Home / Romansa / Setelah Lima Tahun / Part 1 Aku yang Menyerah

Share

Setelah Lima Tahun
Setelah Lima Tahun
Author: Lis Susanawati

Part 1 Aku yang Menyerah

Author: Lis Susanawati
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Part 1 Aku yang Menyerah

"Cerai? Kamu serius?" tanya Miya dengan mimik muka tidak percaya. Dia memandangku lekat.

"Ya."

"Sudah kamu pikirkan masak-masak."

"Hu um. Ini sudah keputusan finalku. Aku menyerah dengan cinta yang kuperjuangkan selama ini. Nyatanya sampe sekarang aku tidak pernah jadi pemenangnya. Hati Mas Ilham tetap untuk Nura."

Rasanya sangat sakit mengucapkan kalimat itu. Namun aku memang butuh teman berbagi, agar beban dan luka dada ini terasa berkurang. 

Miya sudah kukenal sejak duduk di bangku SMA hingga kuliah. Dia juga yang tahu bagaimana hubunganku dan Mas Ilham bermula.

"Kalian punya Syifa. Apa enggak kasihan sama anak."

Kupandang bocah perempuan yang asyik bermain dengan Tita, anaknya Miya yang seumuran dengan Syifa.

"Syifa enggak begitu dekat dengan papanya. Jadi enggak akan berpengaruh dengan perpisahan kami."

Miya menggenggam erat tanganku yang dingin. Sebak di dada ini tidak lagi mengalirkan air mata seperti biasanya. Hatiku memang sudah beku dengan drama yang terjadi di rumah tangga yang terbina lima tahun ini.

"Sabar, Vi."

Aku tersenyum getir.

"Apa ibumu dan mertuamu sudah tahu."

"Sebelumnya aku sudah minta pertimbangan sama Ibu. Beliau enggak bisa berkata apa-apa. Ibu juga tahu aku sudah cukup bertahan selama ini. Kalau mertuaku ... masih berharap bahwa kami akan baik-baik saja."

"Ilham sendiri bagaimana?"

"Masih diam."

Kualihkan pandanganku pada mentari di ujung barat. Sinarnya mulai meredup di antara gumpalan mega-mega putih.

"Teman-teman kita akan kaget mendengar ini," gumam Miya.

Tentu saja mereka akan kaget. Sebab orang-orang di luar melihat kami hidup dengan harmonis. Mereka mana tahu, apa yang sesungguhnya terjadi di istana megah kami. Aku hanyalah ratu tanpa mahkota di sana. Aku hanya pelengkap status bagi pria yang menikahiku lima tahun yang lalu.

Aku sudah berusaha semampuku menjadi istri yang berbakti untuknya. Melayani dengan paripurna, tapi masa lalu masih juga merongrongnya.

Cerai? Selama lima tahun ini aku tidak pernah berpikir mengambil jalan itu. Aku percaya semua akan membaik pada akhirnya. Namun kini aku harus menyerah juga. 

Malam setelah kupergoki Mas Ilham tertidur di ruang kerjanya, saat itu ditangannya ada buku yang terselip foto lama seorang wanita. Dia Nura. Mantan kekasihnya.

Bukan alasan itu saja yang membuatku nekat bercerai. Waktu Mas Ilham opname, dari kaca pintu kulihat Nura menyuapinya dengan penuh perhatian. Mereka bercengkrama layaknya pasangan yang bercinta.

"Vi," panggilan Miya membuyarkan lamunanku.

Aku menarik napas panjang, melihat jam tangan kemudian meraih hand bag di atas meja taman, tempat di mana aku dan Miya bertemu sore itu.

"Ayo, kita pulang Miya. Nanti suamimu pulang kerja kalian enggak ada di rumah."

"Vi, aku yakin kamu kuat. Hadapi dengan sabar dan doa."

Aku mengangguk. Kurasa aku cukup kuat selama ini. Bertahan dalam mahligai tanpa ada cinta di dalamnya.

"Syifa, ayo kita pulang, Sayang."

Dua bocah perempuan itu berlari pada kami. Miya mengajak anaknya pulang jalan kaki setelah aku naik taksi bersama Syifa. Taman itu memang tidak jauh dari perumahannya. Tadi aku belanja kebutuhan rumah di pusat perbelanjaan yang tidak jauh dari rumah Miya. Makanya sekalian kuajak dia ketemuan.

Jarak dari taman ke rumah hanya dua puluh menit. Saat taksi berhenti di depan rumah, tampak mobil Mas Ilham sudah terparkir di garasi. Rupanya dia pulang lebih awal. Apa tidak ada janji dengan perempuan itu?

