Malam itu kami makan dan menikmati suasana di kafe seberang hotel. Kami duduk di bangku bagian luar yang menghadap langsung ke lembah jauh di hadapan. Cuaca tidak begitu dingin malam itu.
Nun jauh di sana tampak kelap-kelip lampu kota.
Keadaan kami mulai tenang. Mas Ilham membahas lima tahun yang lalu, saat kami honeymoon ke tempat ini. Di kafe ini juga kami menikmati secangkir kopi dan capuccino. Juga steak daging yang jadi menu favorit kesukaan para pengunjung. Hanya saja suhu udara waktu itu sangat dingin, mencapai 10°C.
"Vi, boleh Mas tanya?"
Aku mengangguk.
"Waktu Mas tak boleh tahu hari itu, Vi liburan ke mana?"
"Ke sebuah tempat."
"Di luar kota?"
"Ya."
"Di mana itu?"
"Mas, enggak usah tahu. Siapa tahu nanti aku butuh tempat untuk menyendiri lagi. Di sana suasa
Senin pagi, seperti biasa aku sibuk dengan pekerjaan rumah setelah Mas Ilham berangkat ke kantor.Kami pulang dari liburan langsung ke rumah Ibu, mengajak Syifa keliling kota hingga sore, lalu malam setelah Syifa tidur kami langsung kembali ke rumah. Perjalanan yang melelahkan.Mengenai meninggalnya Ibu Nura, aku tidak memberitahu Mas Ilham. Aku yakin, tidak kuberitahu pun Mas Ilham akan tahu sendiri dari orang kantor.Aku duduk di ruang keluarga sambil membuka pesan dari Miya. Dia mengirim foto kue yang di eksekusinya hari ini.[Gagal, Vi. Bantet kueku.] Tulisnya sebagai caption.Kubalas dengan emot tawa berderet. [Besok-besok di coba lagi, dong.]Tidak langsung dibalas karena dia sedang offline. Aku iseng membuka status di WA. Silvi mengunggah foto beberapa menit yang lalu. Ada foto di mana Mas Ilham ada dalam satu ruangan bersama Nura. Me
"Mbak, saya sudah selesai," kataku pelan."Eh, iya. Mari ikut saya."Aku berjalan menaiki tangga, di belakang gadis itu. Ruangan bagian atas tak kalah mewahnya.Gadis itu mengetuk pintu berukir indah yang tingginya dua meter lebih."Masuk!" terdengar suara dari dalam.Setelah membukakan pintu untukku gadis itu pergi. Aku masuk ke sebuah ruang kerja.Seorang pria berjas hitam berdiri tegak menghadap ke jendela kaca. Dadaku berdesir kaget saat dia membalikkan tubuhnya.Alex.Senyum terukir di bibirnya sambil melangkah mendekat."Senang sekali bisa bertemu denganmu lagi. Apa kabar, Vi Ananda?""Baik," jawabku cepat."Kenapa tidak pernah mengangkat teleponku. Takut sama suamimu? Bukankah dia juga sedang selingkuh?""Per
Kami sampai di rumah sudah jam sembilan malam. Aku lebih dulu membersihkan diri dan Salat Isya. Mas Ilham masih mengecek jendela dan mengunci pintu.Setelah itu kami bertiga bercanda hingga larut malam. Rumah kembali semarak dengan celoteh Syifa.Mas Ilham juga merayunya agar Syifa kembali mau tinggal di sini. Dia mulai terpengaruh. Namun perkataan Ibu saat ku telepon setelah Syifa tidur membuatku kembali bimbang."Kalau Syifa kamu ajak lagi. Ibu jadi kesepian, Vi."Pastinya Ibu mulai terbiasa dengan kehadiran Syifa di sana. Tentu saja beliau kehilangan jika Syifa ikut kami lagi. Padahal tiap hari selain mengurus toko, beliau akan disibukan dengan mengurus Syifa. Namun beliau menyukai kesibukan barunya."Mas, ada meeting tahunan hari Rabu depan, Vi." Mas Ilham bicara setelah duduk di sebelahku. Kami bersandar di kepala ranjang.Mas Ilham mengambil lapto
Sehabis Salat Subuh Mas Ilham tidur di kamar Syifa. Merengkuh tubuh kecil itu dalam pelukannya. Sementara aku mulai sibuk di dapur, membuat sarapan.Syifa minta di buatkan nasi goreng yang atasnya di taruh telur mata ayam. Sedangkan Mas Ilham ingin sarapan ayam geprek pagi ini.Aku tidak akan membangunkan mereka, biarlah mereka menikmati hari libur ini dengan bangun siang.Semua makanan sudah siap di atas meja. Aku bergegas ke kamar Syifa, kulihat papa dan anak masih tidur pulas. Lantas aku melangkah ke kamarku sendiri. Membuka jendela dan merapikan tempat tidur.Pada saat yang bersamaan ponsel di nakas berpendar. Ada pesan masuk dari Miya.[Telepon aku sewaktu-waktu kalau kamu longgar.]Segera kuhubungi Miya karena hatiku diliputi penasaran. Biasanya Miya langsung saja menulis apa yang ingin dikatakannya. Tapi kali ini seperti menyimpan rahasia. 
