Home / Romansa / Setelah Lima Tahun / Part 4b Ibu, Izinkan Aku Pulang

Share

Part 4b Ibu, Izinkan Aku Pulang

Author: Lis Susanawati
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Aku menarik napas panjang. Pria ini memang keras kepala. Lebih baik aku segera pergi dari kamar kami. Namun, tarikan tangan membuatku terduduk di pangkuannya. Kami berpelukan sesaat.

"Maaf, jika Mas terlena selama ini. Karena sering bertemu dan kerja bersama, membuat peluang kedekatan kami makin besar."

"Apa yang kalian lakukan jika keluar kota? Sekedar berciuman atau mungkin ... sudah bercinta?"

Mas Ilham terkejut dengan pertanyaanku baru saja. Kulepaskan tangannya yang melingkar di pinggang. "Enggak usah dijawab Mas. Melihat cara kalian berinteraksi saja sudah membuatku sesak napas."

"Mas tidak pernah melakukan apapun dengannya."

Apa berpelukan di rumah sakit waktu itu bukan apa-apa? Itu yang terlihat, bagaimana dengan yang tidak tampak. Tiba-tiba saja aku muak. Namun, aku membiarkannya memelukku sekali lagi.

Ku jinjitkan kaki untuk mencium pipi kirinya, sungguh sesakit ini pun aku masih mencintainya. Cinta dan luka sama-sama berkuasa di dada sini.

Kami saling pandang sebelum kusandarkan kepalaku di dadanya. Merasakan detak jantung yang kuharap masih ada aku dalam getarnya.

Dalam hati aku menertawakan diri sendiri. Kebodohan apa yang aku miliki sekarang ini, sampai ke tahap begini masih juga merindu aroma raga yang telah tega membuatku seperti tak berharga.

Aku menarik diri. Namun, lengan kokoh itu menahannya. 

Malam itu kami menikmati kebersamaan dalam peraduan yang bertahun ini menjadi saksi, bagaimana aku selalu melayani dia seperti raja.

Di saksikan pekat malam, kubaktikan diriku sekali lagi, mungkin ini untuk yang terakhir kali.

🌺🌺🌺

Pagi yang cerah. Aku masih seperti kegiatan biasanya. Sibuk di dapur dan menyiapkan Syifa untuk pergi ke sekolah.

Gadis kecilku makan sendiri berlaukkan telur mata sapi kesukaannya.

"Ini telur ayam, 'kan, Ma? Kenapa dibilang telur mata sapi?"

"Itu hanya istilah, Sayang."

"Kenapa enggak disebut telur mata ayam saja?"

"Baiklah, mulai sekarang kita menyebutnya telur mata ayam," jawabku sambil mencubit gemas pipinya. Syifa tertawa.

Kutuang nasi ke dalam piring saat kulihat Mas Ilham keluar dari kamar. Dia tidak memakai baju kerja. Tapi memakai kaos warna dark blue dan celana jeans warna hitam. Wajahnya sendu. Kugeser piring nasi ke hadapannya.

"Mas, enggak kerja?" tanyaku.

"Mas ngambil cuti," jawabnya sambil duduk setelah mencium pipi putri kami.

Aku tidak bertanya lagi. Kami sarapan dalam diam. 

"Ayo, Syifa, nanti kita terlambat!" kataku saat Syifa tidak juga menghabiskan makannya.

"Disuapi Mama, ya?"

Syifa menggeleng. "Syifa sudah kenyang, Ma."

"Ya, sudah. Mari cuci tangan dulu dan berangkat sekolah."

"Biar Mas yang ngantar Syifa."

Mas Ilham menyudahi sarapannya, padahal masih ada separuh nasi yang masih ada di piring.

Setelah mereka berangkat, aku membereskan dapur, mengeluarkan cucian dari mesin pengering, dan menjemurnya.

Ketika aku masuk rumah, ponselku di atas kulkas bergetar. Ibu yang menelepon. 

Aku melangkah ke dapur sambil menjawab panggilan, karena bersamaan dengan Mas Ilham masuk rumah.

"Assalamu'alaikum, Bu."