Setelah membayar ongkos taksi, kugandeng Syifa masuk rumah.

"Assalamu'alaikum."

"W*'alaikumsalam," jawab Mas Ilham yang keluar dari kamar.

Tampaknya dia baru selesai mandi. Bau wangi sabun menguar di sekitar kami. Seperti yang kuajarkan pada Syifa, gadis kecilku akan mencium tangan papanya saat kami baru dari luar atau ketika Mas Ilham baru pulang dari kantor.

"Darimana?" 

"Belanja, sekalian ngajak main Syifa sebentar."

Aku ke belakang untuk menaruh barang belanjaan. Syifa langsung duduk di depan TV melihat kartun dan Mas Ilham duduk di sebelahnya. Membelai rambut putri kami. 

Ah, tiba-tiba dadaku terasa nyeri melihat pemandangan yang sangat jarang terjadi. Mas Ilham, ayah yang kaku dan tidak tahu bagaimana memuji anaknya. Dia hanya akan tersenyum sambil mengacungkan ibu jari saat Syifa menunjukkan hasil mewarnai di sekolah.

Jilbab kulepas sambil melangkah masuk kamar. Kemudian menutup jendela, mengambil baju kotor Mas Ilham di kamar mandi lalu membawanya ke belakang. Sekalian aku menyiapkan hidangan makan malam.

Kami langsung ke ruang makan setelah selesai Salat Maghrib berjamaah. Kulayani suami seperti biasa setelah mengambilkan makan untuk Syifa.

"Ma, besok kita jadi renang, enggak? Katanya kalau libur sekolah Mama mau ngajak Syifa renang," tanya Syifa.

"Iya. Besok kita pergi," jawabku sambil tersenyum.

"Besok Papa antar."

Syifa mengangguk sambil memandang papanya. Ada binar bahagia di mata gadis kecil kami. Namun aku justru takut, karena kenyamanan itu tak lama lagi akan terenggut.

Kami makan malam sambil mendengar Syifa bercerita tentang sekolahnya. Seperti biasa aku yang menanggapi, sedangkan Mas Ilham hanya jadi pendengar. Terkadang saja tersenyum.

Sudah jadi kebiasaanku kalau habis makan malam, langsung membereskan dapur. Bahkan langsung kupel malam itu juga. Keharmonisan yang tidak ada di antara kami, membuatku selalu menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah tangga. Hampir setiap hari lantai aku pel setelah mengantar Syifa sekolah. Kaca rumah bening tanpa dihinggapi debu karena selalu kulap setiap hari.

Sejak pembicaraan cerai seminggu yang lalu, aku tidur menemani Syifa di kamarnya. Seperti malam ini. Setelah Syifa tidur, aku membereskan buku-buku mewarnai dan beberapa krayon yang berserakan di atas meja belajarnya.

"Vi." Ada panggilan pelan bersamaan dengan ketukan di pintu kamar.

"Syifa sudah tidur?" tanya Mas Ilham saat aku membuka pintu.

"Sudah."

"Kita bicara sebentar."

Aku mengangguk dan mengikutinya ke ruang tengah.

Hening sejenak menjadi jeda.

"Minggu depan aku akan pindah ke rumah Ibu." Akhirnya aku yang membuka percakapan. Mas Ilham menatap kaget.

"Kamu serius kita cerai?"

"Ya."

"Apa tanggapan orang-orang nanti?"

Aku tersenyum getir sambil memainkan ujung piyama yang kupakai.

"Kenapa harus peduli dengan tanggapan orang. Mereka hanya beberapa waktu saja menggunjing. Setelahnya akan diam dan lupa."

"Antara aku dan Nura tidak ada hubungan apa-apa."

"Yang kutahu kalian saling mencintai dan menunggu satu sama lain. Sampai dia rela meninggalkan suaminya hanya untuk bersama Mas. Aku tahu kalian pergi bersama keluar kota hari itu."

Mas Ilham menatapku lekat. "Itu hanya untuk urusan pekerjaan."

"Aku juga tahu saat dia menyuapi Mas di rumah sakit. Aku tahu saat dia menggenggam tangan Mas dengan tatapan memuja. Aku pun tahu saat Mas tertidur di ruang kerja sambil memeluk buku terbuka yang terselip foto lama Nura."

"Vi ...."

"Aku juga tahu catatan di laptop Mas, tentang ungkapan perasaan Mas padanya. Maaf, aku enggak sengaja membacanya ketika Mas lupa mematikan laptop malam itu."

