Semua Bab Setelah Lima Tahun: Bab 1 - Bab 10

158 Bab

Part 1 Aku yang Menyerah

Part 1 Aku yang Menyerah   "Cerai? Kamu serius?" tanya Miya dengan mimik muka tidak percaya. Dia memandangku lekat.   "Ya."   "Sudah kamu pikirkan masak-masak."   "Hu um. Ini sudah keputusan finalku. Aku menyerah dengan cinta yang kuperjuangkan selama ini. Nyatanya sampe sekarang aku tidak pernah jadi pemenangnya. Hati Mas Ilham tetap untuk Nura."   Rasanya sangat sakit mengucapkan kalimat itu. Namun aku memang butuh teman berbagi, agar beban dan luka dada ini terasa berkurang.    Miya sudah kukenal sejak duduk di bangku SMA hingga kuliah. Dia juga yang tahu bagaimana hubunganku dan Mas Ilham bermula.   "Kalian punya Syifa. Apa enggak kasihan sama anak."   Kupandang bocah perempuan yang asyik bermain dengan Tita, anaknya Miya yang seumuran dengan Syifa.   "Syifa enggak begitu dekat dengan pap
Baca selengkapnya

Part 2 Jangan Pergi

Jam dua belas siang kami pulang ke rumah. Syifa langsung tidur kelelahan. Sementara aku langsung ke belakang membereskan jemuran yang sudah kering dan mencuci baju renangnya Shifa.   Ketika sedang sibuk menyetrika di kamar belakang, Mas Ilham menghampiri dan duduk di kursi sebelahku.   "Mama barusan nelfon. Malam ini kita di undang makan malam di rumah Mama."   Aku mengangguk tanpa memandangnya. Setiap kami di undang ke sana, pasti ada sesuatu yang ingin dibicarakan oleh mertuaku. Mungkin soal perceraian itu.   "Bawa baju ganti, nanti kita menginap di sana," ucap Mas Ilham sebelum beranjak pergi.   Baju yang sudah kulipat, kuletakkan di keranjang yang nantinya kususun di lemari masing-masing. Sebenarnya aku sudah berencana untuk mulai mengemas baju-baju besok setelah memasak, mumpung hari Minggu. Jika Pak Nardi datang, tinggal mengangkut saja.   Selesai setri
Baca selengkapnya

Part 3.a Cinta dan Luka

 "Mama, masak apa?" tanya Shifa yang menyusul ke dapur dan berdiri di dekatku. Dia sudah bangun. "Mama lagi goreng ayam, katanya kemarin Shifa mau ayam goreng. Ayo, susunya di minum dulu. Nanti baru sarapan. Jangan lupa minum air putih dulu sebelum minum susu." Aku menunjuk segelas susu yang ada di meja makan. Syifa langsung duduk di kursi, minum beberapa teguk air putih hangat, kemudian menyesap susunya. Jam dinding menunjukkan pukul enam pagi. Tapi Mas Ilham belum juga keluar. Biasanya jam segini dia sudah selesai mandi. Kuletakkan spatula dan mematikan kompor setelah mengangkat gorengan terakhir. "Tunggu di sini, Mama mau lihat Papa dulu," kataku pada Syifa. Pintu kamar masih tertutup rapat dan sepi. Ku putar gagang pintu perlahan. Lampu telah dinyalakan dan Mas Ilham yang masih memakai baju koko dan sarung sedang terlentang di ranjang. Wajahn
Baca selengkapnya

Part 3.b Cinta dan Luka

Kutarik napas dalam-dalam, menata ekspresi wajah agar tampak biasa saja. Baru kudorong pintu perlahan. Di dalam, dua orang duduk berdekatan sambil menatap layar laptop. Tapi sempat kulihat wajah keduanya tampak murung, bahkan mata perempuan itu berkaca-kaca. Aku tersenyum, meski hatiku remuk redam untuk yang ke sekian kali.   "Vi," panggil Mas Ilham terkejut. Dia langsung berdiri, pun begitu dengan Nura yang sibuk menyeka air mata.   "Maaf, aku enggak mengetuk pintu. Ku pikir Mas sendirian. Aku hanya mau mengantarkan obat Mas yang ketinggalan."   Kuletakkan plastik obat di meja. Setelah itu aku berbalik dan pergi. Dia mengejar. Di tangga yang sepi Mas Ilham menahan lenganku.   "Jangan salah paham, Vi. Mas akan cerita nanti." Mas Ilham menjelaskan dengan panik.   Aku diam tidak menjawab apa-apa.   "Kamu tadi naik apa ke sini?"   "Naik moto
Baca selengkapnya

Part 4a Ibu, Izinkan Aku Pulang

Setelah pikiran tenang, kuambil ponsel dari tas selempang warna hitam. "Assalamu'alaikum, Vi." Suara ibu di seberang. "Wa'alaikumsalam, Bu. Kapan aku dan Shifa boleh pulang ke rumah, Ibu?" "Ya, Allah, Nduk. Kapanpun kamu boleh pulang. Tapi ... kamu enggak apa-apa, 'kan? Kenapa suaramu serak?" "Aku lagi diperjalanan ini, Bu. Mau jemput Shifa pulang sekolah." "Kamu ada masalah lagi sama Ilham." "Masalah yang sama. Nanti Ibu kabari aku ya, kapan Pak Nardi bisa jemput." "Iya, Nduk." "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Aku kembali melajukan motor ke arah sekolahnya Syifa. Dan berhenti sekali lagi saat dada dihempap sesak. Separah ini rasanya. Pantas saja sebagian istri yang dikhianati bisa sebrutal itu mengungkapkan kemarahannya. Mengamuk atau sekedar mencaci maki suami atau wan
Baca selengkapnya