"Mas berangkat dulu, ya. Jum'at Mas sudah pulang. Hati-hati di rumah," pamit Mas Ilham Rabu pagi. "Mas, juga hati-hati di jalan." Mas Ilham tersenyum lantas mengecup kening sebentar sebelum melangkah keluar rumah. Aku mengantarnya hingga teras depan. Dia tersenyum dan melambaikan tangan sebelum masuk ke mobil. Aku kembali menutup pintu setelah dia pergi. Hari ini aku akan belanja beberapa kebutuhan dapur dan membeli beberapa pot bunga. Nanti sore bisa membenahi taman yang sudah lama tidak terawat. Besok baru ke rumah Ibu. Setelah selesai membersihkan rumah. Aku memakai jaket, mengambil kunci motor, dan segera bergegas pergi. Aku memilih belanja di supermarket yang tidak jauh dari rumah, karena tempat itu yang bukanya lebih pagi dari tempat lain. Mengambil segala kebutuhan dapur, kamar mandi, dan me
Baru saja aku merebahkan tubuh di ranjang, ponsel kembali bergetar. Mas Ilham menelepon."Halo, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Mas telepon dari tadi tidak di angkat. Mas khawatir ada apa-apa dengan kalian. Sekarang sudah pulang apa belum?" Mas Ilham membordir dengan pertanyaan."Iya, kami sudah di rumah," jawabku singkat."Udah dapat sepatunya tadi?""Dapat.""Besok sekitar jam sembilan Mas sudah sampai rumah. Mas akan berangkat pagi-pagi.""Hu um.""Kok, singkat-singkat ngomongnya? Mas baru selesai meeting terakhir ini. Sekarang baru mau makan."Terdengar keramaian di latar belakang. Mungkin dia sedang berada di rumah makan."Iya.""Vi, kenapa, sih? Syifa rewel ya tadi?""Enggak.""Habis tu, ad
"Hari ini mau di masakin apa?" tanyaku pada Mas Ilham dan Syifa. Tanpa memandang mereka."Ayam goreng saja, Ma," jawab Syifa yang masih nemplok di pelukan papanya."Kok, ayam goreng terus, sih. Tadi malam kita habis makan KFC, loh! Ikan goreng aja, ya?""Iya.""Kalau Mas, terserah, Vi, mau masak apa.""Kita bikin sup aja, ya?" tawarku."Oke. Mas mau nyuci mobil dulu."Mas Ilham pergi ke depan sambil menggendong Syifa. Setelah urusan cucian beres, aku mulai persiapan masak.Tidak lama kemudian terdengar tawa Syifa dan Mas Ilham. Aku melangkah ke depan, dari balik jendela aku melihat keceriaan mereka yang sedang bermain air di selang.Suami yang kuduga menghamili perempuan lain itu tampak santai tanpa beban. Dalam hati berkecamuk andaian-andaian yang mengganggu. Mungkin memang bu
Kami melewati akhir pekan dalam kebersamaan. Aku tidak lagi membahas kehamilan perempuan itu. Biar kutunggu saja, sampai ada bukti kebenarannya.Kami menikmati akhir pekan layaknya keluarga bahagia tanpa cela."Kapan, sih, Syifa punya adek, Pa?" tanya Syifa siang itu saat kami rebahan di depan TV."Tanya sama Mama?" jawab Mas Ilham sambil memandang ke arahku."Kapan, Ma? Kalau kita belanja di mall, enggak ada yang jual adek, ya?"Mas Ilham tersenyum. "Tidak ada, Sayang.""Kata temanku, adeknya masih di perut bundanya yang membesar. Tapi perut Mama, kok, enggak besar?" Syifa meraba perutku yang rata."Karena enggak ada adeknya, makanya perut Mama enggak besar," jawabku."Makanya Mama makan yang banyak, ya. Biar perut Mama cepat besar dan ada adeknya."Aku tersenyum gemas sambil mengangguk. Mas Ilha
Vi Ananda's POV"Mas, tidur saja. Biar aku yang jaga Abrisam," ucapku sambil memandangnya. Dia kelihatan capek malam ini."Nanti kamu bisa bangunin Mas kalau butuh sesuatu."Aku mengangguk. Perlahan mata yang selalu bersorot tajam itu terpejam. Tidak lama kemudian terdengar dengkur halusnya.Sebulan ini Mas Ilham kurang tidur karena Abrisam sering mengajak begadang. Kami bergantian menjaganya. Tapi sudah dua hari ini si bungsu tidak lagi begadang. Dia nyenyak tidurnya, terbangun dan menangis kalau mau susu saja.Betapa capeknya Mas Ilham. Siang sibuk dengan pekerjaan, malamnya bergantian jaga Abrisam. Ini tidak pernah dilakukan pada dua anak sebelumnya.🌺🌺🌺Sore yang cerah. Aku mendorong stroller Abrisam menyusuri jalan berpaving yang menghubungkan jalan ke bangunan hotel dan sebuah kafe. Di depanku Abian berlarian