Aku berhenti sejenak. Menarik napas dalam-dalam untuk melonggarkan dada yang kian sesak.

"Jadi enggak ada alasan aku untuk bertahan lagi. Seolah aku yang menjadi duri di antara kalian. Aku enggak ingin seperti ini. Aku juga ingin bahagia. Mungkin dengan kita bercerai, Mas akan bahagia dan aku juga akan tenang."

Hembusan napas Mas Ilham terlihat berat, netranya sudah memerah. Entah apa yang dirasakannya. Malu karena aku bisa menyibak semuanya, atau khawatir dengan reputasinya yang akan terjejas setelah perceraian kami. Secara kariernya di kantor sebagai branch manager sedang berada di puncak.

"Aku enggak akan menuntut apa pun. Nafkah untuk Syifa, Mas pikirkan sendiri. Bukan karena aku enggak butuh, tapi aku juga sadar kalau sebenarnya kelahiran Syifa enggak pernah Mas inginkan."

Mas Ilham menatapku tajam, seolah menyangkal dengan apa yang aku ucapkan. Namun dia tetap diam tak bersuara. Membuatku semakin membenarkan asumsiku sendiri.

"Kita akan berpisah secara damai. Jangan khawatir, aku tidak akan mempersulit urusan pengadilan. Biar kalian segera bisa bersama."

Air mata berderai tidak terbendung. Aku harus segera pergi biar dia tidak tahu betapa hancurnya perasaanku.

"Vi."

Mas Ilham meraih lenganku kemudian berdiri. "Maaf untuk semuanya. Mungkin Mas memang sebrengsek itu, yang tidak memahami bagaimana perasaanmu. Marilah kita perbaiki hubungan ini. Kita coba sekali lagi."

Aku tersenyum getir. "Jangan sia-siakan waktu untuk uji coba. Kalau Mas ingin berubah, waktu lima tahun enggak sebentar. Tapi kenyataannya semua masih sama."

"Mas tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Nura. Kami memang dekat, tapi hanya sebatas teman. Kamu juga tahu kalau Mama sudah menganggap Nura seperti anak sendiri."

"Enggak ada apa-apa, tapi Mas menulis ungkapan cinta untuknya."

"Itu tulisan lama yang belum sempat Mas hapus."

Ah, tulisan lama katanya. Namun kenapa dia membuka dan membacanya lagi. Jika itu tidak bermakna lagi, kenapa tidak segera dihapus saja.

Kulepaskan pegangan tangannya. Aku tidak ingin membicarakan hal itu lagi. Semua amat menyakiti. Mungkin Mas Ilham tidak tahu, kalau aku mengetahui mereka sering pergi berdua. Meski dengan alasan pekerjaan. Ya, mereka memang bekerja di dua tempat yang berbeda, tapi masing-masing perusahaan memiliki ikatan kerjasama.

"Sudah malam, tidurlah, Mas!"

Aku melangkah kembali ke kamar Syifa sambil mengusap air mata. 

Setelah menutup pintu kamar, aku duduk menatap Syifa yang tidur pulas. Air mata kembali menganak sungai saat ingat lima tahun yang lalu. Bagaimana reaksi Mas Ilham saat tahu aku hamil, tidak tampak dimatanya binar bahagia. Bahkan begitu kaget dan tidak siap.

Bahkan waktu kelahiran Syifa dia sedang ke luar kota. Dia tidak tahu bagaimana aku bertarung nyawa demi melahirkan anaknya. Setelah pulang pun Mas Ilham tetap sibuk dengan urusan pekerjaan. Bayi kecilku kuurus dengan bantuan Mama mertua. 

Sesekali Ibu akan datang di waktu longgarnya. Sebab usaha kue ibu saat itu sedang berkembang pesat. Pesanan datang dari mana-mana.

Kukecup kening gadis cantikku penuh cinta sebelum aku rebah di sampingnya.

🌷🌷🌷

"Mama, tolong ikatkan tali sepatu. Syifa enggak bisa, Ma," teriak Syifa dari teras. Pagi itu kami bersiap pergi berenang.

"Iya, sebentar," jawabku sambil memasukkan bekal. Aku membawa kue dan cemilan.

"Sini, Papa ikatkan." 

Mas Ilham mendekati Syifa. Kuperhatikan bocah itu diam saja. Setelah mengucapkan terima kasih langsung duduk di kursi teras, menjauh dari papanya.

