Beranda / Romansa / Setelah Lima Tahun / Bab 31 - Bab 40

Semua Bab Setelah Lima Tahun: Bab 31 - Bab 40

158 Bab

Part 26 Keputusan

  Apa yang dipikirkan Ibu ini terhadap Mas Ilham? Bukankah beliau bisa melihat kalau Mas Ilham tidak datang sendirian.    Mas Ilham menarik kursi dan duduk sambil memegang lengan ibunya Nura.    "Maaf, Bu. Saya tidak bisa menikahi Nura. Saya punya istri. Ini Vi, istri saya," kata Mas Ilham sambil memandangku.   Wanita bertubuh lemah itu menatapku. Tidak ada yang dikatakannya, tapi air mata mengalir dari kedua sudut netranya yang sayu. Aku tersenyum dan mengangguk pelan.   Setelah cukup lama memandangku, beliau beralih memandang putrinya yang duduk di sisi lain.   Beliau hanya menggeleng tanpa berkata apa-apa. Entah apa yang sedang dipikirkannya, beliau tampak sedih dan tidak sanggup lagi bicara.    Rasa sakit, rasa iba, rasa penasaran, berkecamuk dalam dadaku.    Wanita itu menoleh pada kami. "Terima kasih
Baca selengkapnya

Part 27 Liburan

Malam itu kami makan dan menikmati suasana di kafe seberang hotel. Kami duduk di bangku bagian luar yang menghadap langsung ke lembah jauh di hadapan. Cuaca tidak begitu dingin malam itu. Nun jauh di sana tampak kelap-kelip lampu kota.  Keadaan kami mulai tenang. Mas Ilham membahas lima tahun yang lalu, saat kami honeymoon ke tempat ini. Di kafe ini juga kami menikmati secangkir kopi dan capuccino. Juga steak daging yang jadi menu favorit kesukaan para pengunjung. Hanya saja suhu udara waktu itu sangat dingin, mencapai 10°C. "Vi, boleh Mas tanya?" Aku mengangguk. "Waktu Mas tak boleh tahu hari itu, Vi liburan ke mana?" "Ke sebuah tempat." "Di luar kota?" "Ya." "Di mana itu?" "Mas, enggak usah tahu. Siapa tahu nanti aku butuh tempat untuk menyendiri lagi. Di sana suasa
Baca selengkapnya

Part 28 Rayuan

Senin pagi, seperti biasa aku sibuk dengan pekerjaan rumah setelah Mas Ilham berangkat ke kantor.  Kami pulang dari liburan langsung ke rumah Ibu, mengajak Syifa keliling kota hingga sore, lalu malam setelah Syifa tidur kami langsung kembali ke rumah. Perjalanan yang melelahkan. Mengenai meninggalnya Ibu Nura, aku tidak memberitahu Mas Ilham. Aku yakin, tidak kuberitahu pun Mas Ilham akan tahu sendiri dari orang kantor. Aku duduk di ruang keluarga sambil membuka pesan dari Miya. Dia mengirim foto kue yang di eksekusinya hari ini.  [Gagal, Vi. Bantet kueku.] Tulisnya sebagai caption.  Kubalas dengan emot tawa berderet. [Besok-besok di coba lagi, dong.] Tidak langsung dibalas karena dia sedang offline. Aku iseng membuka status di WA. Silvi mengunggah foto beberapa menit yang lalu. Ada foto di mana Mas Ilham ada dalam satu ruangan bersama Nura. Me
Baca selengkapnya

Part 29 Beberapa Bukti

 "Mbak, saya sudah selesai," kataku pelan. "Eh, iya. Mari ikut saya." Aku berjalan menaiki tangga, di belakang gadis itu. Ruangan bagian atas tak kalah mewahnya.  Gadis itu mengetuk pintu berukir indah yang tingginya dua meter lebih. "Masuk!" terdengar suara dari dalam. Setelah membukakan pintu untukku gadis itu pergi. Aku masuk ke sebuah ruang kerja. Seorang pria berjas hitam berdiri tegak menghadap ke jendela kaca. Dadaku berdesir kaget saat dia membalikkan tubuhnya. Alex. Senyum terukir di bibirnya sambil melangkah mendekat. "Senang sekali bisa bertemu denganmu lagi. Apa kabar, Vi Ananda?" "Baik," jawabku cepat. "Kenapa tidak pernah mengangkat teleponku. Takut sama suamimu? Bukankah dia juga sedang selingkuh?" "Per
Baca selengkapnya

Part 30 Curiga

Kami sampai di rumah sudah jam sembilan malam. Aku lebih dulu membersihkan diri dan Salat Isya. Mas Ilham masih mengecek jendela dan mengunci pintu.  Setelah itu kami bertiga bercanda hingga larut malam. Rumah kembali semarak dengan celoteh Syifa. Mas Ilham juga merayunya agar Syifa kembali mau tinggal di sini. Dia mulai terpengaruh. Namun perkataan Ibu saat ku telepon setelah Syifa tidur membuatku kembali bimbang. "Kalau Syifa kamu ajak lagi. Ibu jadi kesepian, Vi." Pastinya Ibu mulai terbiasa dengan kehadiran Syifa di sana. Tentu saja beliau kehilangan jika Syifa ikut kami lagi. Padahal tiap hari selain mengurus toko, beliau akan disibukan dengan mengurus Syifa. Namun beliau menyukai kesibukan barunya. "Mas, ada meeting tahunan hari Rabu depan, Vi." Mas Ilham bicara setelah duduk di sebelahku. Kami bersandar di kepala ranjang. Mas Ilham mengambil lapto
Baca selengkapnya