Vi Ananda's POV"I love you," bisik Mas Ilham di telinga saat aku sedang menyusui Abrisam. Kedekatan kami membuat suster yang bertugas tersipu malu, lantas izin ke luar kamar.Salah satu fasilitas yang kami dapat adalah adanya seorang suster yang stand by selama dua puluh empat jam."Didit ngirim pesan kalau akan datang ke sini agak siang. Hari ini guru home schooling-nya Abian mulai ngajar, jadi Didit nunggu sekalian.""Ya, nggak apa-apa."Home schooling. Sebenarnya ini seperti les yang dilakukan Syifa setiap hari. Abian memang sudah waktunya masuk PAUD. Meski start belajar secara formal masih dua bulan lagi, tapi sekarang sudah di mulai. Aslinya, yang mengajar Homeschooling memang orangtua, bukan guru privat. Tapi beda buat kami, Pak Broto yang memfasilitasi semuanya, gaji guru privat plus uang tranport-nya.Akan tetapi setelah ini aku d
Ilham's POV"Ibu, mau pergi ke hajatan, ya?" godaku bercampur jengkel karena khawatir.Wanita di hadapanku tersenyum santai. "Ayo, kita berangkat!" ajaknya sambil menggamit lenganku. Persis seperti pasangan model yang akan melewati red karpet."Kenapa pakai sandal seperti ini?" protesku sambil menunjuk ke arah kakinya."Nggak apa-apa, kita kan mau naik mobil."Sudahlah. Dituruti saja, habis ini aku bisa mencuri sandal itu untuk kusingkirkan.Mobil meluncur pergi di bawah tatapan dua satpam yang sempat mendoakan agar proses kelahiran putra kami lancar.Aku duduk di bangku belakang bersama Vi. Tangannya yang memegang lenganku kadang terasa mencengkeram, mungkin mulasnya kembali datang. Namun saat kupandang dia hanya tersenyum. Tanpa memedulikan adanya Didit, aku menciumi pipi Vi. Pikiranku serius tegang kali ini.
Ilham's POV"Pak Ilham, ini berkas yang Bapak minta tadi." Seorang staf bernama Wita menahan langkahku yang hendak keluar kantor."Taruh di meja. Biar nanti saya periksa."Aku segera bergegas keluar ruangan, berjalan lurus ke arah utara menuju ruang pribadiku. Beberapa hari ini aku memang tidak bisa tenang menjelang persalinan anak ketiga kami."Papa," sapa Abian yang sedang asyik bermain di depan TV ditemani Arum. Aku mendekat dan mencium rambut putraku. Lantas aku masuk kamar, Vi sedang duduk di ranjang sambil menyusun baju bayi dan beberapa perlengkapannya sendiri ke dalam travel bag ukuran sedang."Mas, kok pulang lagi?" tanya Vi heran karena sepagi ini aku sudah dua kali menemuinya."Nggak usah cemas gitu. HPL-nya kan masih sepuluh hari lagi. Lagian kalau aku terasa mau lahiran, bayinya juga nggak langsung nongol. Masih ada prosesnya.
Vi Ananda's POVSiang itu aku duduk menemani Abian dan Arum yang bermain dengan si kucing hitam. Suasana redup, mendung mengantung menutupi sang surya.Hari ini hatiku berdebar-debar menunggu hasil pembicaraan Mas Ilham dan Pak Broto. Sebenarnya hak Mas Ilham untuk menolak, karena perjanjian awal hanya sampai pada dua bulan ke depan lagi. Tapi aku tahu bagaimana suamiku, terkadang dia terbawa oleh rasa tak enak hati. Mungkin karena dia juga nyaman kerja di sini.Perhatianku beralih pada mobil Fortuner yang memasuki lokasi. Itu kendaraan Pak Petra. Tiba-tiba aku berharap kalau ada Bu Melinda ikut serta, tapi aku kecewa. Yang turun justru Pak Broto, Pak Rony, dan di susul perempuan itu. Perempuan masa lalu suamiku. Dia memakai gamis dan jilbab yang ujungnya dimasukkan ke kerah gamisnya.Pak Petra mendekatiku dan menyalami. "Apa kabar?""Alhamdulillah, kabar baik Pak.