Lihatlah, anak sekecil itu sangat peka dengan apa yang terjadi antara kami. Mungkin Syifa juga merasa bahwa dulu kehadirannya diterima dengan setengah hati.

Dari dalam kulihat Mas Ilham masih berjongkok sambil memandang putri kami. Mungkin dia juga sadar bahwa ada jarak yang membentang di antara dia dan anaknya.

"Kita berangkat!" ajakku dengan nada datar.

Tercipta hening dalam perjalanan. Aku tetap duduk di bangku depan, sambil memangku Syifa. Sesekali Syifa bertanya tentang apa yang dilihatnya dalam perjalanan. 

"Katanya kita mau tinggal di rumah Nenek. Kapan, Ma?"

Mas Ilham menatap kami.

"Minggu depan, Sayang. Nunggu Pak Nardi longgar dulu, ya," jawabku pelan.

Pak Nardi adalah tetangga ibuku sekaligus orang yang sering disuruh ibu untuk mengantarkan pesanan-pesanan kue.

"Papa ikut juga?"

"Enggak. Kalau Papa ikut siapa yang akan menjaga rumah."

Syifa mengangguk sambil memandang papanya sebentar.

Setelah turun dari mobil, Syifa langsung berlari sambil menarikku menuju loket pembelian tiket. Mas Ilham mengikuti di belakang. Entah kenapa dia ikut, biasanya menunggu di mobil atau pulang.

Kami duduk di ayunan besi tepi kolam tempat berenang Syifa. Dia sibuk dengan ponselnya, sedangkan aku memperhatikan keceriaan anak-anak yang sedang bermain air dan beberapa orang tua yang sedang menungguinya.

Tiba-tiba ponsel Mas Ilham berdering. Kulirik sekilas ada panggilan masuk dari Nura. Dibiarkan panggilan itu hingga berhenti. Kemudian disusul panggilan selanjutnya. Dan sebuah pesan masuk saat Mas Ilham masih diam. Entah pesan dari siapa.

Kenapa aku tidak marah atau menegurnya? Bukankah aku berhak untuk itu?

Aku tidak akan melakukan hal itu lagi. Setelah aku hampir depresi setelah melahirkan Syifa. Aku pernah mengamuk saat bayi kami rewel, sedangkan Mas Ilham malah sibuk menenangkan Nura yang kala itu sedang mengurus perceraian dengan suaminya.

Saat Syifa umur dua bulan, aku tidak mau menyusuinya. Setelah bayiku hampir sakit, aku sadar kalau tindakan itu sangat bodoh dan konyol. Untuk apa menyiksa diri demi pria yang tidak menganggapku sama sekali. Aku harus waras demi anak dan diriku sendiri.

"Kalau Mas ada urusan lain, tinggalkan kami. Nanti kami bisa naik taksi," ucapku kemudian meninggalkannya untuk menghampiri Syifa.

Dia tidak pergi, tapi malah memperhatikan aku dan Syifa yang bercanda di tepi kolam. Sejak dulu sikapnya memang sulit ditebak.

Next ...

Terima kasih untuk like dan komentarnya Man-teman 😍😘

Comments (57)
goodnovel comment avatar
Helmy Rafisqy Pambudi
crita kk athor ni tentang perceraian ya dah 4 x baca crata kk
goodnovel comment avatar
Cicih Sophiana
cerita yg bikin nyesek semua istri...
goodnovel comment avatar
Wida Herawati
nyesekkk bngttt .....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Setelah Lima Tahun   Part 2 Jangan Pergi

    Jam dua belas siang kami pulang ke rumah. Syifa langsung tidur kelelahan. Sementara aku langsung ke belakang membereskan jemuran yang sudah kering dan mencuci baju renangnya Shifa. Ketika sedang sibuk menyetrika di kamar belakang, Mas Ilham menghampiri dan duduk di kursi sebelahku. "Mama barusan nelfon. Malam ini kita di undang makan malam di rumah Mama." Aku mengangguk tanpa memandangnya. Setiap kami di undang ke sana, pasti ada sesuatu yang ingin dibicarakan oleh mertuaku. Mungkin soal perceraian itu. "Bawa baju ganti, nanti kita menginap di sana," ucap Mas Ilham sebelum beranjak pergi. Baju yang sudah kulipat, kuletakkan di keranjang yang nantinya kususun di lemari masing-masing. Sebenarnya aku sudah berencana untuk mulai mengemas baju-baju besok setelah memasak, mumpung hari Minggu. Jika Pak Nardi datang, tinggal mengangkut saja. Selesai setri