Part 31 Hasil USG

Sehabis Salat Subuh Mas Ilham tidur di kamar Syifa. Merengkuh tubuh kecil itu dalam pelukannya. Sementara aku mulai sibuk di dapur, membuat sarapan. Syifa minta di buatkan nasi goreng yang atasnya di taruh telur mata ayam. Sedangkan Mas Ilham ingin sarapan ayam geprek pagi ini. Aku tidak akan membangunkan mereka, biarlah mereka menikmati hari libur ini dengan bangun siang. Semua makanan sudah siap di atas meja. Aku bergegas ke kamar Syifa, kulihat papa dan anak masih tidur pulas. Lantas aku melangkah ke kamarku sendiri. Membuka jendela dan merapikan tempat tidur. Pada saat yang bersamaan ponsel di nakas berpendar. Ada pesan masuk dari Miya. [Telepon aku sewaktu-waktu kalau kamu longgar.] Segera kuhubungi Miya karena hatiku diliputi penasaran. Biasanya Miya langsung saja menulis apa yang ingin dikatakannya. Tapi kali ini seperti menyimpan rahasia. 
Baca selengkapnya

Part 32 Hampa

  "Mas berangkat dulu, ya. Jum'at Mas sudah pulang. Hati-hati di rumah," pamit Mas Ilham Rabu pagi.    "Mas, juga hati-hati di jalan."   Mas Ilham tersenyum lantas mengecup kening sebentar sebelum melangkah keluar rumah.   Aku mengantarnya hingga teras depan. Dia tersenyum dan melambaikan tangan sebelum masuk ke mobil. Aku kembali menutup pintu setelah dia pergi.   Hari ini aku akan belanja beberapa kebutuhan dapur dan membeli beberapa pot bunga. Nanti sore bisa membenahi taman yang sudah lama tidak terawat.   Besok baru ke rumah Ibu.    Setelah selesai membersihkan rumah. Aku memakai jaket, mengambil kunci motor, dan segera bergegas pergi.   Aku memilih belanja di supermarket yang tidak jauh dari rumah, karena tempat itu yang bukanya lebih pagi dari tempat lain. Mengambil segala kebutuhan dapur, kamar mandi, dan me
Baca selengkapnya

Part 33

 Baru saja aku merebahkan tubuh di ranjang, ponsel kembali bergetar. Mas Ilham menelepon. "Halo, Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam. Mas telepon dari tadi tidak di angkat. Mas khawatir ada apa-apa dengan kalian. Sekarang sudah pulang apa belum?" Mas Ilham membordir dengan pertanyaan. "Iya, kami sudah di rumah," jawabku singkat. "Udah dapat sepatunya tadi?" "Dapat." "Besok sekitar jam sembilan Mas sudah sampai rumah. Mas akan berangkat pagi-pagi." "Hu um." "Kok, singkat-singkat ngomongnya? Mas baru selesai meeting terakhir ini. Sekarang baru mau makan." Terdengar keramaian di latar belakang. Mungkin dia sedang berada di rumah makan. "Iya." "Vi, kenapa, sih? Syifa rewel ya tadi?" "Enggak." "Habis tu, ad
Baca selengkapnya

Part 34

 "Hari ini mau di masakin apa?" tanyaku pada Mas Ilham dan Syifa. Tanpa memandang mereka. "Ayam goreng saja, Ma," jawab Syifa yang masih nemplok di pelukan papanya. "Kok, ayam goreng terus, sih. Tadi malam kita habis makan KFC, loh! Ikan goreng aja, ya?" "Iya." "Kalau Mas, terserah, Vi, mau masak apa." "Kita bikin sup aja, ya?" tawarku. "Oke. Mas mau nyuci mobil dulu." Mas Ilham pergi ke depan sambil menggendong Syifa. Setelah urusan cucian beres, aku mulai persiapan masak. Tidak lama kemudian terdengar tawa Syifa dan Mas Ilham. Aku melangkah ke depan, dari balik jendela aku melihat keceriaan mereka yang sedang bermain air di selang.  Suami yang kuduga menghamili perempuan lain itu tampak santai tanpa beban. Dalam hati berkecamuk andaian-andaian yang mengganggu. Mungkin memang bu
Baca selengkapnya

Part 35

Kami melewati akhir pekan dalam kebersamaan. Aku tidak lagi membahas kehamilan perempuan itu. Biar kutunggu saja, sampai ada bukti kebenarannya. Kami menikmati akhir pekan layaknya keluarga bahagia tanpa cela. "Kapan, sih, Syifa punya adek, Pa?" tanya Syifa siang itu saat kami rebahan di depan TV. "Tanya sama Mama?" jawab Mas Ilham sambil memandang ke arahku. "Kapan, Ma? Kalau kita belanja di mall, enggak ada yang jual adek, ya?" Mas Ilham tersenyum. "Tidak ada, Sayang." "Kata temanku, adeknya masih di perut bundanya yang membesar. Tapi perut Mama, kok, enggak besar?" Syifa meraba perutku yang rata. "Karena enggak ada adeknya, makanya perut Mama enggak besar," jawabku. "Makanya Mama makan yang banyak, ya. Biar perut Mama cepat besar dan ada adeknya." Aku tersenyum gemas sambil mengangguk. Mas Ilha
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
16
DMCA.com Protection Status