"W*'alaikumsalam. Vi, nanti siang setelah ngantar pesanan, Pak Nardi mampir menjemputmu dan Syifa."

"I-iya, Bu, kutunggu. Jam segitu Syifa juga sudah pulang sekolah."

"Ya, sudah, Nduk. Ibu rekap pesanan dulu, ya. Assalamu'alaikum."

"W*'alaikumsalam."

"Kamu benar-benar ingin pulang, Vi?" tanya Mas Ilham yang sudah berdiri di ambang pintu.

"Iya. Pak Nardi akan menjemput kami siang nanti. Setelah ini kita akan bicarakan lagi masalah perceraian. Lebih baik menggunakan jasa pengacara saja, Mas. Sebab Mas juga sibuk, 'kan?"

Mas Ilham diam mematung dengan kedua tangannya dimasukkan dalam saku celana. Lantas membuang pandang ke luar jendela ruang makan. 

Hening.

Aku melangkah cepat masuk ke kamar. Jangan menangis, jangan menangis, jangan menangis, Vi. Stop untuk meratapi semuanya.

🌺🌺🌺

Siang itu aku dan Syifa benar-benar pulang ke rumah Ibu. Tidak jadi bersama Pak Nardi, tapi di antar Mas Ilham. 

"Barang-barangku yang lain akan kuambil lain hari, Mas," ucapku di perjalanan. Mas Ilham diam seribu bahasa.

Ibu menyambut kami dengan wajah semringah. Beliau berusaha menyembunyikan kepedihan melihat keadaan rumah tangga kami.

Wanita berjilbab ungu itu memeluk Syifa, lantas memeluk dan menciumi pipiku dengan mata berkaca-kaca. Beliau juga memeluk menantu yang menangis di bahunya. Untungnya Syifa tidak menyaksikan bagaimana kekacauan keadaan ini, karena dia langsung berlari menuju toko kue. Syifa paling suka melihat karyawan ibu mengadon kue dengan mixer.

Sejenak kami terjebak hening yang amat dalam. 

"Maafkan saya, Bu. Belum bisa membahagiakan Vi dan Syifa. Saya malah menyakitinya," ucap Mas Ilham sambil memandang sendu pada Ibu.

"Kedatangan saya ke sini bukan untuk mengembalikan Vi. Kami hanya butuh waktu untuk berbenah diri, terutama saya. Sedangkan Vi butuh waktu untuk bisa memaafkan saya."

Ibu mengangguk sambil menyeka air mata. "Tidak ada rumah tangga tanpa badai, Nak Ilham. Carilah jalan keluar biar badai itu berlalu. Jika pada akhirnya anak Ibu memang bukan pilihan yang tepat untuk, Nak Ilham. Kembalikan dia pada Ibu secara baik-baik, sebagaimana dulu Nak Ilham memintanya secara baik-baik."

Mas Ilham menarik napas dalam-dalam. Dia pun sibuk menata hatinya. 

Kami berbincang dari hati ke hati. Mas Ilham mengakui kesalahan di hadapan Ibu, karena membiarkan masa lalunya kembali dan pada akhirnya mengabaikanku dan anaknya sendiri.

Permohonan maaf diminta berkali-kali. Dengan senyum tulus, Ibu berusaha menenangkan dan menasehati.

Beberapa saat setelah kami makan bersama, Mas Ilham pamit. Dia memeluk Syifa dan menciumi pipinya.

"Papa akan sering datang ke sini. Syifa jangan nakal, ya. Nurut sama Mama dan Nenek. Papa akan menjemput Mama dan Syifa suatu hari nanti," kata Mas Ilham sambil memangku putri kami.

Gadis kecilku mengangguk. Setelah itu Syifa turun dari pangkuannya dan kembali berlari ke luar.

"Saya titip Vi dan Syifa, Bu."

Ibu mengangguk sambil tersenyum dan menepuk-nepuk pundak menantu satu-satunya.

Mas Ilham pamitan, kucium tangannya sebagai tanda perpisahan. 

Priaku melangkah gontai menuju mobil yang terparkir di halaman depan. Siapa yang lebih hancur? Kami sama-sama hancur kali ini.