  • Setelah Lima Tahun   Part 3.a Cinta dan Luka

    "Mama, masak apa?" tanya Shifa yang menyusul ke dapur dan berdiri di dekatku. Dia sudah bangun."Mama lagi goreng ayam, katanya kemarin Shifa mau ayam goreng. Ayo, susunya di minum dulu. Nanti baru sarapan. Jangan lupa minum air putih dulu sebelum minum susu."Aku menunjuk segelas susu yang ada di meja makan. Syifa langsung duduk di kursi, minum beberapa teguk air putih hangat, kemudian menyesap susunya.Jam dinding menunjukkan pukul enam pagi. Tapi Mas Ilham belum juga keluar. Biasanya jam segini dia sudah selesai mandi.Kuletakkan spatula dan mematikan kompor setelah mengangkat gorengan terakhir."Tunggu di sini, Mama mau lihat Papa dulu," kataku pada Syifa.Pintu kamar masih tertutup rapat dan sepi. Ku putar gagang pintu perlahan. Lampu telah dinyalakan dan Mas Ilham yang masih memakai baju koko dan sarung sedang terlentang di ranjang. Wajahn

  • Setelah Lima Tahun   Part 3.b Cinta dan Luka

    Kutarik napas dalam-dalam, menata ekspresi wajah agar tampak biasa saja. Baru kudorong pintu perlahan. Di dalam, dua orang duduk berdekatan sambil menatap layar laptop. Tapi sempat kulihat wajah keduanya tampak murung, bahkan mata perempuan itu berkaca-kaca. Aku tersenyum, meski hatiku remuk redam untuk yang ke sekian kali. "Vi," panggil Mas Ilham terkejut. Dia langsung berdiri, pun begitu dengan Nura yang sibuk menyeka air mata. "Maaf, aku enggak mengetuk pintu. Ku pikir Mas sendirian. Aku hanya mau mengantarkan obat Mas yang ketinggalan." Kuletakkan plastik obat di meja. Setelah itu aku berbalik dan pergi. Dia mengejar. Di tangga yang sepi Mas Ilham menahan lenganku. "Jangan salah paham, Vi. Mas akan cerita nanti." Mas Ilham menjelaskan dengan panik. Aku diam tidak menjawab apa-apa. "Kamu tadi naik apa ke sini?" "Naik moto

  • Setelah Lima Tahun   Part 4a Ibu, Izinkan Aku Pulang

    Setelah pikiran tenang, kuambil ponsel dari tas selempang warna hitam."Assalamu'alaikum, Vi." Suara ibu di seberang."Wa'alaikumsalam, Bu. Kapan aku dan Shifa boleh pulang ke rumah, Ibu?""Ya, Allah, Nduk. Kapanpun kamu boleh pulang. Tapi ... kamu enggak apa-apa, 'kan? Kenapa suaramu serak?""Aku lagi diperjalanan ini, Bu. Mau jemput Shifa pulang sekolah.""Kamu ada masalah lagi sama Ilham.""Masalah yang sama. Nanti Ibu kabari aku ya, kapan Pak Nardi bisa jemput.""Iya, Nduk.""Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Aku kembali melajukan motor ke arah sekolahnya Syifa. Dan berhenti sekali lagi saat dada dihempap sesak. Separah ini rasanya. Pantas saja sebagian istri yang dikhianati bisa sebrutal itu mengungkapkan kemarahannya. Mengamuk atau sekedar mencaci maki suami atau wan

  • Setelah Lima Tahun   Part 4b Ibu, Izinkan Aku Pulang

    Aku menarik napas panjang. Pria ini memang keras kepala. Lebih baik aku segera pergi dari kamar kami. Namun, tarikan tangan membuatku terduduk di pangkuannya. Kami berpelukan sesaat. "Maaf, jika Mas terlena selama ini. Karena sering bertemu dan kerja bersama, membuat peluang kedekatan kami makin besar." "Apa yang kalian lakukan jika keluar kota? Sekedar berciuman atau mungkin ... sudah bercinta?" Mas Ilham terkejut dengan pertanyaanku baru saja. Kulepaskan tangannya yang melingkar di pinggang. "Enggak usah dijawab Mas. Melihat cara kalian berinteraksi saja sudah membuatku sesak napas." "Mas tidak pernah melakukan apapun dengannya." Apa berpelukan di rumah sakit waktu itu bukan apa-apa? Itu yang terlihat, bagaimana dengan yang tidak tampak. Tiba-tiba saja aku muak. Namun, aku membiarkannya memelukku sekali lagi. Ku jinjitkan kaki untuk mencium pipi

