.   "Paman ... Ayo kita main!"   "Hust! Kenzie ...!" mata Anjani membulat memberi peringatan pada anak sematawayangnya.   "Tidak apa-apa, ayo kita main di sana!" ajak Zero pada Ken.   Keduanya berjalan sambil bergenggam tangan mengarah ke sebuah lapangan sepak bola yang lenglang karena malam sudah mulai larut.   Sedangkan Anjani
Read more

Zero Salah Kaprah

Pada detik yang sama, di bawah rembulan malam. Zero masih berdiri tegak sambil menutup mata dan sekujur tubuhnya terasa kaku.   Sisa keringat bekas bermain bola itu masih membuat tubuhnya basah. Kemeja yang ia kenakan terlihat mencetak dada karena keringat yang menempel. Satu rasa yang paling menggetarkan hati adalah sebuah desahan yang semakin jelas di telinganya.   Dada Zero terasa semakin memanas seolah terpompa kencang. Bagian ujung jari kaki yang mencengkram alas sepatu menandakan dia sedang berada dalam sebuah ketegangan.   Zero mempertahankan matanya tertutup dan merasakan gairah dari rabaan yang menggerayangi tubuhnya. Ia mulai pasrah setelah merasa ada sedikit sejuk dan basah menjilati telinganya.   Ia merasa melayang di angkat keudara, dan ada yang bangkit dari nalurinya yang semakin bergelora.   Setelah beberapa detik terasa lama, pikirannya mulai sadar
Read more

BAYANGAN SEMU

"Wih ... sudah belaga kuat ya? kamu pikir dengan membengkokan sendok, aku jadi takut?" pekik Steve.   Tubuhnya perlahan bangit dari meja makan, satu sisi bibirnya terangkat sinis. Mata bulatnya menyipit melirik naik turun di samping Anjani. Ia melangkah dengan santai tak bergeming sedikit pun.   "Sekali lagi kamu bilang ingin cerai, kamu bakal menyesal! bersyukur kamu tidak aku buang, semua itu berkat Kenzie." Tegas Steve.   Tubuh Anjani bergetar saat Steve mendekatinya dengan penuh ancaman. Ia membuat sebuah pertahanan dengan menyiapkan kepalan tangan dan mengumpulkan kekuatannya.   "Kalau kita bercerai, jangan harap kamu bisa melihat Kenzie lagi!" Lanjut Ancam sambil mencubit sisi dangu istrinya genit, dan pergi meninggalkan Anjani.   Dengan semua kata-kata yang di ucapkan oleh suaminya, Anjani merasa sangat terancam. Ia hidup bersama pasangannya bukan satu atau dua hari saja.
Read more

Handphone yang Tertukar

Lari Zero semakin kencang hingga semua yang ada di hadapannya ia tubruk tak beraturan.    Anjing kecilnya pun ikut berperan menarik Zero agar lari lebih cepat dan Fokus.   Namun karena Anjing itu berukuran kecil ia berlari bisa menyelip kemana pun dia suka.    Echo berlari menyelinap ke jalanan sempit sambil menyeret majikannya mencari arah.   Karena polisi semakin penasaran dengan pelarian Zero yang tiba-tiba, akhirnya pengejaran terhadap Zero semakin diperketat. Beberapa lelaki bertubuh gagah memakai seragam itu memegangi pentungan perangkat untuk berjaga-jaga.   Selain pentungan, jelas mereka memiliki senjata satu sama lain. Mereka simpan di bagian samping sabuk seragamnya.   Lari tiga orang polisi pun tak kalah cepat dengan pelarian Zero.   Melihat persimpangan, Zero merasa waktu yang tepat untuk mengecoh semua polisi.
Read more
PREV
12
DMCA.com Protection Status