Ibu memanggil Tarjo. Laki-laki umur dua puluhan yang menjadi karyawan toko rotinya.

"Jo, ikuti Mas Ilham, ya. Jangan sampai terjadi apa-apa di jalan," titah Ibu.

"Njih, Bu."

Laki-laki berkulit gelap itu segera menuju motor yang terparkir di belakang toko kue. Lantas mengikuti mobil yang bergerak perlahan meninggalkan halaman.

Meskipun Ibu tahu tentang awal mula permasalahan ini, tapi beliau tetap menjadi sosok Ibu yang penuh perhatian. Padahal putrinya telah tersakiti.

Aku masuk kamar dan menjatuhkan diri di sana. Ibu mengusap punggungku penuh cinta. "Sabar, Nduk. Kamu pasti kuat. Contohlah Ibumu ini, tetap tangguh hingga kini. Ibu kuat demi kamu dan kamu harus kuat demi Syifa."

Next

Comments (16)
goodnovel comment avatar
Yasmin Rf
hati berada di mantan kekasih, tapi berat melepas istri yg baik
goodnovel comment avatar
PiMary
Ikutan terluka duhh.....saling cinta tp ada ganjalan,hal yg dikira biasa2 aja justru itu masalahnya.
goodnovel comment avatar
Diana Chaniago
suka ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Setelah Lima Tahun   Part 5a Bidadariku yang Terluka

    POV Ilham Aku masuk rumah yang telah kehilangan mahkota. Sepi dan terasa asing ketika duduk di salah satu sudutnya. Hari ini seperti mimpi. Kesabaran Vi telah sampai pada batasnya. Dia benar-benar pergi bersama bidadari kecil kami. Vi menciptakan jurang yang dalamnya tidak terjangkau. Ini jurang, bukan lagi tembok penghalang yang masih bisa ku robohkan. Tidak ada lagi celoteh suara Syifa. Gadis kecil yang mewarisi kecantikan ibunya, yang enggan berdekatan dengan papanya sendiri. Aku melangkah gontai masuk ke kamar. Tidur terlentang menghadap plafon. Di atas sana seolah penuh bayangan kebersamaan kami lima tahun ini. Namanya, Vi Ananda. Gadis cantik yang ku kenal saat magang di kantor tempatku bekerja. Matanya yang bening dengan iris mata cokelat memikat. Jujur, aku terpesona pada pandangan pertama, di antara patah hati yang serpihannya

    Last Updated : 2024-10-29
  • Setelah Lima Tahun   Part 5b Bidadariku yang Terluka

    POV Ilham Sudah satu bulan ini aku tanpa Vi dan Syifa. Hening. Malam-malam pun membuatku terpuruk dan hampir tidak waras. Seluruh penjuru rumah ini masih ada jejak mereka. Suara-suara mereka bercanda riang yang tidak kupedulikan kala itu, kini merongrong menjadi kenangan yang memilukan dan menimbulkan penyesalan. "Maafkan Papa, Sayang." Dua hari yang lalu Mama datang untuk membersihkan rumah dan memasak untukku. Sedihnya, Mama tidak juga mau bicara banyak. Mereka semua kecewa dengan ketotolanku. Pagi itu setelah rapi berpakaian, kuhubungi Vi. Seperti biasanya Syifa yang menerima panggilan. "Halo, Assalamualaikum." "Waalaikumsalam, Sayang," sapaku setelah panggilan diterima. "Iya, Pa. Syifa masih sarapan, belum berangkat ke sekolah." "Hmm, lauknya apa? Kayaknya enak, ya?" &n

    Last Updated : 2024-10-29
  • Setelah Lima Tahun   Part 6a Kehilangan

    Part 6 Kehilangan Dua minggu ini aku sudah bisa beradaptasi dengan keadaan. Setelah terpuruk tanpa daya lebih dari seminggu setelah kepulanganku ke rumah Ibu. Syifa tidak begitu terpengaruh, di sini dia memiliki banyak teman bermain. Aku mulai beraktivitas di toko dan merekap pesanan. Alhamdulillah, toko roti dan kue yang dirintis Ibu sejak aku umur sepuluh tahun berkembang sangat pesat. Ini hiburanku yang lain, selain mengurus Syifa. "Vi, ada telepon dari Ilham," kata Ibu sambil mengantar ponselku yang tertinggal di depan TV. Setelah Ibu keluar, kuletakkan ponsel di nakas. Syifa sudah tidur, biasanya Syifa yang menerima panggilan dari papanya. Ponsel kembali bergetar untuk yang ketiga kalinya, tetap kubiarkan. Aku belum sanggup bicara apa pun dengan Mas Ilham. Dalamnya cinta yang bersemayam membuatku tak berdaya