  • Setelah Lima Tahun   Part 5a Bidadariku yang Terluka

    POV Ilham Aku masuk rumah yang telah kehilangan mahkota. Sepi dan terasa asing ketika duduk di salah satu sudutnya. Hari ini seperti mimpi. Kesabaran Vi telah sampai pada batasnya. Dia benar-benar pergi bersama bidadari kecil kami. Vi menciptakan jurang yang dalamnya tidak terjangkau. Ini jurang, bukan lagi tembok penghalang yang masih bisa ku robohkan. Tidak ada lagi celoteh suara Syifa. Gadis kecil yang mewarisi kecantikan ibunya, yang enggan berdekatan dengan papanya sendiri. Aku melangkah gontai masuk ke kamar. Tidur terlentang menghadap plafon. Di atas sana seolah penuh bayangan kebersamaan kami lima tahun ini. Namanya, Vi Ananda. Gadis cantik yang ku kenal saat magang di kantor tempatku bekerja. Matanya yang bening dengan iris mata cokelat memikat. Jujur, aku terpesona pada pandangan pertama, di antara patah hati yang serpihannya

  • Setelah Lima Tahun   Part 5b Bidadariku yang Terluka

    POV Ilham Sudah satu bulan ini aku tanpa Vi dan Syifa. Hening. Malam-malam pun membuatku terpuruk dan hampir tidak waras. Seluruh penjuru rumah ini masih ada jejak mereka. Suara-suara mereka bercanda riang yang tidak kupedulikan kala itu, kini merongrong menjadi kenangan yang memilukan dan menimbulkan penyesalan. "Maafkan Papa, Sayang." Dua hari yang lalu Mama datang untuk membersihkan rumah dan memasak untukku. Sedihnya, Mama tidak juga mau bicara banyak. Mereka semua kecewa dengan ketotolanku. Pagi itu setelah rapi berpakaian, kuhubungi Vi. Seperti biasanya Syifa yang menerima panggilan. "Halo, Assalamualaikum." "Waalaikumsalam, Sayang," sapaku setelah panggilan diterima. "Iya, Pa. Syifa masih sarapan, belum berangkat ke sekolah." "Hmm, lauknya apa? Kayaknya enak, ya?" &n

  • Setelah Lima Tahun   Part 6a Kehilangan

    Part 6 Kehilangan Dua minggu ini aku sudah bisa beradaptasi dengan keadaan. Setelah terpuruk tanpa daya lebih dari seminggu setelah kepulanganku ke rumah Ibu. Syifa tidak begitu terpengaruh, di sini dia memiliki banyak teman bermain. Aku mulai beraktivitas di toko dan merekap pesanan. Alhamdulillah, toko roti dan kue yang dirintis Ibu sejak aku umur sepuluh tahun berkembang sangat pesat. Ini hiburanku yang lain, selain mengurus Syifa. "Vi, ada telepon dari Ilham," kata Ibu sambil mengantar ponselku yang tertinggal di depan TV. Setelah Ibu keluar, kuletakkan ponsel di nakas. Syifa sudah tidur, biasanya Syifa yang menerima panggilan dari papanya. Ponsel kembali bergetar untuk yang ketiga kalinya, tetap kubiarkan. Aku belum sanggup bicara apa pun dengan Mas Ilham. Dalamnya cinta yang bersemayam membuatku tak berdaya

Latest chapter

  • Setelah Lima Tahun   Part 151 Ending

    Vi Ananda's POV"Mas, tidur saja. Biar aku yang jaga Abrisam," ucapku sambil memandangnya. Dia kelihatan capek malam ini."Nanti kamu bisa bangunin Mas kalau butuh sesuatu."Aku mengangguk. Perlahan mata yang selalu bersorot tajam itu terpejam. Tidak lama kemudian terdengar dengkur halusnya.Sebulan ini Mas Ilham kurang tidur karena Abrisam sering mengajak begadang. Kami bergantian menjaganya. Tapi sudah dua hari ini si bungsu tidak lagi begadang. Dia nyenyak tidurnya, terbangun dan menangis kalau mau susu saja.Betapa capeknya Mas Ilham. Siang sibuk dengan pekerjaan, malamnya bergantian jaga Abrisam. Ini tidak pernah dilakukan pada dua anak sebelumnya.🌺🌺🌺Sore yang cerah. Aku mendorong stroller Abrisam menyusuri jalan berpaving yang menghubungkan jalan ke bangunan hotel dan sebuah kafe. Di depanku Abian berlarian