Vi Ananda's POVPagi yang dingin, jaket tebal yang kupakai masih membuatku menggigil. Tapi Mas Ilham yang berdiri di sebelahku sudah mandi keringat. Aku sedang menemaninya jogging di tepi pantai sepagi ini. Hanya berdua, karena Abian belum bangun.Dia menenggak habis air mineral di tangannya. Kami berdiri menghadap laut lepas."Kita akan merindukan tempat ini, Mas," kataku.Mas Ilham merangkulku. "Suatu hari nanti kita bisa liburan ke sini ngajak anak-anak," ujarnya sambil tersenyum. Lantas dia terdiam, memandangku lalu tersenyum lagi. Seperti ada yang ingin dibicarakan tapi dia masih tampak bingung."Pak Alex kapan datang?" tanyaku."Kemungkinan dua bulan lagi."Diam. Kami menikmati indahnya pemandangan, sejuk dan berkabut. Angin pagi berembus membuat bergo yang kupakai berkibar. Mas Ilham menahan dengan tangannya aga
Ilham's POVAbian masih bermain di depan TV bersama Arum. Gadis umur delapan belas tahun itu telaten menjaga jagoanku. Sementara aku duduk agak ke belakang sambil menyimak email yang masuk. Signal di sini sudah lancar sejak enam bulan terakhir ini. Lima belas menit yang lalu Vi baru masuk kamar setelah menemani Abian bermain.Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan dengannya. Mengenai bos yang ingin agar aku tetap bertahan mengurus proyek ini sampai finish. Inilah yang membuatku bingung beberapa hari, nanti Alex hanya akan sesekali saja ke sini karena akan ada design interior dari sini saja, tapi tetap dalam pantauan Alex.Tidak tega aku menyampaikan ini pada Vi. Dia sudah bahagia mau pulang dan berkumpul lagi dengan putri kami. Abian tahun depan juga masuk PAUD. Vi mau melahirkan di sana dan tinggal di rumah kami yang sudah selesai direnovasi. Kusandarkan punggung di sofa dan menarik napas dalam-dalam. Dil
Ilham's POV"Janin Ibu sudah berumur delapan minggu," kata dokter Etik sambil menunjukkan layar USG."Alhamdulillah," ucapku. Vi tersenyum lantas kembali menatap layar USG dan memerhatikan ucapan dokternya.Dulu waktu Vi hamil Syifa, aku yang terkejut karena tidak menyangka kalau dia akan hamil secepat itu. Bulan ini menikah bulan depannya dia sudah mengandung.Terus kehamilan kedua yang keguguran karena dia tidak tahu dan aku benar-benar kehilangan. Waktu itu kami lagi berada di puncak masalah. Hamil kali ketiga aku yang merencanakan, disaat dia belum siap, tapi aku yang memaksa diam-diam, karena itu peluang besar kami bisa hidup bersama lagi. Dan kehamilan keempat ini yang benar-benar kami persiapkan berdua."Sayang, mau makan apa? Siang belum makan, 'kan?" tanyaku setelah kami masuk mobil."Apa ya? Ada yang jual lontong sayur nggak ya,
Vi Ananda's POVHari ini cuaca sangat terik. Matahari serasa berada tepat di atas kepala. Abian merenggek minta main ke luar, tapi aku melarangnya. Kadang kasihan sama Abian, tidak punya teman bermain. Kalau cucunya Bu Asti diajak ke proyek, Abian baru punya teman. Tapi pasti berujung drama, cucunya Bu Asti -anak lelaki umur enam tahun- itu tidak mau diajak pulang dan Abian sendiri juga nangis kalau ditinggal. Senang dan susah jadinya."Mama, ayo!" Abian kembali menarik tanganku."Jangan, Sayang. Ini jam dua belas lho, panas banget di luar. Abian makan siang terus bobok, nanti sore baru kita jalan-jalan ke pantai sama Papa." Perlahan kutarik lengannya dan kupangku.Abian masih merengek dan diam ketika pintu kamar di ketuk dari luar. Aku bergegas membuka pintu. Bu Asti tersenyum, ditangannya ada semangkuk besar kolak pisang. "Mau nganterin kolak pisang, Bu.""Iya, Bu Asti. T