    Last Updated : 2024-10-29
  • Setelah Lima Tahun   Part 6b Kehilangan

    Part 6 Kehilangan"Mbak, ada Mas yang mau pesan kue," kata Sarti, salah satu karyawan yang jaga toko. Sesaat setelah Miya pamitan."Oh, ya? Siapa?" tanyaku penasaran."Orangnya masih di depan."Aku segera berdiri, mengambil nota catatan, dan melangkah keluar. Di depan Toko ada Bre yang masih berseragam guru, duduk di kursi biasa digunakan oleh para pembeli menunggu pesanan atau sengaja makan kue dan minum di sana."Assalamu'alaikum," sapaku.Pria itu menoleh dan tersenyum. "Wa'alaikumsalam.""Rupanya bos muda yang akan melayaniku," ujarnya."Mas, bisa aja. Oh ya, mau pesan apa?""Mau pesan 250 kotak kue untuk acara di rumah Tanteku.""Yang isi berapa Mas? Tiga atau empat. Misalnya satu kotak isi tiga kue basah dan satu camilan. Atau dua kue basah dan satu camilan

    Last Updated : 2024-10-29
  • Setelah Lima Tahun   Part 7a Kecewa

    Entah berapa lama aku tertidur, saat membuka mata hari sudah sore. Dan aku terkejut saat melihat sosok yang menatap sendu sambil menggenggam tangan kiriku. Perlahan tangan kutarik. Mas Ilham tersenyum meski matanya memerah. "Sejak kapan, Mas, di sini?" "Kira-kira setengah jam yang lalu. Mas kaget waktu dikabari sama Miya. Kenapa enggak ngasih tahu Mas kalau kamu hamil, Vi?" Benar saja, pasti Miya yang memberitahunya. "Enggak apa-apa," jawabku singkat. Padahal aku sendiri tidak tahu kalau tengah mengandung. Aku berusaha bangun dan duduk. Kubiarkan Mas Ilham membantuku. Rasa nyeri dan lemas masih terasa. Lagi-lagi dalam kondisi kecewa begini, aku masih membutuhkannya. "Maafkan Mas." Digenggamnya kedua tanganku. Netranya menatap lekat. "Karena keegoisan Mas, kita kehilangan calo

    Last Updated : 2024-10-29
  • Setelah Lima Tahun   Part 7b Kecewa

    Dokter wanita berperawakan sedang itu tersenyum saat masuk ruang perawatanku. Di belakangnya ada suster yang mengikuti."Selamat pagi, Bu Vi Ananda. Selamat pagi Pak Ilham," sapanya ramah."Pagi, Dok," jawabku hampir bersamaan dengan Mas Ilham."Sudah lebih baik, 'kan, sekarang? Jangan lupa di minum obatnya, Bu. Biar cepat pulih dan lekas dapat dedek lagi."Aku tersenyum menanggapi doa dokter setengah baya itu.Hanya sebentar dokter itu visit, karena kondisiku secara medis sudah membaik. Tentang hati? Hanya aku yang tahu. Dokter dan perawat itu pasti menilai kegundahan kami hanya karena baru saja kehilangan calon anak.Mas Ilham keluar untuk membereskan pembayaran. Ponselnya yang tertinggal di meja berpendar. Aku menahan diri untuk tidak melihat siapa yang menelepon. Cukuplah, aku tidak harus tahu lagi.Aku membenahi jilbab milik Miya yang dibawakan kemarin. Mas Ilham menunggu sambil duduk di depanku."Mas, enggak