  • Setelah Lima Tahun   Part 150 Pulang

    Vi Ananda's POV"I love you," bisik Mas Ilham di telinga saat aku sedang menyusui Abrisam. Kedekatan kami membuat suster yang bertugas tersipu malu, lantas izin ke luar kamar.Salah satu fasilitas yang kami dapat adalah adanya seorang suster yang stand by selama dua puluh empat jam."Didit ngirim pesan kalau akan datang ke sini agak siang. Hari ini guru home schooling-nya Abian mulai ngajar, jadi Didit nunggu sekalian.""Ya, nggak apa-apa."Home schooling. Sebenarnya ini seperti les yang dilakukan Syifa setiap hari. Abian memang sudah waktunya masuk PAUD. Meski start belajar secara formal masih dua bulan lagi, tapi sekarang sudah di mulai. Aslinya, yang mengajar Homeschooling memang orangtua, bukan guru privat. Tapi beda buat kami, Pak Broto yang memfasilitasi semuanya, gaji guru privat plus uang tranport-nya.Akan tetapi setelah ini aku d

  • Setelah Lima Tahun   Part 149

    Ilham's POV"Ibu, mau pergi ke hajatan, ya?" godaku bercampur jengkel karena khawatir.Wanita di hadapanku tersenyum santai. "Ayo, kita berangkat!" ajaknya sambil menggamit lenganku. Persis seperti pasangan model yang akan melewati red karpet."Kenapa pakai sandal seperti ini?" protesku sambil menunjuk ke arah kakinya."Nggak apa-apa, kita kan mau naik mobil."Sudahlah. Dituruti saja, habis ini aku bisa mencuri sandal itu untuk kusingkirkan.Mobil meluncur pergi di bawah tatapan dua satpam yang sempat mendoakan agar proses kelahiran putra kami lancar.Aku duduk di bangku belakang bersama Vi. Tangannya yang memegang lenganku kadang terasa mencengkeram, mungkin mulasnya kembali datang. Namun saat kupandang dia hanya tersenyum. Tanpa memedulikan adanya Didit, aku menciumi pipi Vi. Pikiranku serius tegang kali ini.

  • Setelah Lima Tahun   Part 148 Kelahiran yang Indah

    Ilham's POV"Pak Ilham, ini berkas yang Bapak minta tadi." Seorang staf bernama Wita menahan langkahku yang hendak keluar kantor."Taruh di meja. Biar nanti saya periksa."Aku segera bergegas keluar ruangan, berjalan lurus ke arah utara menuju ruang pribadiku. Beberapa hari ini aku memang tidak bisa tenang menjelang persalinan anak ketiga kami."Papa," sapa Abian yang sedang asyik bermain di depan TV ditemani Arum. Aku mendekat dan mencium rambut putraku. Lantas aku masuk kamar, Vi sedang duduk di ranjang sambil menyusun baju bayi dan beberapa perlengkapannya sendiri ke dalam travel bag ukuran sedang."Mas, kok pulang lagi?" tanya Vi heran karena sepagi ini aku sudah dua kali menemuinya."Nggak usah cemas gitu. HPL-nya kan masih sepuluh hari lagi. Lagian kalau aku terasa mau lahiran, bayinya juga nggak langsung nongol. Masih ada prosesnya.

  • Setelah Lima Tahun   Part 147

    Vi Ananda's POVSiang itu aku duduk menemani Abian dan Arum yang bermain dengan si kucing hitam. Suasana redup, mendung mengantung menutupi sang surya.Hari ini hatiku berdebar-debar menunggu hasil pembicaraan Mas Ilham dan Pak Broto. Sebenarnya hak Mas Ilham untuk menolak, karena perjanjian awal hanya sampai pada dua bulan ke depan lagi. Tapi aku tahu bagaimana suamiku, terkadang dia terbawa oleh rasa tak enak hati. Mungkin karena dia juga nyaman kerja di sini.Perhatianku beralih pada mobil Fortuner yang memasuki lokasi. Itu kendaraan Pak Petra. Tiba-tiba aku berharap kalau ada Bu Melinda ikut serta, tapi aku kecewa. Yang turun justru Pak Broto, Pak Rony, dan di susul perempuan itu. Perempuan masa lalu suamiku. Dia memakai gamis dan jilbab yang ujungnya dimasukkan ke kerah gamisnya.Pak Petra mendekatiku dan menyalami. "Apa kabar?""Alhamdulillah, kabar baik Pak.