Part 4b Ibu, Izinkan Aku Pulang

Aku menarik napas panjang. Pria ini memang keras kepala. Lebih baik aku segera pergi dari kamar kami. Namun, tarikan tangan membuatku terduduk di pangkuannya. Kami berpelukan sesaat.   "Maaf, jika Mas terlena selama ini. Karena sering bertemu dan kerja bersama, membuat peluang kedekatan kami makin besar."   "Apa yang kalian lakukan jika keluar kota? Sekedar berciuman atau mungkin ... sudah bercinta?"   Mas Ilham terkejut dengan pertanyaanku baru saja. Kulepaskan tangannya yang melingkar di pinggang. "Enggak usah dijawab Mas. Melihat cara kalian berinteraksi saja sudah membuatku sesak napas."   "Mas tidak pernah melakukan apapun dengannya."   Apa berpelukan di rumah sakit waktu itu bukan apa-apa? Itu yang terlihat, bagaimana dengan yang tidak tampak. Tiba-tiba saja aku muak. Namun, aku membiarkannya memelukku sekali lagi.   Ku jinjitkan kaki untuk mencium pipi
Baca selengkapnya

Part 5a Bidadariku yang Terluka

POV Ilham    Aku masuk rumah yang telah kehilangan mahkota. Sepi dan terasa asing ketika duduk di salah satu sudutnya.   Hari ini seperti mimpi. Kesabaran Vi telah sampai pada batasnya. Dia benar-benar pergi bersama bidadari kecil kami. Vi menciptakan jurang yang dalamnya tidak terjangkau. Ini jurang, bukan lagi tembok penghalang yang masih bisa ku robohkan.   Tidak ada lagi celoteh suara Syifa. Gadis kecil yang mewarisi kecantikan ibunya, yang enggan berdekatan dengan papanya sendiri.   Aku melangkah gontai masuk ke kamar. Tidur terlentang menghadap plafon. Di atas sana seolah penuh bayangan kebersamaan kami lima tahun ini.    Namanya, Vi Ananda.   Gadis cantik yang ku kenal saat magang di kantor tempatku bekerja. Matanya yang bening dengan iris mata cokelat memikat. Jujur, aku terpesona pada pandangan pertama, di antara patah hati yang serpihannya
Baca selengkapnya

Part 5b Bidadariku yang Terluka

  POV Ilham    Sudah satu bulan ini aku tanpa Vi dan Syifa. Hening. Malam-malam pun membuatku terpuruk dan hampir tidak waras. Seluruh penjuru rumah ini masih ada jejak mereka. Suara-suara mereka bercanda riang yang tidak kupedulikan kala itu, kini merongrong menjadi kenangan yang memilukan dan menimbulkan penyesalan.   "Maafkan Papa, Sayang."   Dua hari yang lalu Mama datang untuk membersihkan rumah dan memasak untukku. Sedihnya, Mama tidak juga mau bicara banyak. Mereka semua kecewa dengan ketotolanku.   Pagi itu setelah rapi berpakaian, kuhubungi Vi. Seperti biasanya Syifa yang menerima panggilan.   "Halo, Assalamualaikum."   "Waalaikumsalam, Sayang," sapaku setelah panggilan diterima.   "Iya, Pa. Syifa masih sarapan, belum berangkat ke sekolah."   "Hmm, lauknya apa? Kayaknya enak, ya?" &n
Baca selengkapnya

Part 6a Kehilangan

Part 6 Kehilangan   Dua minggu ini aku sudah bisa beradaptasi dengan keadaan. Setelah terpuruk tanpa daya lebih dari seminggu setelah kepulanganku ke rumah Ibu. Syifa tidak begitu terpengaruh, di sini dia memiliki banyak teman bermain.   Aku mulai beraktivitas di toko dan merekap pesanan. Alhamdulillah, toko roti dan kue yang dirintis Ibu sejak aku umur sepuluh tahun berkembang sangat pesat.    Ini hiburanku yang lain, selain mengurus Syifa.   "Vi, ada telepon dari Ilham," kata Ibu sambil mengantar ponselku yang tertinggal di depan TV.   Setelah Ibu keluar, kuletakkan ponsel di nakas. Syifa sudah tidur, biasanya Syifa yang menerima panggilan dari papanya.   Ponsel kembali bergetar untuk yang ketiga kalinya, tetap kubiarkan. Aku belum sanggup bicara apa pun dengan Mas Ilham.    Dalamnya cinta yang bersemayam membuatku tak berdaya
Baca selengkapnya

Part 6b Kehilangan

 Part 6 Kehilangan "Mbak, ada Mas yang mau pesan kue," kata Sarti, salah satu karyawan yang jaga toko. Sesaat setelah Miya pamitan. "Oh, ya? Siapa?" tanyaku penasaran. "Orangnya masih di depan." Aku segera berdiri, mengambil nota catatan, dan melangkah keluar. Di depan Toko ada Bre yang masih berseragam guru, duduk di kursi biasa digunakan oleh para pembeli menunggu pesanan atau sengaja makan kue dan minum di sana. "Assalamu'alaikum," sapaku. Pria itu menoleh dan tersenyum. "Wa'alaikumsalam." "Rupanya bos muda yang akan melayaniku," ujarnya. "Mas, bisa aja. Oh ya, mau pesan apa?" "Mau pesan 250 kotak kue untuk acara di rumah Tanteku." "Yang isi berapa Mas? Tiga atau empat. Misalnya satu kotak isi tiga kue basah dan satu camilan. Atau dua kue basah dan satu camilan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
16
DMCA.com Protection Status