    Last Updated : 2024-10-29
  • Setelah Lima Tahun   Part 8 Pertemuan Tak Sengaja

    Part 8 Pertemuan Tak Sengaja Kadang aku tidak tahu apa yang diinginkan hatiku selain berpisah dengan damai. Sesekali mengamuk misalnya, menemui perempuan itu dan menjambak rambut atau sekedar memaki. Aku justru pergi dan memberi kesempatan kepada suami untuk berkomunikasi. Ketika perempuan itu menghubungi. Ternyata aku bisa selandai ini. Aku membuat teh di dapur, Mas Ilham menyusul dan berdiri di sebelah. Sepertinya dia tidak menerima panggilan itu. "Mas masih ada pekerjaan dengannya. Setelah proyek ini selesai, Mas akan meminta pihak PT Adi Tama untuk mengirim orang lain mengurus pekerjaan dengan kami." "Ini tehnya, Mas." Aku menggeser gelas teh di hadapan Mas Ilham. Tanpa menanggapi dengan apa yang baru saja dikatakannya. Terserah. Bukan apa-apa, misalnya aku tidak mengambil sikap begini. Bisa jadi dia masih terlena dengan

    Last Updated : 2024-10-29
  • Setelah Lima Tahun   Part 9 Pasca Keguguran

    Part 9 Pasca Keguguran Setelah pulih dari keguguran, aku mulai bangkit. Membahagiakan diriku sendiri dan orang-orang yang tiap hari berinteraksi denganku di rumah dan toko. Tubuhku mulai pulih. Aku sempatkan olahraga tiap pagi, meski hanya beberapa menit saja. Aku juga sering mengantar pesanan bersama Pak Nardi. Dari seorang ibu rumah tangga, sekarang aku mulai berperan penting di toko kue ibu. Kenalan juga bertambah, terutama para pelanggan yang kebanyakan dari orang kantoran. Bahkan ada yang menawarkan pekerjaan kantor, setelah mereka tahu aku seorang sarjana ekonomi. Namun, aku lebih menikmati peranku sekarang. Sebagai ibu yang bisa bekerja sambil mengawasi anak. Tiap hari ada saja jadwalku ikut mengantar pesanan sekaligus mengantar Syifa sekolah. Mas Ilham masih seperti biasa, datang seminggu dua kali ke rumah. Kami berbincang seperlunya, karena aku memang memilih s

    Last Updated : 2024-10-29

Latest chapter

  • Setelah Lima Tahun   Part 151 Ending

    Vi Ananda's POV"Mas, tidur saja. Biar aku yang jaga Abrisam," ucapku sambil memandangnya. Dia kelihatan capek malam ini."Nanti kamu bisa bangunin Mas kalau butuh sesuatu."Aku mengangguk. Perlahan mata yang selalu bersorot tajam itu terpejam. Tidak lama kemudian terdengar dengkur halusnya.Sebulan ini Mas Ilham kurang tidur karena Abrisam sering mengajak begadang. Kami bergantian menjaganya. Tapi sudah dua hari ini si bungsu tidak lagi begadang. Dia nyenyak tidurnya, terbangun dan menangis kalau mau susu saja.Betapa capeknya Mas Ilham. Siang sibuk dengan pekerjaan, malamnya bergantian jaga Abrisam. Ini tidak pernah dilakukan pada dua anak sebelumnya.🌺🌺🌺Sore yang cerah. Aku mendorong stroller Abrisam menyusuri jalan berpaving yang menghubungkan jalan ke bangunan hotel dan sebuah kafe. Di depanku Abian berlarian

  • Setelah Lima Tahun   Part 150 Pulang

    Vi Ananda's POV"I love you," bisik Mas Ilham di telinga saat aku sedang menyusui Abrisam. Kedekatan kami membuat suster yang bertugas tersipu malu, lantas izin ke luar kamar.Salah satu fasilitas yang kami dapat adalah adanya seorang suster yang stand by selama dua puluh empat jam."Didit ngirim pesan kalau akan datang ke sini agak siang. Hari ini guru home schooling-nya Abian mulai ngajar, jadi Didit nunggu sekalian.""Ya, nggak apa-apa."Home schooling. Sebenarnya ini seperti les yang dilakukan Syifa setiap hari. Abian memang sudah waktunya masuk PAUD. Meski start belajar secara formal masih dua bulan lagi, tapi sekarang sudah di mulai. Aslinya, yang mengajar Homeschooling memang orangtua, bukan guru privat. Tapi beda buat kami, Pak Broto yang memfasilitasi semuanya, gaji guru privat plus uang tranport-nya.Akan tetapi setelah ini aku d