  • Setelah Lima Tahun   Part 146 My Sexy Wife

    Vi Ananda's POVPagi yang dingin, jaket tebal yang kupakai masih membuatku menggigil. Tapi Mas Ilham yang berdiri di sebelahku sudah mandi keringat. Aku sedang menemaninya jogging di tepi pantai sepagi ini. Hanya berdua, karena Abian belum bangun.Dia menenggak habis air mineral di tangannya. Kami berdiri menghadap laut lepas."Kita akan merindukan tempat ini, Mas," kataku.Mas Ilham merangkulku. "Suatu hari nanti kita bisa liburan ke sini ngajak anak-anak," ujarnya sambil tersenyum. Lantas dia terdiam, memandangku lalu tersenyum lagi. Seperti ada yang ingin dibicarakan tapi dia masih tampak bingung."Pak Alex kapan datang?" tanyaku."Kemungkinan dua bulan lagi."Diam. Kami menikmati indahnya pemandangan, sejuk dan berkabut. Angin pagi berembus membuat bergo yang kupakai berkibar. Mas Ilham menahan dengan tangannya aga

  • Setelah Lima Tahun   Part 145

    Ilham's POVAbian masih bermain di depan TV bersama Arum. Gadis umur delapan belas tahun itu telaten menjaga jagoanku. Sementara aku duduk agak ke belakang sambil menyimak email yang masuk. Signal di sini sudah lancar sejak enam bulan terakhir ini. Lima belas menit yang lalu Vi baru masuk kamar setelah menemani Abian bermain.Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan dengannya. Mengenai bos yang ingin agar aku tetap bertahan mengurus proyek ini sampai finish. Inilah yang membuatku bingung beberapa hari, nanti Alex hanya akan sesekali saja ke sini karena akan ada design interior dari sini saja, tapi tetap dalam pantauan Alex.Tidak tega aku menyampaikan ini pada Vi. Dia sudah bahagia mau pulang dan berkumpul lagi dengan putri kami. Abian tahun depan juga masuk PAUD. Vi mau melahirkan di sana dan tinggal di rumah kami yang sudah selesai direnovasi. Kusandarkan punggung di sofa dan menarik napas dalam-dalam. Dil

  • Setelah Lima Tahun   Part 144 Bagaikan di Surga

    Ilham's POV"Janin Ibu sudah berumur delapan minggu," kata dokter Etik sambil menunjukkan layar USG."Alhamdulillah," ucapku. Vi tersenyum lantas kembali menatap layar USG dan memerhatikan ucapan dokternya.Dulu waktu Vi hamil Syifa, aku yang terkejut karena tidak menyangka kalau dia akan hamil secepat itu. Bulan ini menikah bulan depannya dia sudah mengandung.Terus kehamilan kedua yang keguguran karena dia tidak tahu dan aku benar-benar kehilangan. Waktu itu kami lagi berada di puncak masalah. Hamil kali ketiga aku yang merencanakan, disaat dia belum siap, tapi aku yang memaksa diam-diam, karena itu peluang besar kami bisa hidup bersama lagi. Dan kehamilan keempat ini yang benar-benar kami persiapkan berdua."Sayang, mau makan apa? Siang belum makan, 'kan?" tanyaku setelah kami masuk mobil."Apa ya? Ada yang jual lontong sayur nggak ya,

  • Setelah Lima Tahun   Part 143

    Vi Ananda's POVHari ini cuaca sangat terik. Matahari serasa berada tepat di atas kepala. Abian merenggek minta main ke luar, tapi aku melarangnya. Kadang kasihan sama Abian, tidak punya teman bermain. Kalau cucunya Bu Asti diajak ke proyek, Abian baru punya teman. Tapi pasti berujung drama, cucunya Bu Asti -anak lelaki umur enam tahun- itu tidak mau diajak pulang dan Abian sendiri juga nangis kalau ditinggal. Senang dan susah jadinya."Mama, ayo!" Abian kembali menarik tanganku."Jangan, Sayang. Ini jam dua belas lho, panas banget di luar. Abian makan siang terus bobok, nanti sore baru kita jalan-jalan ke pantai sama Papa." Perlahan kutarik lengannya dan kupangku.Abian masih merengek dan diam ketika pintu kamar di ketuk dari luar. Aku bergegas membuka pintu. Bu Asti tersenyum, ditangannya ada semangkuk besar kolak pisang. "Mau nganterin kolak pisang, Bu.""Iya, Bu Asti. T

DMCA.com Protection Status