  • Setelah Lima Tahun   Part 149

    Ilham's POV"Ibu, mau pergi ke hajatan, ya?" godaku bercampur jengkel karena khawatir.Wanita di hadapanku tersenyum santai. "Ayo, kita berangkat!" ajaknya sambil menggamit lenganku. Persis seperti pasangan model yang akan melewati red karpet."Kenapa pakai sandal seperti ini?" protesku sambil menunjuk ke arah kakinya."Nggak apa-apa, kita kan mau naik mobil."Sudahlah. Dituruti saja, habis ini aku bisa mencuri sandal itu untuk kusingkirkan.Mobil meluncur pergi di bawah tatapan dua satpam yang sempat mendoakan agar proses kelahiran putra kami lancar.Aku duduk di bangku belakang bersama Vi. Tangannya yang memegang lenganku kadang terasa mencengkeram, mungkin mulasnya kembali datang. Namun saat kupandang dia hanya tersenyum. Tanpa memedulikan adanya Didit, aku menciumi pipi Vi. Pikiranku serius tegang kali ini.

  • Setelah Lima Tahun   Part 148 Kelahiran yang Indah

    Ilham's POV"Pak Ilham, ini berkas yang Bapak minta tadi." Seorang staf bernama Wita menahan langkahku yang hendak keluar kantor."Taruh di meja. Biar nanti saya periksa."Aku segera bergegas keluar ruangan, berjalan lurus ke arah utara menuju ruang pribadiku. Beberapa hari ini aku memang tidak bisa tenang menjelang persalinan anak ketiga kami."Papa," sapa Abian yang sedang asyik bermain di depan TV ditemani Arum. Aku mendekat dan mencium rambut putraku. Lantas aku masuk kamar, Vi sedang duduk di ranjang sambil menyusun baju bayi dan beberapa perlengkapannya sendiri ke dalam travel bag ukuran sedang."Mas, kok pulang lagi?" tanya Vi heran karena sepagi ini aku sudah dua kali menemuinya."Nggak usah cemas gitu. HPL-nya kan masih sepuluh hari lagi. Lagian kalau aku terasa mau lahiran, bayinya juga nggak langsung nongol. Masih ada prosesnya.

  • Setelah Lima Tahun   Part 147

    Vi Ananda's POVSiang itu aku duduk menemani Abian dan Arum yang bermain dengan si kucing hitam. Suasana redup, mendung mengantung menutupi sang surya.Hari ini hatiku berdebar-debar menunggu hasil pembicaraan Mas Ilham dan Pak Broto. Sebenarnya hak Mas Ilham untuk menolak, karena perjanjian awal hanya sampai pada dua bulan ke depan lagi. Tapi aku tahu bagaimana suamiku, terkadang dia terbawa oleh rasa tak enak hati. Mungkin karena dia juga nyaman kerja di sini.Perhatianku beralih pada mobil Fortuner yang memasuki lokasi. Itu kendaraan Pak Petra. Tiba-tiba aku berharap kalau ada Bu Melinda ikut serta, tapi aku kecewa. Yang turun justru Pak Broto, Pak Rony, dan di susul perempuan itu. Perempuan masa lalu suamiku. Dia memakai gamis dan jilbab yang ujungnya dimasukkan ke kerah gamisnya.Pak Petra mendekatiku dan menyalami. "Apa kabar?""Alhamdulillah, kabar baik Pak.

  • Setelah Lima Tahun   Part 146 My Sexy Wife

    Vi Ananda's POVPagi yang dingin, jaket tebal yang kupakai masih membuatku menggigil. Tapi Mas Ilham yang berdiri di sebelahku sudah mandi keringat. Aku sedang menemaninya jogging di tepi pantai sepagi ini. Hanya berdua, karena Abian belum bangun.Dia menenggak habis air mineral di tangannya. Kami berdiri menghadap laut lepas."Kita akan merindukan tempat ini, Mas," kataku.Mas Ilham merangkulku. "Suatu hari nanti kita bisa liburan ke sini ngajak anak-anak," ujarnya sambil tersenyum. Lantas dia terdiam, memandangku lalu tersenyum lagi. Seperti ada yang ingin dibicarakan tapi dia masih tampak bingung."Pak Alex kapan datang?" tanyaku."Kemungkinan dua bulan lagi."Diam. Kami menikmati indahnya pemandangan, sejuk dan berkabut. Angin pagi berembus membuat bergo yang kupakai berkibar. Mas Ilham menahan dengan tangannya aga

  • Setelah Lima Tahun   Part 145

    Ilham's POVAbian masih bermain di depan TV bersama Arum. Gadis umur delapan belas tahun itu telaten menjaga jagoanku. Sementara aku duduk agak ke belakang sambil menyimak email yang masuk. Signal di sini sudah lancar sejak enam bulan terakhir ini. Lima belas menit yang lalu Vi baru masuk kamar setelah menemani Abian bermain.Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan dengannya. Mengenai bos yang ingin agar aku tetap bertahan mengurus proyek ini sampai finish. Inilah yang membuatku bingung beberapa hari, nanti Alex hanya akan sesekali saja ke sini karena akan ada design interior dari sini saja, tapi tetap dalam pantauan Alex.Tidak tega aku menyampaikan ini pada Vi. Dia sudah bahagia mau pulang dan berkumpul lagi dengan putri kami. Abian tahun depan juga masuk PAUD. Vi mau melahirkan di sana dan tinggal di rumah kami yang sudah selesai direnovasi. Kusandarkan punggung di sofa dan menarik napas dalam-dalam. Dil

  • Setelah Lima Tahun   Part 144 Bagaikan di Surga

    Ilham's POV"Janin Ibu sudah berumur delapan minggu," kata dokter Etik sambil menunjukkan layar USG."Alhamdulillah," ucapku. Vi tersenyum lantas kembali menatap layar USG dan memerhatikan ucapan dokternya.Dulu waktu Vi hamil Syifa, aku yang terkejut karena tidak menyangka kalau dia akan hamil secepat itu. Bulan ini menikah bulan depannya dia sudah mengandung.Terus kehamilan kedua yang keguguran karena dia tidak tahu dan aku benar-benar kehilangan. Waktu itu kami lagi berada di puncak masalah. Hamil kali ketiga aku yang merencanakan, disaat dia belum siap, tapi aku yang memaksa diam-diam, karena itu peluang besar kami bisa hidup bersama lagi. Dan kehamilan keempat ini yang benar-benar kami persiapkan berdua."Sayang, mau makan apa? Siang belum makan, 'kan?" tanyaku setelah kami masuk mobil."Apa ya? Ada yang jual lontong sayur nggak ya,

  • Setelah Lima Tahun   Part 143

    Vi Ananda's POVHari ini cuaca sangat terik. Matahari serasa berada tepat di atas kepala. Abian merenggek minta main ke luar, tapi aku melarangnya. Kadang kasihan sama Abian, tidak punya teman bermain. Kalau cucunya Bu Asti diajak ke proyek, Abian baru punya teman. Tapi pasti berujung drama, cucunya Bu Asti -anak lelaki umur enam tahun- itu tidak mau diajak pulang dan Abian sendiri juga nangis kalau ditinggal. Senang dan susah jadinya."Mama, ayo!" Abian kembali menarik tanganku."Jangan, Sayang. Ini jam dua belas lho, panas banget di luar. Abian makan siang terus bobok, nanti sore baru kita jalan-jalan ke pantai sama Papa." Perlahan kutarik lengannya dan kupangku.Abian masih merengek dan diam ketika pintu kamar di ketuk dari luar. Aku bergegas membuka pintu. Bu Asti tersenyum, ditangannya ada semangkuk besar kolak pisang. "Mau nganterin kolak pisang, Bu.""Iya, Bu Asti. T

DMCA.com Protection Status